TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sabtu, 30 April 2011

KEWENANGAN DAERAH

Nama: Humaira
Nim: 07400275

KEWENANGAN DAERAH

Pemerintahan Daerah dengan jelas telah mengatur masalah pembagian kewenangan ini. Undang-undang menyuratkan bahwa kewenangan pemerintah di tingkat lokal akan bertambah dan mencakup kewenangan pada hampir seluruh bidang pemerintahan.
Sementara itu kewenangan yang terdapat pada pemerintah pusat terbatas hanya pada kewenangan di bidang: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan keamanan; (c) peradilan; (d) moneter dan fiskal; (e) agama; dan (f) kewenangan di bidang lain.
Khusus mengenai kewenangan dan tanggung jawab di bidang lain yang masih dimiliki oleh pusat sebagaimana dijelaskan didalam pasal 7, UU No. 22 Tahun 1999 meliputi kewenangan: (a) perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro; (b) dana perimbangan keuangan; (c) sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian negara; (d) pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (e) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis; (f) konservasi; dan (g) standarisasi nasional.
Kewenangan daerah adalah: "Mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.1" Kewenangan ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan yang masih harus berada ditangan pusat.
Lebih rinci lagi kewenangan daerah yang terdapat di dalam undang-undang adalah:
1. Mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan,
2. Mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai kearah laut lepas dan berwenang melakukan:
- ekplorasi, ekploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
- pengaturan kepentingan administratif;
- pengaturan tata ruang;
- penegakan hukum; dan
- perbantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
3. Melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendididkan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
4. Membiayai pelaksanaan tugas pemerintah daerah dan DPRD.
5. Melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri dan atau luar negeri dengan persetujuan DPRD dan Pusat untuk pinjaman luar negeri.
6. Menentukan tarif dan tata cara pemungutan retribusi dan pajak daerah.
7. Membentuk dan memiliki Badan Usaha Milik Daerah.
8. Menetapkan APBD.
9. Melakukan kerjasama antar daerah atau badan lain, dan dapat membentuk Badan Kerjasama baik dengan mitra didalam maupun diluar negeri.
10. Menetapkan pengelolaan Kawasan Perkotaan.
11. Pemerintahan kota/kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola kawasan perkotaan.
12. Membentuk, menghapus, dan menggabungkan desa yang ada di wilayahnya atas usul dan prakarsa masyarakat dan persetujuan DPRD.
13. Mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa.
14. Membentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Selain kewenangan-kewenangan umum yang telah disebutkan diatas, bagi daerah kabupaten dan daerah kota diwajibkan menyelenggarakan kewenangan wajib sebagai berikut: (1) pekerjaan umum; (2) kesehatan; (3) pendidikan dan kebudayaan; (4) pertanian; (5) perhubungan; (6) industri dan perdagangan; (7) penanaman modal; (8) lingkungan hidup; (9) pertanahan; (10) koperasi; dan (11) tenaga kerja.
Untuk daerah kota disamping kewajiban diatas juga diwajibkan untuk menyediakan kebutuhan utilitas kota sesuai kondisi dan kebutuhan kota yang bersangkutan, utilitas kota ini antara lain: (1) pemadam kebakaran; (2) kebersihan; (3) pertamanan; dan (4) tata kota.
Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota diatas berlaku juga di kawasan otorita yang terletak didaerahnya. Kawasan otorita yang dimaksud meliputi: (1) badan otorita; (2) kawasan pelabuhan; (3) kawasan bandar udara; (4) kawasan perumahan; (5) kawasan industri; (6) kawasan perkebunan; (7) kawasan pertambangan; (8) kawasan kehutanan; (9) kawasan pariwisata; (10) kawasan jalan bebas hambatan; (11) kawasan lain yang sejenis.
Selain itu, berbagai kewenangan yang dipunyainya daerah juga dapat ditugasi oleh pusat untuk membantu melaksanakan kewenangan yang seharusnya dilaksanakan oleh pusat (Tugas Pembantuan). Untuk penugasan ini undang-undang mensyaratkan harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya daerah wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkannya lepada pemerintah pusat.

Sejarah Perkembangan Ilmu Ekonomi Islam

Sejarah Perkembangan Ilmu Ekonomi Islam
Pendahuluan
Membicarakan sistem ekonomi Islam secara utuh, tidak cukup dikemukakan pada tulisan yang sempit ini, karena sistem ekonomi Islam mencakup beberapa segi dan mempunyai ketergantungan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya sebagaimana juga yang ditemukan pada studi ekonomi umum. Persolan sistem bank syari’ah hanyalah sebagian kecil dari sederetan masalah-masalah yang terdapat dalam studi ekonomi Islam.
Kendati demikian, sistem ekonomi Islam mempunayi ciri khas dibanding sistem ekonomi lain (kapitalis-sosialis). Dr. Yusuf Qordhowi, pakar Islam kontemporer dalam karyanya “Daurul Qiyam wal akhlaq fil iqtishod al-Islamy” menjelskan empat ciri ekonomi Islam, yaitu ekonomi robbani, ekonomi akhlaqy, ekonomi insani dan ekonomi wasati. Keempat ciri tersebut mengandung pengertian bahwa ekonomi Islam bersifat robbani, menjunjung tinggi etika, menghargai hak-hak kemanuisaan dan bersifat moderat.

