TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Kamis, 23 Desember 2010

TENTANG HAKI

1. Definisi HAKI: hak eksklusif yaitu hak yang diberikan o/ neg hanya kpd pemiliknya dimana pemilik hak mempuxai hak u/ melarang orang lain yang tanpa persetujuannya atau tanpa hak memperdagangkan atau memakai hak tsb.

HaKI adalah instrumen hukum yang memberikan perlindungan hak pada seorang atas segala hasil kreativitas dan perwujudan karya intelektual dan memberikan hak kepada pemilik hak untuk menikmati keuntungan ekonomi dari kepemilikan hak tersebut. Hasil karya intelektual tersebut dalam praktek dapat berwujud ciptaan di bidang seni dan sastra, merek, penemuan di bidang teknologi tertentu dan sebagainya. Melalui perlindungan HaKI pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan, memperbanyak, mengumumkan, memberikan izin kepada pihak lain untuk memanfaatkan haknya tersebut melalui lisensi atau pengalihan dan termasuk untuk melarang pihak lain untuk menggunakan, memperbanyak dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya tersebut.

  1. yg melatar belakangi pengaturan HAKI di Indonesia; yaitu agar:

1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain.

2. Pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun pidana dengan masyarakat umum.

3. Adanya kepastian hukum yaitu pemegang dapat melakukan usahanya dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain.

4. pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.

3. yang melatar belakangi diperbaharuinya UU HAKI?

Inilah kira-kira perubahan undang-undang perjalanan perundangn-undang HAKI di Indonesia sebagai berikut : UU No 6 Tahun 1982 -------> diperbaharui menjadi UU No 7 Tahun 1987------ > UU No 12 Tahun 1992------> Terakhir, UU tersebut diperbarui menjadi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayan Intelektual yang disahkan pada 29 Juli 2002 ternyata diberlakukan untuk 12 bulan kemudian, yaitu 19 Juli 2003, inilah kemudian menjadi landasan diberlakukannya UU HAKI di Indonesia.

HaKI bagi masyarakat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan hanya untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang akan tetapi dipakai sebagai alat strategi usaha dimana karena suatu penemuan dikomersialkan atau kekayaan intelektual, memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.

HAKI mempunyai tuj, apa peran HAKI untuk mencapai tuj tsb?

Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.

HUBUNGAN HAM DENGAN HUKUM PIDANA KHUSUS

Nama: Humaira

Nim: 07400275

HUBUNGAN HAM DENGAN HUKUM PIDANA KHUSUS

Hukum pidana itu langsung berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang tertinggi ialah hak untuk hidup, hukum pidana mengenal pidana mati. Ada hak asasi untuk bebas bergerak, hukum pidana mengenal pidana penjara dan sistem penahanan yang merampas kebebasan bergerak. Ada hak asasi untuk memiliki, ada pidana perampasan, dst.

Untuk menghilangkan pengenaan pidana yang semena-mena, karena langsung menyentuh hak asasi manusia, diperkenalkan beberapa asas. Akibat revolusi Perancis yang meletus karena pengenaan pidana semena-mena dan tidak adil, maka muncul asas legalitas yang diperkenalkan oleh sarjana Anselmus von Feuerbach yang bahasa latinnya : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ada sebelumnya). Asas ini muncul di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Perancis dan Belanda, tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Ned. WvS, dan kemudian Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia. Rumus ini kemudian berkembang lagi yang lebih manusiawi, menjadi “nullum crimen sine lege stricta” (tidak ada delik tanpa undang-undang yang tegas sebelumnya). Hal ini berarti tidak cukup ada undang-undang sebelum perbuatan, jika undang-undang itu rumusannya bersifat karet dapat ditafsirkan bermacam-macam. Maksudnya : rumusan delik itu harus berupa definisi. Demikianlah, sehingga jika dibaca dengan teliti rumusan delik dalam KUHP, semuanya bersifat definisi. Delik pencurian misalnya (Pasal 362 KUHP) berbunyi : “mengambil suatu barang (enig goed), seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum”. Jadi, mencuri barang sendiri misalnya baju di tukang jahit dengan maksud tidak membayar ongkos jahit, bukanlah pencurian. Begitu pula mencuri mobil orang lain sekedar coba-coba dan mengembalikan ke tempat semula, bukanlah pencurian. Lain halnya dengan KUHP negara-negara Anglo-Saxon dan bekas jajahannya seperti Malaysia yang tidak mengenal asas legalitas, dikatakan “barangsiapa mencuri barang milik orang lain” yang berarti walaupun tidak ada maksud untuk memiliki dipidana sebagai pencurian. Di Inggris yang diutamakan hakim yang jujur, bijaksana, cakap, berwawasan luas, memakai hati nurani, bukan bunyi undang-undang yang muluk-muluk.

