TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sabtu, 11 Juni 2011

TAKAFUL INDONESIA, ASURANSI SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi dimana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada jaman Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari sang raja bermimpi yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada 7 tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik.
Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari risiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri. Pada tahun 2000 sebelum masehi para saudagar dan aktor di Italia membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal. Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan beranggotakan para budak belian yang diperbanatukan pada ketentaraan kerajaan Roma (Rahman, Afzalur).
Konsep auransi sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat primitif yang berkelompok. Dalam masyarakat primitif, orang hidup bersama dalam keluarga besar atau suku dimana kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi dan dilindungi melalui kerjasama dan saling membantu. Oleh karena itu mereka merasa tidak memerlukan suatu asuransi karena semua resiko sepenuhnya dilindungi oleh masyarakat.
Pada waktu keluarga atau suku berubah menjadi kehidupan yang berpindah-pindah secara teori keluarga tersebut mulai menghadapi berbagai macam bahaya tanpa adanya perlindungan dari keluarga maupun sukunya. Saat itulah mulai dirasakan perlunya perlindungan terhadap ancaman tersebut sebagai unsur awal munculnya asuransi.
Berikut dalam makalah ini, penulis akan menyajikan tentang pengertian asuransi, asuransi dalam pandangan Islam dan sekilas tentang Asuransi Syariah dalam bentuk Perusahaan T akaful Indonesia

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian asuransi?
2. Bagaimana asuransi dalam pandangan Islam?
3. Bagaimana konsep asuransi syari’ah dalam perusahaan Takaful Indonesia?





















BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Asuransi
Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1 : "Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan” . Selain pengertian tersebut banyak definisi mengenai asuransi :
Konsep Sederhana
Suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bisa tertimpa kerugian guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian akan disebarkan ke seluruh kelompok.
Pengertian Ekonomi
Suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat yang merugikan di masa datang karena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan disini antara lain:
• Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda yang diasuransikan.
• Penanggung, dalam hal ini PT Asuransi Central Asia, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian / musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan.

B. Asuransi dalam pandangan Islam
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)

Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Sehingga manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya. Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
Asuransi sama dengan judi (Mengenai judi jelas hukumnya, yaitu haram sebagaimana di firmankan Allah dalam surat al-Maidah: 90.Dalam asuransi konvensional, judi timbul karena dua hal: 1. Sekiranya seseorang memasuki satu premi, ada saja kemungkinan dia berhenti karena alasan tertentu. Apabila berhenti dijalan sebelum mencapai masa refreshing pheriod, dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2-3 tahun) dan jumlahnya kira-kira 20% dan uang itu akan hangus. Dalam keadaan seperti inilah ada unsur judinya. 2. Sekiranya perhitungan kematian itu tepat, dan menentukan jumlah polis itu juga tepat, maka pearusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam perhitungan, maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini unsur judi (untung-untungan). Dalam asuransi takaful berbeda, karena sipenerima polis sebelum mencapai refreshing period sekalipun, bila dia mengambil dananya (karena seasuatu hal), maka hal itu di bolehkan. Perusahaan asuransi ialah sebagai pemegang amanah. Malahan kalu ada kelebihan/ untung, maka pemegang polispun ada menerimanya.
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti. (Dalam asuransi konvensional ada gharar (ketidak pastian), karena tidak jelas akad yang melandasinya. Apakah akad Tabaduli (jual beli) atau akad Takafuli (tolong menolong). Umpamanya saja sekiranya terjadi klaim, seperti asuransi yang diambil sepuluh tahun dan pembayaran premi (Rp. 1.500.000,- per tahun. Kemudian pada tahun ke-5 dia meninggal dunia, maka pertanggungan yang diberikan sebesar Rp. 15.000.000.-. Hal ini berarti, bahwa uang yang Rp. 7.500.000,- (pembayaran premi Rp. 7.500.000,-selama lima tahun) itu adalah gharar, dan tidak jelas dari mana asalnya. Berbeda dengan asuransi takaful, bahwa sejak awal polis dibuka, sudah diniatkan 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru (derma/sumbangan).
Jika terjadi klaim pada tahun kelima, maka dan yang Rp. 7.500.000,- itu tidak gharar, tetapi jelas sumbernya, yaitu dari dana kumpulan tabaru/derma
Asuransi mengandung unsur riba/renten. (Dalam asuransi konvensioanal juga terjadi riba, karena dananya di investasikan (diputar). Sedangakn masalah riba (rente) dipersoalkan oleh para alim ulama. Ada ulama mengharamkannnya, ada yang membolehkannya dan adapula yang mengatakan syubhat. Jalan yang ditempuh oleh asuransi takaful adalah cara mudhrabah (bagi hasil). Dengan demikian, tidak ada riba (rente) dalam asurasni takaful.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

2. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

3. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar. Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam. Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

C. Asuransi Syari’ah
a) Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Dasar Hukum :
• Surat Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
• Surat Al-Baqarah :188 Firman Allah “...dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu (al:Baqarah:188)
• Al Hasyr:18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.

Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

b) Ciri-ciri asuransi syari’ah
Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

c) Manfaat asuransi syariah.
Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).

d) Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
1. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
2. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.

D. Takaful Indonesia
Sekilas Sejarah Takaful Indonesia
Sebagai pelopor asuransi syariah di Nusantara, Takaful Indonesia telah melayani masyarakat dengan jasa asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah, selama lebih dari satu dasawarsa, melalui dua perusahaan operasionalnya: PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa Syariah) dan PT Asuransi Takaful Umum (Asuransi Umum Syariah).
PT Syarikat Takaful Indonesia (Perusahaan) berdiri pada 24 Februari 1994 atas prakarsa Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia Tbk., PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha muslim Indonesia. Melalui kedua anak perusahaannya yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum, Perusahaan telah memberikan jasa perlindungan asuransi yang menerapkan prinsip-prinsip murni syariah pertama di Indonesia.
PT Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa Syariah didirikan pada 4 Agustus 1994 dan mulai beroperasi pada 25 Agustus 1994, yang ditandai dengan peresmian oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad. Diikuti dengan pendirian anak perusahaan yang bergerak di bidang asuransi umum Syariah yaitu PT Asuransi Takaful Umum, yang diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT Prof. Dr. B.J. Habibie pada 2 Juni 1995. Kepemilikan mayoritas saham Syarikat Takaful Indonesia saat ini dikuasai oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad (56,00%) dan Islamic Development Bank (IDB, 26,39%), sedangkan selebihnya oleh Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Bank Muamalat Indonesia serta Karya Abdi Bangsa dan lain-lain.
Di tahun 2004, Perusahaan melakukan restrukturisasi yang berhasil menyatukan fungsi pemasaran Asuransi Takaful Keluarga dan Asuransi Takaful Umum sehingga lebih efisien serta lebih efektif dalam penetrasi pasar, juga diikuti dengan peresmian kantor pusat, Graha Takaful Indonesia di Mampang Prapatan, Jakarta pada Desember 2004. Selain itu, dilakukan pula revitalisasi identitas korporasi termasuk penataan ruang kantor cabang di seluruh Indonesia, untuk memperkuat citra perusahaan.
Untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan Perusahaan dan menjaga konsistensinya, Perusahaan memperoleh Sertifikasi ISO 9001:2000 dari SGS JAS-ANZ, Selandia Baru bagi Asuransi Takaful Umum, serta Asuransi Takaful Keluarga memperoleh Sertifikasi ISO 9001:2000 dari dari Det Norske Veritas (DNV), Belanda pada April 2004. Selain itu, atas upaya keras seluruh jajaran perusahaan, Asuransi Takaful Keluarga meraih MUI Award 2004 sebagai Asuransi Syariah Terbaik di Indonesia, dan Asuransi Takaful Umum memperoleh penghargaan sebagai asuransi dengan predikat Sangat Bagus dari Majalah InfoBank secara berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005.
Dengan dukungan Pemerintah dan tenaga professional yang berkomitmen untuk mengembangkan asuransi syariah, Syarikat Takaful Indonesia bertekad untuk menjadi perusahaan asuransi syariah terkemuka di Indonesia.
Visi
Menjadi grup asuransi terkemuka yang menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang komprehensif dengan jangkauan signifikan di seluruh Indonesia menjelang tahun 2011.
Misi
Kami bertekad memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan risiko bagi umat dengan menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang dikelola secara profesional, adil, tulus dan amanah.
Konsep dan Filosofi
Segala musibah dan bencana yang menimpa manusia adalah ketentuan Allah. Namun manusia wajib berikhtiar untuk memperkecil resiko dan juga dampak keuangan yang mungkin timbul. Upaya tersebut seringkali tidak memadai, sehingga tercipta kebutuhan akan mekanisme mengalihkan resiko seperti melalui konsep Takaful atau asuransi.
Sebagai perusahaan asuransi syariah, Takaful bekerja dengan konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana telah digariskan di dalam Al Qur’an, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa” (Qs. Al Maidah: 2). Dengan landasan ini, Takaful menjadikan semua peserta sebagai satu keluarga besar yang akan saling melindungi dan secara bersama menanggung resiko keuangan dari musibah yang mungkin terjadi di Al-Mudharabah, Al-Wakalah, dan Tabarru’. Akad-akad Takaful tidak mengandung unsur Al-Riba (bunga uang), Al-Maisir (Judi), dan Al Gharar (untung-untungan) yang dilarang dalam akad-akad keuangan Islami