Perkembangan Studi Islam
Sejarah perkembangan studi ekonomi Islam dapat dibagi pada empat pase:
Pase pertama, masa pertumbuhan
Pase kedua, masa keemasan
Pase ketiga, masa kemunduran dan
Pase keempat, masa kesadaran
Masa Pertumbuhan
Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam. Secara amaliyah, segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang amat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar (PT) tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah dipaktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.
Masa Keemasan
Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke 2 Hijriyah para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dan lain sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekonomi Islam.
Beberapa karya fiqih yang mengetengahkan persoalan ekonomi, antara lain:
Fiqih Mazdhab Maliki:
Al-Mudawwanah al-Kubrto, karya Imam Malik (93-179 H)
Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (wafat 595 H)
Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, karya Imam al-Quirthubi (wafat 671 H)
Al-Syarhu al-Kabir, karya Imam Ahmad al-Dardir (wafat 1201 H)
Fiqih Mazdhab Hanafi:
Ahkam al-Quran, karya Imam Abu Bakar Al-Jassos (wafat 370 H)
Al-Mabsut, karya Imam Syamsuddin al-Syarkhsi (wafat 483 H)
Tuhfah al-Fuqoha, karya Imam Alauddin al-Samarqandu (wafat 540 H)
Bada’i al-Sona’i, karya Imam Alauddin Al-Kasani (wafat 587 H)
Fiqih Mazdhab Syafi’I:
Al-Umm, karya Imam Syafi’I (150-204 H)
Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Al-Mawardi (wafat 450 H)
Al-Majmu’, karya Imam An-Nawawi (wafat 657 H)
Al-Asybah Wa al-Nadzoir, karya Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H)
Nihayah al-Muhtaj, karya Syamsuddin al-Romli (wafat 1004 H)
Fiqih Mazdhab Hambali:
Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Qodhi Abu Ya’la (wafat 458 H)
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H)
Al-Fatawa al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah (wafat 728 H)
A’lamul Muwaqi’in, karya Ibnu qoyim al-Jauziyah (wafat 751 H)
Dari kitab-kitab tersebut, bila dikaji, maka akan ditemukan banyak hal tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, baik sebagai sebuah sistem maupun keterangan tentang solusi Islam bagi problem-problem ekonomi pada masa itu.
Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” misalnya, memberi penjelasan tentang kewajiban negara menjamin kesejahteraan minimal bagi setiap warga mengara. Konsep ini telah melampaui pemikiran ahli ekonomi saat ini. Demikian pula halnya dengan karya-karya fiqih lain, ia telah meletakkan konsep-konsep ekonomi Islam, seperti prinsip kebebasan dan batasan berekonomi, seberapa jauh intervensi negara dalam kegiatan roda ekonomi, konsep pemilikan swasta (pribadi) dan pemilikan umum dan lain sebagainya.
Karya-karya Khusus Tentang Ekonomi
Meskipun permasalahan ekonomi telah dibahas secara acak pada buku-buku fiqih, namun pada pase ini terdapat juga karya-karya tentang ekonomi Islam yang membahas secara khusus tentang ekonomi. Karya-karya ini tentunya telah mendahului karya-karya ahli ekonomi Barat saat ini, sebab karya-karya kaum muslimin dalam bidang ini telah ada sejak abad ke 7 M
Karya-karya tersebut antara lain:
Kitab Al-Khoroj, karya Abu Yusuf (wafat 182 H/762 M)
Abu Yusuf adalah seorang qadli (hakim) pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Pada saat iitu Harun al-Rasyid meminta beliau menulis tentang pendapatan negara dalam bentuk khoroj (sejenis pajak), zakat, jizyah dan lainnya untuk dijadikan pegangan hukum negara (semacam KUHP sekarang). Dalam mukaddimahnya, Abu Yusuf menulis: “Telah saya tulis apa yang menjadi permintaan tuan, saya pun telah menjelaskannya secara rinci. Oleh karena itu pelajarilah. Saya telah bekerja keras untuk itu dan saya berharap agar tuan dan kaum muslimin memberi masukan. Hal itu karena semata-mata mengharap ridho Allah serta takut akan azabNya. Bila kitab ini sudah jelas, saya berharap agar tuan tidak memungut pajak dengan cara-cara yang zalim dan berbuat tidak baik terhadap rakyat tuan”.
Kitab Al-Khoroj, karya Imam Yahya al-Qursyi (204 H/774 M)
Kitab Al-Amwal, karya Abu Ubaid bin Salam (wafat 224 H/774 M)
Kitab ini telah banyak ditahkik dan dita’liq (dikomentari) oleh Muhammad Hamid Al-Fahi, salah seorang ulama Al-Azhar. Kitab ini pun termasuk kitab terlengkap dalam membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan harta di Daulah Islamiyah.
Al-Iktisab Fi al-Rizqi, karya Imam Muhammad al-syaibani (wafat 334 H/815 M)
Dan karya-karya lainnya seperti karya Ibnu Kholdun, Al-Maqrizi, Al-Aini dan lain-lain
Di penghujung abad 14 dan 15 M merupakan titik awal bagi adanya aliran keilmiahan dalam bidang ekonomi modern. Bahkan Syaikh Mahmud Syabanah, mantan wakil rektor Al-Azhar menyatakan bahwa kitab “Mukaddimah” karya Ibnu Kholdun yang terbit pada tahun 784 H atau sekitar abad 13 hingga 14 M adalah bentuk karya yang mirip dengan karya Adam Smith. Bahkan dalam karyanya, ibnu Kholdun juga menulis tentang asas-asas dan berkembangnya peradaban, produktifitas sumber-sumber penghasilan, bentu-bentuk kegiatan ekonomi, teori harga, migrasi penduduk dan lain-lain. Sehingga isi kedua karya ini hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada kondisi dan lingkungan.
Masa Kemunduran
Dengan ditutupnya opintu ijihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal, karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli tasyri’ dalam menjawab perubahan-perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada pendapat imam-imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan.
Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi (kejumudan) dalam mediscover ilmu-ilmu baru, khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber kedua Islam setelah al-Quran dan as-Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika ditutupnya pintu ijtihad tersebut.
Masa Kesadaran Kembali
Sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad 15 H, hubungan antara sebagian masyarakat dengan penerapan syariat Islam yang sahih menjadi renggang. Sebagaimana juga telah terhentinya studi-studi tentang ekonomi Islam, hingga sebagian orang telah lupa sama sekali, bahkan ada sebagian pihak yang mengingkari istilah “ekonomi Islam”. Ajaran Islam akhirnya terpojok pada hal-hal ibadah mahdloh dan persoalan perdata saja. Lebih ironis lagi sebagian hal itu pun masih jauh dari ajaran Islam yang benar.
Namun demikian, meskipun studi ilmiah modern dalam bidang ekonomi masih sangat terbatas, namun usaha-usaha telah dilakukan, antara lain:
Pertama, studi ekonomi mikro. Dalam hal ini studi terfokus pada masalah-masalah yang terpisah, seperti pembahasan tentang riba, monopoli, penentuan harga, perbankan, asuransi kebebasan dan intervensi pemerintah pada kegiatan ekonomi dan lain-lain. Langkah ini terlihat dari diadakannya beberapa seminar dan muktamar, antara lain:
Muktamar Internasional tentang fiqih Islam
Pada Muktamar Fiqih Islam pertama yang diadakan di Paris tahun 1951 dibahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi, riba dan konsep pemilikan.
Muktamarr Fiqih Islam kedua diadakan di Damaskus pada bulan April 1961. Dalam muktamar tersebut dibahas tentang asuransi dan sistem hisbah (pengawasan) menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam ketiga diadakan di Kairo pada Mei 1967, membahas tentang asuransi sosial (takaful) menurut Islam
Muktamar Fiqih Islam keempat diadakan di Tunis pada bulan Januari 1975, membahas masalah pemalsuan dan monopoli.
Muktamar Fiqih Islam kelima diadakan di Riyadh pada bulan Nopember 1977 membahas tentang sistem pemilikan dan status sosial menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam sedunia, diadakan di Riyadh juga yang diorganisir oleh Universitas Imam Muhammad bin Saud pada tanggal 23 Oktober hingga Nopemebr 1976, membahas tentang perbankan Islam antara teori dan praktek dan pengaruh penerapan ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat.
Muktamar Lembaga Riset Islam di Kairo. Dalam hal ini sedikitnya telah delapan kali mengadakan muktamar yang membahas tentang ekonomi Islam.
Pertemuan studi sosiologi negara-negara Arab.
Seminar Dewan Pembinaan Ilmu Pengetahuan, satra dan sosial (seksi ekonomi dan keuangan).
Muktamar Ekonomi Islam Internasional, antara lain: Muktamar Ekonomi Islam Sedunia pertama , diadakan di Makkah pada tanggal 21-26 Pebruari 1976 dan Muktamar ekonomi Islam, diadakan di London pada bulan Juli 1977.
Hingga saat ini buku-buku tentang ekonomi Islam, baik dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris serta bahasa lainnya dapat kita temukan di toko-toko buku. Buah dari semaraknya studi-studi ekonomi Islam ini membuahkan berdirinya bank-bank Islam, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam skala internasional misalnya, telah berdiri Islamic Development Bank (IDB/Bank Pembangunan Islam) yang kantornya berkedudukan di Jeddah Saudi Arabia. Dalam agreemen establishing the islamic Development Bank (anggaran dasar IDB) pada article 2 disebutkan bahwa salah satu fungsi dan kekuatan IDB pada ayat (xi) adalah melaksanakan penelitian untuk kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-negara muslim dapat sejalan dengan syari’ah. IDB juga telah memberikan bantuan teknis, baik dalam bentuk mensponsori penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi dan perbankan Islam di seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk tenaga perbankan yang belajar di bank Islam serta tenaga ahli bank yang ditempatkan di bank Islam yang baru berdiri.
Bukti lain maraknya pelaksanaan ekonomi Islam adalah laporan dari data yang diambil dari Directory Of Islamic Financial Institutions tahun 1988 terbitan IRTI/IDB bahwa sedikitnya telah 32 bank Islam berdiri (sebelum Bank Muamalat Indonesia berdiri) di seluruh dunia, termasuk di Eropa. Bila di Indoneisa banyak bank konvensional beralih bentuk ke bank syari’ah, berarti pertumbuhan bank syari’ah semakin cepat dan diminati oleh kalangan usahawan, belum lagi pertumbuhan bank syari’ah di negara lain dalam dekade ini, seperti di Malaysia dan negara-negara Islam lainnya.

