TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Rabu, 28 April 2010

PERTANYAAN

Nama: Humaerak
Nim :07120010

Pertanyaan:

1.Sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia memberikan jaminan terhadap hak atas perlakukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law)? Jelaskan disertai dasar hukum!
Alinea Pertama Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945, menyebutkan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Secara khusus tidak ada penjelasan, apa sebetulnya makna kemerdekaan yang dimaksud, dan bagaimanapula kaitannya dengan keadilan sosial yang menjadi tujuan kita bernegara. Namun, tidak salah jika kita menafsirkan kemerdekaan dalam arti yang luas, bahwa bukan saja kemerdekaan dari belenggu penjajahan fisik tetapi justru kemerdekaan dari segala bentuk penindasan politik, hukum, ekonomi, dan budaya.
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, menyatakan pula bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Atas dasar itu, maka prinsipnya ditentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sesuai bunyi Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 Amandemen kedua. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualian.
Melihat isi konstitusi di atas, maka antara bantuan hukum dan negara mempunyai hubungan yang erat, apabila bantuan hukum dipahami sebagai hak maka dipihak lain negara mempunyai kewajiban untuk pemenuhan hak tersebut. Seperti yang disebutkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya, negara jelas mengakui hak ekonomi, hukum, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin. Dalam kaitannya dengan bantuan hukum cuma-cuma untuk rakyat miskin/fakir, maka tugas konstitusional negara ialah dengan membiayai gerakan bantuan hukum (alokasi anggaran) sebagai wujud dari tanggung jawab negara untuk melindungi nasib fakir miskin guna mengakses keadilan.
Budaya demokrasi Pancasila, merupakan paham demokrasi yang berpedoman pada asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, dan yang bersama-sama menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Budaya demokrasi Pancasila mengakui adanya sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Rumusan sila kelima Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan dasar politik negara yang di dalamnya terkandung unsur keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, dalam perilaku budaya demokrasi yang perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dapat adalah hal-hal sebagai berikut :1. Menjunjung tinggi persamaan, Budaya demokrasi Pancasila, mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki persamaan harkat dan derajat dari sumber yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita mampu berbuat dan bertindak untuk menghargai orang lain sebagai wujud kesadaran diri mau menerima keberagaman di dalam masyarakat. Menjunjung tinggi persamaan, terkandung makna bahwa kita mau berbagi dan terbuka menerima perbedaan pendapat, kritik dan saran dari orang lain. 2. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, Setiap manusia diberikan fitrah hak asasi dari Tuhan YME berupa hak hidup, hak kebebasan dan hak untuk memiliki sesuatu. Penerapan hak-hak tersebut bukanlah sesuatu yang mutlak tanpa batas. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada batas-batas yang harus dihormati bersama berupa hak-hak yang dimiliki orang lain sebagai batasan norma yang berlaku dan dipatuhi. Untuk itu, dalam upaya mewujudkan tatanan kehidupan sehari-hari yang bertanggung jawab terhadap Tuhan, diri sendiri, dan orang lain,  perlu diwujudkan perilaku yang mampu menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. 3. Membudayakan sikap bijak dan adil, Salah satu perbuatan mulia yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain adalah mampu bersikap bijak dan adil. Bijak dan adil dalam makna yang sederhana adalah perbuatan yang benar-benar dilakukan penuh dengan perhitungan, mawas diri, mau memahami apa yang dilakukan orang lain dan proporsional (tidak berat sebelah). Perlu bagi kita di dalam masyarakat untuk senantiasa mengembangkan budaya bijak dan adil dalam kerangka untuk mewujudkan kehidupan yang saling menghormati harkat dan martabat orang lain, tidak diskrimanatif, terbuka dan menjaga persatuan dan keutuhan lingkungan masyarakat sekitar.
Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal" terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep Equality before the Law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air.
Ironisnya dalam prakteknya hukum di Indonesia masih diskriminatif, equality before the law tidak diterapkan secara equal bahkan seringkali diabaikan, kepentingan kelompok tertentu lebih mengedepan dibandingkan kepentingan publik.
Pengingkaran terhadap konsep ini kian marak terjadi, sebagai ilustrasi, sebutlah misalnya kasus KPU (Suara Karya 2005) , dimana hanya Nazaruddin dan Mulyana W Kusumah yang dituntut di pengadilan. Sementara mereka yang turut memutus pembagian kerja pengadaan barang-barang keperluan pemilu dalam rapat paripurna KPU tidak diperlakukan sama di hadapan hukum. Kalau begitu, bagaimana asas persamaan di hadapan hukum? Padahal arti persamaan di hadapan hukum (equality before the law) adalah untuk perkara (tindak pidana) yang sama. Dalam kenyataan, tidak ada perlakuan yang sama (equal treatment), dan itu menyebabkan hak-hak individu dalam memperoleh keadilan (access to justice) terabaikan. Perlakuan berbeda dalam perkara KPU, karena ada yang tidak dituntut, menyebabkan pengabaian terhadap kebebasan individu. Ini berarti, kepastian hukum terabaikan. Dalam konsep equality before the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memimpin sidang di pengadilan - biasa disebut sebagai prinsip audi et alteram partem.

2.sejauh mana hukum di Indonesia menjamin hak korban dari perlakuan diskriminasi? Jelaskan disertai dasar hukumnya!

Upaya pemerintah dalam meminimalisasi praktek-praktek diskriminasi di tahun 2007 mengalami kemajuan dengan diratifikasinya implementasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966 melalui Undang-Undang Nomor l1 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenanto n Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan Kovenan Internasionatl entangH ak Sipil dan Politik tahun 1966 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights QCCPR). Keberadaan kovenan-kovenan ini memberikan jaminan perlindungan di bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, hak-hak sipil dan politik.
Disamping itu, komitmen Pemerintah lndonesia juga diwujudkan dengan penandatanganan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak dan Martabat Penyandang Cacat pada tanggal 30 Maret 2007 dan Konvensi Internasional Perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa pada tanggal 12Maret2007.
Peningkatan pelayanan publik masih merupakan fokus dalam upaya menghilangkan praktek-praktek diskriminasi yang terjadi di sektor-sektor yang merupakan hak-hak mendasar masyarakat. Pelayanan publik prima dalam bentuk penyatuan kegiatan berbagaiunit pelayanan dalam safu kesatuan tempat yang terpadu (one stop services) merupakan perwujudan upaya meminimalisasi perlakuan diskriminatif bagi masyarakat pengguna di berbagai sektor.
Sedangkan pelayanan dan bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat harus dapat diupayakan menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa pengecualian. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakanb ahwa "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". Dalam implementasinya diperlukan adanya transparansi pelaksanaan pelayanan dan bantuan hukum melalui komitmen Pemerintah untuk memberikan bentuk-bentuk pelayanan yang maksimal bagi masyarakat yang membutuhkan. Melalui bentuk pelayanan yang menjamin hak-hak masyarakat dari berbagai lapisan dengan akses informasi yang transparan dari institusi-institusi pemerintah dan proses peradilan yang memberikan kedudukan yang sama (equal) kepada masyarakat dihadapanh ukum, dampak langsung terhadap pengentasank emiskinan dapat dirasakan dan menumbuhkan kembali kepercayaan terhadap penegakan hukum dan aparatnya di lndonesia.

Kecelakaan Kereta Api



Kecelakaan Kereta Api
(anjloknya satu gerbong kereta barang di Batang)

Semarang - Dalam 10 bulan terakhir tahun 2007 ini, sejak Januari hingga Oktober, ada 101 kecelakaan kereta api di Jawa Tengah, kata Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Gatta Chaeruddin di Semarang, Jumat (26/10). Kasus terakhir adalah anjloknya satu gerbong kereta barang di Batang, sekitar 100 kilometer di sisi barat Semarang, minggu lalu.
“Kasus terparah adalah tergulingnya KA Gumarang di Tegowanu, Grobogan akibat pemotongan rel. Memang ada indikasi sabotase pada kasus itu. Lainnya adalah kecelakaan murni seperti kereta anjlok ada 13 kali, gerbong lepas satu kali, menabrak sepeda motor 11 kali, menabrak mobil tujuh kali, pelemparan batu, dan beberapa macam kecelakaan lainnya,” ujar Gatta.
Pada kasus tergulingnya KA Gumarang jurusan Surabaya–Jakarta pada 13 Agustus, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Tengah Komisaris Mashjudi menjelaskan bahwa polisi terus menyelidiki kasus itu. “Kami telah menangkap satu orang yang diduga kuat pelaku penggergajian rel berinisial J. Kami juga menangkap satu penadah barang curian itu,” tuturnya.
Di sisi lain, polisi juga terkejut ketika berhasil menangkap dua pelaku pencurian alat-alat rel di Gondangrejo, Kabupaten Karanyar. Dua pelaku adalah remaja belasan tahun yang rumahnya berada di dekat jalur kereta api. Sementara di Blora, polisi menemukan alat-alat rel yang dicuri ternyata akan dijadikan kapak pembelah kayu. “Empat pencuri di Blora itu adalah buruh tani. Mereka mengambil baut rel yang kendor. Kemudian mereka akan membuat kapak pembelah kayu dari baut tersebut,” ujar Mashjudi. Dengan berbagai kejadian itu maka rekor kereta api sebagai sarana transportasi yang paling aman di negeri ini menjadi ternoda. Bila semula kejahatan yang ada di kereta api adalah pencopetan, kemudian meningkat menjadi pelemparan batu – telah melukai belasan penumpang - kini merambah ke pencurian peralatan kereta api hingga pemotongan rel.
Risikonya, kereta bisa terguling. Nyawa taruhannya. Kecelakaan jenis ini telah direncanakan. Baik itu tidak sengaja – seperti pengakuan para pencuri peralatan rel – maupun yang disengaja. Sejauh ini belum ada konfirmasi yang jelas, adakah dalang penyebab kecelakaan kereta api yang bermotif sabotase itu? Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru hal itu nyaris tidak terdengar. Namun kini justru marak. Apakah pencurian peralatan kereta api itu karena motif ekonomi? Dari keterangan para pencuri mereka menjual besi curian itu seharga Rp 2.300–3.000 per kilogram. Harga sangat murah dibandingkan risiko kecelakaan kereta api yang bisa timbul. “Kami telah menangkap 20 pencuri itu. Dari hasil penyelidikan polisi, motif mereka karena kebutuhan ekonomi,” kata Mashjudi.
Para pencuri itu beraksi di delapan daerah. Mereka melakukan tindak kriminal itu sendiri-sendiri dan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. “Mereka bukan jaringan sindikat dan tidak saling mengenal,” jelasnya.
Para pelaku pencurian itu dua orang dari Karanganyar, tiga orang dari Surakarta, empat orang dari Blora, tiga orang dari Tegal, satu orang dari Gubug Grobogan, dua orang dari Semarang, dua orang dari Brebes, dan tiga lainnya dari Banyumas. Mereka akan dijerat pasal 363 KUHP tentang pencurian. Untuk menanggulangi pencurian peralatan kereta api itu, polisi akan menandatangani kerja sama dengan beberapa pihak agar kasus itu bisa diperkecil. 30 Kali Kasus pencurian peralatan kereta api seperti penambat rel, baut rel, bahkan rel itu sendiri, terjadi sekitar 30 kali dalam tahun 2007 ini. Kasus itu saja hanya yang terjadi di jalur utara mulai dari Tegal hingga Bojonegoro, kata Humas PT Kereta Api Daerah Operasi IV Semarang Warsono.
“Kami telah mengambil langkah antisipasi pencurian peralatan kereta api itu. Jadwal pengecekan rel kereta api kami tambah. Biasanya satu hari hanya satu atau dua kali, kini kami tambah menjadi tiga sampai empat kali. Pencurian penambat dan baut rel itu sangat membahayakan keselamatan penumpang kereta api,” ujar Warsono.
Upaya pengecekan rel secara elektrik sudah dilakukan untuk jalur Semarang–Jakarta sehingga jalur itu cukup aman. Bila ada sesuatu yang tidak beres di jalur itu, alarm akan berbunyi sehingga kasus yang terjadi bisa segera diketahui.
Namun, pada jalur lainnya dari Semarang ke timur hingga Bojonegoro dan Surabaya masih menggunakan mesin mekanik. Oleh karena itu, bila ada ketidakberesan di rel tidak segera diketahui. Akibatnya pencurian peralatan rel di jalur timur sering terlambat diketahui.



JAWABAN :
1.a. kasus tergulingnya KA Gumarang jurusan Surabaya–Jakarta pada 13 Agustus, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Tengah Komisaris Mashjudi menjelaskan bahwa polisi terus menyelidiki kasus itu. Dan telah menangkap satu orang yang diduga kuat pelaku penggergajian rel, dan juga menangkap satu penadah barang curian itu.
Humas PT Kereta Api Daerah Operasi IV Semarang Warsono, telah mengambil langkah antisipasi pencurian peralatan kereta api itu. Jadwal pengecekan rel kereta api ditambah. Biasanya satu hari hanya satu atau dua kali, kini ditambah menjadi tiga sampai empat kali. Karena, Pencurian penambat dan baut rel itu sangat membahayakan keselamatan penumpang kereta api.
Upaya pengecekan rel secara elektrik sudah dilakukan untuk jalur Semarang–Jakarta sehingga jalur itu cukup aman. Bila ada sesuatu yang tidak beres di jalur itu, alarm akan berbunyi sehingga kasus yang terjadi bisa segera diketahui.
Namun, pada jalur lainnya dari Semarang ke timur hingga Bojonegoro dan Surabaya masih menggunakan mesin mekanik. Oleh karena itu, bila ada ketidakberesan di rel tidak segera diketahui. Akibatnya pencurian peralatan rel di jalur timur sering terlambat diketahui.

b. Peristiwa tersebut telah diakomodir dalam UUKA, sebagaimana dalam Pasal 180 UUKA: ”Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan/atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana perkeretaapian.”
Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pencurian rel kereta api, terdapat dalam Pasal 197 UUKA:
(1) Setiap orang yang menghilangkan, merusak, dan/atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan tidak berfungsinya prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan dan/atau kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara palinglama 5 (lima) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

c. pelaku pencurian dalam kasus ini, dapat dijerat pasal 363 KUHP tentang pencurian. Sedangkan bagi penadah dapat dikenakan sanksi atas tindakan yang dilakukannya.

d. dalam kasus tersebut yang dirugikan adalah PT KAI.

e. prinsip tanggung jawab yang dapat digunakan sebagai bentuk pembuktian, yaitu:
Tanggung jawab karena praduga. Dimana pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar kerugian itu. Dalam hal ini beban pembuktian pada pihak pengangkut, pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian.
Tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah melakukan suatu tindakan, peristiwa itu tidak mungkin dihindari.
Adapun dalam kasus ini, pihak pengangkut dalam hal tidak bersalah:
- Tidak melakukan kelalaian, karena Humas PT Kereta Api Daerah Operasi IV Semarang Warsono, telah mengambil langkah antisipasi pencurian peralatan kereta api itu. Jadwal pengecekan rel kereta api ditambah. Biasanya satu hari hanya satu atau dua kali, kini ditambah menjadi tiga sampai empat kali. Karena, Pencurian penambat dan baut rel itu sangat membahayakan keselamatan penumpang kereta api. Upaya pengecekan rel secara elektrik sudah dilakukan untuk jalur Semarang–Jakarta sehingga jalur itu cukup aman.
- Telah melakukan suatu tindakan, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Tengah, Komisaris Mashjudi menjelaskan, bahwa polisi terus menyelidiki kasus itu.
Peristiwa itu tidak mungkin dihindari, karena tindakan pencurian pada rel kereta api, maka peristiwa kecelakaan tersebut tidak mungkin dapat dihindari.
Berdasarkan unsur-unsur tidak bersalah tersebut, kemungkinan pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar kerugian itu.

2. a. Karena orang yang menyerobot tersebut melanggar pasal 181 (1) UUKA. Maka orang yang menyerobot perlintasan yang sudah ditutup itu, dikenakan sanksi sebagaimana tertulis dalam Pasal 199 UUKA: ”Setiap orang yang berada di ruang manfaat jalan kereta api, menyeret barang di atas atau melintasi jalur kereta api tanpa hak, dan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain selain untuk angkutan kereta api yang dapat mengganggu perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)bulan atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belasjuta rupiah).”

b. Masinis sebagai pengangkut dapat pula dikenakan sanksi karena sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api. Dan tanggung jawab tersebut berdasarkan kerugian yang nyata dialami.
Adapun sanksi karena akibat penumpang yang luka-luka dan yang meninggal dunia tertulis dalam pasal 210 (1 dan 2) UUKA.
Akan tetapi, jika dalam hal ini prinsip tanggung jawab yang dapat digunakan sebagai bentuk pembuktian, yaitu: Tanggung jawab karena praduga. Dimana pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar kerugian itu. Dalam hal ini beban pembuktian pada pihak pengangkut, pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian, dan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah melakukan suatu tindakan, peristiwa itu tidak mungkin dihindari.
Berdasarkan prinsip tanggung jawab karena praduga. Jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar kerugian itu.

c. hak-hak pengguna jasa yang dapat diperoleh dari kejadian ini: menuntut tanggung jawab pengangkut sebagaimana dalam pasal 157 UUKA
” (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, lukaluka, atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.”