Produk Takaful Indonesia
Takaful Umum
Takaful Keluarga
Takaful Co-Branding
 
Takaful Umum
Fokus utamanya memberikan layanan dan bantuan menyangkut asuransi di bidang kerugian seperti perlindungan dari kebakaran, pengangkutan, niaga, dan kendaraan bermotor, dengan harapan bisa tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera dengan perlindungan asuransi yang sesuai Muamalah Syariah Islam.
1. Takaful Baituna
Program Takaful yang melindungi rumah dari kebakaran yang dilengkapi dengan perangkat perlindungan ekstra untuk Anda sekeluarga.
2. Takaful Surgaina
Produk Takaful yang memberikan perlindungan terhadap kerugian finansial dan santunan akibat kecelakaan yang mengakibatkan meninggal dunia, menderita cacat badan dan/ atau biaya pemakaman peserta.
3. Takaful Abror
Produk Takaful yang menggantikan kerugian atas kendaraan bermotor yang disebabkan musibah kecelakaan, pencurian serta tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.
4. Takaful Ansor
Produk Takaful untuk sepeda motor atas risiko kehilangan dan kecelakaan dengan tambahan asuransi jiwa
5. Takaful Rekayasa
Program Takaful yang mengganti kerugian atas kehilangan atau kerusakan dalam sebuah proyek rekayasa (konstruksi dan/ atau pemasangan), peralatan dan mesin akibat kejadian yang tiba-tiba dan tidak terduga sehingga menyebabkan kerugian kepada Peserta (prinsipal, kontraktor atau pemilik peralatan).
6. Takaful Aneka
Program Takaful yang menggantikan kerugian atas berbagai macam resiko
7. Takaful Kebakaran
Program Takaful yang mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan bangunan
8. Takaful Pengangkutan & Rangka Kapal
Program Takaful yang mengganti kerugian pada barang atau alat pengangkutan selama dalam pengangkutan.
9. Takaful Kendaraan Bermotor
Program Takaful yang mengganti kerugian baik kehilangan atau kerusakan  secara menyeluruh dan tuntutan pihak ketiga atas setiap kendaraan bermotor yang terdaftar akibat risiko-risiko seperti tabrakan, tubrukan, terbalik, tergelincir dari jalan, kecelakaan baik yang dibebakanoleh kesalahan material atau kongstruksi perbuatan orang jahat, pencurian, kebakaran dan sebab lainnya yang diatur sebagaimana dalam Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia.

Takaful Keluarga
Fokus utamanya memberikan layanan dan bantuan menyangkut asuransi jiwa dan keluarga, dengan harapan bisa tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera dengan perlindungan asuransi yang sesuai Muamalah Syariah Islam.

Layanan Individual
Takafulink
Sarana berinvestasi sekaligus berasuransi sesuai Syariah yang disediakan PT Asuransi Takaful Keluarga. Program ini menawarkan hasil investasi yang optimal dengan pilihan sesuai preferensi Anda.
Takaful Kecelakaan Diri
Program Takaful yang memberikan santunan kepada peserta atau ahli warisnya bila peserta meninggal dunia, cacat, atau mengeluarkan biaya perawatan akibat kecelakaan.