Perbedaan Sistem Ekonomi Islam Dengan Modern

Perbedaan Sistem Ekonomi Islam Dengan Modern  

Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern.
Andaipun ada perbedaan itu terletak pada sifat dan volumenya (M. Abdul Mannan; 1993). Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi dapat dikemukakan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan.

Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada macam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin atau mungkin juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita. Dalam hal ini ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur`an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur`an atau Sunnah.

Suka atau tidak, ilmu ekonomi Islam tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini tidak dimungkinkan dalam negara Islam. Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena dua faktor. Pertama, berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sadaqah. Kedua, timbulnya surplus dan yang disebut petro-dollar dari negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dari Timur Tengah dan negara-negara Islam. Adalah suatu kebetulan, bahwa lading-ladang minyak terbesar di dunia dewasa ini berada di negara-negara Muslim.

Perbedaan Sistem Ekonomi Islam dengan Modern adalah
 
 Berdasarkan Sumber (Epistemology) 
 
Umat Islam berpedoman  kepada dua sumber hukum yang mutlak, yaitu: Al-Qur`an dan al-Sunnah (hadits). Sehingga menjadikan Islam sebagai agama yang istimewa dan sempurna. Begitupun dalam urusan muamalah (ekonomi) Islam pun mengaturnya dengan sangat indah. Perintah seperti makan dan minum menjelaskan tentang tuntutan keperluan asasi manusia, Penjelasan Allah s.w.t tentang kejadianNya untuk dimanfaatkan oleh manusia.
 
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam beberapa  suratnya, "Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (QS. Yasin ayat 34-35. 72-73).   
 
Di dalam surat lain, Allah SWT. menjelaskan bahwa alam ini disediakan untuk dibangunkan oleh manusia sebagai Khalifah Allah. "Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al-Baqarah ayat 30). 
 
Allah SWT juga melarang perbuatan riba, judi, perdagangan babi, dan arak. Sebagaimana firman-Nya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah ayat 275).
 
Ekonomi Islam berlandaskan wahyu Allah. Sedangkan ekonomi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu, meskipun ilmunya sama yaitu: ilmu ekonomi namun sumbernya berbeda. Selain itu, para pakar ekonomi Islam di dalam menyelesaikan masalah ekonomi yang dihadapinya selalu dikaitkan dengan Allah dan mempertibangkan kesalamatan di dunia dan akhirat. Jauh beda dengan para pakar ekonomi modern yang hanya mempertimbangkan keuntungan duniawi saja.
 
