TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Selasa, 12 Januari 2010

etika profesi advokad

A.Pengertian Etika, Moral dan Profesi Advokat
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. (E.Y. Kanter 2001:2)
Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan.
Tetapi sebenarnya moral dan etika adalah tidak sama. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral (E.Y. Kanter 2002:2).
Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional. Sementara itu orang yang menyandang suatu profesi tertentu disebut seorang profesional.
Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik (Oemar Seno Adji 1991:8).
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian, profesi menjadikan suatu kelompok mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.
Sementara definisi Advokat tertera dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu : orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Kata “mobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:
(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.
(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ ... harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namun ...?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “ ... sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA ini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Ini dinamakan “the right to decline employment” (canon 31 ABA). Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah terutama “ ... tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama. Dalam kasus dimana klien oleh publik telah “dianggap” bersalah, maka berlaku asas “the right of the lawyer to undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his personal opinion as to the guilt of the accused” (canon 5 ABA). Dalam hal kemudian advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan “good cause” (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: “the lawyer should non throw up the unfinished task to the detriment of his client, except for reasons of honor or self-resfect”. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauhmana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya. Hal ini dikatakan lebih jelas dalam canon 15 ABA, a.l.: “ ... the lawyer owes entire devotion to the interest of the client ... and the exertion of his utmost learning and ability. But it is ... to be borne in mind that the great trust o fthe lawyer is to be performed within and not without the bounds of law. The office of the attorney does not permit ... for any client, violation of law or any manner of fraud ... he must obey his own conscience and not that of his client”.
Asas terakhir yang saya kutip di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan dan menjalankan profesi advokat seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3 alinea 7: “Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium mobile)”.






Etika Profesi Advokad
PENDAHULUAN
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak,” (Soelaiman Soemardi: 2001). Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih dapat dinilai melalui parameter etika yang berlaku umum dalam masyarakat.
Salah satu profesi yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan kita semua adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan aspirasi keadilan sosial, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah advokat sudah dikenal ratusan tahun yang lalu dan identik dengan advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, abogado dan lain sebagainya di Eropa yang kemudian diambil alih oleh negara-negara jajahannya.
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan menyesesaikan perkara, seorang hakim selain wajib mengikuti peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Profesi advokat sejak 2000 tahun yang lalu dikenal sebagai profesi mulia (Officium Nobile) dan sekarang seakan sedang booming di Indonesia. Hampir setiap orang yang menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung untuk menggunakan jasa profesi advokat, mulai dari perkara-perkara besar yang melibatkan orang-orang kaya dan terkenal, seperti kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kasus perbankan, kasusnya para artis sampai kasus yang melibatkan rakyat kecil atau orang miskin, seperti pencurian ayam, penggusuran rumah dan lain sebagainya.
Tiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Hal senada diungkapkan oleh Bertens yang menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat. Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah prilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembankan suatu profesi.
Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum atau pun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mejawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis didalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk memperjuangkan hak-hak sosial di tengah masyarakat yang kian kompleks.
Pandangan ini juga mungkin yang menjadi landasan dari sebagian peserta dalam menyikapi etika profesi hukum pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Ikadin di Surabaya pada bulan Nopember 2000 dimana sebagian peserta tersebut bersikap bahwa pembersihan terhadap kotornya profesi hukum sekarang ini harus diperjuangkan melalui komitmen pembenahan dari dalam diri advokat sendiri. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya sistem yang mantap berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan etika dan profesionalisme advokat.
Penegakan kode etik advokat adalah isu yang menjadi sorotan dari banyak advokat dan seluruh elemen penegakan hukum di Indonesia. Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik.
Dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, LN Tahun 2003 Nomor 49, TLN Nomor 4255, maka profesi advokat di Indonesia memasuki era baru. Suatu era yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemacu bagi seorang calon advokat/advokat untuk lebih baik dalam memberi pelayanan hukum kepada masyarakat. Pentingnya mengetahui peran dan tugas advokad erat kaitannya dengan keberhasilan pelaksanaan dalam mengontrol kesesuaian teori dengan praktik yang dilakukan. Peran dan fungsi advokad akan dibahas pada bab selanjutnya, dengan pembahasan secara terperinci dan menyeluruh.
PEMBAHASAN

Pelanggaran Kode Etik
Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :
1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat seperti merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, intimidasi terhadap teman sejawat ;
2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi dengan advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan terhadap klien, menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien berdasarkan bayaran, dan lain sebagainya;
3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan pegawai pengadilan dan lain-lain.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang advokat mengenai substansi kode etik profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu, apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada pengaturan mengenai sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini juga yang merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik.
Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat anggotanya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dan sifat pengulangan pelanggarannya.
Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah “budaya” advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang diberlakukan terhadapnya. “Budaya” solidaritas korps disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan “Spirit of the Corps” yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih menonjol ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya skeptis. Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang sudah sangat korup dan rasa segan untuk bertindak “heroik’ secara individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung untuk berpraktek di luar pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.
Kendala Yang Dihadapi Advokat Suatu negara hukum (rechtstaat) baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam negara hukum, negara dan individu berada dalam kedudukan yang sejajar, kekuasaan negara dibatasi oleh hak asasi manusia agar tidak melanggar hak-hak individu. Jaminan terhadap pelaksanaan HAM diperlukan dalam rangka melindungi serta mencegah penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara (abuse of power) terhadap warga negaranya.
Persamaan dihadapan hukum dan hak untuk dibela advokat atau penasehat hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial, juga sebagai salah satu cara mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip “fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses persidangan, amat penting guna menjamin terlaksananya proses hukum yang sesuai dengan aturan yang ada, terlebih lagi ketika ia mewakili kliennya dalam beracara dipersidangan untuk memberikan argumentasi hukum guna membela kliennya.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut.Ada beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus yang menghambat mereka antara lain bahwa kendala yang sering dihadapi ketika memberikan bantuan hukum cuma-cuma adalah kendala dana, dimana hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit.
Tidak hanya itu saja terjadi para advokat, kendala yang dihadapi ketika memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh advokat dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika disidik, kalaupun klien tersebut mau didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat
dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi
kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang
pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya
berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau
bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran
kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan
profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan
terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan
untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada
Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.

