TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sabtu, 30 April 2011

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN

MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN


PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN












Disusun Oleh :
Humaira : 07120010
Jaibun Nisa : 06400064
Abi Manyu Prakasa : 06400077
Vella Anhar D : 08400153
Abdullah : 08400045







UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
JURUSAN ILMU HUKUM
2011



BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kesehatan yang ada di Indonesia dewasa ini tidak dapat lepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara dan atau masyarakat, maka ada 2 (dua) sistem hukum di dunia yang dimaksud adalah sistem hukum sipil kodifikasi dan sistem hukum kebiasaan common law system. Kemudian di mungkinkan ada sistem hukum campuran, khususnya bagi suatu masyarakat majemuk (Pluralistik) seperti Indonesia memungkinkan menganut sistem hukum campuran. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu : a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan. b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln, 1991: 75-76).
Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan pasal 1320 KUHPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus di laksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan di atas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit.
Perjanjian yang terjadi antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah berlaku secara sah sebagai undang-undang mengikat bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatannya, perjanjian itu harus dilaksanakan berdasarkan dengan itikad baik dari pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit. Maka para pihak paham akan posisinya, sehingga kepastian dan rasa perlindungan hukum bagi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dapat terwujud secara baik dan optimal.
Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggungjawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki tanggungjawab terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan wewenang dokter.
Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya ( Harian Kompas, 15 April 2004).Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk pemberi jasa pelayanan kesehatan agar bertanggungjawab terhadap profesi yang diberikan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan.
Dalam kaitan dengan tanggungjawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).
Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari : 1). Unsur mutu yang dijamin kualitasnya; 2). Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan 3). Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).
Penulis berpendapat bahwa unsur-unsur itu akan bermanfaat bagi pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit, di sebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi unsur tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan maksimal, dengan manfaat yang dapat di rasakan oleh penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit).
Dinamika kehidupan masyarakat juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana, dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana.
Sebagai kesalahan tadi, culpa misalnya, ia mengandung 2 unsur ataupun persyaratan, yaitu : (1). kurang hati-hati, kurang waspada dan kurang “voorzichtig.” (2). Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (kurang dapat “voorzien”) (Oemar Seno Adji,1991: 125). Suatu hubungan kausal yang lebih merupakan kesalahan profesi dokter, dan dapat dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi kewajiban dan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Jika pasal 322 KUHP dapat memidanakan seorang dokter karena melanggar kewajibannya untuk merahasiakan apa yang menjadi pengetahuannya, maka Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut disebut pula Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1966 di mana Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan administratif terhadap seorang dokter,yamg tidak dapat dipidanakan berdasarkan pasal 322 KUHP (Oemar Seno Adji, 1999: 45).
Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien atau penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Masih terdapat peraturan-peraturan pidana lainnya bersangkutan dengan kesalahan/kelalaian dari seorang dokter/tenaga kesehatan seperti pasal 351,356 KUHP mengenai penganiayaan, di mana penganiayaan tersebut dianalogikan dengan sengaja merusak kesehatan dan pasal 359,360 dan 378 KUHP mengenai tindak penipuan, serta pasal 512 KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.
Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi (Wila Chandrawila Supriadi, 2001: 31).
Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum, perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dan rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen.
 




