3. a. kendati tidak seperti yang terjadi di kota-kota besar yang ada di Indonesia, namun angka kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di Kota Beriman perlu diwaspadai. Penyebab kecelakaan didominasi faktor human error. Ironisnya, korban terbanyak pengguna kendaraan roda dua, termasuk di antaranya pelajar dan remaja yang berusia 13-25 tahun.
Hal ini diungkapkan Kasat Lantas Polresta Balikpapan AKP Ariasandy SIK. Menurutnya, berdasarkan data yang ada di Satlantas Polresta Balikpapan, pengguna kedaraan yang berusia potensial (16-25 tahun) adalah pengendara terbanyak yang mmengalami kecelakaan lalu lintas di jalan. Seperti yang terjadi pada Januari 2009 kemarin. Pada usia tersebut, tercatat 8 pengendara terlibat menjadi penyebab lakalantas dari 17 kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi.
''Memang banyak faktor penyebabnya. Selain human error, penyebab lain kecelakaan adalah infrastuktur jalan, faktor alam termasuk cuaca dan lain- lain,'' ujarnya.
Untuk jenis kendaraan tambahnya, pengendara roda dua (R2) masih mendominasi yang paling sering terlibat laka lantas di jalan. Sementara untuk korban laka lantas di bulan Januari, dari 21 pengguna jalan yang menjadi korban, 5 meninggal dunia, 2 luka berat, serta 14 lainnya mengalami luka ringan.
”Karena kecelakaan terbanyak disebabkan human error, maka perlu adanya pengetahuan dan pemahaman tertib lalu lintas bagi pengguna jalan, sehingga dapat diaplikasikan dengan baik saat berkendara di jalan, untuk menjaga keselamatan diri dan pengguna jalan lain dari bahaya kecelakaan lalu lintas,” saran Ariasandy.
Kamis, 31 Desember 2009 | 09:15
SERANG - Jumlah tindak pidana di wilayah hukum Kepolisian Daerah Banten tahun 2009 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini diimbangi dengan meningkatnya jumlah penyelesaian tindak pidana pada periode yang sama.
Hal menarik lainnya, ialah meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Jumlah kecelakaan tahun 2009 mencapai 874 kecelakaan, sedangkan tahun lalu hanya 482 kecelakaan.
Seiring dengan itu, korban meninggal dunia akibat kecelakaan pun meningkat, dari 156 tahun 2008 menjadi 222 di tahun ini. Jumlah kerugian akibat kecelakaan tersebut mencapai Rp3,41 miliar.
“Penyebab kecelakaan tertinggi ialah kelalaian manusia yang mencapai 848 kasus. Kemudian, faktor kendaraan sebanyak 22 kasus, faktor kondisi infrastruktur (3 kasus), dan faktor alam (1 kasus),” pungkasnya.
Analisis :
Sementara itu tidak bisa kita pungkiri bahwa masalah keselamatan di Indonesia kondisinya saat ini sangatlah buruk, dan seakan-akan diabaikan atau tidak ditangani secara profesional. Kecelakaan lalu lintas yang terus terjadi dengan korban meninggal maupun luka berat yang terus meningkat merupakan bukti akan buruknya manajemen keselamatan. Walau harus diakui buruknya kondisi tersebut juga diakibatkan infrastruktur yang tidak memadai serta perilaku pengguna jalan yang tidak disiplin. Pelayanan publik untuk masalah transportasi saat ini masih jauh dari memadai. Fasilitas transportasi publik yang sangat tidak memadai menjadikan mayoritas masyarakat memilih sepeda motor sebagai kendaraan pribadi. Buruknya angkutan umum yang tidak memberikan keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu bagi penumpang, mendorong penumpang untuk memilih moda alternatif yang sesuai dengan kekuatan ekonominya dan bisa menjadi pengganti kebutuhan transportasinya jika tidak menggunakan angkutan umum. Kekuatan ekonomi di sini, tidak hanya pada keterjangkauan ketika membeli alat transportasi tersebut, tetapi juga pada kemampuan pembiayaan operasionalisasi pada moda transportasi alternatif tersebut. Dan sepeda motor dipilih sebagai moda angkutan yang paling efisien dan efektif. Efisien dari biaya dalam jangka panjang dan efektif dari segi waktu, karena bisa dinaiki sejak dari rumah sampai ke rumah kembali. Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor selain menimbulkan kemacetan juga rawan akan kecelakaan karena faktor teknis kendaraan maupun faktor kesalahan manusia (human error). Oleh karena itu diperlukan tindakan kepolisian untuk menerapkan aturan bagi keselamatan dan kemanusiaan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Apabila keadaan tersebut di atas tidak segera mendapat perhatian yang serius dari segenap elemen bangsa ini, maka lambat-laun akan membentuk karakteristik yang sangat tidak menguntungkan bagi kemajuan bangsa Indonesia, karena tingkat disiplin yang rendah dari Kepolisian dan masyarakat tergambar jelas di jalan raya.
Pengemudi ugal-ugalan dan tidak memperhitungkan keselamatan dirinya (apalagi keselamatan penumpangnya) masih mendominasi penyebab kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan. Data dari Kepolisian lebih mengkhawatirkan lagi, yaitu bahwa sekitar 70 persen kecelakaan terjadi pada kendaraan roda dua (Tempo Interaktif, Rabu, 24 Juni 2009 | 17:15 WIB). Hal ini disebabkan kendaraan roda dua demikian mendominasi jalanan di Indonesia, dan nyaris cuma jalan tol yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda dua. Dan secara kasat mata diketahui bahwa panjang ruas jalan tol masih lebih pendek dibandingkan dengan ruas jalan non tol. Maka sudah sepantasnya Pemerintah mere-evaluasi tentang kebijakan tentang klasifikasi jalan untuk kendaraan roda dua sembari mengoptimalkan kendaraan angkutan umum dan angkutan massal yang aman dan nyaman bagi masyarakat, agar ke depan masyarakat akan lebih tertarik untuk menggunakan kendaraan umum dan kendaraan massal dibandingkan dengan memilih berkendaraan roda dua.
Penegakan hukum dengan setegak-tegaknya, disertai dengan kedisiplinan tingkat tinggi secara terus-menerus dari Kepolisian, kiranya akan dapat memudahkan masyarakat terdidik berlalu lintas dengan disiplin tingkat tinggi juga di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Optimalisasi operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas yang cerdas akan mendekatkan masyarakat pada aman, nyaman, tertib, lancar dan selamat dalam berkendaraan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah perhatian pemerintah dan pemerintah daerah terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana jalan, pasti akan ikut mempengaruhi circumstances (kondisi internal dan eksternal) pengemudi dalam berlalu lintas, sebagaimana ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang memerintahkan agar setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, berupa : rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat, dan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.
Sambil menunggu progres report pemerintah, termasuk di dalamnya adalah Kepolisian dalam merealisasikan reformasi, kalau perlu revolusi di bidang sistem transportasi nasional, kiranya kerjasama lintas sektoral, lintas departemen dan lintas elemen masyarakat lainnya dalam upaya penegakan hukum dan pendidikan berlalu lintas akan sangat membantu masyarakat untuk peduli pada keselamatan berlalu lintas dan angkutan jalan.

b. Menurut saya UUKA telah mengakomodir semua kejadian apabila terjadi kecelakaan Kereta api. Karena didalamnya secara universal telah memuat tentang, hak, kewajiban, tanggung jawab, wewenang, kewajiban bagi pihak yang terkait dalam kasus kecelakaan kereta api

c. Menurut saya, ketentuan UUKA dapat diimplementasikan seluruhnya, kecuali tekait dengan human error dimana keadaan tersebut tidak segera mendapat perhatian yang serius dari segenap elemen bangsa ini, maka lambat-laun akan membentuk karakteristik yang sangat tidak menguntungkan bagi kemajuan bangsa Indonesia, karena tingkat disiplin yang rendah dari Kepolisian dan masyarakat tergambar jelas di jalan raya. Karena undang-undang dapat terlaksana/ diimplementasikan dengan baik jika struktur, kultur dan substansinya baik.













TUGAS UTS
HUKUM PENGANGKUTAN








Oleh :
Humaira ( 07400275)



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
2010

INTERAKSI ANTARA PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN HUKUM



A. PENDAHULUAN
Manusia, sejak lahir telah dilengkapi dengan naluri untuk hidup bersama dengan orang lain, karena itu akan timbul suatu hasrat untuk hidup teratur, yang mana teratur menurut seseorang belum tentu teratur buat orang lain sehingga akan menimbulkan suatu konflik. Keadaan tersebut harus dicegah untuk mempertahankan integrasi dan integritas masyarakat. Dari kebutuhan akan pedoman tersebut lahirlah norma atau kaedah yang hakekatnya muncul dari suatu pandangan nilai dari perilaku manusia yang merupakan patokan mengenai tingkah laku yang dianggap pantas dan berasal dari pemikiran normatif atau filosofis, proses tersebut dinamakan Sosiologi. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan pola perilaku masyarakat dengan adanya proses pengkhususan atau spesialisasi maka tumbuhlah suatu cabang sosiologi yaitu Sosiologi hukum yang merupakan cabang dari ilmu ilmu-ilmu hukum yang banyak mempelajari proses terjadinya norma atau kaedah (hukum) dari pola perilaku tertentu.

B. PEMBAHASAN
Penerapan Hukum dan Perubahan Masyarakat
Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ”bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.

Konflik dan Perubahan Hukum
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses kehidupan manusia. Dari sudut mana pun kita melihat konflik, bahwa ”konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial”.
Di dalam kenyataan hidup manusia dimana pun dan kapan pun selalu saja ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan sehingga proses yang demikian itulah mengarah kepada perubahan hukum.
Relf Dahrendorf (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan yang ada di mana-mana, disensus dan konflik terdapat di mana-mana, setiap unsur masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi ).
Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara cermat sasarannya adalah perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem hukum yang berlawanan dengan kepentingannya, sebagaimana halnya penjajahan antara bangsa-bangsa di dunia ini sangat jelas membawa perubahan termasuk perubahan sistem hukum. W.Kusuma menyatakan bahwa ”perubahan hukum adalah termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang menghendaki suatu pranata-pranata pengadilan sosial terkuasai demi tercapainya tujuan-tujuan mereka serta untuk memaksakan dan mempertahankan sistem hubungan sosial yang khusus.
Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata Cuma seperangkat aturan statis melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat moderen, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakteristik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu adalah senantiasa produk konflik.

Hukum sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat di sini adalah dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change (pelopor perubahan). Yang dimaksud dengan agent of change ini adalah seorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk mempengaruhi masyarakat dalam mengubah sistim sosial, teratur dan direncanakan terlebih dahulu yang dinamakan dengan social engineering atau social planning.
Perubahan-perubahan yang direncanakan dan dikehendaki oleh warga masyarakat sebagai pelopornya merupakan tindakan-tindakan yang penting dan mempunyai dasar hukum yang sah. Akan tetapi hasil yang positif tergantung pada kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya disorganisasi sebagai akibat dari perubahan yang terjadi untuk memudahkan proses reorganisasi. Kemampuan membatasi terjadinya reorganisasi tergantung pada suksesnya proses pelembagaan dari unsur-unsur baru yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. berhasil tidaknya proses pelembagaan tersebut mengikuti formula sebagai berikut:
Proses pelembagaan = (Efektifitas menanamkan - (kekuatan yang menentang dari
Unsur-unsur baru) Masyarakat)

Kecepatan menanamkan unsur-unsur baru
Efektifitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat. Kekuatan menentang dari masyarakat itu mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan. Kekuatan menentang dari masyarakat mungkin timbul karena pelbagai faktor, antara lain:
1)Mereka, yaitu bagian terbesar dari masyarakat tidak mengerti akan kegunaan akan unsur-unsur baru tersebut.
2)Perubahan itu sendiri, bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ada dan berlaku.
3)Para warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya tertanam dengan kuatnya cukup berkuasa untuk menolak suatu proses pembaharuan.
4)Risiko yang ditimbulkan sebagai akibat dari perubahan ternyata lebih berat dari mempertahankan ketentraman sosial yang ada sebelum terjadinya perubahan.
5)Masyarakat tidak mengakui adanya wewenang dan kewibawaan para pelopor perubahan.
Kiranya proses pelembagaan yang berhasil sebagai mana terurai di atas tidaklah terlalu mudah terlaksana apabila diterapkan dalam hukum.
Untuk jelasnya akan dikemukakan suatu contoh yang diambil dari hukum adat Minangkabau, terdapat 4 macam adat, yaitu: a. Adat nan sabana b. Adat nan diadatkan. c. Ada nan teradat. d. Adat-istiadat Adat nan sabana adalah segala sesuatu yang terjadi menurut kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, dan telah merupakan Undang-undang alam yang selalu abadi dan tidak berubah-ubah. Adat nan diadatkan merupakan adat yang telah disusun dan dibuat oleh dua oraang ahli pengatur tata alam Minangkabau, yaitu Datuk Ketumanggungan beserta Datuk Pepatih Nan Sabatang. Adat nan teradat berarti adat yang dipakai sesuai dengan situasi setempat. Adat-istiadat berarti menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk menurut aturan setempat. Disini orang dianjurkan untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah setempat (conformity). Hal ini perlu dilakukan oleh karena apabila hukum tidak dilaksanakan seluruhnya atau sebagian oleh warga-warga yang terkena oleh aturan-aturan tadi, maka wewenang atau kewibawaan pembentuk hukum, penegak hukum, dan hukum itu sendiri berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Apabila dianalisa sebab-sebab yang dapat menjadi pendorong bagi orang-orang desa untuk meninggalkan daerah tempat tinggalnya adalah antara lain;
1) Lapangan kerja di desa terbatas, yaitu terutama dalam bidang pertanian.
2) Penduduk desa, terutama kaum muda-mudi, merasa tertekan oleh adat istiadat yang ketat mengakibatkan cara hidup yang monoton.
3) Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan.
4) Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang spiritual kurang sekali dan kalau juga ada, perkembangannya sangat lambat.
5) Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain dari pada bertani, seperti misalnya kerajinan tangan tentu menginginkan pasaran yanglebih luas bagi hasil produksinya yang mungkin tak diperoleh di desa.
Sebaliknya, akan dijumpai pada faktor daya tarik kota seperti misalnya:
11) Penduduk desa kebanyakan dihinggapi suatu anggapan (yang kekiru) bahwa di kota banyak pekerjaan serta banyak penghasilan.
22) Modal di kota lebih banyak dari pada di desa.
33) Pendidikan lebih banyak di kota, dan lebih mudah untuk di peroleh.
44) Kota dianggap sebagai tempat yang mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan sosial.
5)Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
Hubungan Antara Perubahan-perubahan Sosial dengan Hukum
Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor saja, yaitu faktor interen antara lain pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (konflik); atau juga karena terjadinya suatu revolusi. Sedangkan ekstern meliputi sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan sebagainya. Hal-hal yang mempermudah atau memperlancar terjadinya perubahan sosial antara lain adalah apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, sistim lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan masyarakat terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya.
Sedangan faktor-faktor yang memperlambat terjadinya perubahan sosial antara lain sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau (teradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing dan sebagainya.
Sebaliknya dalam perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badang pelaksana hukum.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Dan jika hal semacam ini terjadi maka terjadilah suatu “social lag” yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidak seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosialnya atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakekatnya merupakan suatu gejala wajar didalam masyarakat bahwa terjadi perbedaan antara pola-pola perilakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakekatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang. Tertinggalnya hukum pada bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu. Suatu contoh dari adanya lag dari hukum terhadap bidang-bidang lainnya adalah hukum perdata (barat) yang sekarang berlaku di Indonesia.
Tertinggalnya hukum oleh perkembangan bidang-bidang lainnya seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Misalnya dalam KUHP (psl 534) tentang pelanggaran kesusilaan dapat menghambat pelaksanaan-pelaksanaan program Keluarga Berencana di Indonesia. Selain itu, tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya anomie, yaitu suau keadaan yang kacau, oleh karena tidak ada pegangan bagi para warga masyarakat untuk mengukur kegiatannya. Misalnya saja tidak ada hukum perkawinan yang mengatur hubungan perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.
Sebaliknya pengaruh hukum terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luar biasa, misalnya hukum waris. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Dan apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung.

C. PENUTUP
1. Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu.
2. Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
3. Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
4. Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ” bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.
D. DAFTAR PUSTAKA
Soekanto SH. MA, DR Soerjono. (1999). Pokok Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soedjono D, SH. (1982). Sosiologi Untuk Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Tarsito.
Dr. Saifullah, SH,M.Hum. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: PT Refika Aditama.