KESIMPULAN
Advokad mempunyai peranan yang beragam dan kompleks dalam sistim hukum yang berlaku di negara kita. Peranan itu hendaknya di singkronkan dengan etika dan tanggung jawab profesi dari para advokad yang mengacu pada nilai luhur yang dilaksanakan demi kemaslahatan umat. Negara kita adalah negara yang besar dan masih ingin lagi melakukan sejumlah besar perubahan termasuk dalam penyelenggaraan hukum yang melindungi segenap bangsa sesuai amanat konstitusi, advokad adalah salah satu elemen yang termasuk didalamnya, perubahan yang di buat para advokad kita menentukan keberlangsungan perbaikan sistim hukum dalam teori dan praktiknya/pelaksaannya.
Harapan besar tentunya tidak boleh hanya disandarkan pada advokad dan pemerintah saja, namun sinergitas para aparat penegak hukum dan akademisi perlu juga memberikan masukan-masukan yang membangun selama proses pembenahan hukum di negara kita.
Masyarakat tidak kalah mempunyai peranan yang amat besar pula, perilaku taat hukum memulai keseriusan pelaksanaan hukum menuju tertib hukum. Harapan kita ketakutan akan hukum yang disandarkan selama ini berubah menjadi kesadaran (patuh karena kesadaran bukan keterpaksaan). Semoga dalam masa-masa mendatang hukum di negara ini mampu dilaksanakan sebaik penerimaan masyarakat dan semulia tugas aparat dan pemerintahannya.
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan.
Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

Filsafat hukum Islam, question

Nama: Humaira
Nim: 07120010
Tugas UAS
Filsafat hukum Islam

1.
a. menurut Soerjono Soekanto, “disiplin hukum” lazimnya diartikan sebagai suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan sebagai kenyataan (perilaku atau sikap tindak). Artinya, disiplin hukum menyoroti hukum sebagai sesuatu yang dicita-citakan maupun sebagai realitas. Hukum yang dirumuskan didalam bentuk ketentuan-ketentuan didalam berbagai kitab Undang-undang, seperti kitab Undang-undang hukum pidana umpamanya, merupakan hukum yang dicita-citakan atau hukum dalam arti norma atau kaidah.+ (Soerjono Soekanto)

b. Unsur Idiil hukum: unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum itu sendiri terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas hukum.

c. Unsur Riil hukum:
Unsur operasional : Unsur yang terdiri atas keseluruhan organisasi – organisasi dan lembaga – yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Termasuk di dalamnya adalah aparatur ( amsbtsrager ) juga merupakan unsur operasional.
Contoh : pengadilan, mahkamah agung, kepolisian

Unsur aktual : Unsur ini meliputi keseluruhan putusan – putusan dan perbuatan konkrit berkaitan dengan sistem makna hukum. Jadi dapat dikatakan ini adalah output sistem hukum.
Contoh : Undang – undang, putusan pengadilan, yurisprudensi, traktat.

2. Pohon disiplin (ilmu) hukum Islam:















PENGEMBANGAN HUKUM TEORETIKAL
Ilmu Hukum:
Emperikal: Sejarah hukum, sosiologi hukum, Antropologi hukum, Psikologi hukum
Normatif: Dogmatik & Perbandingan hukum

PENGEMBANGAN HUKUM PRAKTIKAL
Pembentukan hukum (proses politik & karya yuridik penerapan hukum & penegakan hukum ; penemuan hukum & interpretasi hukum.

Filsafat Hukum: Sebagai disiplin yg mencari pengetahuan tentang hukum yg benar, hukum yg adil (H.Kelsen).
Ilmu Fiqih (Furu’ / Cabang)
Ilmu fiqih atau fiqih adalah ilmu yang membahas ketentuan hukum cabang yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at yang meliputi bidang muamalat dan ibadat. Menurut Amir Syarifuddin ditegaskan secara definitif fiqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dengan ditemukan dalil-dalil yang tafsili. Diberatkan fiqih itu dengan ilmu dalam definisi ini karena fiqih itu semacam ilmu pengetahuan.
Fiqh Siyasah: Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn umat juga dibahas dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah.
Fiqh Siyasah dalam koteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut Fiqh Siyasah.
Usul Fiqh:
Usul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dintinjau dari segi etymologi fiqh bermakna pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan.
Aliran Kalam- usul fiqh syafi’iyah
Aliran Hanafiah (fuqaha)
Al-Hikmah (As-Sunnah):
Menurut etimologi (bahasa), As-Sunnah diambil dari kata-kata."Tsanna- yatsinnu- wayasunnu-tsannan fahuwa matsnuunun wa jam'uhu tsunana watsanna al-amru aw bayannahu.
wa-atsunnatu = as-tsiiratu wa ath-thabii'atu wa ath-athariiqattu.
wa-atsunnatu minal-allahi = hukmuhu wa amruhu wa nahyuhu
Artinya
- Menerangkannya
- Sirah, tabi'at, jalan
- Sunnah dari Allah = hukum, perintah dan larangannya.