BAB II
PEMBAHASAN
 
Saat ini, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya., bahkan tidak jarang mereka mencari pendapat kedua (second opinion), Hal tersebut merupakan hak yang selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Memang harus diakui bahwa hak-hak konsumen kesehatan masih cenderung sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, yang memprihatinkan, kekalahan tersebut bisa berupa kerugian moral dan material yang cukup besar.
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Hal ini antara lain disebabkan selama ini hubungan antara si penderita dengan si pengobat, yang dalam terminology dunia kedokteran dikenal dengan istilah transaksi terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistic.
Seiring dengan perubahan masyarakat, hubungan dokter - pasien juga semakin kompleks, yang ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistic menuju partnership, yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter merupakan partner dan mitra bagi pasien).
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu :
1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (publik atau privat) barang dan atau jasa;
2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab Lalu pertanyaannya, apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen, dan pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha ?
Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi kesehatan
Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter) merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 / 1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang kesehatan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. (UU No.23/1992 tentang Kesehatan). Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business (kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment, occupation, PROFESSION, or commercial activity engaged in / or gain or livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata pencaharian).
Selain itu, posisi bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector jasa bisnis, seperti tampak berikut :
SEKTOR KESEHATAN :
· HOSPITAL SERVICES
· OTHER HUMAN HEALTH SERVICES
· SOCIAL SERVICES
· OTHER
SEKTOR JASA BISNIS :
A. PROFESIONAL SERVICES:
B. MEDICAL AND DENTAL SERVICES
C. PHYSIOTHERAPIST
D.NURSE AND MIDWIFE
Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan
Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut :
HAK KONSUMEN KESEHATAN
BERDASARKAN UU NO.8 / 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
· Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
· Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur
· Didengar pendapat dan keluhannya
· Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
· Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
· Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
BERDASARKAN UU NO.23/1992 TENTANG KESEHATAN
· Informasi
· Memberikan persetujuan
· Rahasia kedokteran
· Pendapat kedua (second opinion)
KEWAJIBAN KONSUMEN
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
· Beritikad baik
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
· Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN BERDASARKAN UU NO. 23 /
1992 TENTANG KESEHATAN
KEWAJIBAN
Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
HAK
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya Setelah kita mengetahui pengertian pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pelaku usaha, kini kita menuju pada pertanyaan selanjutnya, bagaimana hubungan hukum antara pasien dan RS, tenaga kesehatan, sesama tenaga kesehatan beserta sengketa diantara para pihak tersebut yang dikenal dengan malpraktek ?


HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT
1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan melakukan tindakan perawatan
2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN TENAGA KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - DOKTER
Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), jarang merupakan resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - TENAGA KESEHATAN LAIN (ANTARA LAIN
PERAWAT)
Merupakan perikatan / kontrak, yaitu tenaga kesehatan lain itu harus berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat berupa inspanningsverbintenis maupun resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM DOKTER - PERAWAT
Merupakan hubungan rujukan atau delegasi
PENGERTIAN MALAPRAKTIK MEDIK
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian malapraktik medik sebagai akibat belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun demikian, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malapraktik / tidak maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu : berbuat secara teliti / seksama dikaitkan dengan culpa / kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi Dan kondisi yang sama, sarana upaya yang sebanding / proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan / perbuatan medik tersebut.
Menurut Leenen, Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik).
Selain itu, untuk mengetahui adanya unsur perbuatan malapraktik juga dapat dilihat pada 4 - D of Negligence, yaitu : Duty, Dereliction of that duty, Direct caution, Dan Damage Lalu bagaimana tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ada dugaan kasus malapraktik ?
TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT
TANGGUNG JAWAB RS PEMERINTAH
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
TANGGUNG JAWAB RS SWASTA
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
TANGGUNG JAWAB MALAPRAKTIK DOKTER SECARA PIDANA
Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal 359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (HR.3 Febr. 1913)
TIGA TINGKATAN CULPA
1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross fault or neglect)
2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241)
Culpa lata tidak berlaku dalam hukum perdata. Culpa levis dan Culpa levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana dapat ditampung dalam hukum Perdata dan hk. Disiplin tenaga Kesehatan (di Indonesia blm ada)









































BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
Kasus accident/ risk in treatment/ error in judgement merupakan mal praktik, secara yuridis semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan pembuktian berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Bila dokter terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah memenuhi informed consent maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas membayar kerugian.
SARAN BAGI PENANGGULANGAN MALAPRAKTIK MEDIK
· Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundang-undangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.
· Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun swasta (central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak puas atas sikap RS maka dapat menuntut dan menggugat RS.
Pimpinan RS yang akan menetapkan siapa yang bersalah dan melakukan “hak Regres” (hak menuntut orang yang bersalah dalam kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan diri dengan batas kerugian sebagai akibat gugatan pasien.
· Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan, terutama bagi pasien
· informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi mis interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.
Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian ada / tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar / salahnya suatu kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian.
Dalam hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodir kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar