TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Rabu, 16 Juni 2010

FUNGSI WAHYU

A.PENDAHULUAN
Pemikiran Islam sebagai suatu kebenaran yang subyektif dengan sendirinya akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan informasi disekitar pemahaman pesan Ilahi yang dikuasai oleh seseorang, baik dalam pengetahuan maupun dalam pengalaman. Demikian pula otoritas rasio (yang dipelopori Mu’tazilah) dan tradisi (yang dipelopori Asy’ariyah dan sebagian Maturidi) mungkin akan mengalami perubahan yang bertentangan, tetapi kenyataannya bahwa suatu pemikiran itu tidaklah dengan sendirinya menjadi objek kutukan dan penghargaan atau menjadi jaminan kebenaran atau kepalsuan.
Otoritas rasio dan tradisi hanyalah merupakan alat, jalan dan cara untuk mendapatkan pengetahuan, walaupun otoritas tradisi selamanya tidak dapat dipisahkan dari rasio. Tetapi kenyataannya bahwa sesuatu itu merupakan nilai syari’at, tak dapat dipertentangkan secara utuh dengan sesuatu yang rasional, oleh karena itu setiap lontaran pemikiran Islam seharusnya diperlakukan sebagai karya ijtihadi dalam rangka menggapai kehendak Tuhan dan bukan sebagai firman itu sendiri. Maka patutlah kita renungkan bahwa:اختلاف العلماء رحمة , perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah suatu rahmat.