TUGAS UTS
SOSIOLOGI HUKUM
{INTERAKSI ANTARA PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN HUKUM}





Oleh :
Humaira ( 07120010)


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
2010

KASUS PERKERETAAPIAN

2001
25 Desember 2001, sekitar jam 04.33, Kereta api 146 Empu Jaya menabrak Kereta api 153 Gaya Baru Malam Selatan yang sedang menunggu bersilangan di sepur 3 emplasemen stasiun Ketanggungan Barat, Brebes. Tabrakan tersebut terjadi dikarenakan KA 146 melanggar sinyal masuk stasiun Ketanggungan Barat yang beraspek merah (tanda bahwa kereta harus berhenti). Peristiwa ini mengakibatkan 31 orang tewas dan 53 lainnya luka berat termasuk masinis dari KA 146.
2002
10 Juni 2002, jam ± 11:45 WIB, rangkaian langsiran lokomotif BB.306.15 yang membawa 7 rangkaian gerbong semen (KKW) bertabrakan dengan rangkaian KA batu bara nomor KA-2807 lokomotif BB.204.10 yang membawa 8 gerbong batubara (KKBW) dan lokomotif pendorong BB.306.14. Tabrakan terjadi di perlintasan Koto Luar di kilometer 11+450 petak jalan Pauhlima – Indarung.
2003
3 Januari 2003, 04:45, kereta api 73 Bima jurusan Surabaya - Gambir anjlok di Km 312+8/9 Emplasmen Stasiun Bumiayu, Wesel no. 13A Petak jalan antara Stasiun Kretek – Linggapura Lintas Kroya - Cirebon. Tidak ada korban jiwa.
21 April 2003, 14:25, rangkaian kereta api barang batubara rangkaian panjang (Babaranjang) anjlok di Km 8 + 470/ petak jalan antara Stasiun Tanjung Karang – Tarahan Desa Sumur Putri, Kecamatan Garuntang, Bandar Lampung. Tidak ada korban jiwa.
14 Mei 2003, 12:40, rangkaian KA 107 jurusan Surabaya – Yogyakarta Tugu anjlok di km 204. Tidak ada korban jiwa.
30 Mei 2003, 09:27, kereta api 122 Fajar Utama Semarang anjlok di Km 156 + 0/3 emplasemen Stasiun Kadokangabus petak jalan antara Stasiun Cilegeh – Kadokangabus, Kabupaten Indramayu. Tidak ada korban jiwa.
30 Juli 2003, 00:35, rangkaian KA 1404 yang membawa bahan bakar minyak (BBM) Pertamina dengan total l berat rangkaian 855 ton anjlok dan beberapa gerbong terguling. Tidak ada korban jiwa.
1 Agustus2003, 09:40, kereta api 84 Kamandanu rute Jakarta Gambir - Semarang Tawang anjlok di Km 52+600 s/d 53+100 petak jalan antara Stasiun Lemahabang - Kedunggedeh Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi. Sebanyak 6 penumpang luka berat dan 12 penumpang luka ringan.
27 Oktober 2003, 12:05, kereta api Argo Bromo Anggrek rute Surabaya Pasar Turi – Jakarta Gambir anjlok di Km 38 + 420 petak jalan antara Stasiun Karangjati – Gubug, Kabupaten Grobogan.
2006
Kereta api Serayu anjlok pada 21 April 2007 mengakibatkan 46 korban luka
13 Desember 2006, kereta eksekutif Sawunggalih, rute Kutoarjo-Jakarta, anjlok di Karangsari, Cilongok, Banyumas. Tidak ada korban.
11 Desember 2006, kereta Mutiara Timur, rute Surabaya-Banyuwangi, anjlok di desa Randu Agung, Klakah, Lumajang. Tidak ada korban.
1 November 2006, kereta eksekutif Parahiyangan, rute Bandung Jakarta, anjlok di Kampung Babakan, Tanjung Pura, Karawang. Tidak ada korban.
14 April 2006, Sebuah kereta api bermuatan CPO atau minyak sawit mentah yang sedang berjalan pelan ditabrak dari belakang oleh kereta api serupa di desa Fortuna Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Dua orang penumpang tewas dalam kejadian ini.
16 April 2006, Grobogan, 02.15 dini hari. Kereta api Kertajaya dengan masinis Nurhadi bertabrakan dengan kereta api Sembrani dengan masinis Muhadi. Sebanyak 14 orang tewas. Bermula dari KA Kertajaya yang masuk ke Stasiun Gubug dari arah Jakarta. Saat itu, Kertajaya masuk di Jalur 1. KA Gumarang kemudian masuk ke Stasiun Gubug di jalur 2. Setelah Gumarang melintas, seperti tidak sabar, KA Kertajaya nyelonong keluar stasiun dan masuk ke jalur 2. Padahal, saat itu KA Kertajaya belum diberi aba-aba untuk jalan. Ketika KA Kertajaya masuk ke jalur 2 tiba-tiba KA Sembrani dengan masinis Muhadi datang dari arah Jakarta dengan kecepatan tinggi, dan tabrakan hebat pun tak dapat dihindari.
18 April 2006, kereta rel listrik Pakuan jurusan Jakarta-Bogor menabrak Metromini S-64 jurusan Pasar Minggu-Cililitan. Lima orang meninggal di tempat, seorang meninggal di rumah sakit, sedangkan satu orang lainnya masih dalam kondisi kritis. Peristiwa itu terjadi saat Metromini hendak melewati perlintasan kereta api Duren Kalibata, Jakarta Selatan, di bawah fly over Kalibata sekitar pukul 3 sore. Menurut seorang saksi mata, kecelakaan itu terjadi sebab laju Metromini tertahan karena tepat di depannya ada angkutan lain yang sedang berhenti. Meski sopir sudah membunyikan klakson berkali-kali supaya angkutan lain maju, tapi tidak dihiraukan.
2007
KA Gumarang yang anjlok pada 12 Agustus 2007. Kecelakaan terjadi karena rel kereta digergaji yang diduga oleh aksi sabotase
2 Januari 2007, kereta komuter 241 rute Jakarta-Bojong Gede anjlok di jalur 10 Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat. Tidak ada korban.
16 Januari 2007, subuh, rangkaian kereta api Bengawan jurusan Solo-Tanahabang terputus di Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Lima orang penumpang dilaporkan tewas, ratusan lainnya luka-luka akibat insiden ini. Dari jumlah korban tewas sebanyak 5 orang, tiga di antaranya berhasil diidentifikasi. KA Bengawan membawa 12 gerbong, gerbong 4 jatuh ke sungai, sedangkan gerbong 5 sampai dengan 12 miring di atas rel. [1]
24 Januari 2007, 16:00 WIB, kereta api diesel jurusan Jakarta Kota-Rangkasbitung membawa 7 gerbong penumpang anjlok di stasiun Palmerah. Tidak ada korban.
29 Januari 2007, kereta ekonomi Bengawan, rute Solo-Jakarta, anjlok di Stasiun Bangodua, Klangenan, Cirebon. Tidak ada korban.
31 Januari 2007, kereta bisnis Sancaka, rute Surabaya-Yogyakarta, anjlok di Nganjuk, Jawa Timur. Tidak ada korban.
2 Februari 2007, 08:20 WIB, kereta api penumpang Sri Bilah (masinis M. Amin, 45 tahun) bertabrakan dengan kereta api barang lokomotif BB 30334 (masinis Asmawan, 40 tahun), di pintu lintasan keluar Stasiun Rantau Prapat, Sumatera Utara. Dugaan awal, penyebab terjadinya tabrakan karena petugas lalai memindahkan jalur rel keluar masuk kereta api. Tabrakan ini mengakibatkan 9 orang luka berat dan 26 luka ringan. [2]
25 Maret 2007, 10:00 WIB, Kereta api Rapih Dhoho jurusan Blitar-Surabaya menabrak truk gandeng bermuatan pupuk di desa Sumbergarum, kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, 1,5 km dari stasiun Garum. Di lokasi kecelakaan diketahui tidak memiliki pintu perlintasan kereta api. Tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan ini tetapi mengakibatkan lumpuhnya lalu lintas kereta api di jalur setempat.[3]
26 Maret 2007, 15:27 WIB, Kereta Api Mutiara Timur dari Banyuwangi dengan tujuan Surabaya, menabrak tiga buah mobil dan satu sepeda motor. Pintu kereta api tidak tertutup dan sirene tidak berbunyi. Akibatnya tiga orang meningal dunia dan lima orang lainnya luka-luka.Surya Online
7 April 2007, pk. 03.10, Kereta api Tawang Jaya jurusan Jakarta-Semarang anjlok di Surodadi, Kabupaten Tegal menyebabkan tewasnya seorang bayi 8 bulan, sementara 14 penumpang lainnya cedera.Surya Online
21 April 2007, 03.35, Kereta api Serayu jurusan Senen-Kroya anjlok di Cilengkrang, Cibatu, Garut, Jawa Barat. Sebanyak tiga gerbong jatuh ke jurang sedalam 30 meter yang ada di pinggiran rel kereta. 40 orang terluka serta 6 orang lainnya luka berat.[4]
21 April 2007, 12.15, Kereta api Argo Lawu jurusan Solo-Gambir anjlok di daerah Purwokerto. Tak ada korban yang jatuh.[5]
5 Agustus 2007, sebanyak 14 dari 20 gerbong kereta api bermuatan semen jurusan Indarung-Teluk Bayur terguling di kawasan Kampung Juar, Padang, Sumatra Barat. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa yang belum diketahui penyebabnya itu.
12 Agustus 2007, kereta api Gumarang jurusan Surabaya-Jakarta di dusun Kramat, desa Mangunsari kecamatan Tegowanu kabupaten Grobogan. Belasan orang mengalami luka-luka. Kecelakaan diduga disebabkan oleh aksi sabotase yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Dugaan ini dikuatkan dengan adanya salah satu ruas rel yang dipotong dengan gergaji sepanjang lima meter dan baut penguncinya dilepas. Namun rel tersebut tidak diambil. Dibiarkan di tempatnya.
17 Agustus 2007, 16:05; sebuah kereta barang membawa 20 gerbang peti kemas dari Surabaya menuju Jakarta anjlok di stasiun pelabuhan, Batang, Jawa Tengah. [6]
Statistik
Dalam kurun Januari hingga April 2006 telah terjadi 6 kecelakaan kereta api di Indonesia. Menurut anggota komisi V DPR, Aboe Bakar Al-Habsy, dalam kurun waktu 4 bulan dari Januari hingga April 2006, telah terjadi enam kecelakaan kereta api. Sedangkan selama periode September 2001 sampai April 2006 telah terjadi 85 kecelakaan. [7]
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kecelakaan_kereta_api_di_Indonesia"

Kecelakaan Kereta Api
Murni Kecelakaan atau Sabotase Kelompok Tertentu?

Semarang - Dalam 10 bulan terakhir tahun 2007 ini, sejak Januari hingga Oktober, ada 101 kecelakaan kereta api di Jawa Tengah, kata Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Gatta Chaeruddin di Semarang, Jumat (26/10). Kasus terakhir adalah anjloknya satu gerbong kereta barang di Batang, sekitar 100 kilometer di sisi barat Semarang, minggu lalu.
“Kasus terparah adalah tergulingnya KA Gumarang di Tegowanu, Grobogan akibat pemotongan rel. Memang ada indikasi sabotase pada kasus itu. Lainnya adalah kecelakaan murni seperti kereta anjlok ada 13 kali, gerbong lepas satu kali, menabrak sepeda motor 11 kali, menabrak mobil tujuh kali, pelemparan batu, dan beberapa macam kecelakaan lainnya,” ujar Gatta.
Pada kasus tergulingnya KA Gumarang jurusan Surabaya–Jakarta pada 13 Agustus, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Tengah Komisaris Mashjudi menjelaskan bahwa polisi terus menyelidiki kasus itu. “Kami telah menangkap satu orang yang diduga kuat pelaku penggergajian rel berinisial J. Kami juga menangkap satu penadah barang curian itu,” tuturnya.
Di sisi lain, polisi juga terkejut ketika berhasil menangkap dua pelaku pencurian alat-alat rel di Gondangrejo, Kabupaten Karanyar. Dua pelaku adalah remaja belasan tahun yang rumahnya berada di dekat jalur kereta api. Sementara di Blora, polisi menemukan alat-alat rel yang dicuri ternyata akan dijadikan kapak pembelah kayu. “Empat pencuri di Blora itu adalah buruh tani. Mereka mengambil baut rel yang kendor. Kemudian mereka akan membuat kapak pembelah kayu dari baut tersebut,” ujar Mashjudi. Dengan berbagai kejadian itu maka rekor kereta api sebagai sarana transportasi yang paling aman di negeri ini menjadi ternoda. Bila semula kejahatan yang ada di kereta api adalah pencopetan, kemudian meningkat menjadi pelemparan batu – telah melukai belasan penumpang - kini merambah ke pencurian peralatan kereta api hingga pemotongan rel.
Risikonya, kereta bisa terguling. Nyawa taruhannya. Kecelakaan jenis ini telah direncanakan. Baik itu tidak sengaja – seperti pengakuan para pencuri peralatan rel – maupun yang disengaja. Sejauh ini belum ada konfirmasi yang jelas, adakah dalang penyebab kecelakaan kereta api yang bermotif sabotase itu? Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru hal itu nyaris tidak terdengar. Namun kini justru marak.
Apakah pencurian peralatan kereta api itu karena motif ekonomi? Dari keterangan para pencuri mereka menjual besi curian itu seharga Rp 2.300–3.000 per kilogram. Harga sangat murah dibandingkan risiko kecelakaan kereta api yang bisa timbul. “Kami telah menangkap 20 pencuri itu. Dari hasil penyelidikan polisi, motif mereka karena kebutuhan ekonomi,” kata Mashjudi.
Para pencuri itu beraksi di delapan daerah. Mereka melakukan tindak kriminal itu sendiri-sendiri dan tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. “Mereka bukan jaringan sindikat dan tidak saling mengenal,” jelasnya.
Para pelaku pencurian itu dua orang dari Karanganyar, tiga orang dari Surakarta, empat orang dari Blora, tiga orang dari Tegal, satu orang dari Gubug Grobogan, dua orang dari Semarang, dua orang dari Brebes, dan tiga lainnya dari Banyumas. Mereka akan dijerat pasal 363 KUHP tentang pencurian. Untuk menanggulangi pencurian peralatan kereta api itu, polisi akan menandatangani kerja sama dengan beberapa pihak agar kasus itu bisa diperkecil.
30 Kali Kasus pencurian peralatan kereta api seperti penambat rel, baut rel, bahkan rel itu sendiri, terjadi sekitar 30 kali dalam tahun 2007 ini. Kasus itu saja hanya yang terjadi di jalur utara mulai dari Tegal hingga Bojonegoro, kata Humas PT Kereta Api Daerah Operasi IV Semarang Warsono.
“Kami telah mengambil langkah antisipasi pencurian peralatan kereta api itu. Jadwal pengecekan rel kereta api kami tambah. Biasanya satu hari hanya satu atau dua kali, kini kami tambah menjadi tiga sampai empat kali. Pencurian penambat dan baut rel itu sangat membahayakan keselamatan penumpang kereta api,” ujar Warsono.
Upaya pengecekan rel secara elektrik sudah dilakukan untuk jalur Semarang–Jakarta sehingga jalur itu cukup aman. Bila ada sesuatu yang tidak beres di jalur itu, alarm akan berbunyi sehingga kasus yang terjadi bisa segera diketahui.
Namun, pada jalur lainnya dari Semarang ke timur hingga Bojonegoro dan Surabaya masih menggunakan mesin mekanik. Oleh karena itu, bila ada ketidakberesan di rel tidak segera diketahui. Akibatnya pencurian peralatan rel di jalur timur sering terlambat diketahui.n

