TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sabtu, 26 Desember 2009

PENCURIAN

PENCURIAN

Pencurian terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum). Pasal-pasal pencurian, antara lain :

1. Pasal 362 Perbuatan :
a. Mengambil
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

2. Pasal 363 (ayat 1)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil hewan
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, letusan gunung api, kapal selam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan dimasa perang.
f. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya).
g. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
h. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.

3. Pasal 363 (ayat 2)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya).
f. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
g. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun.

4. Pasal 364
Perbuatan :
a. Mengambil
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
f. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
g. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya.
h. Harga barang tidak lebih dari Rp. 25,-.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.

5. Pasal 365 (ayat 1)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun.

6. Pasal 365 (ayat 2)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya).
f. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
g. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
h. Menjadikan ada orang mendapat luka berat.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.

7. Pasal 365 (ayat 3)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya).
f. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
g. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
h. Menjadikan ada orang mati.
Hukuman :
Hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.

8. Pasal 365 (ayat 4)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya).
f. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
g. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
h. Menjadikan ada orang mendapat luka berat.
i. Menjadikan ada orang mati.
Hukuman :
Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun.

9. Pasal 367 (ayat 1)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
d. Dilakukan suami (isteri).
e. Suami (isteri) tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda.
Hukuman :
Tidak dapat dituntut hukuman.

10. Pasal 367 (ayat 2)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
d. Dilakukan suami (isteri).
e. Suami (isteri) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur atau harta benda.
f. Dilakukan sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman :
Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
11. Pasal 367 (ayat 3)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
d. Dilakukan sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
e. Atas kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak kandung.

8. Pasal 365 (ayat 4)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Seluruhnya atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
d. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
e. Dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya).
f. Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih.
g. Dilakukan masuk ketempat kejahatan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
h. Menjadikan ada orang mendapat luka berat.
i. Menjadikan ada orang mati.
Hukuman :
Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun.

9. Pasal 367 (ayat 1)
Perbuatan :
a. Mengambil.
b. Mengambil barang.
c. Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.
d. Dilakukan suami (isteri).
e. Suami (isteri) tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda.

PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Jika ada pertemuan pasti ada yang namanya perpisahan”, pribahasa itulah yang hampir kerap kali kita dengar dari setiap orang. Tidak lepas dari pribahasa itu ialah perkawinan atau pernikahan. Dalam perkawinan seseorang pasti akan merasakan yang namanya perpisahan, baik melalui proses alamiah ataupun sebab mempertahankan hak-hak insaniah.

Pada dasarnya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorng pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal. Hal inilah yang menjadi dambaan dan tujuan utama setiap orang dalam menempuh bahtera rumah tangga yang diikat oleh oleh suatu akad yang namanya perkawinan.

Akan tetapi pada kenyataannya hal itu sulit dan tidak sepenuhnya bisa dialami, sebagaimana yang dikatakan dalam peribahasa diatas, sehinga perpisahan atau dalam hal ini disebut bubarnya perkawinan pasti tidak dapat dihindari oleh setiap pasangan suami istri. Oleh karena itu pemrintah melalui hukumnya membahas dan mengatur masalah ini demi tercipta dan terlaksananya kehidupan yang harmonis, dan dengan hal ini pula pemakalah akan mencoba untuk membahahsnya.























BAB II

PEMBAHASAN

A. Putusnya Perkawinan

Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang bahagia, seperti yang diamanahkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Tujuan perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.

Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian.
Kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan pandangan hidup dan lain sebagainya terkadang muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis serta dapat mengancam sendi-sendi rumah tangga.

Keberadaan institusi perkawinan menurut Hukum Islam dapat terancam oleh berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria maupun oleh wanita. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan, terhentinya hubungan untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan terputus untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun isteri meninggal dunia. Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami isteri yang terpaksa harus putus ikatan perkawinannya di tengah jalan.

Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membagi sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang tercantum dalam Pasal 38 atau dalam undang-undang Kompilasi Hukum Islam pasal 113, perkawinan dapat putus karena adanya hal-hal berikut :

1. Kematian

Hukum perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila salah seorang di antara kedua suami istri meninggal dunia, maka telah terjadi perceraian dengan sendirinya. Dimulai sejak tanggal meninggal tersebut.