 

Demi Kemashalatan Manusia Itu Sendiri

Ekonomi Islam meletakkan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini di mana segala bahan-bahan yang ada di bumi dan di langit adalah dipermudahkan untuk manusia.

Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. (QS. Al-Nahl ayat 12 - 13)

Kesemuanya adalah bertujuan untuk beribadat kepada Allah S.W.T sama ada berkaitan dengan soal ibadat yang khusus atau ibadat yang umum.Manusia merupakan makhluk yang tidak boleh bersendirian. Oleh itu dalam soal pemilikan harta terdapat harta milik individu dan juga terdapat hak-hak harta yang menjadi hak masyarakat umum. Oleh itu sebarang pencabulan atau pencerobohan kepada hak milik orang lain adalah suatu kesalahan.

Harta Hanya Titipan Allah

Harta bukanlah tujuan sebenarnya dalam kehidupan manusia tetapi hanya sebagai jalan (sarana) menggapai ridho ilahi apabila dipergunakan sebaik-baiknya guna mencapai nikmat ketenangan kehidupan di dunia dan sebagai bekal nanti di akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT, Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An'am ayat 162)

Apabila manusia dapat merealisasikan perintah Allah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa manusia akan dapat mencapai ketenangan hidup yang hakiki. Apabila setiap Muslim yakin sepenuh hati kepada Allah SWT., bahwa hanya Dia yang mampu memberikan ketenangan hakiki bukannya harta.Jauh berbeda dengan sistem ekonomi modern dimana meletakkan kepentingan dunia di atas segala-galanya.

Sistem ekonomi modern fokus kepada untung tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ketauhidan, dan hanya mengutamakan kepentingan individu atau golongannya serta menganut sistem survival of the fittest (siapa kuat dialah yang berkuasa). Ekonomi modern mengandung unsur riba, dan sudah dipraktekan sejak dulu. Sistem riba yang memberanguskan pertumbuhan ekonomi manusia. Riba diibaratkan sebagai lintah.

Agama Islam  juga menganjurkan manusia untuk memperoleh keuntungan dengan cara sistem jual beli dan mudharabah. Jelas sekali perbedaan antara riba dan jual beli. Jual beli dihalalkan di dalam Islam. Sebab berlandaskan saling ridha kedua belah pihak (red, penjual dan pembeli), setelah terjadi transaksi yang menguntungkan ke dua belah pihak tersebut.

Sistem ekonomi Islam atau dikenali sebagai muamalah adalah suatu sistem lengkap sebab berdasarkan wahyu yang jelas dari Yang Maha Berkuasa yaitu Allah SWT. Sementara sistem ekonomi yang dikembangkan dunia barat mengabaikan aspek yang paling penting yaitu manusianya sendiri. Sedangkan sistem ekonomi Islam sangat peduli pada faktor manusia ini. Karena roda perekonomian tidak akan berjalan tanpa peranan penting manusia di dalamnya, tentunya pula ikhtiar manusia ini selalu di kaitkan dengan pertolongan Allah SWT.

PERJANJIAN KREDIT

PERJANJIAN KREDIT

Yang bertanda tangan dibawah ini : ---------------------------------------------------------------------

I. Koperasi Karyawan PT. Telekomunikasi Selular (KISEL), ---------------------------------------
Berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta, beralamat di Graha Sucofindo Lt. B1, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34, Jakarta Selatan 12780, dalam hal ini diwakili oleh salah satu pengurus dibawah ini : ------------------------------------------------------------------------------------------------

a. Irlamsyah Syam, selaku Ketua Koperasi bertempat tinggal di Jakarta, beralamat di Jl. Poncol Raya Rt 006/007 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Kotamadya Jakarta Timur, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 09.5301.101267.7011 berlaku sampai dengan tanggal 15-12-2010. ----------------------
b. Sidarto Kuswinarno, selaku Sekretaris Koperasi bertempat tinggal di Bandung, beralamat di Komplek Antabaru Blok G-21 Rt 003/010 Kelurahan Cisarantenkulon, Kecamatan Arcamanik, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 1050181303560001 berlaku sampai dengan tanggal 13-03-2011. ------
c. Yohanes Dwi Haryanto, selaku Bendahara Koperasi bertempat tinggal di Jakarta, beralamat di Jl. Madrasah III No. 1 Rt 004/002 Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit, Kotamadya Jakarta Timur, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 09.5402.160465.0479 berlaku sampai dengan tanggal 16-04-2008. ---------------------
Berdasarkan Surat Kuasa dari Bank Mandiri No. SBDC.JSD/203/2007 tanggal 27 September 2007, dengan demikian bertindak dalam jabatannya untuk dan atas nama Koperasi Karyawan PT.Telkomsel (KISEL) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, sebagai KREDITUR, yang untuk selanjutnya akan disebut :-------------------------------------------------------------------------

——————– -kreditur.- ——————–

II. Ny. Fatmawati Irvana, SH, --------------------------------------------------------------------
Bertempat tinggal di Jambi beralamat di Jalan Samsul Bahrun RT. 01/01 No. 25 Kel. Selamat Kec. Telanaipura Kota Jambi, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 1571011106800001 berlaku sampai dengan tanggal 01-01-2010 dan untuk melakukan tindakan hukum dalam Perjanjian Kredit ini telah memperoleh persetujuan dari Tuan Abdul Rahman, selaku Suami, beralamat di Jalan Samsul Bahrun RT. 01/01 No. 25 Kel. Selamat Kec. Telanaipura Kota Jambi, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 1571011106800002 berlaku sampai dengan tanggal 01-01-2010 -----------------------------------
yang turut hadir dan ikut menandatangani Perjanjian ini sebagai DEBITUR untuk selanjutnya akan disebut :------------------------------------------------------------------------------------------------