Menurut bahasa, kata As-Sunnah berarti jalan atau tuntunan, baik yang terpuji maupun yang tercela, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

As-Sunnah menurut istilah syari'at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi'il (perbuatan),
taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai
tasyri (pensyariatan) bagi ummat Islam.

3. Mengacu pada teori pertingkatan hukum dalam ilmu hukum, yang pada pokoknya menyatakan. Bahwa setiap hukum yang berlaku harus dapat dikembalikan kekuatan berlakunya pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya, maka dapat disusun secara tertib (herarkhis) teori pertingkatan hukum sebagai berikut:
- ada cita-cita hukum (rechts idee); yakni suatu norma hukum abstrak
- untuk dapat mencapai norma hukum abstrak diperlukan norma hukum antara (tussen norm, generalle nor, law in books)
- baru berdasarkan norma hukum antara, kita memperoleh norma hukum konkrit dimasyarakat yang pada umumnya berupa penerapan hukum yang memberikan pelayan hukum pada penegakan hukum dipengadilan.

Apabila pertingkatan hukum ini dikaitkan dengan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional, maka kita peroleh pertingkatan hukum sebagai berikut:
- Abstrakte norm (cita-cita hukum), nilai-nilai yang ada dalam kitab suci Al-Quran(universal dan abadi sepanjang zaman tidak boleh dijamah tangga manusia)
- tussen norm (norma hukum antara), azas-azas hukum cipataan manusia untuk nilai-nilai sesuai situasi kondisi dan budaya bangsa diikuti oleh pengaturan oleh manusia baik penguasa maupun rakyat dan pakar/ilmuan/ulama.
- concrete norm (norma hukum konkrit), semua (hasil) pelayanan hukum dalam rangka penerapan hukum ciptaan manusia (bukan nabi) dan penegakan hukum di pengadilan (hukum positif)
Secara ringkas maka pertingkatan hukum tersebut ialah:
nilai-nilai Islam (values)
azas-azas hukum Islam dan pengaturannya
(principles and law in books/ kodifikasi)
Terapan hukum positif Islam

Menurut padmowahyono, yang paling ideal didalam menerapkan Islam sebagai sumber utama disamping pancasila sebagai pokok pikiran yang terkandung di alam pembukaan, sebagai muatan nilai keIndonesiaannya, maka yang ideal untuk pengembangannya di masa dating ialah bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam di dalam hukum nasional tanpa memberikan “label” khusus hukum Islam, dan diterima serta dilaksanakan oleh semua warga Negara dan penduduk. Kecuali bidang-bidang yang erat kaitannya denagn agam yang bersifat hubungan pribadi masing-masing denagn Tuhan (ibadah mahdhah). Dalam hal ini para founding father (para pendiri Negara kita) perlu kita teladani dan kembangkan, seperti yang nampak dalam merumuskan:
ide tentang Negara bangsa Indonesia
prinsip yang tertuang di dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945
prinsip yang tertuang di dalam pasal 34 UUD 1945 (padmowahyono)

Muhammadiyah dan Dinamika Politik Bangsa

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan itu.
Dalam pandangan Muhammadiyah, sesungguhnya ada hubungan organis antara dakwah dan politik. Dalam banyak hal kelancaran dakwah dan syiar Islam ditentukan oleh paying politik yang ada. Bila paying politik tidak melindungi kelancaran dakwah, organisasi seperti Muhammadiyah dapat merasa kepanasan atau kedinginan.
Kiprah sosial, pendidikan dan dakwah pada umumnya, dapat menjadi bebas dan ceria kalau tidak dirintangi oleh halangan-halangan politik. Sebaliknya kiprah tersebut menjadi ciut dan tidak produktif bila investasi politik terlalu mendalam. Ini berarti bahwa Muhammadiyah harus pandai-pandai memainkan high politics (politik yang luhur, adi luhung dan berdimensi moral etis) agar keputusan-keputusan politik yang bersifat nasional benar-benar bermuatan moral dan etis. Bila keputusan-keputsan politik yang dibuat sampai menggerus kiprah dakwah, pendidikan, sosial dan budaya yang sedang digelar, tentu akibatnya dapat kita bayangkan.
Muhammadiyah tidak gampang retak dan tidak mengalami polarisasi didalam dirinya, dikarenakan politik praktis itu dijauhinya. Namun sekaligus disadari bahwa high politics tetap harus dijalankan sesuai semboyan amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kepada kebajikan dan mencegah keburukan dan kejahatan.
b. Rumusan Masalah
Melihat penjelasan dari latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada makalah ini meliputi:
1.Bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah.
2.Bagaimana pandangan Muhammadiyah, tentang hubungan organis antara dakwah dan politik.
3.Bagaimana agar Muhammadiyah tidak gampang retak dan tidak mengalami polarisasi didalam dirinya, dikarenakan politik praktis itu dijauhinya.





























BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Muhammadiyah dan Politik
Muhammadiyah sebagai gerakan islam yang juga dikenal sebagai organisasi social keagamaan yang non-politik dalam kenyataan sosiologis yang dilaluinya terlibat pula dalam pergumulan politik yang mempengaruhi dinamika gerakan ini dalam kehidupan politik nasional. Persentuhan Muhammadiyah dengan dunia politik itu berkembang baik pada tingkat memainkan fungsi kelompok kepentingan maupun terlibat dalam percaturan politik praktis melalui partai politik dengan corak keterlibatan yang bervariasi.
Dari kenyataan sosiologis yang diuraikan di atas ternyata hubungan Muhammadiyah dan politik tidaklah linier atau tunggal, melainkan menunjukkan pola yang beragam. Pola hubungan antara Muhammadiyah dan politik dapat ditunjukkan dalam tiga varian yaitu pertama, hubungan yang bersifat formal dan langsung; kedua, hubungan yang bersifat personal dan tidaqk langsung; dan ketiga, hubungn yang lebih netral dan murni.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik selain mencerminkan tanggapan organisasi ini terhadap perkembangan politik zamannya, juga menunjukkan pasang-surut yang melingkupi keberadaannya di tengah dinamika social-politik nasional. Dalam persentuhan dengan dunia politik itu Muhammadiyah tampaknya tidak terlalu terjebak pada wacana teologis dan ideologis secara mendalam, melainkan lebih menunjukkan sikap pragmatis dalam menghadapi perkembangan politik nasional.
Kenyataan sosiologis yang paling tampak ialah adanya daya akomodasi yang relative lentur dari Muhammadiyah dalam menghadapi perkembangan perkembangan politik pada setiap periode sejarah yang dilaluinya. Hal ini dilakukan tanpa harus mengubah komitmen dan orientasi dirinya sebagai gerakan islam yang non politik lebih-lebih untuk menjadi partai politik.
Meskipun demikian, diakui pula bahwa daya akomodasi yang tinggi itu menimbulkan masalah tertentu dalam perpolitikan Muhammadiyah, sehingga organisasi Islam ini dikesankan lebih mengambil jalan pragmatis dan kurang responsive dalam melakukan pemihakan kepada masyarakat yang dirugikan oleh pemerintah orde baru yang kian otoriter.
Sekalipun demikian, di belakang hari sejak era 1990-an, tumbuh dinamika baru dengan kehadiran generasi Amien Rais yang memberikan nuansa kritis dan radikal dalam politik Muhammadiyah sehingga membawa reformasi di Indonesia.1
B. Peran politik Muhammadiyah
Dalam menghadapi dinamika perkembangan baru kehidupan politik nasional dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada saat ini dan kedepan, Muhammadiyah dengan tetap istiqamah sebagai gerakan islam yang tidak “berpolitik praktis” dan tidak menjadi partai politik seyogianya melakukan peran-peran politik yang signifikan diwilayah fungsi kelompok kepentingan. Sikap konservatif untuk tetap berpijak pada khittah dan kepribadian Muhammadiyah tidak semestinya membuat Muhammadiyah dan segenap warganya menunjukkan perilaku yang ambigu (mendua sikap), alergi, phobia, dan anti terhadap politik. Sikap negative seperti itu selain tidak sejalan dengan pandangan keagamaan dan kepentingan strategi gerakan dakwah Muhammadiyah yang multi-aspek dan bersifat dinamik, bahkan dapat mengingkari keberadaan Muhammadiyah sendiri sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang memiliki tujuan membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dibumi Nusantara tercinta ini.
Muhammadiyah secara institutional dituntut untuk merevitalisasi peran politik sebagai kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan kelompok asosiasi yang memainkan berbagai macam fungsi politik tanpa harus terperangkap pada permainan riel politics atau politik praktis. Sedangkan secara personal peran politik itu dapat dimainkan oleh para kader dan anggota Muhammadiyah yang terlibat dalam partai politik dan lini-lini politik lainnya dalam kehidupan kenegaraan, yang memberi akses positif bagi kepentingan Muhammadiyah dan kehidupan umat serta bangsa. Muhammadiyah danorang-orang Muhammadiyah dituntut memainkan peran-peran politik itu secara efektif dan produktif dan jangan sampai melakukan uzlah politik politik harus dipandang secara positif dan dijadikan media dakwah yang dimainkan secara beradab dan bermoral untuk pencerahan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal.
Kenapa Muhammadiyah mengambil peran yang signifikan dalam kehidupan politik? Terdapat setidak-tidaknya empat alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, mengenai politik dalam konteks ajaran Islam sebagai ajaran yang menyeluruh yang menyangkut aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiyah. Politik sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya termasuk ke dalam bagian dari ibadah dalam artian umum atau merupakan wilayah dari mu’amalah, yang harus dijamah dan dikelola oleh Muhammadiyah sebagai bagian tedak terpisahkan dari misi membentuk masyarakat utama dan mengemban pesan rahmatan lil ‘alamin.
Kedua, politik sebagai bagian penting dari kehidupan dan merupakan instrument dakwah. Bahwa politik sebagai bagian dari al-amr ad-dunya (urusan dunia) merupakan komponen kehidupan yang penting dan strategis sebagaimana bidang kehidupan lainnya, yang tidak kotor, hina dan jahat sebagaimana kesan umum dalam pandangan yang negative tentang politik. Politik itu dapat menjadi baik, mulia dan bersih manakala dibingkai oleh moral dan diperankan oleh orang-orang yang juga bermoral sehingga melahirkan politik yang berkeadaban.
Ketiga, masalah implikasi dari sikap negative terhadap politik. Jikalau Muhammadiyah masih cenderung bersikap ambigu, lebih-lebih jika alergi dan anti politik, maka hal itu selain bertentangan dengan pandangan dasar keagamaan Muhammadiyah tentang politik yang berarti menentang hakikat Muhammadiyah sendiri, juga hanya akan mengisolasikan Muhammadiyah dari dunia politik yang pada akhirnya tidak mustahil Muhammadiyah sendiri akan menjadi korban politik kekuatan-kekuatan lain.
Keempat, menyangkut tuntutan dan pertanggungjawaban atas moralitas politik. Bahwa jika kekuatan-kekuatan social-keagamaan yang memiliki misi luhur dan didukung massa yang besar seperti Muhammadiyah tidak mengambil bagian dalam proses politik nasional secara aktif maka dunia politik pada khususnya dan nasib bangsa pada umumnya akan merasa rugi karena tidak memperoleh sentuhan moralitas nilai-nilai keagamaan yang dibawa oleh gerakan-gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah.
Peran politik Muhammadiyah yang dapat diambil dan dimainkan tanpa harus terperangkap dalam pergulatan politik praktis, yaitu: Muhammadiyah dapat mengambil posisi dan peran sebagai kekuatan politik atau “kekuatan moral” yang memainkan fungsi selaku kelompok kepentingan atau sebagai kelompok penekan yang efektif. Kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan Negara atau pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan-jabatan politik. Tugas kelompok kepentingan ialah mengakses pada pengambil kebijakan politik utama dalam kehidupan kenagaraan. 2