2. Perceraian

Ada dua macam perceraian yang menyebabkan bubarnya perkawinan. Yaitu perceraian karena talak (cerai talak)dan perceraian karena gugatan (gugat cerai).



a) Perceraian Karena Talak (Cerai Talak)

Menurut UU. No.1/1974 pasal 66 ayat (1) cerai talak adalah permohonan yang diajukan oleh seorang suami yang beragama Islam kepada pengadilan guna menceraikan istrinya dengan penyaksian ikrar talak. Sedangkan talak menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama dan menjadi sebab putusnya perkawinan.

1) Jenis-jenis Talak

Menurut Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa jenis talak yang menyebabkan putusnya perkawinan. Antara lain:

a. Talak Raj’i

Yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama dalam masa iddah (pasal 118 KHI).

b. Talak Ba’in Sughra

Yaitu talak yang tidak boleh rujuk namun boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI). Talak Ba’in Sughra adalah talak yang terjadi qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’, dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

c. Talak Ba’in Kubra

Yaitu talak untuk yang ketiga kalinya. Tidak boleh dirujuk dan tidak boleh dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan masa iddah. (pasal 120 KHI)

d. Talak Sunni

Adalah talak yang dibolehkan. Yaitu talak yang dijatuhkan pada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. (pasal 121 KHI)

e. Talak Bid’i

Adalah talak yang dilarang. Yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri. (pasal 122 KHI)

2) Macam-macam Alasan Permohonan Cerai Talak

Permohonan cerai talak dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan berikut ini:

a. Istri melalaikan kewajibannya sebagaimana terdapat pada UU. No.1/1974. Pasal 34 ayat (3) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 ayat (5).

b. Istri berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit atau tidak dapat disembuhkan seperti yang tercantum dalam PP. No.9/1975. Pasal 19 huruf a dan 116 huruf a.

c. Istri meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alas an yang sah seperti yang terdapat dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf b dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf b.

d. Istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih terdapat dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf c dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf c.

e. Istri melakukan kekejaman atau penganiayayaan yang membahayakan pihak lain tercantum dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf d dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf a.

f. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena cacat badan atau penyakit sebagaimana tercantum dalam PP. No. 9/1975. PAsal 19 huruf e dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 166 huruf e.

g. Terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan lagi. Tercantum dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf f dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 166 huruf f.

h. Istri murtad, yaitu terjadi peralihan agama yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf h.

i. Syiqaq, dengan syarat harus mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami atau istri. Seperti terdapat dalam UU. No. 7/1989. Pasal 76 ayat (1-2).

j. Li’an. Yaitu tuduhan kepada salah satu dari suami istri ada yang berzina, atau suami mengingkari anak dalam kandungan maupun yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan pemohon atau penggugat tidak mempunyai bukti-bukti dan tergugat menyanggah tuduhan tersebut. Terdapat dalam UU. No.7/1989. Pasal 87 ayat (1-2) dan Pasal 88 ayat (1-2), serta dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125-128.

3) Tempat Mengajukan Permohonan Cerai Talak

a. Menurut UU. No. 7/1989. Pasal 66 ayat (1-4), seorang suami mengajukan permohonan kepada Pengadilan daerah setempat atau apabila pemohon dan termohon tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan untuk mengadakan sidang penyaksian ikrar talak. Bisa juga diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 129, seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal istri dengan alasan meminta diadakan sidang.

c. Perceraian Hanya Dapat Dilakukan di Depan Sidang Pengadilan

d. Dalam UU. No. 1/1974. Pasal 39 ayat (1-3), UU. No. 7/1989 Pasal 65, dan Kompilasi Hukum Islam, ditentukan bahwa perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan dengan alasan antara suami dan istri tidak bisa didamaikan lagi.