——————– -Debitur.- ——————–
Para pihak bertindak dalam kedudukan masing-masing seperti tersebut di atas, terlebih dahulu menerangkan dan mempermaklumkan hal-hal sebagai berikut : ----

1. Bahwa DEBITUR telah mengajukan permohonan kredit kepada KREDITUR sesuai Aplikasi Permohonan Kredit DEBITUR tanggal 10 Mei 2008 dan selanjutnya, KREDITUR telah menyetujui untuk memberikan Kredit dan dengan perjanjian ini mengikatkan diri untuk menyediakan fasilitas kredit sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat pembiayaan sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian ini.----------------------------------------------------------
2. Bahwa DEBITUR dalam rangka pembelian barang dan atau untuk keperluan lainnya memerlukan pembiayaan untuk memenuhi hal tersebut. KREDITUR telah memberikan pembiayaan untuk kepentingan DEBITUR yang dananya berasal dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk berkedudukan di Jakarta.-----------------------------------------------------------------
3. Bahwa berdasarkan ketentuan, pembiayaan oleh KREDITUR kepada DEBITUR diatur akan berlangsung menurut ketentuan sebagai berikut : -----------------------------------------------
a. DEBITUR untuk dan atas nama KREDITUR mengajukan pinjaman kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, untuk memenuhi kepentingan DEBITUR dengan pembiayaan yang disediakan oleh KREDITUR dan selanjutnya KREDITUR memberikan pinjaman tersebut kepada DEBITUR sebagaimana DEBITUR mengajukan pinjaman dari KREDITUR dengan jumlah pinjaman yang telah disepakati oleh DEBITUR dan KREDITUR, tidak termasuk biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan akad ini.-----------------------------------------
b. Pemberian pinjaman tersebut dilakukan oleh PT Bank Mandiri (Persero),Tbk kepada DEBITUR dengan persetujuan dan sepengetahuan KREDITUR.--------------
c. KREDITUR membayar jumlah pokok pinjaman ditambah margin keuntungan atas fasilitas kredit ini kepada DEBITUR dalam jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga karenanya sebelum DEBITUR membayar lunas jumlah pokok pinjaman dan margin keuntungan kepada DEBITUR, KREDITUR berutang kepada DEBITUR.------------------------------------------------------------------
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan ini para pihak sepakat untuk mengadakan Perjanjian Kredit dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut : ---------------

Pasal 1
Limit, Tujuan, Sifat Kredit, Jangka Waktu Kredit
1. Limit Kredit. ------------------------------------------------------------------------------------------
Berdasarkan ketentuan dan syarat dalam Perjanjian Kredit ini, KREDITUR setuju untuk memberikan pinjaman kepada DEBITUR untuk jumlah yang tidak melebihi limit kredit sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah)----------------------------------------------
2. Tujuan Penggunaan Kredit --------------------------------------------------------------------------
DEBITUR wajib menggunakan Kredit yang dimaksud dalam Perjanjian Kredit ini semata-mata untuk tujuan produktif dan atau konsumtif bagi anggota koperasi/end user. -
3. Sifat kredit. --------------------------------------------------------------------------------------------
Fasilitas Kredit dalam Perjanjian ini bersifat Aflopend dan di angsur tetap setiap bulan. –
4. Jangka waktu kredit. ------------------------------------------------------------------------------
Persetujuan KREDITUR untuk memberikan Kredit yang dimaksud dalam Perjanjian Kredit ini kepada DEBITUR hanya berlaku untuk jangka waktu 3 Tahun (tiga tahun) bulan terhitung sejak tanggal pencairan kredit. --------------------------------------------------

Pasal 2
Penarikan Kredit
1. Kredit dapat ditarik setelah DEBITUR memenuhi seluruh syarat – syarat sebagai berikut : -
a. Perjanjian Kredit telah ditandatangani oleh DEBITUR dan Isteri di atas meterai Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah).. ------------------------------------------------------------
b. Telah menyerahkan : --------------------------------------------------------------------------
- Foto copy Aplikasi Permohonan Kredit dari end user yang telah disetujui Koperasi. ----------------------------------------------------------------------------------------
- Foto copy Slip gaji end user.-------------------------------------------------------------
- Foto copy KTP dan Kartu Pengenal Pegawai/end user.--------------------------
- Foto copy Surat Kuasa dari masing-masing end user untuk memotong gaji setiap bulan yang akan digunakan untuk membayar kewajiban kepada Bank Mandiri. ------ Foto copy Buku Tabungan Bank Mandiri a/n end user (apabila ada) ----------------
c. Telah menyerahkan bukti penutupan asuransi jiwa yang ditutup melalui Perusahaan Asuransi rekanan KREDITUR atau covernote dari pihak asuransi yang menyatakan bahwa masih dalam proses. ------------------------------------------------------------------
2. Penarikan Kredit dilakukan oleh DEBITUR sekaligus. -----------------------------------
3. Jika dalam waktu 30 (tiga puluh hari) hari kalender sejak ditandatanganinya Perjanjian Kredit ini, salah satu syarat Penarikan Kredit sebagaimana tersebut dalam ayat 1 di atas tidak dipenuhi oleh DEBITUR dengan cara yang dapat diterima baik oleh KREDITUR, maka KREDITUR berhak membatalkan pemberian Kredit dan mengakhiri Perjanjian Kredit ini dengan cara memberitahukan secara tertulis mengenai hal tersebut kepada DEBITUR. -----------------------------------------------------------------------------------------------