Fulnadi
Adalah program asuransi perorangan yang bermaksud menyediakan dana pendidikan, dalam mata uang Rupiah dan US Dolar untuk putra-putrinya sampai sarjana.
Takafulink Alia
PT Asuransi Takaful Keluarga mempersembahkan Takafulink Alia bagi anda yang menginginkan hasil investasi optimal dengan jenis investasi campuran melalui sistem pengelolaan syariah.
Takaful Ukhuwah
Cara mudah berasuransi dengan premi terjangkau sekaligus menolong Ummah
Layanan Group/Kumpulan
Takaful Ordinary
Takaful Al Khairat
Program Takaful Al-Khairat adalah suatu bentuk perlindungan kumpulan  yang diperuntukkan kepada ahliwarisnya apabila yang bersangkutan ditakdirkan meninggal dalam masa perjanjian.
Takaful Kecelakaan Diri
Program Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan adalah suatu bentuk perlindungan kumpulan yang ditujukan untuk perusahaan, organisasi atau perkumpulan yang bermaksud menyediakan santunan kepada karyawan/anggota apabila mengalami musibah karena kecelakaan dalam masa perjanjian.
Takaful Kecelakaan Siswa
Program Takaful Kecelakaan Siswa adalah suatu bentuk perlindungan kumpulan yang ditujukan kepada Sekolah/Perguruan Tinggi atau Lembaga Pendidikan Non Formal yang bermaksud menyediakan santunan kepada siswa/mahasiswa atau pesertanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap total maupun sebagian atau meninggal.


Takaful Wisata & Perjalanan
Program Takaful Wisata & Perjalanan adalah program yang diperuntukkan bagi Biro Perjalanan dan Wisata/Travel yang berkeinginan memberikan perlindungan kepada pesertanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap total, sebagian atau meninggal selama wisata maupun perjalanan dalam dan luar negeri.
Bancassurance
Takaful Pembiayaan
Program Takaful Pembiayaan adalah suatu bentuk perlindungan    asuransi yang memberikan Manfaat Takaful yaitu berupa jaminan pelunasan hutang apabila yang bersangkutan ditakdirkan meninggal dalam masa perjanjian.
Takaful Kesehatan
FulMedicare
Adalah Program Asuransi Kesehatan yang memberikan manfaat pelayanan kesehatan bagi peserta yang mengalami sakit karena resiko penyakit atau kecelakaan.
Takaful Co-Branding
Takaful Safari
Perlindungan yang diberikan Takaful Safari adalah:
Meninggal dunia karena kecelakaan dalam kendaraan pribadi maupun kendaraan umum Rp 100.000.000,-
Meninggal dunia karena kecelakaan di luar kendaraan pribadi maupun kendaraan umum Rp 50.000.000,-
Biaya harian kunjungan dokter selama rawat inap RS akibat kecelakaan Rp 250.000,- / hari
(Maks. per Kejadian) (RP 2.500.000)
Premi (untuk perlindungan selama 10 hari) Rp 8.000,-*
* Belum termasuk PPn 10%

Takaful FulProtek
Manfaat Takaful :
Meninggal dunia karena kecelakaan
Cacat tetap karena kecelakaan - maksimum
Biaya perawatan & pengobatan karena kecelakaan - maksimum per kecelakaan
Meninggal dunia biasa
Takaful Investa Cendekia























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi Asuransi Syariah di Indonesia
Data Departemen Keuangan menunjukkan market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru mencapai 0.3% dari total premi asuransi nasional. Dibidang aturan hukum saat ini sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Hambatan Pengembangan Asuransi Syariah
Instrumen tidak dikenal masyarakat luas Anggapan masyarakat Indonesia pengurusn klaim asuransi menyulitkan Instrumen Asuransi kalah bersaing dengan isntrumen investasi seperti surat berharga Asuransi syariah belum tersosialisasikanluas seperti perbankan syariah.
Peluang pengembangan Asuransi Syariah
Alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syariah untuk pengamanan aset dan transaksi perbankan.
Peluang pengembangan Asuransi Syariah.
Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syariah adalah ditetapkannnya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah.







DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian.
http://www.takaful.com/
http://takaful99.blogspot.com/2009/12/takaful-asuransi-pertama-murni-syariah.html

Asas Hukum Acara PTUN

Nama: Humaera
Nim: 07400275
Asas Hukum Acara PTUN
Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Asas Hukum PTUN
1. Asas praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa). Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN.
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.
3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)
4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.
5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 14/1970.
6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4 UU 14/1970).
7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU PTUN).
8. Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN).
9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.
10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU PTUN).
11. Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).

Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.
1. Obyek Gugatan
Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan hukum)
2. Kedudukan Para Pihak
Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak tidakn terikat pada kedudukan.
3. Gugat Rekonvensi
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugat rekonvensi (gugat balik), yang artinya gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka.
4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari.

5. Tuntutan Gugatan
Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat.
6. Rapat Permusyawaratan
Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN.
7. Pemeriksaan Persiapan
Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan.
8. Putusan Verstek
Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek.
9. Pemeriksaan Cepat
Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
10. Sistem Hukum Pembuktian
Sistem pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN).


11. Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan
Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata.
12. Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad)
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.
13. Upaya pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan.
14. Kedudukan Pengadilan Tinggi
Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
15. Hakim Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.

hukum pemerintah daerah

Nama: Humaera
Nim: 07400275
Kelas: A
TUGAS UAS
HUKUM PEMDA

1. A. Faktor penyebab terjadinya pemekaran daerah di Indonesia:
Pemekaran daerah di Indonesia dinilai sangat realistis dan sesuai dengan payung hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan syarat pembentukan provinsi berdasarkan syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan.
Dari kenyataan yang ada, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah, terutama pembentukan provinsi baru. Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya, hal-hal tersebut adalah:
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. kependudukan;
f. luas daerah;
g. pertahanan;
h. keamanan;
i. dan faktor lain yang menunjang otonomi daerah.
Sedangkan mengenai pemekaran tidak lepas dari UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah yang tercantum tercantum dalam Pasal 4.
Secara khusus mengenai pemekaran wilayah, pertama yaitu pemekaran wilayah Banten yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (UU Nomor 23 Tahun 2000).
(Sistem otonomi daerah dan pemekaran wilayah di Indonesia, Swadiri Erlangga, diakses: 9 juni 2011)

B. Dampak pemekaran daerah:
1. Dampak Sosio Kultural
Dari dimensi sosial, politik dan kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah mempunyai beberapa implikasi positif, seperti pengakuan sosial, politik dan kultural terhadap masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh pengakuan setelah dimekarkan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, dukungan daerah terhadap pemerintah nasional, serta manajemen konflik antar kelompok atau golongan dalam masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik antar masyarakat, antar pemerintah daerah yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah konflik horisontal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, juga sering berimplikasi pada ketegangan antar masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
2. Dampak Pada Pelayanan Publik
Dari dimensi pelayanan publik, pemekaran daerah memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, terutama ibukota pemerintahan daerah. Pemekaran juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran. Namun, kalau dilihat dari kepentingan daerah semata, pemekaran bisa jadi tetap menguntungkan, karena daerah hasil pemekaran akan memperoleh alokasi DAU dalam posisinya sebagai daerah otonom baru.
3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru diberi status sebagai daerah otonom dengan pemerintahan sendiri. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik yang menyertainya, seperti infrastruktur jalan, transportasi, komunikasi dan sejenisnya. Selain itu, kehadiran pemerintah daerah otonom baru juga memungkinkan lahirnya infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan ongkos yang mahal, terutama anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai pemerintahan daerah, seperti belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah lainnya. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa diminimalisir apabila akselerasi pembangunan ekonomi daerah bisa dilakukan tanpa menghadirkan pemerintah daerah otonom baru melalui kebijakan pemekaran daerah. Melalui kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang menjangkau seluruh wilayah, akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan untuk dilakukan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.
4. Dampak Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah perbatasan dengan negara lain, merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Bahkan, di beberapa daerah seperti di pedalaman Papua, kehadiran 'Indonesia' terutama ditandai dengan kehadiran tentara atas nama pengendalian terhadap gerakan separatis. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki penangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.
Tetapi, kehadiran pemerintahan daerah otonom baru ini harus dibayar dengan ongkos ekonomi yang mahal, terutama dalam bentuk belanja aparat dan operasional lainnya. Selain itu, seringkali ongkos politiknya juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan dengan baik. Sebagaimana terbukti pada beberapa daerah hasil pemekaran, ketidak mampuan untuk membangun inklusifitas politik antar kelompok dalam masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar. Untuk mempersiapkan upaya pemekaran ini, proses pemekaran unit pemerintahan terbawah, seperti desa untuk pemekaran kabupaten dan pemekaran kabupaten untuk mempersiapkan pemekaran provinsi, merupakan masalah baru yang perlu untuk diperhatikan.
Identifikasi dampak pemekaran tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa banyak dampak negatif yang perlu diminimalisasi. Esensi kebijakan yang perlu dilakukan merasionalisasi proses kebijakan pemekaran, baik proses pengusulan pemekaran yang dilakukan oleh daerah, maupun proses penetapan pemekaran yang dilakukan di tingkat pusat.
(informasi pemekaran daerah mohon dampak positif dan negatifnya, Yahoo!answer, diakses: 9 Juni 2011)