4) Saat Mulai Terjadinya Perceraian Karena Talak

Menurut PP. No. 9/1975. Pasal 17 dan 18, serta dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 123, perceraian dihitung setelah keputusan hakim dinyatakan di depan sidang Pengadilan dengan surat keterangan perceraian yang dibuat oleh Ketua Pengadilan untuk dikirim kepada Pegawai Pencatat di tempat terjadinya perceraian.

b) Perceraian Karena Gugatan (Gugat Cerai)

Adapun pengertian cerai gugat menurut UU. No.7/1989 pasal 73 ayat (1) adalah gugatan perceraian yang diajukan istri atau kuasanya kepada Pengadilan daerah setempat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin tergugat. Dan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 132 ayat (1), gugatan cerai adalah gugatan yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama setempat kecuali si istri meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami.

3. Putusan pengadilan

Untuk masalah yang satu ini sebetulnya tidak serumit yang kita bayangkan. Karena pada dasarnya putusan sidang bisa menjadi alasan bubarnya suatu perkawinan apabila dilandasi adanya suatu kemaslahatan yang harus dituju dan ditegakkan. Sebagai satu contoh kasus apabila seorang istri ditinggal suaminya ke medan perang dan tidak kembali selama 10 tahun sehingga dinyatakan hilang, maka karena ini si istri meminta kejelasan statusnya kepada pengadilan.

Sebab hal inilah pengadilan berhak memutuskan setatus si istri tersebut dengan membubarkan perkawinannya demi kemaslahatan dirinya dan keluarganya.


B. Akibat dari Perceraian

Ada dua akibat yang muncul apabila terjadi perceraian antara suami istri. Pertama adalah akibat bagi istri dan harta kekayaan dan yang kedua adalah akibat bagi anak-anak yang belum dewasa.

Putusan perceraian tidak berlaku surut, hanya mulai berlaku pada saat dibukukannya surat keputusan itu dalam segister Catatan Sipil.

Perceraian berakibat pada adanya pembagian hak-hak antara bekas suami dan bekas istri menyangkut masalah hak asuh anak maupun pembaian harta.

Perceraian berakibat pada adanya pembagian hak-hak antara bekas suami dan bekas istri menyangkut masalah hak asuh anak maupun pembagian harta.


Akibat yuridis yang timbul akibat cerai talak adalah :

1. Menurut UU. No. 1/1974 pasal 41 putusnya perkawinan karena perceraian adalah timbulnya kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dan yang bertanggung jawab sepenuhnya atas pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak adalah bapaknya. Namun apabila bapaknya tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan memutuskan bahwa ibunya ikut menanggung biaya tersebut. Jika terjadi perselisihan tentang penguasaan anak, maka pengadilan yang berhak memberi keputusan. Pengadilan juga berhak mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan kewajiban bagi bekas istri.

2. Menurut KHI pasal 149, apabila perkawinan putus karena cerai talak, maka suami wajib melunasi mahar (yang terhutang) seluruhnya apabila istrinya sudah dicampuri, dan setengah bagi istri yang belum dicampuri. Kemudian bekas suami wajib memberikan mut’ah berupa uang atau benda kepada bekas istri kecuali belum dicampuri. Selain itu ada juga kewajiban memberi nafkah berupa maskan dan kiswah selama bekas istri dalam masa iddah kecuali jatuh talak ba’in atau nusyuz sedang bekas istri dalam keadaan hamil. Serta adanya kewajiban memberikan biaya hadhanah bagi anak di bawah umur 21 tahun.

3. Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)

Menurut KHI pasal 156, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :

a) Wanita-wanita dalam garis lurus ibu

b) Ayah

c) Wanita-wanita dalam garis lurus ayah

d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu

f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih hadhanah dari ibu atau ayahnya. Dan pengadilan berhak memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang berhak hadhanah pula apabila keselamatan jasmani dan rohani anak tidak terjamin meskipun nafkah hadhanah sudah terpenuhi.

Hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi perceraian adalah menjadi hak ibunya, sebagaimana tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 105 huruf a.

Biaya pemeliharaan dan penyusuan anak menjadi tanggung jawab ayahnya menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Apabila ayahnya meninggal dunia, maka penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Seperti yang tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 104 ayat(1-2), Pasal 105 huruf c, dan Pasal 156 huruf d.