B. PEMBAHASAN
Menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Sebelum turunnya wahyu, manusia telah berkewajiban berterimakasih pada Allah, berbuat baik dan menjauhi yang munkar. Semua hal ini (berterimakasih, berbuat baik dan menjauhi yang buruk) dapat diketahui dengan akal.
Polemik penting mengenai akal dan wahyu terjadi antara aliran-aliran teologi islam, terutama antara Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap dua persoalan pokok dalam agama, yaitu adanya tuhan serta kebaikan dan kejahatan, dengan permasalahan:
1. Dapatkan akal mengetahui adanya Tuhan (husul ma’rifah Allah) ?
2. Dapatkan akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan ?
3. Dapatkan akal mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk (ma’rifah al-husn wa al qubh ) ?
4. Dapatkan akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya mengetahui perbuatan buruk (wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al qabih )?
Dengan adanya permasalahan di atas, terjadi perbedaan pendapat dikalangan mutakallimin.
a.Mu’tazilah
Golongan ini berpendapat bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui oleh akal. Semua pengetahuan dapat diperoleh dengan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasihlah pada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Fungsi Wahyu menurut aliran Mu’tazilah, wahyu tidak berfungsi apa-apa dalam empat hal tadi. Adapun tentang Tuhan, Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan dan menganggapnya sebagai esensi Tuhan (meskipun disebut sebagai sifat, misal: maha Melihat, Mendengar, dst). Tuhan adalah Dzat yang suci dan sempurna dari segala kekurangan, oleh karena itu Tuhan pasti memilki sifat-sifat tersebut. Sehingga menurut Mu’tazilah, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan ini, tidak perlu melalui wahyu, tetapi cukup dengan akal saja. Akan tetapi wahyu diperlukan dalam menerangkan cara yang tepat menyembah Tuhan kepada manusia. Selanjutnya mengenai mengetahui baik dan buruk, akal tidak bisa sepenuhnya mengetahui hal ini, tetapi memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu juga berperan dalam memeberikan penjelasan rincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dismpulkanv bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang diketahui akal,, menerangkan apa yang belum diketahui akal dan menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal.
Bagi paham Mu’tazilah, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
b. Asy’ariyah
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menggunakan akal sebagai modal utama dalam memecahkan masalah di atas (rasional). Golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui hanya satu dari keempat masalah itu, yaitu adanya Tuhan. Menurut Asy’ariyah semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu, akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib.
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi mengetahui tentang kewajiban terhadap Tuhan diperoleh hanya melalui wahyu.
Meskipun demikian pendapat Asy’ari (w. 324 H), al-Baghdady ( w. 422 H ) tokoh al-Asy’ariyah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sebelum turun wahyu belum ada kewajiban atau larangan bagi manusia, dan jika pada masa itu ada orang yang dapat mengetahui Tuhan dan percaya kepada-Nya, maka ia adalah mukmin, akan tetapi ia tidak berhak mendapatkan pahala dari Tuhan. Jika ia dimasukkan ke surga itu adalah atas kemurahan Tuhan. Sebaliknya jika pada masa itu ada orang yang tidak percaya kepada Tuhan, maka ia kafir atau ateis, akan tetapi ia tidak mesti dihukum. Jika Tuhan memasukkannya ke neraka itu bukanlah merupakan hukuman.
Pendirian al-Baghdady (w. 422 H) ini mengandung makna bahwa, sebelum turun wahyu tidak ada taklif  bagi manusia. Kewajiban dan larangan belum ada, semuanya diserahkan kepada manusia apakah ia akan bersyukur kepada Tuhan atau tidak, apakah ia akan berbuat baik atau malah sebaliknya. Hanya wahyu yang dapat menetapkan adanya kewajiban dan larangan melakukan sesuatu.
c.Maturidiyah
Dalam masalah ini pendapat Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan, yaitu Maturidiyah Samarkhan dan Maturidiyah Bukhara.
Maturidiyah Samarkhan memberi jawaban bahwa hanya satu, yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat yang tidak dapat diketahui oleh akal, sementara ketiga masalah lainnya adalah dalam jangkauan akal. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Sedangkan kaum Maturidiyah Bukhara tidak sepaham dengan Samarkhan. Bukhara berpendapat hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diketahui akal. Adapun kewajiban-kewajiban itu, wahyu Allah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui akal hanya dua dari empat masalah di atas, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Selanjutnya bila kita cermati pendapat al-Maturidiyah, pada  dasarnya pendapatnya sejalan dengan Mu’tazilah, yaitu bahwa akal dapat mengetahui kewajiban untuk berterima kasih pada Tuhan. Pendapat ini bisa dicermati dari pendapat Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H) yang dikemukakan oleh al-Bazdawy sebagai berikut:  Bagi Mu’tazilah, beriman kepada Allah dan berterima kasih kepada-Nya sebelum turunnya wahyu hukumnya adalah wajib, Abu Manshur al-Maturidial-Maturidi juga sefaham dengan yang demikian.
Dengan demikian bagi al-Maturidiyah, meskipun Tuhan belum mengutus seorang Rasul, namun manusia wajib berusaha untuk mengetahui Tuhan dengan akalnya, wajib mengetahui ke-Maha Esaan-Nya , dan mengetahui segala sifat yang sempurna bagi-Nya, Sedangkan bagi Asy’ariyah iman belum diwajibkan dan kufur belum diharamkan, sebelum datang seorang Rasul menjelaskannya.
Yang patut menjadi perhatian kita adalah bahwa pendapat al-Maturidi ini tidak sepenuhnya diikuti oleh pengikutnya, terutama pengikutnya yang di Samarkand. Bagi mereka akal adalah alat untuk mengetahui kewajiban, sedangkan yang menentukan kewajiban (al-mujib), adalah Allah sendiri.
Khusus mengenai soal baik dan buruk, al-Maturidi menyatakan bahwa, akal dapat mengetahui sifat baik yang melekat pada sesuatu yang baik dan sifat buruk yang melekat pada sesuatu yang buruk. Akal juga mengetahui bahwa berbuat baik itu adalah baik dan berbuat jahat itu adalah buruk. Pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan larangan. Akallah yang membawa kepada kepastian adanya perintah dan larangan, bukan membawa kepada pengetahuan wajibnya berbuat baik dan wajibnya  meninggalkan yang jahat.
C. PENUTUP
Al-Syahrastani secara umum mengemukakan persoalan-persoalan klasik yang menarik untuk dibicarakan adalah tentang kedudukan akal dan fungsi wahyu bagi manusia. Menurut pengamatannya, ada empat persoalan yang selalu menjadi bahasan para teolog muslim, yaitu mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui adanya Tuhan (hunusi ma'rifat Allah wa wujub ma'rifat): kemudian mengetahui baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk (ma'rifat al-husn wa al-qobh Itinaq al-husn wa ijtinab al-wabh).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam aliran-aliran teologi tersebut terdapat perimbangan yang berbeda antara peranan akal dan fungsi wahyu. Bertambah besar fungsi wahyu dalam satu aliran  maka bertambah kecillah peranan akal dalam satu aliran. Sebaliknya, semakin besar peranan akal dalam satu aliran, maka semakin kecillah fungsi wahyu dalam aliran tersebut. Jadi, peranan akal berbanding terbalik dengan fungsi wahyu. Hal ini akan membawa implikasi pada sistem pengambilan  keputusan hukum yang mereka gunakan.
Oleh karena itu di dalam sistem teologi yang memberikan daya terbesar kepada akal dan funghsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia, dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariyah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka . didalam alira Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangaqn Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.

D. DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. (2009). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Karim, Muhammad Nazir. 2004. Dialektika Teologi Islam; Analisis Pemikiran Kalam, Syeikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari. Bandung: Penerbit Nuansa
http://kampusciamis.com/artikel/religi/69-aliran-aliran-teologi-dalam-islam-.html














MAKALAH
ILMU FALAQ
{FUNGSI WAHYU}





Oleh :
Humaira ( 07120010)
Rizqi Fauzia (071200 )



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARIAH
2010

{PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI & PERMASALAHANNYA}

A. Pendahuluan.
Putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di Pengadilan. Adapun jenis-jenis putusan dilihat dari sifatnya sebagai berikut :
Putusan declaratoir.
Yaitu putusan Pengadilan yang amarnya menyatakan suatu keadaan dimana keadaan tersebut dinyatakan syah menurut hukum, misalnya pengangkatan anak.
Putusan constitutif
Yaitu putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru, misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan.
Putusan condemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.
Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang bersifat condemnatoir saja, kemudian pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk melaksanakan.
eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankanya. Hakikat eksekusi adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tecantum dalam putusan Pengadilan. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (eksecution forcee).
Azas dari pada eksekusi adalah :
- Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum yang tetap
- Putusan tidak dijalankan secar sukarela.
- Putusan mengandung amar condemnatoir.
- Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan. (Abdul Manan : 2005 : 315)
Dunia Peradilan mengenal putusan perdamaian, sebagaimana termaktub dalam Pasal 154 R. Bg., bahkan lebih dari pada itu, dengan terbitnya PERMA RI Nomor 1 Tahun 2008 semua sengketa perdata dalam melaksanakan perdamaian harus menempuh prosedur mediasi, dan Pasal 2 ayat (3) PERMA tersebut menyatakan : Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Syarat formal dan akibat dari suatu perdamaian sebagai berikut :
- Adanya persetujuan kedua belah pihak.
- Mengakhiri sengketa.
- Perdamaian atas sengketa yang telah ada.
- Bentuk perdamaian harus tertulis. (Abdul Manan : 2005 : 157)
Atas uraian tesebut di atas timbul permasalahan sebagai berikut :
- Apakah dalam proses eksekusi masih terbuka bagi para pihak untuk mengadakan perdamaian ?
- Bagaimana sikap Pengadilan menghadapi perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan alasan adanya perdamaian kedua belah pihak?
B. Pembahasan.
1. Perdamaian kedua belah pihak saat proses eksekusi
Pemeriksaan perkara diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan saja belum tentu selesai persoalan, melainkan harus dapat dilaksanakan. Suatu putusan Pengadilan tidak ada artinya bila tidak bisa dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan hakim yang dapat dilaksanakan secara paksa oleh Pengadilan hanya putusan condemnatoir saja, sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan secara paksa.
Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang dikalahkan. Dengan demikian maka selesailah perkaranya tanpa mendapat bantuan dari Pengadilan dalam melaksanakan putusan tesebut . Akan tetapi pihak yang dikalahkan sering kali tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga pihak yang menang mohon bantuan dari Pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa yaitu eksekusi. Hakikat dari eksekusi adalah realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.