C.Muhammadiyah Tentang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Muhammadiyah sebagai gerakan da’wah Islam amar ma’ruf nahi munkar sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki komitmen yang istiqamah dalam menggerakkan reformasi masyarakat dan bangsa ke peningkatan kualitas kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang merupakan implementasi misi rahmatan lil ‘alamin. Muhammmadiyah memandang bahwa reformasi adalah gerakan perubahan total yang membawa nilai-nilai kebenaran, kedamaian, keadilan dan pencerahan secara sistemik. Pandangan Muhammadiyah yang menuntut reformasi total dan tersistem didukung oleh kenyataan sosiologi dan bahwa kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sentralistik selama tiga dasawarsa telah terbukti melahirkan krisis sistem, budaya dan alam pikiran dalam segenap sendi kehidupan bangsa.
Muhammadiyah menyadari sepenuhnya bahwa pemikiran dan pola kehidupan keagamaan perlu dikembangkan sebagai pemandu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik dalam menyelesaikan krisis maupun untuk membangun tatanan baru dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya di tubuh bangsa ini. Karena itu, Muhammadiyah bertekad secara proaktif untuk menggerakkan reformasi di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya.
Masalah Politik dan Keamanan
1. Dalam rangka menghadapi suasana ketidakpastian kehidupan politik dan kemandegan reformasi, para pimpinan bangsa dan elit politik perlu mencari jalan keluar dengan lebih mengedepankan pemikiran yang jernih yang dijiwai oleh semangat persatuan dan rekonsiliasi.
2. Pemerintah dan DPR serta seluruh kekuatan politik secara bersama-sama perlu secara arif menegakkan etika dan moral politik dengan berusaha mengurangi akrobatik politik yang menimbulkan kebingungan dan kegoncangan sosial. Para elit politik dan masyarakat agar dalam memperjuangkan kepentingan mereka, menghindarkan diri dari praktek-praktek politik kekerasan dan kekerasan politik.
3. Pemerintah seyogyanya senantiasa menciptakan iklim yang kondusif serta memusatkan perhatian dan menentukan agenda serta prioritas program yang benar-benar membawa kemakmuran, kesejahteraan dan ketertiban nasional.
4. Untuk mengatasi bahaya disintegrasi bangsa, pemerintah dan seluruh komponen bangsa perlu segera mencari dan menyelesaikan akar masalahya, melakukan pembagian hasil sumber daya alam yang seadil-adilnya, menindak tegas pelanggaran HAM dan berkembangnya gejala separatisme seperti yang terjadi di Aceh, Ambon dan Irian Jaya.
5. Guna memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, diharapkan kepada masyarakat untuk dapat menghargai perbedaan pendapat secara wajar dan proporsional, sehingga tidak berkembang menjadi konflik horizontal.
6. Penyelesaian masalah dilakukan dengan mengedepankan pendekatan keadilan dan kesejahteraan sosial, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta tidak mengulangi lagi pendekatan keamanan dan militer.
7. Memperhatikan berbagai kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di tanah air, diminta kepada Pimpinan TNI untuk mengendalikan personil TNI agar melakukan tugas profesionalnya dengan benar dan tidak memihak, serta menindak tegas personil TNI yang terlibat dalam tindak kekerasan dan kerusuhan tersebut.3