Pasal 3
Bunga dan Biaya-Biaya Lainnya
1. Bunga -----------------------------------------------------------------------------------------------
DEBITUR wajib membayar Bunga kepada KREDITUR sebesar 11 % (sebelas persen) per tahun yang dihitung secara floating. Bunga dibayar efektif setiap bulan bersamaan angsuran pokok; ---------------------------------------------------------------------
2. Biaya. --------------------------------------------------------------------------------------------
a. Sehubungan dengan persetujuan pemberian Kredit oleh KREDITUR kepada DEBITUR berdasarkan Perjanjian Kredit ini, DEBITUR wajib membayar : -----
(i) Provisi Kredit sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dihitung dari limit kredit.- (ii) Biaya premi asuransi jiwa -------------------------------------------------------------
Biaya provisi, premi asuransi jiwa tersebut diatas dibayarkan dari pencairan fasilitas kredit. -------------------------------------------------------------------------------
b. Selain biaya-biaya yang disebutkan di atas, segala biaya dan pengeluaran yang dibuat oleh dan untuk KREDITUR atau DEBITUR berkenaan dengan Perjanjian Kredit, harus ditanggung dan dibayar oleh DEBITUR atas permintaan pertama KREDITUR. ---------------------------------------------------------------------------------
Biaya-biaya yang telah dibayarkan oleh DEBITUR kepada KREDITUR tidak dapat ditarik kembali oleh DEBITUR karena sebab pembatalan atau oleh sebab apapun juga. ----------------

Pasal 4
Denda
Apabila DEBITUR melalaikan kewajibannya dengan tidak atau terlambat membayar jumlah yang wajib dibayar oleh DEBITUR berdasarkan Perjanjian Kredit ini, yang cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu, maka atas jumlah yang tidak atau terlambat dibayar tersebut, DEBITUR dikenakan denda sebesar 2 % (dua persen) per tahun di atas suku bunga. -----------

Pasal 5
WANPRESTASI
Menyimpang dari ketentuan dalam pasal-pasal di atas, KREDITUR berhak menagih kewajiban berupa pokok dan margin keuntungan/fee termasuk biaya lain, dengan seketika dan sekaligus dan akan menjadi jatuh tempo bilamana : ---------------------------------------------

a. DEBITUR tidak membayar angsuran selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu pembiayaan dan tidak memenuhi salah satu kewajibannya yang telah ditetapkan dalam Perjanjian. --------------------------------------------------------------------------------------
b. Apabila terdapat suatu janji, pernyataan, penjaminan berdasarkan Perjanjian ini maupun berdasarkan suatu surat, atau bukti–bukti lain ternyata tidak benar atau menyesatkan. -----
c. DEBITUR dinyatakan berada dibawah pengampuan atau karena apapun juga tidak berhak mengurus dan menguasai kekayaannya. ---------------------------------------------------
d. DEBITUR mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja atau meninggal dunia.-----------------------------------------------------------------------------------------------------
e. Kekayaan DEBITUR seluruhnya atau sebagian disita oleh pihak lain. ----------------------
f. DEBITUR menurut pertimbangan KREDITUR melanggar peraturan/ketentuan serta tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Perjanjian ini.----------------------------
Bilamana DEBITUR melakukan wanprestasi sebagaimana disebutkan diatas maka dengan ini DEBITUR memberi kuasa kepada KREDITUR untuk menyerahkan, menjual mengalihkan dengan cara apapun juga, atas seluruh jaminan kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. guna penyelesaian pembiayaan DEBITUR.-------------------------------------------------------------------

Pasal 6
Lain-lain
Apabila terdapat hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam Perjanjian ini, maka DEBITUR dan KREDITUR akan mengaturnya bersama secara musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan kesepakatan. ----------------------------------------------------------
Demikianlah Perjanjian Kredit ini ditandatangani oleh kedua belah pihak di atas kertas bermeterai cukup dan efektif berlaku semenjak ditandatangani oleh Debitur.---------------------



Kreditur



Materai
Rp 6000

Koperasi Karyawan
PT. Telekomunikasi Selular


Debitur






Ny. Fatmawati Irvana, SH

PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARI’AH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Walau Indonesia sebagai sebuah Negara dengan pemeluk agama Islam terbesar, produk keuangan berprinsip syariah baru dikenal beberapa tahun yang lalu dan masih sangat terbatas. Dimulai dari sektor perbankan, dengan berdirinya Bank Muamalat pada November 1991. Prinsip syariah tidak hanya terbatas pada konteks perbankan, melainkan juga meliputi berbagai kegiatan ekonomi dan investasi, termasuk di pasar modal dan asuransi.
Bank Syariah sebenarnya berlaku untuk semua orang atau Universal. Syariah itu sendiri hanyalah sebuah prinsip atau sistem yang sesuai dengan aturan atau ajaran Islam. Siapa saja dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, 1997, sistem syariah telah memberikan manfaat bagi banyak kalangan. Pada saat itu, suku bunga pinjaman melambung tinggi hingga puluhan persen. Akibatnya, banyak dari kalangan usaha yang tidak mampu membayar. Tapi, fenomena ini tidak berlaku bagi pelaku usaha yang menggunakan dana dari bank syariah. Para pengusaha tersebut tidak perlu membayar bunga sampai puluhan persen, mereka cukup berbagi hasil dengan bank syariah. Penentuan persentasi bagi hasil dilakukan di awal pengambilan pinjaman.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas, yaitu:
a. Apa sajakah produk-produk bank syariah













BAB II
PEMBAHASAN

1. Al-wadi’ah (Simpanan)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.
Penerima sim­panan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si pe­nyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan keru­sakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kela­laian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang ter­sebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung).
Konsekuensi dari diterapkannya prinsip yad adh-dhamanah pihak bank akan menerima seluruh keuntungan dari penggunaan uang, namun sebaliknya bila mengalami kerugian juga harus ditanggung oleh bank.
Sebagai imbalan kepada pemilik dana disamping jaminan keamanan uangnya juga akan memperoleh fasilitas lainnya seperti insentif atau bonus untuk giro wadiah. Artinya bank tidak di­larang untuk memberikan jasa atas pemakaian uangnya berupa in­sentif atau bonus, dengan catatan tanpa perjanjian terlebih dulu baik nominal maupun persentase dan ini murni merupakan kebijakan bank sebagai pengguna uang. Pemberian jasa berupa insentif atau bonus biasanya digunakan istilah nisbah atau bagi hasil antara bank dengan nasabah. Bonus biasanya diberikan kepada nasabah yang memiliki dana rata-rata minimal yang telah ditetapkan.
Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
2. Pembiayaan dengan bagi basil
a. Al-musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau le­bih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak membe­rikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
AI-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.
b. AI-mudharabah
Pengertian AI-mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan mo­dal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.
c. Al-muzara'ah
Pengertian AI-muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan ka­sus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.
d. Al-musaqah
Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza'arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pe­meliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.