Pelemparan Batu Pada Kereta Api
Seringnya pelemparan batu pada kereta api adalah akibat perbuatan iseng tangan jahil yang kebanyakan dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Tanpa disadari oleh mereka bahwa akibat perbuatannya tersebut membuat kerugian materil / harta dan korban orang terluka yang tidak sedikit, bahkan dapat menghambat perjalanan kereta api.
Catatan di wilayah DAOP 3 Cirebon pada tahun 2008 diperoleh data bahwa kerugian materil akibat pelemparan batu sebanyak 497 kaca pecah dan membutuhkan biaya sebesar 278 juta rupiah untuk penggantian kaca, belum termasuk 3 penumpang dan 1 orang masinis luka-luka. Penumpang dan petugas yang terluka tersebut harus dirawat di rumah sakit dan menambah kelambatan kereta api Cirebon Ekspres hingga 30 menit untuk menunggu masinis pengganti.
Dalam tahun 2008, DAOP 3 Cirebon telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di daerah rawan pelemparan batu melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) dengan memberikan sumbangan berupa peralatan olah raga dan bantuan renovasi tempat ibadah. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan resiko-resiko akibat pelemparan batu dan mengharapkan agar masyarakat ikut peduli membantu pengawasan terhadap tangan-tangan jahil yang melakukan pelemparan batu. Hasilnya adalah di wilayah DAOP 3 Cirebon kasus pelemparan batu menurun dari 18 kasus tahun 2007 menjadi 8 kasus pada tahun 2008.
Sayangnya keberhasilan untuk menurunkan kasus pelemparan batu di wilayah DAOP 3 Cirebon tidak dibarengi dengan keberhasilan di wilayah DAOP lainnya (khususnya DAOP 1 Jakarta). Seperti diketahui bahwa KA Argo Jati dan KA Cireks dengan trayek Cirebon – Gambir PP sebanyak 14 perjalanan per hari, pemeliharaannya menjadi tanggung jawab DAOP 3 Cirebon. Hasil evaluasi membuktikan turunnya kasus pelamparan batu di wilayah DAOP 3 Cirebon ternyata tidak menurunkan jumlah kaca pecah akibat pelemparan bahkan terjadi peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 413 kaca pecah menjadi 497 kaca pecah pada tahun 2008 yang kebanyakan terjadi di wilayah DAOP lain.
Kaca kereta terdiri dari 13 macam ukuran dengan ketebalan yang sangat jarang terdapat di pasaran maka sangat sulit melakukan pengadaan kaca jendela / pintu kereta serta membutuhkan waktu cukup lama untuk pemesanan. Salah satu cara untuk menekan kasus pelemparan batu adalah melakukan sosialisasi dengan melibatkan pihak Pemerintah Daerah, Kepolisian, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga pendidikan / sekolah dan masyarakat sekitar jalan rel. Sosialisasi semacam ini dinilai cukup efektif walaupun untuk kurun waktu tertentu kemudian marak kembali, namun setidak-tidaknya dapat mengurangi dampak kerugian materil / harta dan penumpang terluka.
Lokasi-lokasi kasus pelemparan batu biasanya dapat dikenali dan diidentifikasi oleh penumpang yang setia menggunakan kereta api bahkan sudah hafal lokasi-lokasi tersebut dibuktikan dengan mereka akan menutup gorden jendela jika melewati daerah tertentu dan membuka kembali jika sudah melewati daerah tersebut. Jika pihak PT KA (Persero) berkata belum atau tidak mengetahuinya maka disimpulkan bahwa perusahaan tidak peduli terhadap keamanan penumpang.
Masalah kasus pelemparan batu yang merugikan perusahaan tersebut tidak hanya menjadi permasalahan DAOP 3 Cirebon saja tetapi hampir semua DAOP memiliki permasalahan tersebut. Data kerugian materil / harta akibat pelemparan batu tahun 2008 untuk seluruh lintas di Jawa kurang lebih mencapai 4 milyar rupiah belum termasuk biaya perawatan / kompensasi penumpang luka-luka walaupun ditanggung oleh pihak PT  Jasa Raharja.
Masyarakat tidak akan mengetahui kerugian tersebut tanpa adanya sosialisasi dari pihak PT KA (Persero) dan hanya akan menganggap bahwa kasus tersebut adalah peristiwa insidentil saja, padahal sesungguhnya kasus pelemparan batu semakin lama menjadi semakin kronis dan terbiasa dilakukan. Peran serta masyarakat akan terjalin jika ada informasi dan komunikasi antara masyarakat dan perusahaan selain adanya saling pengertian kedua pihak untuk saling menguntungkan dan memperhatikan kepentingan masing-masing.
Program CSR adalah cara yang paling efektif saat ini asalkan dilakukan secara berkesinambungan dan bukan cara yang sekali jalan terus ditinggalkan. Permasalahan kasus pelemparan batu harus dilakukan secara intensif dan serius serta melibatkan struktur penegak hukum / unsur pemerintah daerah.
Salah satu cara yang lain adalah menambah KA-KA kelas ekonomi lokal yang berhenti hampir di semua stasiun besar dan kecil agar pelayanan jasa transportasi kereta api dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan. Dengan kemudahan menikmati layanan jasa transportasi kereta api maka rasa kecintaan dan rasa ikut memiliki kereta api akan dirasakan oleh semua lapisan sehingga tanggung jawab moral terhadap keselamatan, keamanan dan ketertiban perjalana kereta api akan menjadi tanggung jawab bersama.
Hilangnya KA-KA ekonomi lokal seiring dengan adanya perubahan status perusahaan dari Perjan menjadi Perum dan kemudian menjadi Perseroan membawa efek perubahan pola pelayanan dari “public service” menjadi “profit-oriented”. Dampaknya adalah perusahaan hanya menjalankan KA-KA kelas eksekutif dan bisnis yang dianggap “profit” dan tidak berhenti di stasiun-stasiun kecil, berakibat masyarakat pedesaan yang notabene golongan “ekonomi lemah” tidak dapat menikmati layanan jasa transportasi kereta api yang semakin “eksklusif”. Wajar jika mereka merasa tidak ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan dan ketertiban perjalanan kereta api.
Permasalahan mengoperasikan KA-KA ekonomi lokal bukan hanya tanggung jawab PT KA (Persero) tetapi pemerintah juga memegang andil yang sangat besar melalui Direktorat Jendral Perkeretaapian karena jelas bahwa menjalankan KA-KA ekonomi lokal akan mengakibatkan “kerugian” pada perusahaan. Untuk mencapai hasil “balance” antara pemerintah dan perusahaan maka regulasi dan implementasi pembayaran PSO (Pre Sevice Obligation) KA-KA ekonomi harus dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah sebagai salah satu “subsidi” pemerintah kepada masyarakat bawah.
Kesimpulannya adalah jika pemerintah dan perusahaan dapat bekerja sama dengan baik, khususnya dalam mengatasi permasalahan pelemparan batu yang mengakibatkan kerugian materil / harta dan korban manusia akan dapat diminimalisir.
Selanjutnya kita hanya menunggu niat baik pemerintah (cq. DITJENKA) dan PT KA (Persero) untuk memberikan rasa aman, nyaman dan pelayanan yang lebih baik kepada pengguna jasa transportasi kereta api untuk semua lapisan masyarakat yaitu kalangan atas, menengah dan bawah serta menjadikan transportasi kereta api menjadi tulang punggung transportasi darat secara massal sehingga dapat lebih menumbuh-kembangkan perekonomian nasional sesuai amanat dalam UU 23 tahun 2007.
Kompas, Senin, 18 September 2000
Kecelakaan KA Akibat Lalaikan Prosedur
Dalam dunia perkeretaapian, kecelakaan yang dianggap paling konyol adalah tabrakan antara dua lokomotif berhadapan (head to head). Asumsinya, masing-masing masinis berada di posisi paling depan dan paling tahu keadaan serta bisa segera bertindak jika ada hal-hal yang membahayakan, misalnya, ada kereta lain di depan.
Kecelakaan jenis lain, misalnya, terguling akibat rel bergeser, atau bahkan menabrak KA dari belakang, dianggap masih lebih rendah derajatnya daripada head to head. Memang bisa saja terjadi head to head akibat kesalahan arah karena "salah wesel", artinya perangkat wesel memindahkan arah ke rel yang ada keretanya. Tetapi, itu jarang terjadi, sebab umumnya kereta api mengurangi kecepatannya kalau masuk stasiun, terutama kalau ada tanda masuk rel belok.
Kecelakaan di Plabuan, Jawa Tengah, menggugah kembali rasa prihatin masyarakat akan memburuknya pelayanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) akhir-akhir ini. Dengan kondisi yang relatif sama, baik sarana dan prasarana, dibanding sekitar 10 tahun lalu keadaan perkereta apian kita kini sungguh memprihatinkan.
Kereta api berubah menjadi monster menakutkan karena kecelakaan beruntun yang membawa korban jiwa seolah tidak bisa dihentikan oleh manajemennya. Bahkan ada kesan, semua kesalahan ditimpakan pada pihak lain, baik itu peralatan atau-paling sering-manusianya. Teori memang menyebutkan, dari setiap kecelakaan, 80 persen penyebabnya adalah faktor manusia, sementara peran cuaca, perangkat teknik dan sebagainya tidak terlalu besar.
Dari penelusuran awal, boleh dikatakan kecelakaan di Plabuan itu akibat kesalahan masinis KA 162 Tawangjaya, kereta api kelas ekonomi Pasarsenen (Jakarta)-Poncol (Semarang). Ia, tanpa seizin PPKA (pemimpin perjalanan KA) Stasiun Plabuan, menjalankan keretanya dan melanggar rambu lampu merah sinyal keluar stasiun Plabuan. Padahal di arah lawan sedang berhenti KA 179 Parcel Surabaya-Pasarsenen di depan sinyal masuk. Akibatnya terjadi tubrukan di tikungan sekitar dua kilometer sebelah timur Stasiun Plabuan, atau sekitar 53 kilometer dari Semarang.
Masinis KA Tawangjaya, Abdulkamid, belum bisa ditanyai karena masih dirawat di rumah sakit akibat luka serius di kepalanya. Tetapi saksi-saksi, terutama setting sinyal keluar yang mengisyaratkan tidak aman untuk KA Tawangjaya dan keterangan Kepala Stasiun Plabuan, Ahmad Jahid, menjuruskan tuduhan bahwa masinis menjalankan KA tanpa izin. Tindakan masinis menjalankan KA Tawangjaya ini semula dikira cuma mem-prepal-kan (mengingsutkan KA sampai batas berhenti di ujung peron), bukan langsung menuju stasiun berikut, Krengseng.
KA Tawangjaya berhenti di Stasiun Plabuan secara BLB (berhenti luar biasa) hanya untuk menurunkan pegawai KA yang harus bertugas di sekitar stasiun yang sangat terpencil itu, lalu meneruskan perjalanan lagi. Masinis sudah diberi tahu akan adanya persilangan dengan KA Parcel di Plabuan oleh PPKA Stasiun Kuripan, ketika singgah pukul 06.07. Jadi menurut prosedur yang sudah dijalankan sejak Kuripan, Tawangjaya memang seharusnya berhenti di Plabuan.
PPKA Plabuan bukannya diam saja ketika melihat Tawangjaya menerobos sinyal. Ia melakukan kontak radio, tetapi ternyata radio lokomotif Tawangjaya tidak menyahut, mungkin rusak atau dimatikan.
***
OPERASIONAL KA, di mana pun, harus melalui rentetan prosedur keselamatan standar yang tumpang-tindih, saling mem-back up, sehingga kalau satu gagal, prosedur berikut masih bisa difungsikan. Saat ini disiplin mematuhi prosedur di PT KAI sudah menurun drastis, banyak prosedur yang dipotong dengan alasan terlalu bertele-tele, tidak praktis dan tidak efisien.
Tingkat toleransi terhadap pelanggaran tata prosedur terjadi di semua level di perusahaan itu, tidak cuma di kalangan staf kantoran, tetapi lebih menonjol di lapangan. Karenanya tidak heran jika kemudian penyederhanaan ini malah berakibat kecelakaan.
Seorang PPKA harus menggunakan eblek hijau untuk memberi tanda KA boleh meneruskan perjalanannya, tetapi tidak sedikit PPKA yang hanya melambaikan topi merahnya untuk memberi isyarat aman. Atau sekip, tanda berwarna merah yang dipasang di kereta paling belakang, kini tidak berbentuk oval lagi, tetapi sudah beragam, tergantung siapa yang bikin, padahal itu diatur jelas dalam reglement KA.
Atau ada petugas pintu perlintasan KA dengan jalan raya yang dilayani oleh seorang anak kecil, sementara petugas aslinya entah ke mana. Ketika seorang pimpinan PT KAI dilapori hal itu, enteng saja ia menjawab, "Mungkin si petugas sedang ke belakang, dan nyatanya juga ndak apa-apa, tuh".
Kasus di Cangkring, atau Serpong, atau Plabuan, mencerminkan buruknya pengelolaan sumber daya manusia PT KAI oleh manajemennya. Prosedur keselamatan oleh pimpinan yang selalu keliling dan bertemu karyawan, diucapkan dalam bahasa "tinggi", bahasa yang kurang dipahami karyawan kelas bawah seperti masinis atau juru api. Apalagi kata kunci "keselamatan" tidak disertai dengan petunjuk pelaksanaan berupa penekanan ketaatan pada prosedur.
Masinis memang selalu jadi kambing hitam paling empuk. Sudah kena CO (commissie van onderzoek - pemeriksaan internal), juga bisa kena pidana kalau menyangkut nyawa manusia. Dan secara kasat mata, mereka memang salah, menjalankan KA tanpa taat prosedur.
Misalnya, kecelakaan di Ciganea, Cangkring, atau Kosambi dinihari 18 April 2000, masinisnya mengaku tertidur karena habis minum obat antiflu. Beberapa kasus memang memberi alasan demikian, apalagi peristiwanya sering terjadi pada dinihari atau pagi hari, saat orang normal tidak bisa menahan kantuk.
Dalam peristiwa Plabuan, masinis Abdulkamid naik di Cirebon menggantikan masinis KA Tawangjaya dari Jakarta, sekitar pukul 01.00. Tetapi catatan di Griyakarya, penginapan untuk masinis di Cirebon, tak ada nama Abdulkamid, sehingga ia diperkirakan baru saja turun dari KA yang datang dari Semarang, langsung memegang akselerator di KA Tawangjaya ke Semarang.
Menurut perkiraan pejabat PT KAI di Cirebon, Abdulkamid ke Cirebon dalam status LD (luar dinas), menumpang kereta api kelas ekonomi dari Semarang. LD ini tidak diperhitungkan sebagai jam dinas, meskipun nyatanya juga menurunkan stamina, karena perjalanan antara dua kota itu dengan KA kelas ekonomi rata-rata enam jam. Bisa diperkirakan, Abdulkamid mulai kerja dengan kondisi tidak segar karena kecapaian setelah menempuh perjalanan dari Semarang.
Perkembangan selanjutnya, bisa saja Abdulkamid beranggapan bahwa karena BLB di Plabuan, ia tidak perlu mendapat semboyan aman dari PPKA Plabuan, sementara lampu merah pada sinyal bisa jadi rusak seperti biasanya. Apalagi di Kuripan ia hanya diberi tahu lisan, tidak mendapat surat PTP (pemberitahuan pemindahan tempat persilangan) yang biasanya diberikan petugas stasiun kepada masinis jika terjadi perubahan tempat persilangan.
***
PERPENDEKAN atau penyederhanaan prosedur yang dilakukan baik oleh masinis atau petugas depo lokomotif, sangat potensial untuk menyebabkan kecelakaan fatal. Di dalam lokomotif ada perangkat keamanan yang namanya deadman pedal. Pedal ini harus diinjak dan dilepas tiap beberapa menit, karena kalau terlambat melepas atau menginjak, alarm akan berbunyi dan kalau dibiarkan saja, rem akan otomatis bekerja, kereta berhenti tiba-tiba.
Pedal ini dibuat sebenarnya sebagai no go item dalam dunia penerbangan, tak boleh diberangkatkan kalau item ini tidak ada atau tidak bekerja baik. dengan dead man pedal, rem KA diprogram bekerja begitu sistem memperkirakan masinis tertidur akibat tidak mampu lagi "memainkan" pedal.
Banyak lokomotif dioperasikan dengan pedal tidak bekerja lagi, entah karena rusak atau sengaja dirusak, sebab dirasa merepotkan awak lokomotif. Akibatnya, kalau masinis tertidur, sistem pengaman yang rusak ini tidak bisa lagi menghentikan kereta api. Beberapa kasus tabrakan mengindikasikan masinis tertidur dan KA jalan sendiri, sementara penumpang tidak sadar akan bencana di depan.
Masinis seperti Abdulkamid yang kena dinas kelas ekonomi tidak jarang frustrasi, sebab kereta yang ditariknya lebih banyak singgah di stasiun-stasiun sepanjang perjalanan akibat harus memberi laluan kepada kereta api yang kelasnya lebih tinggi.
Sepanjang perjalanan Cirebon-Plabuan saja, tak ada stasiun atau halte yang tidak disinggahi dan masuk ke rel belok, karena ada KA lain yang harus diberi jalan baik dari arah depan maupun yang menyusul. Untuk jarak antara Cirebon-Semarang, KA kelas Argo menempuhnya hanya dalam waktu kurang dari tiga jam, sementara Tawangjaya ketika itu saja sudah berjalan sekitar lima jam, masih lebih satu jam lagi untuk sampai ke Stasiun Poncol di Semarang.
Jam kerja masinis seharusnya dibedakan dengan karyawan staf yang bisa bekerja terus selama delapan jam dikurangi jam istirahat. Melihat tanggung jawabnya yang besar, di beberapa negara maju masinis tidak boleh bekerja terus-menerus selama lebih dari empat jam. Pertimbangannya, daya tahan dan reaksi refleks, serta daya nalar mereka yang bekerja penuh konsentrasi akan menurun drastis selewat empat jam tadi, sehingga harus istirahat.
Masinis memang selalu disalahkan, tetapi perhatian untuk mereka juga sangat minim, meski tanggung jawabnya besar. Seperti Abdulkamid tadi, sesuai golongannya, ia tidak berhak naik kereta eksekutif saat LD atau menuju ke lokasi dinas. Paling tinggi ia bisa naik kelas bisnis dengan KAD (kartu angkutan dinas).
Bahkan masinis KA Argo Bromo Anggrek yang mewah dan selalu stres sewaktu menarik KA itu, kalau kembali ke tempatnya (base) tidak boleh naik kereta yang tadi ia tarik. Ia harus menunggu kereta berikut yang kelasnya jauh lebih rendah, tidak Argo Bromo, tidak Sembrani atau Bima, paling Jayabaya.
Gaji yang relatif kecil, sekitar Rp 500.000-Rp 700.000 membuat masinis berpenampilan dekil. Bukan cuma itu, umumnya mereka tinggal jauh dari stasiun yang terletak di luar kota sehingga perlu waktu dan biaya untuk menuju ke lokasi pekerjaan . Dan tidak sedikit yang punya kerja sampingan, misalnya, jadi tukang ojek atau jualan di teras rumahnya, untuk menutupi biaya hidupnya.
Akan tetapi, ngobyek di luar jam dinas masih bisa diterima aturan, meski dengan syarat tidak mempengaruhi kesiapan fisiknya dalam bertugas, tidak mengawali tugas dengan badan sudah capai. Banyak awak KA yang lebih suka ngobyek di tempat tugasnya, misalnya, masinis membiarkan orang naik lokomotif dengan membayar sejumlah kecil uang.
Kesejahteraan masinis, atau awak kereta api lain yang justru jadi ujung tombak perusahaan memang memprihatinkan. Tingkat hidup mereka sangat jauh berbeda dengan pimpinannya, bahkan dengan kepala-kepala seksi di daerah operasi, meski secara slip gaji, selisihnya tidak terlalu besar amat.
Kalau sudah demikian perlakuan pimpinan PT KAI kepada masinisnya, mestinya masyarakat juga bisa mempertanyakan, seperti canda versi Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red). "Bayarnya murah kok mau selamat...." (Moch S Hendrowijono)

SOAL UTS

JAWABAN :


1.Hubungan sumber hukum HAM internasional dan sumber hukum HAM nasional:
Hak asasi manusia internasional didasarkan pada konsep bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia warga negaranya, dan bahwa negara-negara lain dan masyarakat internasional mempunyai hak dan tanggung jawab untuk memprotes kalau kewajiban ini tidak dilaksanakan sesuai dengan harapan semula. Hukum hak asasi manusia internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur, dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap hak asasi manusia di semua negara di seluruh dunia.
Sekalipun hak asasi manusia internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur, dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negeri yang terkait dari negara-negara dimana praktisi hukum mempunyai kepentingan - khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada hak asasi manusia. Memang, karena hukum internasional pada umumnya hanya bisa diterapkan pada negara-negara dan biasanya tidak menciptakan hak-hak yang dapat diberlakukan secara langsung oleh para pribadi dalam pengadilan nasional, hukum hak asasi manusia internasional dalam praktek dapat dibuat efektif hanya kalau setiap negara membuat aturan-aturan ini menjadi bagian dari sistem hukum domestiknya sendiri. Banyak kegiatan hak asasi manusia internasional ditujukan untuk mendorong negara-negara agar memasukkan standar hak asasi manusia internasional ke dalam susunan hukum internalnya sendiri.
Hukum hak asasi manusia internasional berasal dari berbagai sumber dan mencakup banyak jenis bahan, baik internasional maupun nasional. hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terutama bisa diterapkan pada negara-negara nation ketimbang pada pribadi-pribadi. Akibatnya, peraturan internasional ini pada umumnya dapat menjadi suatu sumber kewajiban hukum domestik bagi para pejabat suatu negara mengenai hak-hak domestik bagi warga negaranya sendiri lewat dimasukkannya dengan sesuatu cara ke dalam hukum internal negara itu sendiri.
Dalam praktek, sumber yang paling penting dan berguna dari hukum hak asasi manusia internasional mungkin sekali adalah perjanjian-perjanjian internasional, yang secara jelas dan langsung menciptakan kewajiban-kewajiban internasional bagi para pihak. Tetapi perjanjian bersifat mengikat hanya apabila perjanjian itu berlaku dan hanya berkenaan dengan negara-negara yang secara tegas menjadi peserta daripadanya.
Suatu sumber dari hukum hak asasi manusia internasional adalah kebiasaan internasional. Untuk menetapkan keberadaan suatu aturan mengenai hukum adat (kebiasaan) internasional, adalah perlu untuk memperlihatkan kebiasaan yang meluas oleh negara-negara yang sesuai dengan aturan yang dinyatakan, bersama-sama dengan bukti bahwa negara-negara itu telah mengikuti kebiasaan ini sebab mereka percaya bahwa mereka berada di bawah suatu kewajiban normatif untuk mematuhi aturan tersebut.
Secara khusus, peraturan hak asasi manusia telah menjadi bagian dari hukum adat internasional, hal ini dapat sangat berguna bagi para praktisi yang mengusahakan tujuantujuan hak asasi manusia, karena hukum adat internasional pada umumnya mengikat semua negara; tanpa memandang apakah negaranegara tersebut secara resmi telah menyatakan menyetujui suatu perjanjian. Tetapi, konsep mengenai hukum adat (kebiasaan) agak bersifat teknis, dan membuktikan adanya suatu peraturan adat bisa sangat sukar.
Sumber-sumber hukum internasional hak asasi manusia, sekaligus menunjukkan bahwa terdapat kewajiban bagi setiap negara untuk mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia telah diterima menjadi salah satu prinsip dalam hukum hak asasi manusia internasional, yang dikenal dengan prinsip “human rights violators must be punished”; negara-negara tidak dapat begitu saja mengabaikan kewajiban tersebut. Apabila kewajiban tersebut diabaikan oleh suatu negara, maka barulah kewajiban tersebut dapat diambil alih oleh masyarakat internasional.

2.Apakah kebijakan Negara Indonesia dalam memberlakukan hukuman mati dapat dibenarkan:
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Kesalahan vonis pengadilan
Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.
Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.
Vonis Mati di Indonesia
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan Pasal 28 I Juncto Pasal 28 J UUD 1945, yang menyatakan, hak untuk hidup adalah hakasasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten.
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan:
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang denganInternational Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Keadaan seperti ini yang membuat problematika yang membawa pengaruh cukup besar terhadap pelaksanaan eksekusi dalam kasus-kasus pidana mati. Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970. Namun hingga kini, 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi. Ini sesuatu yang tidak adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati, hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis. Kemudian kasus Bom Bali dengan terpidana mati, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron yang ditunda pelaksanaan eksekusinya yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Agustus 2006. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama dengan dua kasus tersebut.
Terdapat dua kubu yang muncul dalam penerapan pidana mati di Indonesia. Yang pertama adalah kubu yang menentang diterapkannya pidana mati dalam hukum di Indonesia, dengan berbagai alasan yang kebanyakan dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Dengan dasar UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan perjanjian-perjanjian luar negeri, seperti International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Kubu yang kedua adalah hukum positif di Indonesia sendiri. Masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan pidana mati di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini di pertegas dengan pernyataan dalam penjelasan pasal 9 (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya membatasi hak untuk hidup dalam dua hal, yaitu tindakan aborsi demi kepentingan hidup ibunya dan berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati.
Menurut pendapat saya sebaiknya hukuman mati dihapuskan. Karena:
Faktor Yuridis, bertentangan dengan pasal 3 DUHAM 1948, pasal 6 CCPR, pasal 28 I dan 28 J UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Faktor Sosiologis, angka kejahatan yang dilakukan di Indonesia tidak turun atau vonis hukuman mati tidak membawa efek jera.
Proses peradilan yang tedak fair/ tidak adil, dengan adanya peradilan yang bisa din ego dan banyaknya markus dalam peradilan.

3.Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia:

ANALISIS HUKUM
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO. 012/PUU-III/2005
 Terkait dengan Perlindungan Hak Kepemilikan Fidusia
(Fiduciaire Eigendom Overdracht)
dalam Upaya Pemberantasan “Illegal Loging”  
Abdul Rokhim  
 
A.     Duduk Perkara
Permohonan judicial review terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi UU diajukan oleh PT Astra Sedaya Finance yang beralamat di Jl. Fatmawati No. 9 Jakarta kepada Mahkamah Konstitusi RI dengan nomor perkara 021/PUU-III/2005 mendasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:
1.Bahwa berdasarkan pasal 24C (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian formil maupun materiil suatu UU terhadap UUD 1945 pada tingkat pertama dan terakhir;
2.Bahwa pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
a.Perorangan warga negara Indonesia;
b.Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip NKRI yang diatur dalam UU;
c.Badan hukum publik atau privat;
d.Lembaga negara.   
Dalam permohonannya, PT Astra Sedaya Finance selaku pemohon mangklasifikasikan sebagai badan hukum privat yang berdiri sejak tahun 1983 yang bernama PT Raharja Sedaya yang kemudian mengalami perubahan terakhir pada tahun 1990 menjadi PT Astra Sedaya Finance melalui Akta Notaris Gde Kertayasa, S.H., No. 161 tertanggal 20 Desember 1990 dan disahkan oleh Menteri Kehakiman tanggal 23 Januari 1991 No. C2-242.HT.01.04.TH.91. Sedangkan pada Anggaran Dasar PT Astra Sedaya Finance (Pemohon) yang tertuang dalam Akta Notaris Benny Kristianto, S.H. tanggal 4 Maret 1998 No. 38 pasal 3 tentang “maksud dan tujuan serta kegiatan usaha”; dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Keputusan No. C2-3271.HT.01.04.TH.98 tanggal 3 April 1998 yang kemudian dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI 94 tanggal 23 November 1999;
Pemohon adalah perusahaan yang bergerak di sektor pembiayaan (finance). Maksud dan tujuan pemohon sebagai perseroan (badan hukum privat) adalah mendirikan dan menjalankan perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan dalam bidang-bidang usaha: (a) sewa guna usaha (leasing); (b) anjak piutang: (c) kartu kredit; dan (d) pembiayaan konsumen.
3.Bahwa sebagai perusahaan yang bergerak di bidang financing, pemohon juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fiducia yang tunduk pada UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
4.Bahwa berdasarkan perjanjian fidusia tersebut, pemohon merasa bahwa jaminan fidusia yang telah diberikan oleh nasabahnya telah beralih hak kepemilikannya pada pemohon.
5.Bahwa dengan dilakukannya perampasan 3 (tiga) truk Toyota New Dyna yang telah digunakan untuk aktivitas penebangan liar (Illegal Loging) oleh Kejaksaan Negeri Sengeti Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi telah melanggar hak kepemilikan yang telah beralih pada pemohon berdasarkan perjanjian fidusia.
6.Pemohon merasa bahwa kerugian yang diterimanya juga potensial dialaminya untuk kemudian hari karena wilayah operasi kegiatan pemohon juga mencakup pada hampir seluruh provinsi di Indonesia.
7.Pemohon berpendapat bahwa kerugian yang diterimanya tersebut diakibatkan oleh berlakunya pasal 78 ayat (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 menyatakan, “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”. Dan penjelasannya yang berbunyi: “yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain”. Pasal tersebut dianggap telah menimbulkan peluang tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, memunculkan arahan yang keliru dari Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan yang memerintahkan agar jajaran Pengadilan Tinggi merampas seluruh barang bukti terkait illegal loging untuk negara tanpa memandang siapa pemiliknya atau si pemilik bersalah atau tidak sehingga merugikan pemohon.

Terhadap permohonan tersebut, pemerintah melalui Menteri Kehutanan memberikan keterangan yang pada intinya sebagai berikut:
1.Telah menjadi kebijaksanaan pemerintah untuk melakukan pemberantasan illegal loging yang telah merugikan negara dalam jumlah yang cukup besar, karena itu illegal loging dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), dan dilihat dari modus operandi-nya illegal loging merupakan kejahatan yang terorganisir (organized crime). Kerugian negara tidak hanya secara ekonomis, melainkan juga berdampak secara sosial dan menimbulkan kerusakan lingkungan serta meningkatnya potensi bencana.
2.Terhadap permohonan tersebut telah diajukan permohonan yang sama sebelumnya oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP PERLA) dalam perkara No. 013/PUU-III/2005 yang dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Atas putusan tersebut, seharusnya tidak ada upaya hokum lagi karena kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan pasal 10 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.Ketentuan pada pasal 78 (15) dan penjelasannya dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 ditujukan dalam rangka pemberantasan illegal loging. Ketentuan tersebut sesuai dengan pasal 39 (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4.Tindakan aparat penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan maupun perampasan untuk negara terhadap alat angkut berupa truk milik pemohon yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana illegal loging telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5.Bahwa pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang menyatakan: “Setiap orang dilarang . . . h) mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah . . .”.
 
Terhadap permohonan tersebut, DPR RI yang menguasakan kepada Patrialis Akbar, S.H. dan Drs. Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan keterangan lisan sebagai berikut:
1.Pembatasan yang ada pada pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 merupakan realisasi dari pasal 28J (1) (2) UUD 1945, dan tidak ada pertentangan antara UU No. 41 Tahun 1999 dengan UUD 1945.
2.Bahwa pada pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 tidak menggunakan kata “dapat” tetapi langsung bahwa siapapun pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan kejahatan atau pelanggaran dan mereka yang terlibat dalam pengadaan alat-alat termasuk alat angkut  itu dirampas oleh negara.
 
Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI memeriksa dan mengadili permohonan tersebut dengan beberapa pertimbangan hukum sebagai berikut:
1.Berdasarkan pada pasal 24C (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 10 (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 12 (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.Pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 telah pernah diajukan permohonan judicial review dengan nomor perkara 013/PUU-III/2005, dan terhadap perkara tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon tidak memiliki legal standing sehingga permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Terhadap putusan tersebut berarti belum memasuki substansi permohonannya sehingga diujinya kembali pasal dan ayat tersebut tidak bertentangan dengan pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan dari pemohon.
3.Terhadap kedudukan dan kepentingan hukum pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon telah memenuhi syarat sebagai badan hukum privat dan oleh karena itu mempunyai kapasitas untuk mengajukan permohonan meskipun harus dibuktikan apakah pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan apakah hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004. Terhadap syarat adanya hak konstitusional dari pemohon, pemohon menyatakan bahwa hak konstitusionalnya yang dirugikan adalah hak akan kepastian hukum yang adil (pasal 28D (1) UUD 1945), hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya (pasal 28G (1) UUD 1945), dan hak untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun (pasal 28H (4) UUD 1945). Terhadap dalil tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sebagai negara hukum, Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap hak milik. Oleh karena itu, meskipun dalam Bab XA UUD 1945, hak asasi manusia dinyatakan, “Setiap orang . . .”, namun telah menjadi pandangan yang diterima umum bahwa ketentuan tersebut dapat diberlakukan pula terhadap badan hukum (rechtspersoon). Kemudian, untuk kerugian, Mahkamah Konstitusi berbendapat bahwa dengan telah dilakukannya perjanjian fidusia yang dilakukan pemohon dengan tiga orang pemilik truk berarti hak kepemilikannya telah beralih pada pemohon sesuai dengan pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan dirampasnya truk yang telah dibebani jaminan fidusia tersebut oleh penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Sengeti Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi berdasarkan UU Kehutanan, maka telah jelas hubungan kausalitas antara kerugian dengan hak konstitusional pemohon, serta telah nyata pula bahwa kerugian pemohon bersifat actual dan spesifik yang apabila permohonan dikabulkan diyakini bahwa kerugian tersebut tidak akan terjadi. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemohon telah mempunyai legal standing.
 