Adapun azas yang berhubungan dengan putusan yang bisa dieksekusi, sebagai berikut :
Bersifat Partai
Gugatan yang diajukan di Pengadilan yang mengadung sengketa dinamakan contentiosa, sudah barang tentu persengketaanya tidak mungkin dapat diselesaikan secara sepihak, melainkan melibatkan dua atau beberapa pihak. Dari sinilah lahir azas yang menentukan tiap gugat yang bersifat gugatan atau contentiosa mesti bersifat partai.
Bersifat contradictoir
Azas lain yang melekat pada perkara contentiosa adalah pemeriksaannya bersifat contradictoir, artinya dalam sidang pemeriksaan kepada para pihak diberi leluasa untuk membela hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat , maka dalam persidangan terjadi dialog langsung dari dalil gugat, jawab, replik, duplik. Disamping itu kepada Penggugat dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil gugat, dan kepada Tergugat diberi pula hak mengajukan bukti lawan untuk melumpuhkan pembuktian Penggugat, dan kemudian para pihak diberi hak untuk menyampaikan kesimpulan (konklusi).
Bersifat condemnatoir
Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada gugat contentiosa bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan, maka pihak penggugat dapat menuntut agar hakim menghukum pihak tergugat. Berdasarkan tuntutan petitum yang diminta penggugat, maka hakim dalam amar putusannya harus menjawab dengan amar putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir).
Mengikat kepada para pihak.
Semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka mengikat para pihak, apalagi putusan yang bersifat condemnatoir atau eksekutorial.
Putusan mempunyai nilai kekuatan pembuktian
Hal lain yang tidak kurang pentingnya, ialah azas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat kekuatan mengikat yang melekat pada setiap putusan Pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai kekuatan pembuktian yang menjangkau :
-       Para pihak yang berpekara
-       Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
-       Ahli waris mereka.
1.Putusan mempunyai kekuatan eksekutorial
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara suka rela, dan kemudian pihak yang menang mengajukan permohonan eksekusi dan pihak yang kalah sudah di “aanmaning” kemudian telah melewati delapan hari, maka terwujudlah dalam putusan kekuatan eksekutorial (excecutorial kracht). Dalam hal ini Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan perintah eksekusi kepada jurusita untuk melaksanakan eksekusi. (Yahya Harahap : 1989 : 347).
Adapun tatacara eksekusi (misalnya eksekusi riil) sebagai berikut :
1.Ada surat permohonan eksekusi dari pihak pemenang, jika pihak yang kalah tidak melaksanakan secar suka rela (Pasal 207 ayat(1) R. Bg./196 HIR).
2.Petugas meja I melakukan penaksiran biaya eksekusi untuk biaya pendaftaran eksekusi, saksi-sasksi, biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu.
3.Setelah didaftarkan dalam register eksekusi kemudian melaksanakan peringatan (aanmaning), dengan terlebih dahulu jurusita melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan oleh Ketua Pengadilan. Adapun caranya aanmaning sebagai berikut :
-       Melakukan sidang insidentil yang dihadiri oleh Ketua, Panitera dan pihak yang kalah.
-       Memberikan peringatan/ teguran supaya melaksanakan putusan hakim dalam jangka waktu delapan hari.
-       Membuat berita acara aanmaning sebagai landasan perintah eksekusi.
1.Mengeluarkan surat perintah eksekusi, sebagai berikut :
2.Perintah eksekusi berupa penetapan.
3.Perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita yang namanya harus disebutkan dengan jelas.
4.Menyebutkan nomor perkara dan objek perkara yang akan dieksekusi.
5.Memerintahkan bahwa pelaksanaan eksekusi harus di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang meja saja.
6.Isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan.
1.Pelaksanaan eksekusi riil, sebagai berikut :
2.Jenis barang-barang yang dieksekusi.
3.Letak, ukuran, dan luas barang tetap yang dieksekusi.
4.Hadir tidaknya pihak tereksekusi.
5.Penegasan dan keterangan pengawasan barang.
6.Penjelasan non bavinding bagi yang tidak sesuai dengan amar putusan.
7.Penjelasan dapat atau tidaknya eksekusi dijalankan.
8.Hari, tanggal, jam dan tahun pelaksanaan eksekusi.
9.Berita acar eksekusi ditandantangani oleh pejabat pelaksana eksekusi, dua orang saksi, kepala desa/lurah setempat dan tereksekusi(Samparaja : 2009 : 9)
Pada dasarnya batas usaha perdamaian hanya terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan (Sudikno Mertokusumo : 1988 : 830, namun dalam praktek dengan kesadarannya sendiri para pihak berdamai saat proses eksekusi.
Para Pakar Hukum mengemukakan, bahwa pelaksanaan eksekusi harus sesuai bunyi putusan. Bila tidak dapat dieksekusi secar riil dilakukan lelang. Bila para pihak dalam melaksanakan eksekusi berdamai mengenai pembagian objek sengketa eksekusi dapat menyimpangi bunyi putusan dan dilakukan pembagian sesuai kesepakatan para pihak (Mahkamah Agung RI : 2008 : 8).
Berdasar pada uraian tersebut dan berpijak pada azas perdamaian dalam pemeriksaan perkara perdata, dan pula dengan terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, maka betapa urgensi dan betapa mahal, serta menghabiskan waktu yang diberikan hukum untuk mencapai prestasi perdamaian. Oleh karena waktu itu walaupun dalam proses eksekusi dan kemudian para pihak tanpa disuruh oleh mediator mereka sadar menemukan mufakat dan damai, maka hal tersebut suatu prestasi yang luar biasa dan menggembirakan dimata hukum.
Dengan demikian perdamaian pada proses eksekusi masih dibenarkan oleh hukum, dengan syarat perdamaian dimaksud secara tertulis. Dan terwujudlah penyelesaian sengketa tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang (win win solution).
2. Sikap Pengadilan  menghadapi perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan alasan adanya perdamaian kedua belah pihak.
Naluri semua manusia dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, dan kemudian terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah, maka bagi pihak yang kalah akan merasa kecewa, atau bahkan lebih daripada itu yaitu marah, demo bahkan mencaci maki kepada Hakim atau Pengadilan.
Jangankan putusan Pengadilan, dalam kasus kecil, misalnya kompetisi, turnamen olah raga, maka pihak yang kalah akan mengalami suatu kekecewaan.
Sebenarnya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau dalam proses eksekusi, masih terbuka upaya hukum luar biasa (request civil) yaitu peninjauan kembali yang merupakan upaya untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu masih juga terbuka perlawanan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap atau dalam proses eksekusi, misalnya perlawanan dari pihak ketiga (derden verzet) yaitu pihak ketiga diberi hak mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang dijalankan oleh Pengadilan, dengan dasar kepada “hak milik” bahwa yang hendak dieksekusi ditunda sampai ada ada kejelasan pemeriksaan. Bila pihak pelawan dimaksud mempunyai hak milik dalam harta yang hendak dieksekusi, maka eksekusi ditunda sampai ada putusan yang berkekuatan hukum. Upaya hukum luar biasa dan perlawanan pihak ketiga tersebut dalam kategori koridor hukum.  Lain halnya dalam kasus “perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan dengan alasan adanya perdamaian kedua belah pihak”. Mungkinkah hal tersebut terjadi? Dan bagaimana sikap Pengadilan?
Menghadapi hal tersebut, Pengadilan harus menyelidiki kebenaran perdamaian tersebut, dengan memperhatikan, hal-hal sebagai berikut :
1.Pernyataan dari Tereksekusi tentang adanya perdamaian.
2.Pemohon eksekusi membenarkan dan menyetujui adanya perdamaian.
3.Perdamaian dimaksud secara tertulis.
Pakar hukum mengatakan : Bila termohon eksekusi mengajukan permohonan untuk penangguhan pelaksana lelang dengan janji akan melaksanakan isi putusan secara suka rela disertai dengan surat pernyataan, maka diperbolehkan dengan syarat termohon eksekusi menyerahkan uang jaminan guna biaya pelaksanaan eksekusi berikutnya serta diberi batas waktu (Mahkamah Agung RI. : 2001 : 78). Selain pendapat tersebut, Abdul Manan dalam bukunya Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, mengatakan permasalahan tersebut bersifat kasuistik dapat terjadi dengan alasan kemanusiaan dan alas an adanya perlawanan pihak ketiga (derden verzet).
Dalam hal benar adanya perdamaian, Pengadilan harus mempertimbangkan dan bijak menghadapi para pihak atau masyarakat pendukung para pihak yaitu menangguhkan pelaksanaan eksekusi dengan batas waktu tertentu, apalagi bila pengamanan tidak sebanding dengan masa para pihak, demi keselamatan aparat negara khususnya dan masyarakat umumnya. Pemberian batas penangguhan eksekusi disesuaikan kesepakatan para pihak, atau misalnya selama enam bulan sejak keluar surat perintah eksekusi. Hal ini dianalogikan dengan hak pemohon ikrar talak ketika diberi hak untuk menjatuhkan talak atau mengeksekusi perkara ikrar talak.
Oleh karena perdamaian pada proses eksekusi dalam pembahasan ini diluar campur tangan Pengadilan, maka perdamaian dimaksud tidak menghapus atau menggantikan amar putusan perkaranya, melainkan salah satu bentuk dari pelaksanaan amar putusan perkaranya
C. Penutup
Berpijak pada uraian di atas bisa disimpulkan sebagai berikut :
1.Perdamaian pada proses eksekusi dibenarkan dalam hukum.
2.Bila ada perdamaian antara pihak tereksekusi dan pemohon eksekusi, apalagi ada perlawanan tereksekusi dengan alasan perdamaian, maka Pengadilan menangguhkan pelaksanaan eksekusi selama sesuai kesepakatan para pihak. Namun bila dalam tengang waktu tersebut isi perdamaian tidak dilaksanakan, maka Pengadilan melanjutkan eksekusi sesuai prosedur.
D. Daftar Pustaka
M. Yahya Harahap, SH. 1991. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, PT Gramedia
Prof. R Subekti, SH. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung. Bina Cipta
Jazuli Bachar, SH. Eksekusi Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum.
Prof. R Supomo, SH. 1989. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta. PT Pradirya Paramita














TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
{PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI & PERMASALAHANNYA}





Oleh
Nama : Humaerak
Nim : 07120010

JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010

“PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERADILAN AGAMA”



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah peradilan yang khusus mngadili perkara-perkara perdata dimana pihanya beragama Islam (muslim). Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Undan-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragam Islam. Perkara-perkara yang diputus oleh peradilan agama antara lain perceraian, perwalian, pewarisan, wakaf, dll. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum Islam, wakaf, dan shadaqah (Pasal 49 UUPA)
Pengadilan Agama sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman harus menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya (court of law) sesuai dengan kedudukanya yang telah diberikan oleh undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian Pengadilan Agama perlu meningkatkan kualitas aparatnya sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan benar tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Adapun yang harus dilakukan adalah melaksanakan hukum yang acara dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hukum acara yang berlakudalam peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UUPA (Pasal 54 UUPA). Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukanya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA)
Permohonan perkara yang diajukan, menurut ketentuan pasal 31 ayat (1), sekurang-kurangnya harus memuat, pertama, identitas pemohon yaitu setidak-tidaknya nama dan alamat serta status hukumnya. Setelah penggugat memasukan gugatannya dalam daftar pada kepaniteraan Pengadilan dan melunasi biaya perkara, kemudian ia tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang. Disinilah merupakan langkah awal untuk memasuki proses pemeriksaan, sehingga akan diketahui cara dan proses pemeriksaan di Pengadilan Agama yang sesuai dengan prosedur



B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.Bagaimanakah proses dan prosedur pemeriksaan perkara di Peradilan Agama?
2.Hal Apa sajakah yang berhubungan dan perlu diperhatikan dalam proses pemeriksaan perkara?




























PEMBAHASAN
Pemeriksaan Perkara
Setelah penggugat memasukan gugatannya dalam daftar pada kepaniteraan Pengadilan dan melunasi biaya perkara, kemudian ia tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang. Gugatan itu tidak akan didaftar apabila biaya perkara belum dibayar (Pasal 121 (4) HIR, 145 (4) Rbg).
Adapun proses pemeriksaan perkara diantaranya:
a. Persiapan Persidangan
1. Penetapan Majelis Hakim
· Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah proses registrasi perkara diselesaikan, Petugas Meja II menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.
· Selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja ketua pengadilan menetapkan Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut.
2. Penunjukan Panitera Sidang
Panitera pengadilan dapat menunjuk dirinya sendiri atau Panitera Pengganti untuk membantu Majelis Hakim dalam menangani perkara.
3. Penetapan Hari Sidang
· Perkara yang sudah ditetapkan Majelis Hakimnya segera diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk.
· Ketua Majelis Hakim setelah mempelajari berkas selama 7 (tujuh) hari kerja harus sudah menetapkan hari sidang.
· Dalam menetapkan hari sidang, Ketua Majelis Hakim harus memperhatikan jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat persidangan.
· Pemeriksaan perkara cerai dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat guguatan/permohonan didaftarkan di Pengadilan Agama. (Pasal 68 (1) dan 80 (1) UU No. 7/1989).
4. Pemanggilan Para Pihak
· Pemanggilan para pihak untuk menghadap sidang dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti kepada para pihak atau kuasanya di tempat tinggalnya.
· Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan pada Lurah/Kepala Desa untuk diteruskan kepada yang bersangkutan.
· Tenggang waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang paling sedikit 3 (hari) kerja.
· Apabila tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilan dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya, yaitu :
1. Perkara di bidang perkawinan : Dipanggil dengan pengumuman di media masa sebanyak 2 (dua) kali tayangan dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dengan pengumuman kedua. Dan tenggang waktu antara pengumuman terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan (Pasal 27 PP.9/1975 jo. Pasal 139 KHI).
2. Perkara yang berkenaan dengan harta : Dipanggil melalui Bupati/Walikota dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama setempat dengan menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman Bupati/Walikota dan papan pengumuman Pengadilan Agama (Pasal 390 (3) HIR/Pasal 718 (3) RBg).
· Pemanggilan terhadap tergugat/termohon yang berada di Luar Negri dikirim melalui Departemen Luar Negri cq. Dirjen dan Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negri dengan tembusan disampaikan kepada KBRI di Negara yang bersangkutan.
b. Pelaksanaan Persidangan
1. Acara di Pengadilan Agama
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. (Pasal 54 UU No. 7/1989).
2. Tahapan Persidangan
· Upaya Perdamaian dan Mediasi (Pasal 82 UU No. 9/1975 dan PERMA No. 1/2008).
· Pembacaan Surat Gugatan/Permohonan.
· Jawaban, Reflik, Duflik.
·Pembuktian.
· Khusus perkara perceraian dengan alasan perselisihan perlu didengar keterangan/saksi dari keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak (Pasal 22 PP. 9/1975 jo. Pasal UU No. 7/1989).
· Kesimpulan.
· Putusan.