3. Jual Beli
a. Bai'al Murabahah
Pengertian Bai'al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya.
b. Bai'as-salam
Bai'as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu­dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
c. Bai'Al istishna'
Bai' Al istishna' merupakan bentuk khusus dari akad Bai'as­salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna' mengikuti ketentuan dan aturan Bai'as-salam. Pengertian Bai' Al istishna' adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat ba­rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.
4. Al-Ijarah (Leasing)
Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas ba­rang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.
5. Jasa (Fel-based servis)
a. Al-Wakalah (Jasa Perwakilan/ Amanat)
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pem­beri mandat.

b. Al-Kafalah (Jasa Penjaminan/ Garansi)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung ke­pada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat di­lakukan dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.



c. Al-Hawalah (Jasa Transfer, Pengalihan hak dan tanggung jawab)
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang ber­utang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pi­hak. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.
6. Ar-Rahn (Gadai)
Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.
7. Ar-Qard Hasan (Pinjaman Kebijakan)
Qard adalah pinjaman uang.
Aplikasi Qard dalam perbankan, antara lain:
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberi pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Pinjaman dilunasi sebelum berangkat haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah.
8. Pembiayaan (BS)/ Kredit BK
Landasan Hukum
PBI No. 6/24/PBI/2004 Bab V pasal 36 yaitu bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha yang meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain giro berdasarkan prinsip waidah, tabungan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah, dan deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
Landasan Syariah
QS annisa 4:29 “ Hai orang yang beriman janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu”.
QS al Maidah 5-1 “Hai orang beriman! Penuhilah akad-akad itu”
Akad dalam Fiqh Muammalat
Akad Tabbarru :
Non Profit Transaction
Tujuan transaksi adalah tolong menolong dan bukan keuntungan komersil
Pihak yang berbuat kebaikan boleh meminta kepada counter partnya untuk menutup sekedar biaya untuk melakukan akad tabarru
Tidak dapat dirubah menjadi akad
Tidak dapat dirubah menjadi akad tijarah, kecuali ada persetujuan sebelumnya
Contoh : qardul Hasan, hibah, sadaqah,waqaf,Rahn,wakalah,kafalah
Akad Tijarah :
Profit transaction oriented
Tujuan transaksi adalah mencari keuntungan yang bersifat komersil
Akad tijarah dapat dirubah menjadi akad tabarru dengan cara pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya
Dilihat dari sifat keuntungannya yang diperoleh akad tijarah dibagai dua: Natural certanty return, Natural uncertanty return. Contoh : Murabahah, Musyarakah, Mudharabah, Salam, Ijarah, Istishna
9. Menabung di Bank Syariah
Sepintas bila dilihat secara teknis, menabung di bank syariah dengan yang belaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di bank syariah maupun bank konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar di antara keduanya.
Perbedaan pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadiah, karena dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor.
Perbedaan kedua terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh bank. Oleh karena itu bank harus menjual kepada nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan. Sebaliknya juga benar.
Perbedaan ketiga adalah sasaran kredit/ pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar uang yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Demikianlah ulasan produk perbankan syariah. Semoga ulasan ini dapat menambah pengetahuan dan alternatif sarana investasi.
B. Saran
Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Hosen,M.N. “Buku Saku Perbankan Syariah”. Direktur Eksekutif PKES . Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah. Jakarta, Nopember 2005.

Islamic Banking & Finance Asia Conference. The Asia Business Forum. Singapore, 31 Jan-1 Februari 2005.

Applied Technique for Islamic Product, Strategy & Accounting. Euromoney Training. London, Mei 2005

[http://ekiszone.co.cc/category/perbankan-islam

























MAKALAH
HUKUM PERBANKAN ISLAM
(PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARI’AH)










Oleh:
Humaira : 07400275




UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
2011

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN

MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN


PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN












Disusun Oleh :
Humaira : 07120010
Jaibun Nisa : 06400064
Abi Manyu Prakasa : 06400077
Vella Anhar D : 08400153
Abdullah : 08400045







UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
JURUSAN ILMU HUKUM
2011



BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kesehatan yang ada di Indonesia dewasa ini tidak dapat lepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara dan atau masyarakat, maka ada 2 (dua) sistem hukum di dunia yang dimaksud adalah sistem hukum sipil kodifikasi dan sistem hukum kebiasaan common law system. Kemudian di mungkinkan ada sistem hukum campuran, khususnya bagi suatu masyarakat majemuk (Pluralistik) seperti Indonesia memungkinkan menganut sistem hukum campuran. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu : a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan. b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln, 1991: 75-76).
Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan pasal 1320 KUHPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus di laksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan di atas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit.
Perjanjian yang terjadi antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah berlaku secara sah sebagai undang-undang mengikat bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatannya, perjanjian itu harus dilaksanakan berdasarkan dengan itikad baik dari pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit. Maka para pihak paham akan posisinya, sehingga kepastian dan rasa perlindungan hukum bagi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dapat terwujud secara baik dan optimal.
Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggungjawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki tanggungjawab terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan wewenang dokter.
Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya ( Harian Kompas, 15 April 2004).Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk pemberi jasa pelayanan kesehatan agar bertanggungjawab terhadap profesi yang diberikan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan.
Dalam kaitan dengan tanggungjawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).
Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari : 1). Unsur mutu yang dijamin kualitasnya; 2). Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan 3). Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).
Penulis berpendapat bahwa unsur-unsur itu akan bermanfaat bagi pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit, di sebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi unsur tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan maksimal, dengan manfaat yang dapat di rasakan oleh penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit).
Dinamika kehidupan masyarakat juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana, dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana.
Sebagai kesalahan tadi, culpa misalnya, ia mengandung 2 unsur ataupun persyaratan, yaitu : (1). kurang hati-hati, kurang waspada dan kurang “voorzichtig.” (2). Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (kurang dapat “voorzien”) (Oemar Seno Adji,1991: 125). Suatu hubungan kausal yang lebih merupakan kesalahan profesi dokter, dan dapat dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi kewajiban dan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Jika pasal 322 KUHP dapat memidanakan seorang dokter karena melanggar kewajibannya untuk merahasiakan apa yang menjadi pengetahuannya, maka Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut disebut pula Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1966 di mana Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan administratif terhadap seorang dokter,yamg tidak dapat dipidanakan berdasarkan pasal 322 KUHP (Oemar Seno Adji, 1999: 45).
Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien atau penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Masih terdapat peraturan-peraturan pidana lainnya bersangkutan dengan kesalahan/kelalaian dari seorang dokter/tenaga kesehatan seperti pasal 351,356 KUHP mengenai penganiayaan, di mana penganiayaan tersebut dianalogikan dengan sengaja merusak kesehatan dan pasal 359,360 dan 378 KUHP mengenai tindak penipuan, serta pasal 512 KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.
Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi (Wila Chandrawila Supriadi, 2001: 31).
Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum, perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dan rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen.
 




