D.Strategi Muhammadiyah
Khittah atau strategi Muhammadiyah sejak 1912 pada hakekatnya belum pernah mengalami perubahan. Bahwa ada perubahan-perubahan nuansa dan gaya perjuangan sesuai dengan konteks situasional yang dihadapi, tentu dapat dimengerti sepenuhnya. Namun pada pokoknya ada beberapa pandangan strategis Muhammadiyah yang bersifat konstan, dan kiranya sampai sekarang tetap relevan.
Adapun pandangan strategis Muhammadiyah yang bersifat konstan salah satunya yaitu tentang politik. Muhammadiyah tidak pernah ingin berpolitik praktis. Para founding fathers Muhammadiyah di samping KHA Dahlan sendiri sudah jauh-jauh hari membaca bahwa keterlibatan politik bagi Muhammadiyah dapat menyerimpung persyarikatan Islam reformis ini ke dalam jebakan-jebakan yang merugikan. Oleh karena itu, ketika presiden Suharto menawarkan pada KHA Badawi yang ketua Muhammadiyah pada masa awal orde baru agar Muhammadiyah menjadi partai politik, Muhammadiyah memilih bertahan pada jati dirinya sendiri, sebagai geakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar, gerakan yang menganjurkan berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan ditengah masyarakat luas. Muhammadiyah tidak ingin menjadi partai politik yang mudah terjebak pada konflik kepentingan, dan kalau tidak hati-hati dapat menimbulkan friksi di tubuh bangsa.4

E. Muhammadiyah dan High Politics
Muhammadiyah telah menjadi organisasi besar dengan berbagai kisah sukses yang menyertainya. Muhammadiyah kini telah memiliki ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, serta rumah sakit ataupun poliklinik yang tidak sedikit jumlahnya. Sementara dibidang kehidupan kemasyarakatan, Muhammadiyah telah dinilai mampu mengantarkan warganya menjadi mulim modernis yang siap mengantisipasi masa depan.
Dibidang social –politik, Muhammadiyah telah mampu menempatkan diri dalam kedudukan sejajar dalam soal tawar-menawar dengan pemerintah. Sehingga, hingga saat ini boleh dibilang bahwa Muhammadiyah cukup aman dari konflik apalagi yang berhadapan langsung dengan pemerintah.
Dalam kehidupan kemasyarakatan, Muhammadiyah sangat teguh dala memperjuangkan etos kerja keras, sikap hidup sederhana, ikhlas dalam perjuangan, teguh dalam pendiriran dan tidak lekas putus asa atau Istiqamah. Yang secara keseluruhan tercermin dalam perilaku hidup yang diajarkan KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah itu.
Sedangkan dalam bidang social-politik, Muhammadiyah mengambil sikap moral politik tinggi (high politic) atau politik berdimensi keluhuran budi. Yakni sikap atau moralitas politik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Adapun dalam memperjuangkan tersebut digunakan cara-cara dan etika Islam.

F. Persentuhan Muhammadiyah Dan Politik
Masalah politik senantiasa actual dan seringkali krusial ketika dihadapkan pada dinamika organisasi keagamaan yang memiliki basis massa cukup besar, seperti halnya Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan tidak berpolitik praktis, artinya terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses perjuangan kekuasaan sebagaimana diperankan kekuatan politik formal. Namun dalam momentum-momentum tertentu pada perkembangan sejarah yang dilaluinya, persoalan politik senantiasa masuk kedalam percaturan geral organisasi keagamaan ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Persentuhan Muhammadiyah dengan politik, tampaknya perlu dijelaskan dalam dinamika orientasi gerakan dakwah dalam konteks penggarapan lahan-lahan kehidupan diluar sekadar persoalan pembinaan keagamaan semata. Persentuhan ini seringkali masuk pada percaturan dilematis antara dakwah dan politik. Sedangkan persentuhan kedua dipengaruhi oleh keterlibatan para elit atau anggota persyarikatan ini dalam kegiatan politik, yang memunculkan citra persentuhan kelembagaan Muhammadiyah dengan dunia politik.
Persentuhan Muhammadiyah dengan dunia politik praktis disatu pihak memberi keuntungan tersendiri bagi perkembangan organisasi. Terutama dalam membangun relasi social politik kepusat-pusat pengambilan keputusan (kekuasaan). Tetapi selebihnya tidak jarang membawa ekses negatif yang merugikan gerakan terutama pada konteks jangka panjang.5















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Posisi Muhammadiyah dalam kehidupan nasional, dunia Islam, dan perkembangan global ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan misi Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah:
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar. Muhammadiyah bertanggung jawab atas berkembangnya syiar Islam di Indonesia, dalam bentuk: 1) makin dipahami dan diamalkannya ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, 2) kehidupan umat yang makin bermutu, yaitu umat yang cerdas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang dimilikinya terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai bidang kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut sebagai realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara, dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global.
Ketiga, sebagai salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung jawab atas berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi Negara. Upaya-upaya tersebut melalui: 1) penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih, 2) perluasan kesempatan kerja, hidup sehat dan berpendidikan yang bebas dari kemiskinan, 3) peneguhan etika demokrasi dalam kehidupan ekonomi dan politik, 4) pembebasan kehidupan berbangsa dan bernegara dari praktek kemunkaran dan kemaksiatan;
Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah bertanggung jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang kehidupan, bebas dari ketertinggalan, keterasingan, dan keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban global. Dengan peran di dunia Islam yang demikian itu Muhammadiyah berkiprah dalam membangun peradaban dunia Islam yang semakin maju sekaligus dapat mempengaruhi perkembangan dunia yang semakin adil, tercerahkan, dan manusiawi.
Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa bertanggungjawab atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Peran global tersebut merupakan keniscayaan karena di satu pihak Muhammadiyah merupakan bagian dari dunia global, di pihak lain perkembangan dunia di tingkat global tersebut masih ditandai oleh berbagai persoalan dan krisis yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan peradabannya karena keserakahan negara-negara maju yang melakukan eksploitasi di banyak aspek kehidupan.
Dalam merealisasikan peran-peran tersebut, Muhammadiyah perlu merumuskan strategi gerakannya, yang diwujudkan dalam Program Persyarikatan. Program tersebut bersifat realistis dan antisipatif guna menjawab berbagai persoalan umat Islam, bangsa, dan dunia kemanusiaan, dengan berpijak pada capaian program Muhammadiyah sampai saat ini.6
Di sisi lain, mengingat eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan yang berada langsung dalam puasaran dinamika umat dan masyarakat, maka Program Persyarikatan dirumuskan secara terintegrasi, baik secara vertikal maupun horisontal, serta berkesinambungan dalam perencanaan dan pelaksanaannya di semua tingkatan, organisasi otonom, dan amal usaha Muhammadiyah.
Upaya untuk merealisasikan misi Persyarikatan Muhammadiyah dalam usia yang hampir genap satu abad ini tentu bersinggungan dan memiliki kaitan dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini, baik dalam lingkup global maupun nasional.