c. Pelaksanaan Putusan.
1. Perkara Cerai Talak.
· Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, Ketua Majelis menetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak.
· Pemohon dan termohon dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Dan termohon mengucapkan ikrar talak.
· Jika termohon telah dipanggil secara sah tidak datang atau tidak mengirim wakinya untuk datang, pemohon dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya termohon.
· Jika pemohon dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah dipanggil secara sah, maka gugurlah kekuatan putusan tersebut (Pasal 70 UU No. 7/1989).
2. Perkara yang berkenaan dengan Harta
· Jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, dan para pihak tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut dengan suka rela, maka pihak yang dimenangkan putusan tersebut mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama.
· Eksekusi dilaksanakan oleh Jurusita.
3. Pokok-pokok Isi Berita Acara Persidangan
Berita acara persidangan pengadilan merupakan akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu, dan isinya adalah berupa ihwal secara lengkap mengenai pemeriksaan perkara dalam persidangan yang dijadikan pedoman hakim dalam menyusun putusan. Berita acara itu harus ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Sidang. Adapun keberadaan Berita Acara Persidangan Pengadilan Agama adalah :
1. Fungsi
a. Sebagai akta otentik.
b. Sebagai dasar Hakim dalam menyusun putusan..
c. Sebagai dokumentasi dan informasi keilmuan.
2. Isi Berita Acara
a. Hal-hal yang harus dimuat dalam Berita Acara Persidangan
1. Pengadilan yang memeriksa.
2. Hati, Tanggal, Bulan dan Tahun.
3. Identitas dan kedudukan pihak dalam perkara.
4. Susunan majelis hakim dan panitera siding.
5. Pernyataan siding dibuka dan terbuka untuk umum.
6. Keterangan kehadiran dan ketidakhadian para pihak.
7. Upaya mendamaikan.
8. Pernyataan sidang tertutup untuk umum.
9. Pembacaan surat gugatan.
10. Pemeriksaan pihak-pihak.
11. Pernyataan sidang terbuka untuk umum pada waktu penundaan sidang terhadap sidang yang sebelumnya dinyatakan tertutup untuk umum.
12. Penundaan sidang pada hari, tanggal, bulan, tahun, jam dengan penjelasan perintah hadir melalui relaas dan atau dipanggil melalui relaas.
13. Pernyataan sidang diskors untuk musyawarah Majelis Hakim.
14. Pernyataan sidang dibuka untuk membaca putusan.
15. Pernyataan sidang ditutup.
16. Penendatanganan oleh Ketua Majelis dan Panitera / Panitera Pengganti.
b. Materi Persidangan harus dibuat dalam persidangan.
1. Jawab menjawab.
2. Pemeriksaan alat-alat bukti.
3. Keterangan saksi ahli (jika ada).
4. Kesimpulan apabila dikehendaki para pihak.
c. Susunan Kalimat
1. Menggunakan kalimat langsung, yakni kalimat tanya jawab langsung antara Majelis Hakim dengan para pihak, para saksi, atau penerjemah.
2. Menggunakan kalimat tidak langsung, maksudnya adalah kalimat yang disusun oleh panitera pengganti adalah dari tanya jawab antara Majelis Hakim dengan para pihak atau saksi.
d. Format Berita Acara
Terdapat dua format berita acara persidangan, yang biasa dipilih yaitu :
1. Format Balok, yaitu pengetikan dengan membagi halaman kertas menjadi dua bagian, bagian kiri untuk pertanyaan, sedangkan bagian kanan untuk jawaban.
2. Format iris talas, sebagaimana format balok, namun semakin kebawah bagian pertanyaan semakin menyempit, sedangkan bagian jawaban semakin melebar seperti iris talas.
e. Materi Berita Acara Persidangan
1. Yang ditulis hanyalah yang relevan saja.
2. Berita acara harus sudah selesai sebelum memasuki sidang berikutnya.
3. Kesalahan tulisan harus direnvoi.
4. Sebagai dasar menyusun putusan oleh Hakim.
5. Pengetikan Putusan
Teknik pengetikan putusan diatur secara khusus, untuk itu dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Menggunakan kertas folio.
2. Margin kiri : 4 Cm, Margin atas : 3 Cm, Margin kanan : 2,3 Cm, Margin bawah : 3 Cm.
3. Kata P U T U S A N dengan huruf capital, direnggangkan hurufnya satu tust dan berada ditengah.
4. Tulis Nomor : /Pdt. /20 /PA…., ditulis ditengah kertas bagian atas.
5. Penulisan kalimat : BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, TENTANG DUDUK PERKARANYA, TENTANG HUKUMNYA, ditulis dengan huruf capital dan berada ditengah.
6. Penulisan kata “M E N G A D I L I” ditulis dengan huruf capital, berjarak hurufnya satu tust dan berada ditengah.
7. Alinia baru dimulai dengan 7 (tujuh) tust, berjarak dua spasi, husus untuk DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, dibawahnya dijarak empat spasi.
8. Nama penggugat/tergugat ditulis dengan huruf kapital, disambung dengan identitas yang ditulis dengan huruf kecil, dan baris berikutnya ditulis lebih masuk 35 tust.
9. Setiap ahir halaman pada susun kanan bawah ditulis kata yang mengawali pada halaman berikutnya.
10. Isi amar putusan dimulai 7 tust dari margin kiri.
11. Penulisan HAKIM KETUA, HAKIM ANGGOTA, PANITERA PENGGANTI, berikut nama-namanya ditulis dengan huruf capital juga.
12. Rincian biaya perkara ditulis pada halaman terakhir tiga cm dari margin bawah.
13. Apabila ada yang harus diperbaiki karena :
- ST/Sah dit : bila terjadi kesalahan/perubahan/tambahan.
- SC/Sah dic: bila terjadi pencoretan.
- SG/Sah dlg : bila ingin diganti.
- Baik dalam SC, ST dan SG harus diparaf juga oleh Majlis Hakim.
14. Kata SALINAN dalam salinan putusan ditulis pada sudut kiri atas halaman pertama. Pada lembar terahir dengan posisi pada sebelah kanan dari rincian biaya perkara ditulis sebagai berikut :
Untuk salinan yang sama bunyinya
Oleh :
PANITERA PENGADILAN AGAMA……
15. Salinan putusan ditanda tangani oleh panitera, dan panitera pengganti memaraf pada sebelah kanan kalimat PANITERA PANGADILAN AGAMA …………., Sedangkan wakil panitera memaraf pada sebelah kiri.
16. Setiap halaman salinan putusan dibubuhi stempel pada kiri atas, kecuali halaman terahir dibubuhi stempel sebelah kiri tanda tangan panitera.
17. Format Berita Acara Persidangan (BAP)
Format BAP harus ditulis rapi yang meliputi :
a. Bentuk dan ukuran huruf harus konsisten dan rapi dengan menggunakan komputer/mesin ketik.
b. Halaman yang sama separuh bagian kiri berisi pertanyaan, dan separuh bagian kanan berisi jawaban.
c. Disusun berurutan berdasar tahapan sidang, dikelompokkan mulai dari gugatan, jawaban, replik, duplik, alat bukti dari penggugat, tanggapan dari tergugatatas alat bukti penggugat, alat bukti tergugat, kesimpulan penggugat, kesimpulan tergugat, sikap penggugat dan tergugat serta para saksi.
d. Apabila terdapat kesalahan tulisan dalam BAP, cukup direnvoi saja.
e. Ditulis posisi/urutan persidangan (sidang pertama, sidang lanjutan I, sidang lanjutan II dan seterusnya), nomor halaman sebaiknya berurutan (tidak dipenggal-penggal), dan setiap mau masuk pada halaman berikutnya ditulis “kata pertama” dalam halaman itu dipojok kanan bawah yang diikuti titik seperlunya.
f. Jika persidangan dilakukan dengan cara tertulis, maka seluruh jawaban, replik, duplik disalin secara utuh dalam BAP.
18. Minutering (penandatanganan) berita acara persidangan.
a. BAP harus ditanda tangani oleh hakim ketua majlis dan panitera sidang. 207
b. Panitera sidang berkewajiban membuat BAP, sedangkan Hakim ketua majlis bertanggung jawab atas kebenarannya.