BAB II
PEMBAHASAN
 
Saat ini, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya., bahkan tidak jarang mereka mencari pendapat kedua (second opinion), Hal tersebut merupakan hak yang selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Memang harus diakui bahwa hak-hak konsumen kesehatan masih cenderung sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, yang memprihatinkan, kekalahan tersebut bisa berupa kerugian moral dan material yang cukup besar.
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Hal ini antara lain disebabkan selama ini hubungan antara si penderita dengan si pengobat, yang dalam terminology dunia kedokteran dikenal dengan istilah transaksi terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistic.
Seiring dengan perubahan masyarakat, hubungan dokter - pasien juga semakin kompleks, yang ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistic menuju partnership, yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter merupakan partner dan mitra bagi pasien).
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu :
1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (publik atau privat) barang dan atau jasa;
2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab Lalu pertanyaannya, apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen, dan pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha ?
Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi kesehatan
Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter) merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 / 1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang kesehatan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. (UU No.23/1992 tentang Kesehatan). Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business (kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment, occupation, PROFESSION, or commercial activity engaged in / or gain or livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata pencaharian).
Selain itu, posisi bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector jasa bisnis, seperti tampak berikut :
SEKTOR KESEHATAN :
· HOSPITAL SERVICES
· OTHER HUMAN HEALTH SERVICES
· SOCIAL SERVICES
· OTHER
SEKTOR JASA BISNIS :
A. PROFESIONAL SERVICES:
B. MEDICAL AND DENTAL SERVICES
C. PHYSIOTHERAPIST
D.NURSE AND MIDWIFE
Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan
Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut :
HAK KONSUMEN KESEHATAN
BERDASARKAN UU NO.8 / 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
· Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
· Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur
· Didengar pendapat dan keluhannya
· Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
· Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
· Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
BERDASARKAN UU NO.23/1992 TENTANG KESEHATAN
· Informasi
· Memberikan persetujuan
· Rahasia kedokteran
· Pendapat kedua (second opinion)
KEWAJIBAN KONSUMEN
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
· Beritikad baik
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
· Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN BERDASARKAN UU NO. 23 /
1992 TENTANG KESEHATAN
KEWAJIBAN
Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
HAK
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya Setelah kita mengetahui pengertian pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pelaku usaha, kini kita menuju pada pertanyaan selanjutnya, bagaimana hubungan hukum antara pasien dan RS, tenaga kesehatan, sesama tenaga kesehatan beserta sengketa diantara para pihak tersebut yang dikenal dengan malpraktek ?


HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT
1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan melakukan tindakan perawatan
2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN TENAGA KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - DOKTER
Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), jarang merupakan resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - TENAGA KESEHATAN LAIN (ANTARA LAIN
PERAWAT)
Merupakan perikatan / kontrak, yaitu tenaga kesehatan lain itu harus berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat berupa inspanningsverbintenis maupun resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM DOKTER - PERAWAT
Merupakan hubungan rujukan atau delegasi
PENGERTIAN MALAPRAKTIK MEDIK
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian malapraktik medik sebagai akibat belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun demikian, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malapraktik / tidak maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu : berbuat secara teliti / seksama dikaitkan dengan culpa / kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi Dan kondisi yang sama, sarana upaya yang sebanding / proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan / perbuatan medik tersebut.
Menurut Leenen, Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik).
Selain itu, untuk mengetahui adanya unsur perbuatan malapraktik juga dapat dilihat pada 4 - D of Negligence, yaitu : Duty, Dereliction of that duty, Direct caution, Dan Damage Lalu bagaimana tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ada dugaan kasus malapraktik ?
TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT
TANGGUNG JAWAB RS PEMERINTAH
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
TANGGUNG JAWAB RS SWASTA
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
TANGGUNG JAWAB MALAPRAKTIK DOKTER SECARA PIDANA
Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal 359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (HR.3 Febr. 1913)
TIGA TINGKATAN CULPA
1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross fault or neglect)
2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241)
Culpa lata tidak berlaku dalam hukum perdata. Culpa levis dan Culpa levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana dapat ditampung dalam hukum Perdata dan hk. Disiplin tenaga Kesehatan (di Indonesia blm ada)









































BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
Kasus accident/ risk in treatment/ error in judgement merupakan mal praktik, secara yuridis semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan pembuktian berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Bila dokter terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah memenuhi informed consent maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas membayar kerugian.
SARAN BAGI PENANGGULANGAN MALAPRAKTIK MEDIK
· Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundang-undangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.
· Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun swasta (central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak puas atas sikap RS maka dapat menuntut dan menggugat RS.
Pimpinan RS yang akan menetapkan siapa yang bersalah dan melakukan “hak Regres” (hak menuntut orang yang bersalah dalam kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan diri dengan batas kerugian sebagai akibat gugatan pasien.
· Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan, terutama bagi pasien
· informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi mis interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.
Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian ada / tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar / salahnya suatu kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian.
Dalam hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodir kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review.