Yang menarik adalah adanya pendapat yang berbeda (legal opinion) terkait dengan legal standing pemohon antara Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. dan Dr. Harjono, S.H., MCL.
Dari aspek hukum (acara) pidana, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. memandang bahwa perampasan oleh aparat penegak hukum dalam memberlakukan aturan pasal hukum formal (het formiel wet artikel) sebagaimana tercantum dalam pasal 78 (15) UU Ketuhatan untuk penanganan tindak pidana tidak dapat dipandang merugikan hak konstitusional pemohon sepanjang perampasan tersebut sesuai dengan prinsip due process of law. Dalam berbagai aturan telah wajar apabila ditempuh prosedur seperti perampasan barang dalam penanganan tindak pidana. Apabila dipandang bahwa perampasan tersebut telah melanggar hukum, maka telah terdapat upaya hukum dengan mengajukan praperadilan atau menempuh upaya lain sesuai dengan prinsip due process of law. Sedang dari aspek hukum (acara) perdata, ia berpendapat bahwa tidak ada kerugian terhadap hak konstitusional pemohon karena perampasan tersebut tidak menghilangkan hak pemohon sebagai kreditor dimana hapusnya barang jaminan fidusia dianggap tidak menghapuskan kedudukan dan hak pemohon untuk mendapatkan haknya sebagai kreditor dari kewajiban debitor. Dengan demikian, tidak ada kerugian terhadap hak konstitusional pemohon sehingga permohonan pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Berbeda dengan pendapat tersebut, Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MCL berpendapat bahwa pemohon dianggap bukan sebagai pemilik dari 3 unit truk yang telah dirampas oleh negara. Dengan adanya perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian ikutan (accessoir overeenkomst), maka tidak berarti telah terjadi peralihan hak milik (levering; transfer of ownership) secara tuntas pada kepemilikan jaminan fidusia, karena pada dasarnya perjanjian pokoknya (hoofdelijk overeenkomst) adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur untuk memenuhi suatu prestasi tertentu (utang piutang). Dengan adanya perampasan tersebut, berarti hanya terjadi peralihan penguasaan jaminan fidusia (3 unit truk) dari debitur ke negara tanpa mengurangi hak dan kewajiban kreditur mapun debitur untuk memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan sebagai perjanjian pokoknya. Di samping itu, pemohon tidak dapat menganggap bahwa jaminan fidusia telah menjadi haknya karena perjanjian pokoknya belum berakhir dan pemohon masih mendapatkan pembayaran dari debitur sebagai pemberi jaminan sehingga manjadi janggal apabila jaminan tersebut dianggap telah menjadi hak milik pemohon sebagai kreditur. Untuk itu perlu ditentukan secara hukum status hubungan hukum antara pemohon selaku kreditor dengan debitornya yaitu apakah pihak debitor masih mengakui adanya kewajiban untuk membayar utangnya. Dan apabila telah muncul perselisihan sebagai akibat hukum dari dirampasnya 3 unit truk sebagai jaminan fidusia maka harus mendapatkan putusan hukum tetap lebih dahulu dari pengadilan (umum) sebagaimana klausul dari perjanjian antara debitor dengan kreditor, dengan demikian dapat diketahui status hubungan hukumnya. Apabila status hubungan hukum dari perjanjian tersebut belum terputus, maka 3 unit truk sebagai jaminan fidusia tidak dapat dianggap sebagai hak milik pemohon. Dengan tidak dapat dibuktikannya status hubungan hukum tersebut, maka kepentingan pemohon yang dirugikan tidak dapat dibuktikan sehingga permohonan pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Kemudian terhadap pokok permohonan, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan sebagai berikut:
a.Bahwa hak milik yang telah dilindungi oleh ketentuan UUD 1945 tidak bersifat absolut, melainkan pelaksanaannya wajib tunduk kepada pembatasan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum sebagaimana tercantum dalam pasal 28J (2) UUD 1945.
b.Ketentuan pasal 78 (15 ) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 adalah untuk kepentingan nasional dari tindakan illegal loging yang telah merajalela yang secara tidak langsung  mengganggu dan membahayakan ekosistem dan kelangsungan kehidupan.
c.Hak kepemilikan pemohon terhadap barang jaminan fidusia tetap dilindungi oleh UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dikurangi dan dalam praktik penerapan hukumnya PN Sengeti dalam perkara perdata No. 4/Pdt.PLW/PN.Sgt telah mengabulkan perlawanan (verzet) pemohon atas perampasan hak kepemilikannya, dengan demikian perampasan barang yang dianggap sebagai hak milik pemohon hanyalah permasalahan penerapan hukum dan bukan masalah inkonstitusionalitas dari pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004.
d.Bahwa hak milik yang didalihkan pemohon tidak sama dengan hak milik yang didasarkan pada hubungan inheren antara pemegang hak milik dengan obyek hak milik, sehingga perlindungan hukumnya tidak dapat diperlakukan sama terlebih lagi untuk kepentingan yang lebih besar.
e.Obyek fidusia yang merupakan barang bergerak berada dalam penguasaan penuh pemberi fidusia sehingga risiko dari penggunaan yang menurut hukum maupun melawan hukum seharusnya dapat diantisipasi sebelumnya. Di samping itu, dengan dirampasnya obyak fidusia bukan berarti menghilangkan hak tagih kreditor (dalam hal ini pemohon) terhadap debitor.
 
Terhadap keputusan tersebut dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas, Mahkamah Konstitusi RI menagdili dengan memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya. 
  
B.     Analisis Hukum Hak Milik dalam Perspektif HAM
Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) memberikan jaminan hak setiap orang untuk memiliki harta bendanya (possession) dan juga hubungannya dengan hak-hak lain serta melarang perampasan terhadap hak tersebut secara sewenang-wenang. Apabila ditinjau dari sistem hukum internasional terhadap HAM, keberadaan hak atas kepemilikan tersebut belum ditingkatkan pengakuannya dalam kovenan yang merupakan salah satu produk hukum internasional yang lebih bersifat mengikat (hard law). Selama penyusunan draft Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) dan Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah banyak upaya untuk memasukkan hak kepemilikan dalam konstruksi kedua produk hukum internasional tersebut, namun upaya ini gagal karena tidak disetujuinya pembatasan akan hak tersebut.
Secara historis, terdapat perdebatan yang tajam untuk melakukan perlindungan hukum terhadap hak milik sebagai hak asasi manusia. Negara-negara Eropa Barat dan AS menjadi garis depan untuk memperjuangkan perlindungan terhadap hak milik. Sebaliknya, negara-negara sosialis dan negara dunia ketiga menekankan pada fungsi sosial hak tersebut yang memungkinkan adanya intervensi terhadap hak tersebut atas nama kepentingan umum. Dengan demikian, hak kepemilikan berkaitan erat dengan kebijakan sosial ekonomi suatu negara.
Dalam sistem hukum di Indonesia, jaminan secara tegas terhadap hak milik sebagai HAM telah dinyatakan dalam pasal 28H (4) UUD 1945 jo. Pasal 28G (1) UUD 1945. Permasalahan hukum (legal issue) yang kemudian muncul, khususnya terkait dengan perlindungan hak milik dalam perkara di atas adalah, apakah memang hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Konstitusi RI tersebut tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan kondisi apapun?
Dalam article 29 (2) The Declaration of Human Rights 1948 ditegaskan: “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitation as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedom of others and of meeting the just requirement of morality, public order, and the general welfare in democratic society”. Rumusan ini sejalan dengan ketentuan konstruksi penghormatan, pengakuan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan:   
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.      
Berdasarkan pada ketentuan tersebut di atas, jika diuraikan lebih lanjut bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang, termasuk hak milik sebagaimana tercantum pada UUD 1945 Bab XI tentang Hak Asasi Manusia, tetap memiliki batasan-batasan. Akibatnya setiap orang tidak dapat menjalankan hak dan kebebasannya tersebut secara absolut, terlebih lagi jika bertentangan dengan hak asasi orang lain, ketertiban kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, untuk menjamin agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia karena pelaksanaan hak dan kebebasan oleh setiap orang secara absolut, maka dilakukanlah pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Namun demikian, pembatasan tersebut haruslah nyata-nyata hanya dengan tujuan hukum untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan yang didasarkan pada pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pemohon terkait dengan perlindungan hak milik pemohon (atas dasar jaminan fidusia) sejalan dengan amanat UUD 1945, karena pembatasan hak milik (dalam bentuk perampasan 3 unit truk oleh penegak hukum dalam rangka pemberantasan illegall loging) dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang (yakni pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004), dengan tujuan keamanan dan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



TUGAS UTS
HUKUM DAN HAM







Oleh :
Humaira ( 0720010)



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
2010
JAWABAN :


1.Hubungan sumber hukum HAM internasional dan sumber hukum HAM nasional:
Hak asasi manusia internasional didasarkan pada konsep bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia warga negaranya, dan bahwa negara-negara lain dan masyarakat internasional mempunyai hak dan tanggung jawab untuk memprotes kalau kewajiban ini tidak dilaksanakan sesuai dengan harapan semula. Hukum hak asasi manusia internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur, dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap hak asasi manusia di semua negara di seluruh dunia.
Sekalipun hak asasi manusia internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur, dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negeri yang terkait dari negara-negara dimana praktisi hukum mempunyai kepentingan - khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada hak asasi manusia. Memang, karena hukum internasional pada umumnya hanya bisa diterapkan pada negara-negara dan biasanya tidak menciptakan hak-hak yang dapat diberlakukan secara langsung oleh para pribadi dalam pengadilan nasional, hukum hak asasi manusia internasional dalam praktek dapat dibuat efektif hanya kalau setiap negara membuat aturan-aturan ini menjadi bagian dari sistem hukum domestiknya sendiri. Banyak kegiatan hak asasi manusia internasional ditujukan untuk mendorong negara-negara agar memasukkan standar hak asasi manusia internasional ke dalam susunan hukum internalnya sendiri.
Hukum hak asasi manusia internasional berasal dari berbagai sumber dan mencakup banyak jenis bahan, baik internasional maupun nasional. hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terutama bisa diterapkan pada negara-negara nation ketimbang pada pribadi-pribadi. Akibatnya, peraturan internasional ini pada umumnya dapat menjadi suatu sumber kewajiban hukum domestik bagi para pejabat suatu negara mengenai hak-hak domestik bagi warga negaranya sendiri lewat dimasukkannya dengan sesuatu cara ke dalam hukum internal negara itu sendiri.
Dalam praktek, sumber yang paling penting dan berguna dari hukum hak asasi manusia internasional mungkin sekali adalah perjanjian-perjanjian internasional, yang secara jelas dan langsung menciptakan kewajiban-kewajiban internasional bagi para pihak. Tetapi perjanjian bersifat mengikat hanya apabila perjanjian itu berlaku dan hanya berkenaan dengan negara-negara yang secara tegas menjadi peserta daripadanya.
Suatu sumber dari hukum hak asasi manusia internasional adalah kebiasaan internasional. Untuk menetapkan keberadaan suatu aturan mengenai hukum adat (kebiasaan) internasional, adalah perlu untuk memperlihatkan kebiasaan yang meluas oleh negara-negara yang sesuai dengan aturan yang dinyatakan, bersama-sama dengan bukti bahwa negara-negara itu telah mengikuti kebiasaan ini sebab mereka percaya bahwa mereka berada di bawah suatu kewajiban normatif untuk mematuhi aturan tersebut.
Secara khusus, peraturan hak asasi manusia telah menjadi bagian dari hukum adat internasional, hal ini dapat sangat berguna bagi para praktisi yang mengusahakan tujuantujuan hak asasi manusia, karena hukum adat internasional pada umumnya mengikat semua negara; tanpa memandang apakah negaranegara tersebut secara resmi telah menyatakan menyetujui suatu perjanjian. Tetapi, konsep mengenai hukum adat (kebiasaan) agak bersifat teknis, dan membuktikan adanya suatu peraturan adat bisa sangat sukar.
Sumber-sumber hukum internasional hak asasi manusia, sekaligus menunjukkan bahwa terdapat kewajiban bagi setiap negara untuk mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia telah diterima menjadi salah satu prinsip dalam hukum hak asasi manusia internasional, yang dikenal dengan prinsip “human rights violators must be punished”; negara-negara tidak dapat begitu saja mengabaikan kewajiban tersebut. Apabila kewajiban tersebut diabaikan oleh suatu negara, maka barulah kewajiban tersebut dapat diambil alih oleh masyarakat internasional.

2.Apakah kebijakan Negara Indonesia dalam memberlakukan hukuman mati dapat dibenarkan:
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Kesalahan vonis pengadilan
Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.
Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.
Vonis Mati di Indonesia
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan Pasal 28 I Juncto Pasal 28 J UUD 1945, yang menyatakan, hak untuk hidup adalah hakasasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten.
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan:
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang denganInternational Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Keadaan seperti ini yang membuat problematika yang membawa pengaruh cukup besar terhadap pelaksanaan eksekusi dalam kasus-kasus pidana mati. Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970. Namun hingga kini, 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi. Ini sesuatu yang tidak adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati, hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis. Kemudian kasus Bom Bali dengan terpidana mati, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron yang ditunda pelaksanaan eksekusinya yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Agustus 2006. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama dengan dua kasus tersebut.
Terdapat dua kubu yang muncul dalam penerapan pidana mati di Indonesia. Yang pertama adalah kubu yang menentang diterapkannya pidana mati dalam hukum di Indonesia, dengan berbagai alasan yang kebanyakan dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Dengan dasar UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan perjanjian-perjanjian luar negeri, seperti International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Kubu yang kedua adalah hukum positif di Indonesia sendiri. Masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan pidana mati di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini di pertegas dengan pernyataan dalam penjelasan pasal 9 (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya membatasi hak untuk hidup dalam dua hal, yaitu tindakan aborsi demi kepentingan hidup ibunya dan berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati.
Menurut pendapat saya sebaiknya hukuman mati dihapuskan. Karena:
Faktor Yuridis, bertentangan dengan pasal 3 DUHAM 1948, pasal 6 CCPR, pasal 28 I dan 28 J UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Faktor Sosiologis, angka kejahatan yang dilakukan di Indonesia tidak turun atau vonis hukuman mati tidak membawa efek jera.
Proses peradilan yang tedak fair/ tidak adil, dengan adanya peradilan yang bisa din ego dan banyaknya markus dalam peradilan.

3.Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia:

ANALISIS HUKUM
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO. 012/PUU-III/2005
 Terkait dengan Perlindungan Hak Kepemilikan Fidusia
(Fiduciaire Eigendom Overdracht)
dalam Upaya Pemberantasan “Illegal Loging”  
Abdul Rokhim  
 
A.     Duduk Perkara
Permohonan judicial review terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi UU diajukan oleh PT Astra Sedaya Finance yang beralamat di Jl. Fatmawati No. 9 Jakarta kepada Mahkamah Konstitusi RI dengan nomor perkara 021/PUU-III/2005 mendasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:
1.Bahwa berdasarkan pasal 24C (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian formil maupun materiil suatu UU terhadap UUD 1945 pada tingkat pertama dan terakhir;
2.Bahwa pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
a.Perorangan warga negara Indonesia;
b.Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip NKRI yang diatur dalam UU;
c.Badan hukum publik atau privat;
d.Lembaga negara.   
Dalam permohonannya, PT Astra Sedaya Finance selaku pemohon mangklasifikasikan sebagai badan hukum privat yang berdiri sejak tahun 1983 yang bernama PT Raharja Sedaya yang kemudian mengalami perubahan terakhir pada tahun 1990 menjadi PT Astra Sedaya Finance melalui Akta Notaris Gde Kertayasa, S.H., No. 161 tertanggal 20 Desember 1990 dan disahkan oleh Menteri Kehakiman tanggal 23 Januari 1991 No. C2-242.HT.01.04.TH.91. Sedangkan pada Anggaran Dasar PT Astra Sedaya Finance (Pemohon) yang tertuang dalam Akta Notaris Benny Kristianto, S.H. tanggal 4 Maret 1998 No. 38 pasal 3 tentang “maksud dan tujuan serta kegiatan usaha”; dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Keputusan No. C2-3271.HT.01.04.TH.98 tanggal 3 April 1998 yang kemudian dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI 94 tanggal 23 November 1999;
Pemohon adalah perusahaan yang bergerak di sektor pembiayaan (finance). Maksud dan tujuan pemohon sebagai perseroan (badan hukum privat) adalah mendirikan dan menjalankan perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan dalam bidang-bidang usaha: (a) sewa guna usaha (leasing); (b) anjak piutang: (c) kartu kredit; dan (d) pembiayaan konsumen.
3.Bahwa sebagai perusahaan yang bergerak di bidang financing, pemohon juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fiducia yang tunduk pada UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
4.Bahwa berdasarkan perjanjian fidusia tersebut, pemohon merasa bahwa jaminan fidusia yang telah diberikan oleh nasabahnya telah beralih hak kepemilikannya pada pemohon.
5.Bahwa dengan dilakukannya perampasan 3 (tiga) truk Toyota New Dyna yang telah digunakan untuk aktivitas penebangan liar (Illegal Loging) oleh Kejaksaan Negeri Sengeti Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi telah melanggar hak kepemilikan yang telah beralih pada pemohon berdasarkan perjanjian fidusia.
6.Pemohon merasa bahwa kerugian yang diterimanya juga potensial dialaminya untuk kemudian hari karena wilayah operasi kegiatan pemohon juga mencakup pada hampir seluruh provinsi di Indonesia.
7.Pemohon berpendapat bahwa kerugian yang diterimanya tersebut diakibatkan oleh berlakunya pasal 78 ayat (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 menyatakan, “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”. Dan penjelasannya yang berbunyi: “yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain”. Pasal tersebut dianggap telah menimbulkan peluang tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, memunculkan arahan yang keliru dari Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan yang memerintahkan agar jajaran Pengadilan Tinggi merampas seluruh barang bukti terkait illegal loging untuk negara tanpa memandang siapa pemiliknya atau si pemilik bersalah atau tidak sehingga merugikan pemohon.

Terhadap permohonan tersebut, pemerintah melalui Menteri Kehutanan memberikan keterangan yang pada intinya sebagai berikut:
1.Telah menjadi kebijaksanaan pemerintah untuk melakukan pemberantasan illegal loging yang telah merugikan negara dalam jumlah yang cukup besar, karena itu illegal loging dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), dan dilihat dari modus operandi-nya illegal loging merupakan kejahatan yang terorganisir (organized crime). Kerugian negara tidak hanya secara ekonomis, melainkan juga berdampak secara sosial dan menimbulkan kerusakan lingkungan serta meningkatnya potensi bencana.
2.Terhadap permohonan tersebut telah diajukan permohonan yang sama sebelumnya oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP PERLA) dalam perkara No. 013/PUU-III/2005 yang dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Atas putusan tersebut, seharusnya tidak ada upaya hokum lagi karena kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan pasal 10 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.Ketentuan pada pasal 78 (15) dan penjelasannya dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 ditujukan dalam rangka pemberantasan illegal loging. Ketentuan tersebut sesuai dengan pasal 39 (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4.Tindakan aparat penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan maupun perampasan untuk negara terhadap alat angkut berupa truk milik pemohon yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana illegal loging telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5.Bahwa pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang menyatakan: “Setiap orang dilarang . . . h) mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah . . .”.
 