Pada tahun 1994 bahkan keharusan undang-undang yang strict dicantumkan dalam Code Penal (KUHP Perancis). Asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bermakna :

- Aturan pidana harus tertulis.

- Undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut.

- Dilarang penerapan analogi.

Ada dua macam analogi : Gesetzes analogie (analogi undang-undang) dan Rechtsanalogie (analogi hukum). Analogi undang-undang berarti : jika suatu perbuatan tidak diatur dalam KUHP tetapi masyarakat memandang perlu dipidana, maka diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP. Ini dianut dalam KUHP RRC. Misalnya, dukun cabul dalam mengobati pasien menyetubuhi pasien itu, tanpa paksaan. Jika masyarakat memandang perlu dipidana, sedangkan tidak diatur dalam KUHP, maka diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP, yaitu Pasal 286, “menyetubuhi perempuan itu dalam keadaan sadar. Yang paling pantang ialah penerapan analogi hukum, artinya sama sekali tidak tercantum dalam KUHP yang mirip pun tidak ada, maka di Rusia zaman Stalin, dipidana berdasarkan “perbuatan itu membahayakan social” (socially dangerous), maksudnya semua perbuatan yang cenderung menentang Stalin.

Dalam hukum (pidana) Islam, dikenal juga asas legalitas. Kejahatan dibagi tiga, yaitu hudud, quesas dan takzir. Hudud ialah kejahatan yang tercantum dalam Al Qur’an yang diterapkan asas legalitas. Artinya tidak boleh memakai analogi. Quesas ialah kejahatan terhadap badan yang tercantum juga dalam Al Qur’an, yang dibolehkan secara terbatas analogi. Yang ketiga takzir ialah hukum positif yang diciptakan oleh negara, dibolehkan penerapan analogie.

Asas legalitas dalam hukum pidana materiel (KUHP) memakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk strafbepaling). Jadi, seseorang dapat dipidana berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. (Di Nederland : undang-undang, dekrit raja dan peraturan kotapraja (gemeente). Jadi, sesuai dengan asas legalitas ini, kanun di Aceh dibolehkan mencantumkan aturan pidana. Cuma harus diingat, tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, misalnya adanya pidana di luar yang tercantum di dalam KUHP, seperti pidana cambuk. Juga ancaman pidananya mestinya hanya kurungan atau denda.

Lain halnya asas legalitas dalam hukum acara pidana (KUHAP), pelaksanaan acara pidana harus dengan undang-undang, tidak boleh dengan PP atau PERDA. Tidak boleh orang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili berdasarkan PERDA.
Jadi, sama sekali kanun di Aceh tidak boleh memuat aturan tentang penyidikan, penuntutan, penangkapan penahanan dan seterusnya.

ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:

  1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
  3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
  4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:

  1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
  2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.



PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Nama: Humaira

Nim: 07120010

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Sengketa-sengketa internasioanal dalam era globalisasi dewasa ini memang sangat rentan terjadi dipicu oleh berbagai macam perbenturan kepentingan (conflict of interest) antar negara yang kerap timbul. Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya tentunya mutlak diperlukan agar sengketa-sengketa tersebut tidak meluas dan berkepanjangan yang lambat laun dapat mengancam perdamaian dunia. Untuk menghadapinya tentu saja diperlukan aturan-aturan penyelesaian sengketa internasional yang berdasarkan prinsip-prinsip perdamaian dan keamanan internasional sehingga apa pun keputusan yang dicapai nanti dapat diterima secara baik oleh para pihak yang bersengketa .