c. Apabila hakim ketua majlis berhalangan untuk menandatangani BAP, beralih pada hakim anggota majlis yang lebih senior,208 Dan apabila panitera sidang berhalamgan untuk menandatanganinya, maka cukup dijelaskan dalam BAP itu 209.
d. Penandatanganan BAP dilakukan sebelum sidang berikutnya.
19. Pembuatan BAP pelaksanaan ikrar talak.
a. Format dan isinya sama dengan BAP perkara biasa.
b. Harus ditulis kehadiran dan ketidakhadiran para pihak.
c. Apabila ada yang tidak hadir maka terlebih dahulu dibacakan relas oleh hakim ketua majlis.
d. Harus dicatat keadaan istri pada saat ikrar talak diucapkan oleh pemohon apakah istri dalam keadaan haidh, suci hamil, monopouse, qobla dukhul, bakda dukhul, dan lain-lain.
e. Harus ditulis redaksi “Ikrar Talak”.
f. Harus ditulis “Amar penetapan hakim”.
g. Harus ditulis bahwa “sidang penyaksian ikrar talak terbuka untuk umum”.



















PENUTUP

Kesimpulan
Mengingat begitu pentingnya proses pemeriksaan dalam setiap perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama maka dapat diketahui proses pemeriksaan di Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Majelis Hakim
2. Penunjukan Panitera Sidang
3. Penetapan Hari Sidang
4. Pemanggilan Para Pihak
b. Pelaksanaan Persidangan
1. Acara di Pengadilan Agama
2. Tahapan Persidangan
c. Pelaksanaan Putusan.
Pelaksanaan proses perkara yang benar dan sesuai prosedur akan memudahkan proses berperkara dari awal hingga pelaksanaan putusan yang menjadikan pelaksanaan hokum yang benar dan sesuai dengan aturan.

















DAFTAR PUSTAKA


Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah Jakarta, 2000
Hidayat, Padil, 2009, Penerimaan Perkara, Pemeriksaan Perkara, dan Berita Acara Persidangan, http://padilhidayat.blogspot.com, diakses 10 Mei 2010
Anonim, 2010, Prosedur Berperkara, http://www.pa-tarakan.net, diakses 10 Mei 2010