Terhadap permohonan tersebut, DPR RI yang menguasakan kepada Patrialis Akbar, S.H. dan Drs. Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan keterangan lisan sebagai berikut:
1.Pembatasan yang ada pada pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 merupakan realisasi dari pasal 28J (1) (2) UUD 1945, dan tidak ada pertentangan antara UU No. 41 Tahun 1999 dengan UUD 1945.
2.Bahwa pada pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 tidak menggunakan kata “dapat” tetapi langsung bahwa siapapun pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan kejahatan atau pelanggaran dan mereka yang terlibat dalam pengadaan alat-alat termasuk alat angkut  itu dirampas oleh negara.
 
Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI memeriksa dan mengadili permohonan tersebut dengan beberapa pertimbangan hukum sebagai berikut:
1.Berdasarkan pada pasal 24C (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 10 (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 12 (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.Pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 telah pernah diajukan permohonan judicial review dengan nomor perkara 013/PUU-III/2005, dan terhadap perkara tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon tidak memiliki legal standing sehingga permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Terhadap putusan tersebut berarti belum memasuki substansi permohonannya sehingga diujinya kembali pasal dan ayat tersebut tidak bertentangan dengan pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan dari pemohon.
3.Terhadap kedudukan dan kepentingan hukum pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon telah memenuhi syarat sebagai badan hukum privat dan oleh karena itu mempunyai kapasitas untuk mengajukan permohonan meskipun harus dibuktikan apakah pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan apakah hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004. Terhadap syarat adanya hak konstitusional dari pemohon, pemohon menyatakan bahwa hak konstitusionalnya yang dirugikan adalah hak akan kepastian hukum yang adil (pasal 28D (1) UUD 1945), hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya (pasal 28G (1) UUD 1945), dan hak untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun (pasal 28H (4) UUD 1945). Terhadap dalil tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sebagai negara hukum, Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap hak milik. Oleh karena itu, meskipun dalam Bab XA UUD 1945, hak asasi manusia dinyatakan, “Setiap orang . . .”, namun telah menjadi pandangan yang diterima umum bahwa ketentuan tersebut dapat diberlakukan pula terhadap badan hukum (rechtspersoon). Kemudian, untuk kerugian, Mahkamah Konstitusi berbendapat bahwa dengan telah dilakukannya perjanjian fidusia yang dilakukan pemohon dengan tiga orang pemilik truk berarti hak kepemilikannya telah beralih pada pemohon sesuai dengan pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan dirampasnya truk yang telah dibebani jaminan fidusia tersebut oleh penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Sengeti Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi berdasarkan UU Kehutanan, maka telah jelas hubungan kausalitas antara kerugian dengan hak konstitusional pemohon, serta telah nyata pula bahwa kerugian pemohon bersifat actual dan spesifik yang apabila permohonan dikabulkan diyakini bahwa kerugian tersebut tidak akan terjadi. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemohon telah mempunyai legal standing.
 
Yang menarik adalah adanya pendapat yang berbeda (legal opinion) terkait dengan legal standing pemohon antara Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. dan Dr. Harjono, S.H., MCL.
Dari aspek hukum (acara) pidana, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. memandang bahwa perampasan oleh aparat penegak hukum dalam memberlakukan aturan pasal hukum formal (het formiel wet artikel) sebagaimana tercantum dalam pasal 78 (15) UU Ketuhatan untuk penanganan tindak pidana tidak dapat dipandang merugikan hak konstitusional pemohon sepanjang perampasan tersebut sesuai dengan prinsip due process of law. Dalam berbagai aturan telah wajar apabila ditempuh prosedur seperti perampasan barang dalam penanganan tindak pidana. Apabila dipandang bahwa perampasan tersebut telah melanggar hukum, maka telah terdapat upaya hukum dengan mengajukan praperadilan atau menempuh upaya lain sesuai dengan prinsip due process of law. Sedang dari aspek hukum (acara) perdata, ia berpendapat bahwa tidak ada kerugian terhadap hak konstitusional pemohon karena perampasan tersebut tidak menghilangkan hak pemohon sebagai kreditor dimana hapusnya barang jaminan fidusia dianggap tidak menghapuskan kedudukan dan hak pemohon untuk mendapatkan haknya sebagai kreditor dari kewajiban debitor. Dengan demikian, tidak ada kerugian terhadap hak konstitusional pemohon sehingga permohonan pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Berbeda dengan pendapat tersebut, Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MCL berpendapat bahwa pemohon dianggap bukan sebagai pemilik dari 3 unit truk yang telah dirampas oleh negara. Dengan adanya perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian ikutan (accessoir overeenkomst), maka tidak berarti telah terjadi peralihan hak milik (levering; transfer of ownership) secara tuntas pada kepemilikan jaminan fidusia, karena pada dasarnya perjanjian pokoknya (hoofdelijk overeenkomst) adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur untuk memenuhi suatu prestasi tertentu (utang piutang). Dengan adanya perampasan tersebut, berarti hanya terjadi peralihan penguasaan jaminan fidusia (3 unit truk) dari debitur ke negara tanpa mengurangi hak dan kewajiban kreditur mapun debitur untuk memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan sebagai perjanjian pokoknya. Di samping itu, pemohon tidak dapat menganggap bahwa jaminan fidusia telah menjadi haknya karena perjanjian pokoknya belum berakhir dan pemohon masih mendapatkan pembayaran dari debitur sebagai pemberi jaminan sehingga manjadi janggal apabila jaminan tersebut dianggap telah menjadi hak milik pemohon sebagai kreditur. Untuk itu perlu ditentukan secara hukum status hubungan hukum antara pemohon selaku kreditor dengan debitornya yaitu apakah pihak debitor masih mengakui adanya kewajiban untuk membayar utangnya. Dan apabila telah muncul perselisihan sebagai akibat hukum dari dirampasnya 3 unit truk sebagai jaminan fidusia maka harus mendapatkan putusan hukum tetap lebih dahulu dari pengadilan (umum) sebagaimana klausul dari perjanjian antara debitor dengan kreditor, dengan demikian dapat diketahui status hubungan hukumnya. Apabila status hubungan hukum dari perjanjian tersebut belum terputus, maka 3 unit truk sebagai jaminan fidusia tidak dapat dianggap sebagai hak milik pemohon. Dengan tidak dapat dibuktikannya status hubungan hukum tersebut, maka kepentingan pemohon yang dirugikan tidak dapat dibuktikan sehingga permohonan pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Kemudian terhadap pokok permohonan, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan sebagai berikut:
a.Bahwa hak milik yang telah dilindungi oleh ketentuan UUD 1945 tidak bersifat absolut, melainkan pelaksanaannya wajib tunduk kepada pembatasan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum sebagaimana tercantum dalam pasal 28J (2) UUD 1945.
b.Ketentuan pasal 78 (15 ) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 adalah untuk kepentingan nasional dari tindakan illegal loging yang telah merajalela yang secara tidak langsung  mengganggu dan membahayakan ekosistem dan kelangsungan kehidupan.
c.Hak kepemilikan pemohon terhadap barang jaminan fidusia tetap dilindungi oleh UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dikurangi dan dalam praktik penerapan hukumnya PN Sengeti dalam perkara perdata No. 4/Pdt.PLW/PN.Sgt telah mengabulkan perlawanan (verzet) pemohon atas perampasan hak kepemilikannya, dengan demikian perampasan barang yang dianggap sebagai hak milik pemohon hanyalah permasalahan penerapan hukum dan bukan masalah inkonstitusionalitas dari pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004.
d.Bahwa hak milik yang didalihkan pemohon tidak sama dengan hak milik yang didasarkan pada hubungan inheren antara pemegang hak milik dengan obyek hak milik, sehingga perlindungan hukumnya tidak dapat diperlakukan sama terlebih lagi untuk kepentingan yang lebih besar.
e.Obyek fidusia yang merupakan barang bergerak berada dalam penguasaan penuh pemberi fidusia sehingga risiko dari penggunaan yang menurut hukum maupun melawan hukum seharusnya dapat diantisipasi sebelumnya. Di samping itu, dengan dirampasnya obyak fidusia bukan berarti menghilangkan hak tagih kreditor (dalam hal ini pemohon) terhadap debitor.
 
Terhadap keputusan tersebut dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas, Mahkamah Konstitusi RI menagdili dengan memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya. 
  
B.     Analisis Hukum Hak Milik dalam Perspektif HAM
Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) memberikan jaminan hak setiap orang untuk memiliki harta bendanya (possession) dan juga hubungannya dengan hak-hak lain serta melarang perampasan terhadap hak tersebut secara sewenang-wenang. Apabila ditinjau dari sistem hukum internasional terhadap HAM, keberadaan hak atas kepemilikan tersebut belum ditingkatkan pengakuannya dalam kovenan yang merupakan salah satu produk hukum internasional yang lebih bersifat mengikat (hard law). Selama penyusunan draft Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) dan Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah banyak upaya untuk memasukkan hak kepemilikan dalam konstruksi kedua produk hukum internasional tersebut, namun upaya ini gagal karena tidak disetujuinya pembatasan akan hak tersebut.
Secara historis, terdapat perdebatan yang tajam untuk melakukan perlindungan hukum terhadap hak milik sebagai hak asasi manusia. Negara-negara Eropa Barat dan AS menjadi garis depan untuk memperjuangkan perlindungan terhadap hak milik. Sebaliknya, negara-negara sosialis dan negara dunia ketiga menekankan pada fungsi sosial hak tersebut yang memungkinkan adanya intervensi terhadap hak tersebut atas nama kepentingan umum. Dengan demikian, hak kepemilikan berkaitan erat dengan kebijakan sosial ekonomi suatu negara.
Dalam sistem hukum di Indonesia, jaminan secara tegas terhadap hak milik sebagai HAM telah dinyatakan dalam pasal 28H (4) UUD 1945 jo. Pasal 28G (1) UUD 1945. Permasalahan hukum (legal issue) yang kemudian muncul, khususnya terkait dengan perlindungan hak milik dalam perkara di atas adalah, apakah memang hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Konstitusi RI tersebut tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan kondisi apapun?
Dalam article 29 (2) The Declaration of Human Rights 1948 ditegaskan: “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitation as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedom of others and of meeting the just requirement of morality, public order, and the general welfare in democratic society”. Rumusan ini sejalan dengan ketentuan konstruksi penghormatan, pengakuan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan:   
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.      
Berdasarkan pada ketentuan tersebut di atas, jika diuraikan lebih lanjut bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang, termasuk hak milik sebagaimana tercantum pada UUD 1945 Bab XI tentang Hak Asasi Manusia, tetap memiliki batasan-batasan. Akibatnya setiap orang tidak dapat menjalankan hak dan kebebasannya tersebut secara absolut, terlebih lagi jika bertentangan dengan hak asasi orang lain, ketertiban kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, untuk menjamin agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia karena pelaksanaan hak dan kebebasan oleh setiap orang secara absolut, maka dilakukanlah pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Namun demikian, pembatasan tersebut haruslah nyata-nyata hanya dengan tujuan hukum untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan yang didasarkan pada pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pemohon terkait dengan perlindungan hak milik pemohon (atas dasar jaminan fidusia) sejalan dengan amanat UUD 1945, karena pembatasan hak milik (dalam bentuk perampasan 3 unit truk oleh penegak hukum dalam rangka pemberantasan illegall loging) dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang (yakni pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004), dengan tujuan keamanan dan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



TUGAS UTS
HUKUM DAN HAM







Oleh :
Humaira ( 0720010)



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
2010
JAWABAN :


1.Hubungan sumber hukum HAM internasional dan sumber hukum HAM nasional:
Hak asasi manusia internasional didasarkan pada konsep bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia warga negaranya, dan bahwa negara-negara lain dan masyarakat internasional mempunyai hak dan tanggung jawab untuk memprotes kalau kewajiban ini tidak dilaksanakan sesuai dengan harapan semula. Hukum hak asasi manusia internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur, dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap hak asasi manusia di semua negara di seluruh dunia.
Sekalipun hak asasi manusia internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur, dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negeri yang terkait dari negara-negara dimana praktisi hukum mempunyai kepentingan - khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada hak asasi manusia. Memang, karena hukum internasional pada umumnya hanya bisa diterapkan pada negara-negara dan biasanya tidak menciptakan hak-hak yang dapat diberlakukan secara langsung oleh para pribadi dalam pengadilan nasional, hukum hak asasi manusia internasional dalam praktek dapat dibuat efektif hanya kalau setiap negara membuat aturan-aturan ini menjadi bagian dari sistem hukum domestiknya sendiri. Banyak kegiatan hak asasi manusia internasional ditujukan untuk mendorong negara-negara agar memasukkan standar hak asasi manusia internasional ke dalam susunan hukum internalnya sendiri.
Hukum hak asasi manusia internasional berasal dari berbagai sumber dan mencakup banyak jenis bahan, baik internasional maupun nasional. hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terutama bisa diterapkan pada negara-negara nation ketimbang pada pribadi-pribadi. Akibatnya, peraturan internasional ini pada umumnya dapat menjadi suatu sumber kewajiban hukum domestik bagi para pejabat suatu negara mengenai hak-hak domestik bagi warga negaranya sendiri lewat dimasukkannya dengan sesuatu cara ke dalam hukum internal negara itu sendiri.
Dalam praktek, sumber yang paling penting dan berguna dari hukum hak asasi manusia internasional mungkin sekali adalah perjanjian-perjanjian internasional, yang secara jelas dan langsung menciptakan kewajiban-kewajiban internasional bagi para pihak. Tetapi perjanjian bersifat mengikat hanya apabila perjanjian itu berlaku dan hanya berkenaan dengan negara-negara yang secara tegas menjadi peserta daripadanya.
Suatu sumber dari hukum hak asasi manusia internasional adalah kebiasaan internasional. Untuk menetapkan keberadaan suatu aturan mengenai hukum adat (kebiasaan) internasional, adalah perlu untuk memperlihatkan kebiasaan yang meluas oleh negara-negara yang sesuai dengan aturan yang dinyatakan, bersama-sama dengan bukti bahwa negara-negara itu telah mengikuti kebiasaan ini sebab mereka percaya bahwa mereka berada di bawah suatu kewajiban normatif untuk mematuhi aturan tersebut.
Secara khusus, peraturan hak asasi manusia telah menjadi bagian dari hukum adat internasional, hal ini dapat sangat berguna bagi para praktisi yang mengusahakan tujuantujuan hak asasi manusia, karena hukum adat internasional pada umumnya mengikat semua negara; tanpa memandang apakah negaranegara tersebut secara resmi telah menyatakan menyetujui suatu perjanjian. Tetapi, konsep mengenai hukum adat (kebiasaan) agak bersifat teknis, dan membuktikan adanya suatu peraturan adat bisa sangat sukar.
Sumber-sumber hukum internasional hak asasi manusia, sekaligus menunjukkan bahwa terdapat kewajiban bagi setiap negara untuk mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia telah diterima menjadi salah satu prinsip dalam hukum hak asasi manusia internasional, yang dikenal dengan prinsip “human rights violators must be punished”; negara-negara tidak dapat begitu saja mengabaikan kewajiban tersebut. Apabila kewajiban tersebut diabaikan oleh suatu negara, maka barulah kewajiban tersebut dapat diambil alih oleh masyarakat internasional.

2.Apakah kebijakan Negara Indonesia dalam memberlakukan hukuman mati dapat dibenarkan:
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Kesalahan vonis pengadilan
Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.
Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.
Vonis Mati di Indonesia
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan Pasal 28 I Juncto Pasal 28 J UUD 1945, yang menyatakan, hak untuk hidup adalah hakasasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten.
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan:
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang denganInternational Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Keadaan seperti ini yang membuat problematika yang membawa pengaruh cukup besar terhadap pelaksanaan eksekusi dalam kasus-kasus pidana mati. Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970. Namun hingga kini, 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi. Ini sesuatu yang tidak adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati, hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis. Kemudian kasus Bom Bali dengan terpidana mati, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron yang ditunda pelaksanaan eksekusinya yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Agustus 2006. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama dengan dua kasus tersebut.
Terdapat dua kubu yang muncul dalam penerapan pidana mati di Indonesia. Yang pertama adalah kubu yang menentang diterapkannya pidana mati dalam hukum di Indonesia, dengan berbagai alasan yang kebanyakan dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Dengan dasar UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan perjanjian-perjanjian luar negeri, seperti International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Kubu yang kedua adalah hukum positif di Indonesia sendiri. Masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan pidana mati di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini di pertegas dengan pernyataan dalam penjelasan pasal 9 (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya membatasi hak untuk hidup dalam dua hal, yaitu tindakan aborsi demi kepentingan hidup ibunya dan berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati.
Menurut pendapat saya sebaiknya hukuman mati dihapuskan. Karena:
Faktor Yuridis, bertentangan dengan pasal 3 DUHAM 1948, pasal 6 CCPR, pasal 28 I dan 28 J UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Faktor Sosiologis, angka kejahatan yang dilakukan di Indonesia tidak turun atau vonis hukuman mati tidak membawa efek jera.
Proses peradilan yang tedak fair/ tidak adil, dengan adanya peradilan yang bisa din ego dan banyaknya markus dalam peradilan.