Eksekusi putusan hadhanah menurut KUH Perdata Pasal 319 f ayat (5) adalah tentang kepada siapa seharusnya anak itu dipercayakan, terlepas dari ada atau tidaknya orang tua atau perwalian yang telah mengurus anak tersebut. Apabila pihak yang menguasai anak itu menolak menyerahkannya, maka juru sita boleh menjadi perantara untuk melaksanakan keputusan itu.





















BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas jelas sudah bahwasanya undang-undang telah mengatur dan membahas secara rinci atas dapat putusnya suatu perkawinan dengan adanya tiga hal yaitu kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Pengaturan hal ini dalam undang-undang dimaksudkan tidak lain demi terciptanya masyarakat yang tertib, harmonis serta keluarga yang bahagia tanpa adanya saling merugikan satu sama lain antara suami istri, sehingga terlaksananya hak-hak dan kewajiban masing-masing.

Dari pembahasasn diatas pula kita dapat menganalisis betapa berbelit-belitnya suatu perceraian, hal ini disebabkan agar terbentuknya keluarga yang bahagia dan langgeng, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang dianggap sangat terpaksa dengan alasan-alasan tertentu yang telah diatur oleh undang-undang.

Demikinlah makalah ini kami buat, dan kami sangat sadar sekali bahwa didalamnya masih banyak kekurangan disana-sini baik subtansinya, tata bahasanya, maupun susunannya. Sehingga kami sangat mengharapkan saran dan masukan para pembaca yang konstruktif demi lebih baik dan sempurnanya makalah yang kami susun ini.

Semoga adanya makalah ini memberikan khazanah pengetahuan baru dan dapat memberikan ”ziadatul khair” bagi kita semua sehingga dapat bermanfaat dikemudian hari, amin.






DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali HUKUM WARIS, HUKUM KELUARGA DAN HUKUM PEMBUKTIAN, Jakarta: Bina Aksara, Cet.III, 1986.

Ichsan, Achamad Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Jakarta : CV. Muliasari, cet.I, 1986

Manan, Abdul, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, cet.V, 2002.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, cet, XXXI, 2003.





MAKALAH HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

( Putusnya Perkawinan )







Oleh :


Humaira ( 07120010 )

Wawan Supianto ( 07120003 )

Moh. Shahebul Bahri ( 07120024 )




UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN SYARI’AH

2009


KONTRIBUSI MUHAMMADIYAH TERHADAP PENCERAHAN BANGSA

KONTRIBUSI MUHAMMADIYAH TERHADAP PENCERAHAN BANGSA


Posisi Muhammadiyah dalam kehidupan nasional, dunia Islam, dan perkembangan global ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan misi Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah:

Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar. Muhammadiyah bertanggung jawab atas berkembangnya syiar Islam di Indonesia, dalam bentuk: 1) makin dipahami dan diamalkannya ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, 2) kehidupan umat yang makin bermutu, yaitu umat yang cerdas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang dimilikinya terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai bidang kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut sebagai realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara, dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global.

Ketiga, sebagai salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung jawab atas berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi Negara. Upaya-upaya tersebut melalui: 1) penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih, 2) perluasan kesempatan kerja, hidup sehat dan berpendidikan yang bebas dari kemiskinan, 3) peneguhan etika demokrasi dalam kehidupan ekonomi dan politik, 4) pembebasan kehidupan berbangsa dan bernegara dari praktek kemunkaran dan kemaksiatan;

Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah bertanggung jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang kehidupan, bebas dari ketertinggalan, keterasingan, dan keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban global. Dengan peran di dunia Islam yang demikian itu Muhammadiyah berkiprah dalam membangun peradaban dunia Islam yang semakin maju sekaligus dapat mempengaruhi perkembangan dunia yang semakin adil, tercerahkan, dan manusiawi.

Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa bertanggungjawab atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Peran global tersebut merupakan keniscayaan karena di satu pihak Muhammadiyah merupakan bagian dari dunia global, di pihak lain perkembangan dunia di tingkat global tersebut masih ditandai oleh berbagai persoalan dan krisis yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan peradabannya karena keserakahan negara-negara maju yang melakukan eksploitasi di banyak aspek kehidupan.