TUGAS UAS
(Muhammadiyah dan Dinamika Politik Bangsa)







Oleh :
Humaira ( 07120010 )






UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2009
DAFTAR PUSTAKA

Nashir, Haedar (2006). Dinamika Politik Muhammadiyah. Malang: UMM Press
Rais, Amien (1995). Moralitas Politik Muhammadiyah. Yogyakarta: Dinamika
Nashir, Haedar (2000). Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika
Nashir, Haedar (2006). Ideologi dan Strategi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
http://www.facebook.com/Muhammadiyah2009

Hukum Perlindungan Anak, question

Nama : Humaera
Nim : 07120010
Tugas UAS
Hukum Perlindungan Anak

Pertanyaan:
1.Bagaimana pelaksanaan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia sekarang ini?
2.berikan sumbangsih pemikiran anda tentang solusi penanganan permasalahan perlindungan anak Indonesia sekarang ini! Apa saja yang harus dilakukan supaya hak-hak anak dapat ditegakkan?

Jawaban:
1. Materi substantif hak anak dalam KHA dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, yaitu:
a) Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Kovensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standard kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to higest standart of health and medical care attaniable).
b) Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan penerlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.
c) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvebsi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spritual, moral dan sosial anak.
d) Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segalla hal mempengaruhi ana (the rights of a child to express her/his views in all metter affecting that child ).
Dalam rangka efektifitas Perlindungan Anak dibentuk Lembaga independen Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI), tugasnya :
a) Sosialisasi undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan anak.
b) Pengumpulan data
c) Menerima pengaduan dari masyarakat termasuk dari anak.
d) Melakukan pemantauan, evaluasi dan pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan Anak
e) Memberikan laporan, saran,masukan,dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan Anak.
Contoh Kasus 1, pelaksanaan perlindungan anak:
Masih banyaknya terjadi kekerasan terhadap anak, termasuk di sekolah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Pekanbaru bekerjasama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) membuat komitmen bersama untuk menghentikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak didik. Ikut juga dalam komitmen tersebut, sekitar 150 kepala sekolah dan guru konseling SMP dan SMU se-Pekanbaru.
Komitmen tersebut tertuang dalam Seminar Penghentian Kekerasan terhadap Anak yang diikuti kepala sekolah dan guru konseling SMP dan SMU di ruang Aula Bappeda Kota Pekanbaru.
Kekerasan terhadap anak di sekolah masih terus terjadi, termasuk pemberangusan hak anak seperti penghilangan hak memperoleh pendidikan. KPAID, sudah menangani beberapa kasus kekerasan terhadap anak di sekolah dan penghilangan hak pendidikan anak. Pemahaman terhadap pentingnya perlindungan atas hak anak, sesuai dengan undang-undang harus dipahami oleh seluruh unsur, terutama sekolah dan para pendidik.
Kejadian kekerasan dan penghilangan hak anak di sekolah semakin hari semakin marak. Guru sebagai ujung tombak, diharapkan supaya bisa menghentikan kekerasan terhadap anak.
KPAID Kota Pekanbaru sendiri tambahnya mencatat sebanyak 20 kasus kekerasan yang menimpa anak-anak selama kurun waktu satu tahun, mulai Agustus 2007 sampai Agustus 2008. Dari kekerasan atas anak ini, tindakan pencabulan dan kekerasan atau penganiayaan paling banyak dengan masing-masing delapan kasus. Dan tiga kasus mengenai hak asuh anak,dua kasus melarikan anak dan tiga kasus penelantaran hak asuh anak.
Contoh Kasus 2, pelaksanaan perlindungan anak:
Dalam upaya menyosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak ke kalangan pelajar Sekolah Menangah Atas (SMA) di Riau, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Riau bekerja sama dengan Event Organizer Rtv baru-baru ini melakukan program muhibah ke beberapa SMA pilihan di Riau. Selain membuka cakrawala para pelajar tentang UU Perlindungan Anak, muhibah juga bertujuan untuk menanamkan kesadaran sejak dini tentang arti penting perlindungan anak.
Ini merupakan salah satu cara kita untuk memperkenalkan Undang-undang No 23 tentang Perlindungan Anak ini kepada kalangan pelajar. Dengan konsep menarik dan santai yang dikemas bersama oleh KPAID dan Rtv, dan pelaksanaan berlangsung sukses.