3.Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia:

ANALISIS HUKUM
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO. 012/PUU-III/2005
 Terkait dengan Perlindungan Hak Kepemilikan Fidusia
(Fiduciaire Eigendom Overdracht)
dalam Upaya Pemberantasan “Illegal Loging”  
Abdul Rokhim  
 
A.     Duduk Perkara
Permohonan judicial review terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi UU diajukan oleh PT Astra Sedaya Finance yang beralamat di Jl. Fatmawati No. 9 Jakarta kepada Mahkamah Konstitusi RI dengan nomor perkara 021/PUU-III/2005 mendasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:
1.Bahwa berdasarkan pasal 24C (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian formil maupun materiil suatu UU terhadap UUD 1945 pada tingkat pertama dan terakhir;
2.Bahwa pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
a.Perorangan warga negara Indonesia;
b.Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip NKRI yang diatur dalam UU;
c.Badan hukum publik atau privat;
d.Lembaga negara.   
Dalam permohonannya, PT Astra Sedaya Finance selaku pemohon mangklasifikasikan sebagai badan hukum privat yang berdiri sejak tahun 1983 yang bernama PT Raharja Sedaya yang kemudian mengalami perubahan terakhir pada tahun 1990 menjadi PT Astra Sedaya Finance melalui Akta Notaris Gde Kertayasa, S.H., No. 161 tertanggal 20 Desember 1990 dan disahkan oleh Menteri Kehakiman tanggal 23 Januari 1991 No. C2-242.HT.01.04.TH.91. Sedangkan pada Anggaran Dasar PT Astra Sedaya Finance (Pemohon) yang tertuang dalam Akta Notaris Benny Kristianto, S.H. tanggal 4 Maret 1998 No. 38 pasal 3 tentang “maksud dan tujuan serta kegiatan usaha”; dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Keputusan No. C2-3271.HT.01.04.TH.98 tanggal 3 April 1998 yang kemudian dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI 94 tanggal 23 November 1999;
Pemohon adalah perusahaan yang bergerak di sektor pembiayaan (finance). Maksud dan tujuan pemohon sebagai perseroan (badan hukum privat) adalah mendirikan dan menjalankan perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan dalam bidang-bidang usaha: (a) sewa guna usaha (leasing); (b) anjak piutang: (c) kartu kredit; dan (d) pembiayaan konsumen.
3.Bahwa sebagai perusahaan yang bergerak di bidang financing, pemohon juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fiducia yang tunduk pada UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
4.Bahwa berdasarkan perjanjian fidusia tersebut, pemohon merasa bahwa jaminan fidusia yang telah diberikan oleh nasabahnya telah beralih hak kepemilikannya pada pemohon.
5.Bahwa dengan dilakukannya perampasan 3 (tiga) truk Toyota New Dyna yang telah digunakan untuk aktivitas penebangan liar (Illegal Loging) oleh Kejaksaan Negeri Sengeti Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi telah melanggar hak kepemilikan yang telah beralih pada pemohon berdasarkan perjanjian fidusia.
6.Pemohon merasa bahwa kerugian yang diterimanya juga potensial dialaminya untuk kemudian hari karena wilayah operasi kegiatan pemohon juga mencakup pada hampir seluruh provinsi di Indonesia.
7.Pemohon berpendapat bahwa kerugian yang diterimanya tersebut diakibatkan oleh berlakunya pasal 78 ayat (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 menyatakan, “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”. Dan penjelasannya yang berbunyi: “yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain”. Pasal tersebut dianggap telah menimbulkan peluang tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, memunculkan arahan yang keliru dari Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan yang memerintahkan agar jajaran Pengadilan Tinggi merampas seluruh barang bukti terkait illegal loging untuk negara tanpa memandang siapa pemiliknya atau si pemilik bersalah atau tidak sehingga merugikan pemohon.

Terhadap permohonan tersebut, pemerintah melalui Menteri Kehutanan memberikan keterangan yang pada intinya sebagai berikut:
1.Telah menjadi kebijaksanaan pemerintah untuk melakukan pemberantasan illegal loging yang telah merugikan negara dalam jumlah yang cukup besar, karena itu illegal loging dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), dan dilihat dari modus operandi-nya illegal loging merupakan kejahatan yang terorganisir (organized crime). Kerugian negara tidak hanya secara ekonomis, melainkan juga berdampak secara sosial dan menimbulkan kerusakan lingkungan serta meningkatnya potensi bencana.
2.Terhadap permohonan tersebut telah diajukan permohonan yang sama sebelumnya oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP PERLA) dalam perkara No. 013/PUU-III/2005 yang dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Atas putusan tersebut, seharusnya tidak ada upaya hokum lagi karena kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan pasal 10 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.Ketentuan pada pasal 78 (15) dan penjelasannya dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 ditujukan dalam rangka pemberantasan illegal loging. Ketentuan tersebut sesuai dengan pasal 39 (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4.Tindakan aparat penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan maupun perampasan untuk negara terhadap alat angkut berupa truk milik pemohon yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana illegal loging telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5.Bahwa pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang menyatakan: “Setiap orang dilarang . . . h) mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah . . .”.
 
Terhadap permohonan tersebut, DPR RI yang menguasakan kepada Patrialis Akbar, S.H. dan Drs. Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan keterangan lisan sebagai berikut:
1.Pembatasan yang ada pada pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 merupakan realisasi dari pasal 28J (1) (2) UUD 1945, dan tidak ada pertentangan antara UU No. 41 Tahun 1999 dengan UUD 1945.
2.Bahwa pada pasal 78 (15) beserta penjelasannya di atas juga terkait erat dengan pasal 50 (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 tidak menggunakan kata “dapat” tetapi langsung bahwa siapapun pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan kejahatan atau pelanggaran dan mereka yang terlibat dalam pengadaan alat-alat termasuk alat angkut  itu dirampas oleh negara.
 
Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI memeriksa dan mengadili permohonan tersebut dengan beberapa pertimbangan hukum sebagai berikut:
1.Berdasarkan pada pasal 24C (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 10 (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 12 (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.Pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 telah pernah diajukan permohonan judicial review dengan nomor perkara 013/PUU-III/2005, dan terhadap perkara tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon tidak memiliki legal standing sehingga permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Terhadap putusan tersebut berarti belum memasuki substansi permohonannya sehingga diujinya kembali pasal dan ayat tersebut tidak bertentangan dengan pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan dari pemohon.
3.Terhadap kedudukan dan kepentingan hukum pemohon, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon telah memenuhi syarat sebagai badan hukum privat dan oleh karena itu mempunyai kapasitas untuk mengajukan permohonan meskipun harus dibuktikan apakah pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan apakah hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004. Terhadap syarat adanya hak konstitusional dari pemohon, pemohon menyatakan bahwa hak konstitusionalnya yang dirugikan adalah hak akan kepastian hukum yang adil (pasal 28D (1) UUD 1945), hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya (pasal 28G (1) UUD 1945), dan hak untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun (pasal 28H (4) UUD 1945). Terhadap dalil tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sebagai negara hukum, Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap hak milik. Oleh karena itu, meskipun dalam Bab XA UUD 1945, hak asasi manusia dinyatakan, “Setiap orang . . .”, namun telah menjadi pandangan yang diterima umum bahwa ketentuan tersebut dapat diberlakukan pula terhadap badan hukum (rechtspersoon). Kemudian, untuk kerugian, Mahkamah Konstitusi berbendapat bahwa dengan telah dilakukannya perjanjian fidusia yang dilakukan pemohon dengan tiga orang pemilik truk berarti hak kepemilikannya telah beralih pada pemohon sesuai dengan pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan dirampasnya truk yang telah dibebani jaminan fidusia tersebut oleh penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Sengeti Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi berdasarkan UU Kehutanan, maka telah jelas hubungan kausalitas antara kerugian dengan hak konstitusional pemohon, serta telah nyata pula bahwa kerugian pemohon bersifat actual dan spesifik yang apabila permohonan dikabulkan diyakini bahwa kerugian tersebut tidak akan terjadi. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemohon telah mempunyai legal standing.
 
Yang menarik adalah adanya pendapat yang berbeda (legal opinion) terkait dengan legal standing pemohon antara Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. dan Dr. Harjono, S.H., MCL.
Dari aspek hukum (acara) pidana, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. memandang bahwa perampasan oleh aparat penegak hukum dalam memberlakukan aturan pasal hukum formal (het formiel wet artikel) sebagaimana tercantum dalam pasal 78 (15) UU Ketuhatan untuk penanganan tindak pidana tidak dapat dipandang merugikan hak konstitusional pemohon sepanjang perampasan tersebut sesuai dengan prinsip due process of law. Dalam berbagai aturan telah wajar apabila ditempuh prosedur seperti perampasan barang dalam penanganan tindak pidana. Apabila dipandang bahwa perampasan tersebut telah melanggar hukum, maka telah terdapat upaya hukum dengan mengajukan praperadilan atau menempuh upaya lain sesuai dengan prinsip due process of law. Sedang dari aspek hukum (acara) perdata, ia berpendapat bahwa tidak ada kerugian terhadap hak konstitusional pemohon karena perampasan tersebut tidak menghilangkan hak pemohon sebagai kreditor dimana hapusnya barang jaminan fidusia dianggap tidak menghapuskan kedudukan dan hak pemohon untuk mendapatkan haknya sebagai kreditor dari kewajiban debitor. Dengan demikian, tidak ada kerugian terhadap hak konstitusional pemohon sehingga permohonan pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Berbeda dengan pendapat tersebut, Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H., MCL berpendapat bahwa pemohon dianggap bukan sebagai pemilik dari 3 unit truk yang telah dirampas oleh negara. Dengan adanya perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian ikutan (accessoir overeenkomst), maka tidak berarti telah terjadi peralihan hak milik (levering; transfer of ownership) secara tuntas pada kepemilikan jaminan fidusia, karena pada dasarnya perjanjian pokoknya (hoofdelijk overeenkomst) adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur untuk memenuhi suatu prestasi tertentu (utang piutang). Dengan adanya perampasan tersebut, berarti hanya terjadi peralihan penguasaan jaminan fidusia (3 unit truk) dari debitur ke negara tanpa mengurangi hak dan kewajiban kreditur mapun debitur untuk memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan sebagai perjanjian pokoknya. Di samping itu, pemohon tidak dapat menganggap bahwa jaminan fidusia telah menjadi haknya karena perjanjian pokoknya belum berakhir dan pemohon masih mendapatkan pembayaran dari debitur sebagai pemberi jaminan sehingga manjadi janggal apabila jaminan tersebut dianggap telah menjadi hak milik pemohon sebagai kreditur. Untuk itu perlu ditentukan secara hukum status hubungan hukum antara pemohon selaku kreditor dengan debitornya yaitu apakah pihak debitor masih mengakui adanya kewajiban untuk membayar utangnya. Dan apabila telah muncul perselisihan sebagai akibat hukum dari dirampasnya 3 unit truk sebagai jaminan fidusia maka harus mendapatkan putusan hukum tetap lebih dahulu dari pengadilan (umum) sebagaimana klausul dari perjanjian antara debitor dengan kreditor, dengan demikian dapat diketahui status hubungan hukumnya. Apabila status hubungan hukum dari perjanjian tersebut belum terputus, maka 3 unit truk sebagai jaminan fidusia tidak dapat dianggap sebagai hak milik pemohon. Dengan tidak dapat dibuktikannya status hubungan hukum tersebut, maka kepentingan pemohon yang dirugikan tidak dapat dibuktikan sehingga permohonan pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Kemudian terhadap pokok permohonan, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada intinya menyatakan sebagai berikut:
a.Bahwa hak milik yang telah dilindungi oleh ketentuan UUD 1945 tidak bersifat absolut, melainkan pelaksanaannya wajib tunduk kepada pembatasan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum sebagaimana tercantum dalam pasal 28J (2) UUD 1945.
b.Ketentuan pasal 78 (15 ) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 adalah untuk kepentingan nasional dari tindakan illegal loging yang telah merajalela yang secara tidak langsung  mengganggu dan membahayakan ekosistem dan kelangsungan kehidupan.
c.Hak kepemilikan pemohon terhadap barang jaminan fidusia tetap dilindungi oleh UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dikurangi dan dalam praktik penerapan hukumnya PN Sengeti dalam perkara perdata No. 4/Pdt.PLW/PN.Sgt telah mengabulkan perlawanan (verzet) pemohon atas perampasan hak kepemilikannya, dengan demikian perampasan barang yang dianggap sebagai hak milik pemohon hanyalah permasalahan penerapan hukum dan bukan masalah inkonstitusionalitas dari pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004.
d.Bahwa hak milik yang didalihkan pemohon tidak sama dengan hak milik yang didasarkan pada hubungan inheren antara pemegang hak milik dengan obyek hak milik, sehingga perlindungan hukumnya tidak dapat diperlakukan sama terlebih lagi untuk kepentingan yang lebih besar.
e.Obyek fidusia yang merupakan barang bergerak berada dalam penguasaan penuh pemberi fidusia sehingga risiko dari penggunaan yang menurut hukum maupun melawan hukum seharusnya dapat diantisipasi sebelumnya. Di samping itu, dengan dirampasnya obyak fidusia bukan berarti menghilangkan hak tagih kreditor (dalam hal ini pemohon) terhadap debitor.
 
Terhadap keputusan tersebut dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas, Mahkamah Konstitusi RI menagdili dengan memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya. 
  
B.     Analisis Hukum Hak Milik dalam Perspektif HAM
Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) memberikan jaminan hak setiap orang untuk memiliki harta bendanya (possession) dan juga hubungannya dengan hak-hak lain serta melarang perampasan terhadap hak tersebut secara sewenang-wenang. Apabila ditinjau dari sistem hukum internasional terhadap HAM, keberadaan hak atas kepemilikan tersebut belum ditingkatkan pengakuannya dalam kovenan yang merupakan salah satu produk hukum internasional yang lebih bersifat mengikat (hard law). Selama penyusunan draft Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) dan Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah banyak upaya untuk memasukkan hak kepemilikan dalam konstruksi kedua produk hukum internasional tersebut, namun upaya ini gagal karena tidak disetujuinya pembatasan akan hak tersebut.
Secara historis, terdapat perdebatan yang tajam untuk melakukan perlindungan hukum terhadap hak milik sebagai hak asasi manusia. Negara-negara Eropa Barat dan AS menjadi garis depan untuk memperjuangkan perlindungan terhadap hak milik. Sebaliknya, negara-negara sosialis dan negara dunia ketiga menekankan pada fungsi sosial hak tersebut yang memungkinkan adanya intervensi terhadap hak tersebut atas nama kepentingan umum. Dengan demikian, hak kepemilikan berkaitan erat dengan kebijakan sosial ekonomi suatu negara.
Dalam sistem hukum di Indonesia, jaminan secara tegas terhadap hak milik sebagai HAM telah dinyatakan dalam pasal 28H (4) UUD 1945 jo. Pasal 28G (1) UUD 1945. Permasalahan hukum (legal issue) yang kemudian muncul, khususnya terkait dengan perlindungan hak milik dalam perkara di atas adalah, apakah memang hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Konstitusi RI tersebut tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan kondisi apapun?
Dalam article 29 (2) The Declaration of Human Rights 1948 ditegaskan: “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitation as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedom of others and of meeting the just requirement of morality, public order, and the general welfare in democratic society”. Rumusan ini sejalan dengan ketentuan konstruksi penghormatan, pengakuan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan:   
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.      
Berdasarkan pada ketentuan tersebut di atas, jika diuraikan lebih lanjut bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang, termasuk hak milik sebagaimana tercantum pada UUD 1945 Bab XI tentang Hak Asasi Manusia, tetap memiliki batasan-batasan. Akibatnya setiap orang tidak dapat menjalankan hak dan kebebasannya tersebut secara absolut, terlebih lagi jika bertentangan dengan hak asasi orang lain, ketertiban kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, untuk menjamin agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia karena pelaksanaan hak dan kebebasan oleh setiap orang secara absolut, maka dilakukanlah pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Namun demikian, pembatasan tersebut haruslah nyata-nyata hanya dengan tujuan hukum untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan yang didasarkan pada pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pemohon terkait dengan perlindungan hak milik pemohon (atas dasar jaminan fidusia) sejalan dengan amanat UUD 1945, karena pembatasan hak milik (dalam bentuk perampasan 3 unit truk oleh penegak hukum dalam rangka pemberantasan illegall loging) dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang (yakni pasal 78 (15) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004 mengenai penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004), dengan tujuan keamanan dan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



TUGAS UTS
HUKUM DAN HAM







Oleh :
Humaira ( 0720010)



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
2010