Dalam merealisasikan peran-peran tersebut, Muhammadiyah perlu merumuskan strategi gerakannya, yang diwujudkan dalam Program Persyarikatan. Program tersebut bersifat realistis dan antisipatif guna menjawab berbagai persoalan umat Islam, bangsa, dan dunia kemanusiaan, dengan berpijak pada capaian program Muhammadiyah sampai saat ini Di sisi lain, mengingat eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan yang berada langsung dalam puasaran dinamika umat dan masyarakat, maka Program Persyarikatan dirumuskan secara terintegrasi, baik secara vertikal maupun horisontal, serta berkesinambungan dalam perencanaan dan pelaksanaannya di semua tingkatan, organisasi otonom, dan amal usaha Muhammadiyah. Upaya untuk merealisasikan misi Persyarikatan Muhammadiyah dalam usia yang hampir genap satu abad ini tentu bersinggungan dan memiliki kaitan dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini, baik dalam lingkup global maupun nasional.


sepanjang perjalanan sejarahnya, cukup banyak yang telah disumbangkan Muhammadiyah kepada bangsa Indonesia, melalui gerakan pencerdasan, peningkatan kualitas kesehatan, dan kehidupan social, pemberdayaan tarap kehidupan ekonomi masyarakat, selain tentu pencerahan kehidupan keberagamaan umat Islam. Semua usaha itu dilakukan Muhammadiyah dengan semangat dan untuk kepentingan dakwah Islamiyah, yaitu ajakan kepada kebaikan dan keterbaikan (al-da`wah ila al-khyar). Dengan semangat al-da`wah ila al-khyar inilah Muhammadiyah berjuang mengusung Islam yang berkemajuan melakukan pencerahan kebudayaan dan peradaban. Tiadalah berlebihan kiranya untuk dikatakan bahwa Muhammadiyah, sebagai kekuatan masyarakat madani, telah ikut tampil sebagai problem solver atau penyelesai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.

Muhammadiyah melalui peneguhan jatidirinya, ingin meneguhkan jatidiri bagsa; melalui pencerahan dirinya ingin mencerahkan kehidupan bangsa; dan dengan peneguhan dan pencerahan itu Muhammadiyah ingin ikut mendorong

Muhammadiyah merasa terpanggil untuk mencerahkan kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang harus diakui belum mencerminkan kemajuan yang dignifikan.




ANALISA KASUS (PENGANIAYAAN SISWA)

ANALISA KASUS

(PENGANIAYAAN SISWA)

Oleh : Humaira/ 07120010


A. PENDAHULUAN

Karena anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena kondisinya yang rentan tergantung dan berkembang, anak dibanding dengan orang dewasa lebih beresiko terhadap tindak eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan lain-lainnya. Anak juga sangat rawan sebagai korban dari kebijakan ekonomi makro atau keputusan politik yang salah, meskipun secara umum pandangan masyarakat, termasuk para politisi terhadap anak kadang bersikap naïf dan politis. Begitu pula seperti telah sering dikemukakan orang, anak merupakan asset utama bagi masa depan bangsa dan kemanusiaan secara menyeluruh. Di atas segalanya, kondisi kehidupan anak di seluruh dunia pada saat ini ternyata tidak menjadi lebih baik. Ancaman terhadap anak pada saat ini baik ancaman fisik, mental maupun sosial ternyata lebih serius dibanding pada waktu-waktu yang lalu. Secara umum, anak perlu dilindungi dari :

Pertama, keadaan darurat atau keadaan yang membahayakan. Kedua, kesewenangwenangan hukum. Ketiga, eksploitasi termasuk tindak kekerasan (abuse) dan penelantaran. Keempat , diskriminasi.

Butir-butir konvensi PBB tentang hak-hak anak:

  • hak atas perlindungan (protection)


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.




BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. non diskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

Pasal 3

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.


BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN ANAK

Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.


Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

BAB IV

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 20

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 21

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pasal 22

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24

Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.


BAB IX

PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Pasal 42

(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

Pasal 43

(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.

Pasal 54

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Pasal 64

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 69

Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :

penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



Pasal 71

Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

BAB XI

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

Pasal 76

Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :

melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.


BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).