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:

1. Prinsip itikad baik (good faith);

2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;

3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;

4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;

5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);

6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);

7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:

1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;

2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;

3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;

4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

Definisi sengketa

Sengketa adalah perselisihan mengenai fakta, hukum dan politik dimana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, kemudian dituntu balik atau diingkari oleh pihak lain.

Sengketa Internasional

Dikatakan ada bila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan.

Hukum Internasional Positif mengatur tentang PSI dalam UN Charter, yaitu Pasal 2 ayat (4). Penyelesaian secara damai diatur dalam pasal 33(1) UN charter:

1) Negosiasi : Mediasi dll

2) Penyelidikan

3) Peraturan

4) Konsiliasi

5) Arbitrase

Menurut Hukum Internasional, sengketa internasional adalah:

1. Sengketa Hukum

Ialah sengketa-sengketa dimana negara-negara mendasarkan sengketa atau tuntutan mereka atas ketentuan yang diakui oleh hukum internasional (diselesaikan secara hukum)

2. Sengketa Politik

Yaitu sengketa-sengketa yang mencakip soal-soal politik dan kepentingan nasional lainnya (diselesaikan secara politik)

Prosedur Penyelesaian Sengketa

1. Penyelesaian politik

2. Pasal 33 piagam PBB

3. Prosedur hukum

Ad. 1. Penyelesaian secara politik

Ada dua macam, yaitu penyelesaian dalam rangka antar negara, dan penyelesaian dalam rangka organisasi PBB. Keduanya akan dijelaskan sebagai berikut:

Penyelesaian dalam rangka antar negara

Penyelesaian ini umumnya menggunakan cara tradisional atau perundingan secara langsung (negosiasi). Pada perundingan biasanya didahului dengan menyusun usul-usul yang menjadi dasar perundingan yang dikerjakan oleh komisi ahli. Komisi ahli ini biasanya mendapatkannya dari angket atau konsiliasi.

Perundingan Negosiasi

Perundingan langsung antara dua negara. Biasanya diwakili oleh duta besar atau wakil yang ditunjuk.

Ada juga yang dinamakan diplomasi ad hoc. Ini biasanya dilakukan oleh kongres atau konferensi internasional. Artinya, pada konteks ini ada intervensi pihak ketiga. Diplomasi ad hoc ini biasanya terjadi pada sengketa yang di-internasionalisir. Adanya suatu sengketa yang di-internasionalisir ini berkaitan dengan eksistensi masyarakat internasional. Umumnya keberadaannya bertentangan dengan pendapat umum dalam negeri.

Dalam perundingan (negosiasi) juga dikenal adanya Jasa-jasa Baik dan Mediasi. Kedua hal ini berasal dari kebiasaan internasional yang dikodifikasi oleh Konvensi Den Haag 29 Juli 1899 dan Konvensi Den Haag 18 Oktober 1907.

Jasa-jasa Baik (Good Offices) adalah suatu intervensi negara ketiga yang merasa dirinya wajar untuk menyelesaiakan sengketa antara 2 negara. Negara ketiga ini menawarkan jasa baik. Dapat diminta atau tidak oleh negra yang bersengketa. Secara teoritis, negara ketiga tidak ikut serta dalam perundingan, hanya menyiapkan dan mengambil langkah2 agar melakukan perundingan. Setelah perundingan/pertemuan maka berakhir misi trsebut.

Mediasi adalah campur tangan pihak ketiga yang lebih nyata. Mesdiasi ini dapat ditawarkan oleh pihak ketiga atau negara-negara yang bersengketa. Negara ketiga mengusahakan untuk trjadi perundingan dan aktif dalam setiap perundingan. Ini merupakan konsesi politik dari penyelesaian sengketa model ini.

Persamaan Good Office dan Mediasi

1. adanya intervensi satu negara ke negara lain

2. negara yang bersengketa bisa menolak tawaran jasa baik/mediasi untk berunding

3. negara yang bersengketa dapat menolak usulan atau dasar perundingan atau solusi dari pihak ketiga

4. negara yang melakukan jasa baik menjadi mediator

Angket

Angket ini bertujuan untuk memberikan dasar yang kuat bagi perundingan. Angket ini menampilkan data-data obyektif yng menyebabkan terjadinya sengketa.