2.
Contoh Kasus
Anak, Kemiskinan, dan Prostitusi
Kemiskinan dan pengangguran hingga kini masih menjadi isu utama mengiringi Indonesia yang sedang berupaya menuju proses perbaikan. Setidaknya, 37,4 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut belum termasuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Dampak sosial yang terlihat jelas dan nyata adalah mereka, orang-orang miskin tersisih dalam pembangunan. Salah satunya adalah prostitusi anak.
Prostitusi anak adalah tindakan mendapatkan atau menawarkan jasa seksual seorang anak oleh seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan lainnya. Bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak lainnya adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pornografi anak.
Sari sebab-sebab tersebut, kemiskinan merupakan faktor utama dan kontributor terbesar kasus eksploitasi seks pada anak dan kunci yang mendorong mereka berprofesi menjadi anak jalanan.
Anak-anak yang tereksploitasi secara seksual mempunyai mobilitas tinggi dan mereka yang sudah terperangkap sulit keluar karena sering kali teman dan lingkungan masyarakat bersikap menghakimi.
Rendahnya pengetahuan orangtua akan hak asasi anak menyebabkan orangtua pun mengorbankan anaknya. Keterpaksaan itu lama-kelamaan berubah menjadi hobi yang dapat membebaskan mereka dalam melawan arus kehidupan. Akhirnya, anak-anak itu lebih mengharapkan uang dibandingkan pergi ke sekolah karena pemikiran dan pemahaman yang demikian telah terpola dan menjadi kultur anak jalanan.
Laporan Unicef tahun 1998 memperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual yang dilacurkan mencapai 40.000- 70.000 anak yang tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk anak jalanan di dalamnya.
Bukan hanya di dalam negeri. Di luar negeri, seperti Malaysia, seperti ditegaskan Khofifah ketika menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 62,5 persen pekerja seks komersial (PSK) adalah orang Indonesia. Yang lebih memilukan, 80 persen di antara PSK itu anak-anak.
Permasalahan sosial anak yang demikian seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah dan segenap elemen masyarakat yang sadar akan pentingnya hak anak untuk segera bersikap dan melakukan tindakan nyata.
Pasal 63-66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara khusus menyatakan, anak-anak berhak dilindungi dari berbagai sebab, baik eksploitasi ekonomi, eksploitasi dan penyalahgunaan secara seks, penculikan, perdagangan, obat-obatan, dan penggunaan narkoba, dilindungi selama proses hukum.
Undang-Undang Perlindungan Anak memberi jaminan lebih baik, terutama pada ancaman atas tindakan pidana terhadap anak. Bahkan ditegaskan dalam Pasal 88 (BAB XII mengenai Ketentuan Pidana), setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah.
Landasan hukum yang dapat menjadi solusi permasalahan anak
Ternyata penegak hukum lebih kerap memakai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki beberapa kelemahan. Untuk itu pertama, perlu mengamandemen peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak anak disertai peraturan dan hukum yang terkait antarnegara.
Kedua, memberi pemerataan akses pelayanan pendidikan, kesehatan, hukum, dan transportasi kepada seluruh anak Indonesia.
Ketiga, orangtua dan masyarakat juga harus mendapat pengetahuan dan pemahaman tentang HAM. Pencegahan dan intervensi dini di tingkat keluarga dan komunitas dapat mengurangi risiko anak menjadi korban perdagangan dan eksploitasi seks.
Keempat, otonomi daerah hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah membuka kesempatan kerja, terutama di pedesaan, dalam upaya memperbaiki ekonomi keluarga.
Kelima, diperlukan koordinasi dan membangun sistem jaringan antara pemerintah pusat-daerah, swasta, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, baik lokal, bilateral, maupun multilateral, terutama pengawasan terhadap agen yang merekrut tenaga kerja.
Terakhir, perguruan tinggi sebagai pusat advokasi, sosialisasi, dan rujukan tentang perlindungan dan kesejahteraan perempuan dan anak perlu lebih berperan dalam meredefinisi dan merekonstruksi pandangan menghakimi pada korban eksploitasi seksual pada anak.
1
0Saran-saran agar Penyelenggara Perlindungan Anak Indonesia berjalan efektif. Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang rasional positif, dan dipertanggungjawabkan serta bermanfaat ingin dikemukakan beberapa saran yang kiranya dapat diperhatikan dan dilaksanakan bersama mengingat situasi dan kondisi yang ada pada saat ini dikemudian hari sebagai berikut :
1. Mengusahakan adanya suatu organisasi koordinasi kerjasama di bidang pelayanan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai coordinator yang memonitor dan membantu membina dan membuat pola kebijaksanaan mereka yang melibatkan diri dalam perlindungan anak pada tingkat nasional dan regional.
2. Berupaya maksimal membuat, mengadakan penjamin pelaksanaan perlindungan anak dengan berbagai cara yang mempunyai kepastian hukum.
3. Mengusahakan penyuluhan mengenai perlindungan anak serta manfaatnya secara merata dengan tujuan meningkatkan kesadaran setiap anggota masyarakat dan aparat pemerintah untuk ikut serta dalam kegiatan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan dan berbagai cara untuk tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
4. Mengusahakan penelitian di bidang perlindungan anak agar lebih dapat memahami permasalahan untuk dapat membuat dan melakasanakan kebijaksanaan secara dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat.

DaftarLiteratur:
Konvensi Hak Anak
Undang-undang perlindungan anak
www.menegpp.go.id