Angket merupakn suatu komisi Internsaional (Konvensi Den Haag 1899 dan 1907). Wewenang komisi angket adalah internasional (ad hoc) yang mempelajari fakta dengan tidak memihak. Komisi ini terdiri dari 5 orang, dengan komposisi 2 orang dari masing2 negara yang bersengketa ditambah 1 orang dari negara lain. Bersifat fakultatif atau tidak memaksa

Konsiliasi

Negara peserta konvensi wajib mengajukan sengketa yang ada ke komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi ini merupakan perkembangan dari komisi angket. Wewenang, prosedur dari komisi konsiliasi adalah prosedur politik. Akibatnya, tidak mengikat dan dapat mengajukan sengketa melalui prosedur jurisdiksional.

Komisi konsiliasi adalah komisi tertap. Di bentuk setelah berlakunya konvensi. Komposisi anggotanya trdiri: 2 dari masing-masing negara yang bersengketa dan 1 dari wakil negara asing. Komisi konsiliasi ini dibentuk oleh LBB tahun 1922

Ad. 2. Penyelesaian menurut organisasi PBB

PBB merupakan organisasi regional & universal. Tugasnya adalah menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Salah satu bentuknya adalah menyelesaikan sengketa secara damai.

a. Observasi Pendahuluan

Pasal 2 ayat (3) piagam PBB menyebutkan, penyelesaian secara damai, keadilan tidak terancam, prinsip non intervensi.

b. Intervensi Dewan Keamanan

Komposisi keangotaan DK PBB terdiri dari anggota tetap dan anggota tidak tetap (pasal 23 UN Charter).

Syarat sengketa yang masuk DK:

- Aggota PBB

- Inisiatif Sekjen PBB (pasal 99)

- Negara bukan anggota PBB (pasal 35 ayat 2)

Prosedur pemungutan suara:

· 15 anggota DK tiap anggota satu suara

· Setiap sengketa yang masuk ke DK dibutuhkan suara 9 negara termasuk anggota tetap untuk setiap keputusan

Pada DK PBB isu yang paling santer adalah keberadaan hak veto oleh anggota tetap DK. Hak veto digunakan pelanggaran terhadap kesamaan fungsional atau pelanggaran terhadap kesamaan hukum.

c. Intervensi Majelis Umum

Kemacetan sengketa yang masuk ke DK PBB menyebabkan Majelis Umum memainkan peranan cukup penting. Yaitu membuat rekomendasi ke angota atau DK (pasal 10), berkaitan dengan perdamaian dunia (pasal 11 ayat 3)

Ad. 3. Penyelesaian Secara Hukum (prosedur hukum)

Penyelesaian sengketa dengan cara seperti ini menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat. Keputusan tersebut di dasarkan pada ketentuan hukum. Ini merupakan pengurangan kedaulatan negara yang bersengketa. Ciri utama dari prosedur hukum ini adalah adanya peradilan internasional. Peradilan internasional ini sifatnya fakultatif, diperlukan persetujuan negara yang bersengketa sangat penting. Peradilan Internasional ini mewujud dalam Arbitrase dan Mahkamah Internasional.

Arbitrase Internasional

Bentuknya non-institusional. Pengertian secara luas yaitu penyelesaian sengketa secara damai untuk sengketa-sengketa internasional yang dirumuskan dalam bentuk suatu keputusan oleh arbitrators yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak-pihak tersebut menerima sebelumnya sifat mengikat keputusan tersebut. Pengambilan keputusan ini didasarkan oleh dua konsidersi (pertimbangan). Yaitu konsederasi hukum dan konsiderasi politik. Dalam pengertian sempit, keputusannya mengikat dan didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum.

Hubungan Arbitrase Dan Penyelesaian Yudisial.

- merupakan penyelesaian hukum karena keputusan yang diambil bersifat mengikat dan berdasarkan pada hukum internsional.

- Arbitrase merupakan cikal bakal pembentukan lembaga yudisial permanen.

Bentuk Abitrase

Bentuk arbitrase ada dua kemungkinan, pertama, dibentuk sendiri oleh negara-negara yang bersengketa dengan suatu persetujuan (secara sukarela); kedua, dipilih suatu pengadilan yang ada atau keputusan kepala negara/pemerintah asing (non-institusional)

Pada bentuk yang pertama, terbentuk suatu komisi yang terdiri dari:

1. arbitratur nasional atau warga negara sendiri dengan jumlah yang sama yang ditunjuk para pihak

2. wasit

Pada dasarnya bentuk arbitrase yang dibentuk tergantung dari kesepakatan negara yang bersengketa. Dalam praktek, bentuk arbitrase terdiri atas anggota ganjil, biasanya 3 atau 5.

Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

Menurut Prof. George Scelle, dalam komisi hukum internasional PBB, “mahkamah peradilan tetap merupakan suatu institusi yang sudah ada sebelum lahirnya sengketa-sengketa dan hakimnya dibentuk secara organis. Sedangkan arbitrators hanya ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Narkotika Dan Psikotropika

Nama: Humaira

Nim: 07400275

Narkotika Dan Psikotropika

NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.

Narkotika

Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, eroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain.

Pengertian narkotika menurut Undang-undang / UU No. 22 tahun 1997 : Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Golongan narkotik berdasarkan bahan pembuatannya :

1. Narkotika Alami

Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.

2. Narkotika Sintetis / Semi Sintesis

Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit / analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.

Narkotika sintetis dapa menimbulkan dampak sebagai berikut :

a. Depresan. Membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.

b. Stimulan. Membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar.

c. Halusinogen. Dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran.

3. Narkotika Semi Sintesis / Semi Sintetis

yaitu zat / obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

Penggolongan untuk Narkotika :

  1. Narkotika gol 1 adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi, mengakibatkan ketergantungan.
  2. Narkotika gol 2 adalah naekotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhit dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi, mengakibatkan ketergantungan.
  3. Narkotika gol 3 adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan, mengakibatkan ketergantungan.

Psikotropika

Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (Hari Sasangka, 2003: 63).

Sebenarnya Psikotropika baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang ilmu farmakologi yakni

psikofarmakologi yang khusus mempelajari psikofarma atau psikotropik. Istilah psikotropik mulai banyak dipergunakan pada tahun 1971 sejak dikeluarkannya convention on psycotropic substance oleh General Assembly yang menempatkan zat-zat tersebut di bawah kontrol internasional. Dalam United Nation conference for Adoption of Protocol on Psychotropic Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan-bahan yang memiliki kapasitas menyebabkan:

1. Keadaan ketergantungan;

2. Depresi dan stimulan susunan saraf pusat (SSP);

3. Menyebabkan halusinasi;

4. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi

Menurut undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, dalam pasal 1 butir 1 disebutkan, bahwa Psikotropika adalah zat atau obat. baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika. Yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.

Jenis-jenis Psikotropika

• Menurut Farmakologi

• Ilmu kejahatan tentang penyalahgunaan obat

• Menurut UU nomor 5 tahun 1997

Menurut Farmakologi

• Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu di SSP

  1. Obat Golongan Neuroptika
  2. Obat yang tergolong transquillizer

• Obat-obat yang menstimulir (merangsang) fungsi-fungsi tertentu di SSP

  1. Obat golongan anti depressiva
  2. Obat golongan Psikostimulansia

• Obat-obat yang mengacaukan mental tertentu (LSD (Lysergic Acid Dicthylamide).

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi :

  1. Psikotropika gol 1 adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat, mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  2. Psikotropika gol 2 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  3. Psikotropika gol 3 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  4. Psikotropika gol 4 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakbatkan sindroma ketergantungan.

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran narkotika dan psikotropika, 1988

Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran psikotropika (Convention on psychotropic substances) yang diselenggarakan di Vienna dari tanggal 11 Januari sampai 21 Februari 1971, yang diikuti oleh 71 negara ditambah dengan 4 negara sebagai peninjau.

Sebagai reaksi yang didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi, dan perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988.

Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut :

  1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
  2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
  3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan trans-nasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Sejarah Narkotika dan Psikotropika di Indonesia

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.

Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang.

Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor.

Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536).

Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).

Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

Dengan semakin merebaknya kasus
penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Daftar Pustaka

http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-narkotika-dan-golongan-jenis-bahan-narkotik-pengetahuan-narkotika-dan-psikotropika-dasar

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:z8ZSNfnTsJkJ:te.effendi.googlepages.com/NarkobaVIdanVII.pdf+definisi+psikotropika&hl=id&gl=id&sig=AHIEtbRTTn_camjlGi2kCW0rmlrWxBlUeA

http://dunia-tanpanarkoba.blogspot.com/2009/08/sejarah-narkoba.html

Nama: Humaira

Nim: 07400275

Narkotika Dan Psikotropika

NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.

Narkotika

Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, eroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain.

Pengertian narkotika menurut Undang-undang / UU No. 22 tahun 1997 : Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Golongan narkotik berdasarkan bahan pembuatannya :

1. Narkotika Alami

Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.

2. Narkotika Sintetis / Semi Sintesis

Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit / analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.

Narkotika sintetis dapa menimbulkan dampak sebagai berikut :

a. Depresan. Membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.

b. Stimulan. Membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar.

c. Halusinogen. Dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran.

3. Narkotika Semi Sintesis / Semi Sintetis

yaitu zat / obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

Penggolongan untuk Narkotika :

  1. Narkotika gol 1 adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi, mengakibatkan ketergantungan.
  2. Narkotika gol 2 adalah naekotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhit dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi, mengakibatkan ketergantungan.
  3. Narkotika gol 3 adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan, mengakibatkan ketergantungan.

Psikotropika

Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (Hari Sasangka, 2003: 63).

Sebenarnya Psikotropika baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang ilmu farmakologi yakni

psikofarmakologi yang khusus mempelajari psikofarma atau psikotropik. Istilah psikotropik mulai banyak dipergunakan pada tahun 1971 sejak dikeluarkannya convention on psycotropic substance oleh General Assembly yang menempatkan zat-zat tersebut di bawah kontrol internasional. Dalam United Nation conference for Adoption of Protocol on Psychotropic Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan-bahan yang memiliki kapasitas menyebabkan:

1. Keadaan ketergantungan;

2. Depresi dan stimulan susunan saraf pusat (SSP);

3. Menyebabkan halusinasi;

4. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi

Menurut undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, dalam pasal 1 butir 1 disebutkan, bahwa Psikotropika adalah zat atau obat. baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika. Yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.

Jenis-jenis Psikotropika

• Menurut Farmakologi

• Ilmu kejahatan tentang penyalahgunaan obat

• Menurut UU nomor 5 tahun 1997

Menurut Farmakologi

• Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu di SSP

  1. Obat Golongan Neuroptika
  2. Obat yang tergolong transquillizer

• Obat-obat yang menstimulir (merangsang) fungsi-fungsi tertentu di SSP

  1. Obat golongan anti depressiva
  2. Obat golongan Psikostimulansia

• Obat-obat yang mengacaukan mental tertentu (LSD (Lysergic Acid Dicthylamide).

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi :

  1. Psikotropika gol 1 adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat, mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  2. Psikotropika gol 2 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  3. Psikotropika gol 3 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  4. Psikotropika gol 4 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakbatkan sindroma ketergantungan.

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran narkotika dan psikotropika, 1988

Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran psikotropika (Convention on psychotropic substances) yang diselenggarakan di Vienna dari tanggal 11 Januari sampai 21 Februari 1971, yang diikuti oleh 71 negara ditambah dengan 4 negara sebagai peninjau.

Sebagai reaksi yang didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi, dan perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988.

Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut :

  1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
  2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
  3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan trans-nasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Sejarah Narkotika dan Psikotropika di Indonesia

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.

Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang.

Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor.

Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536).

Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).

Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Daftar Pustaka

http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-narkotika-dan-golongan-jenis-bahan-narkotik-pengetahuan-narkotika-dan-psikotropika-dasar

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:z8ZSNfnTsJkJ:te.effendi.googlepages.com/NarkobaVIdanVII.pdf+definisi+psikotropika&hl=id&gl=id&sig=AHIEtbRTTn_camjlGi2kCW0rmlrWxBlUeA

http://dunia-tanpanarkoba.blogspot.com/2009/08/sejarah-narkoba.html