2. Pengaturan dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah pada era otonom daerah:
Dalam era otonomi daerah, manajemen keuangan daerah yang baik merupakan salah satu prasyarat penting untuk mewujudkan efektifitas dan efesiensi pemerintah dan pembangunan di tingkat lokal. Dalam hubungan antar pusat dan daerah, pemerintah saat ini telah mengalokasikan dana perimbangan untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan desentralisasi pemerintahan.
Berdasarkan pasal 5 UU No. 33 tahun 2004 sumber-sumber penerimaan daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah  merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan.
Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah (equalizing transfer) (Ehtisham, 2002). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA (block grants) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada penerapannya DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai Pemda, sedangkan penggunaan DAK  telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya. Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusat-daerah. Walaupun Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Daerah kaya SDA misalnya Riau, Kalimantan Timur, Aceh, dan Papua akan mendapatkan dana bagi hasil yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Pada sisi yang lain Jakarta dan kota besar lainnya akan memperoleh dana bagi hasil pajak (PBB, BPHTB, dan PPh) yang cukup besar, sebagai konsekuensi terkonsentrasinya pusat bisnis di kota metropolitan. Fenomena seperti ini akan berdampak terhadap meningkatnya ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada akhirnya melalui kebijakan ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan wilayah.
Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi inter-jurisdictional spillovers, dan meningkatkan penyediaan barang publik di daerah.. Dalam perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan DAK sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana diberikan sesuai dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundangundangan menjadi urusan daerah akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No. 33 tahun 2004).
Meningkatnya penerimaan daerah melalui pemberian dana perimbangan dan pengumpulan dana non perimbangan pada satu sisi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada sisi yang lain dapat memperburuk ketimpangan antardaerah.
(Pengelolaan Keuangan di Era Otonomi Daerah, drs. Dadang solihin, M.A, diakses: 9 Juni 2011)

3. A. Urgensi pemilihan kepala daerah secara langsung:
a. adanya aspirasi masyarakat khususnya keinginan terhadap pemerintahan daerah yang bersih dan bertanggung jawab, tidak mempunyai posisi KKn, dan keseimbangan dalam keadilan.
b. adanya amandemen UUD 1945, terutama pada pasal 18 ayat 4 yang menyatakan bahwa gubenur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis.
c. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat tertentu.
d. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi,pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
e. Apabila tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Urgensi pemilihan kepala daerah secara tidak langsung:
a. Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan
dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sckurang-kurangnya
dua pertiga dari jumlah anggota DPRD.
b. Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh
suara terbanyak pada pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan
disahkan oleh Presiden.
c. Penyelenggaraan pemilihan calon kepala daerah tidak mengeluarkan banyak biaya. Sebagaimana pemilihan secara langsung.
d. DPRD yang notabene wakil dari partai-partai politik mempunyai posisi yang leluasa dan mempunyai kewenangan yang besar dalam menentukan calon kepala daerah.
(UU No.22/1999 dan UU No. 32/ 2004. Di akses: 9 juni 2011)

B. Wacana pelaksanaan pemilu kepala daerah akan dikembalikan pada model lama dengan pemilihan secara tidak langsung (dipilih oleh DPRD):
Selama ini proses pemilihan kepala daerah diatur berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo No. 151 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara prosedural kewenangnnya masih berada ditangan anggota DPRD. Kewenangan begitu luas ini tidak diimbangi oleh keterampilan untuk mengartikulasi dan mengagresikan aspirasi masyarakat daerah secara optimal. Banyak kasus praktik politik uang, politik an-sich, dukungan irasional partai politik dan campur tangan elit pejabat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah semakin memperkokoh pendapat bahwa sebaiknya pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat daerah.
Pemilihan kepala daerah secara langsung dengan menggunakan instrumen hukum UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2005 Jo. PP No.6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan PP No.25 Tahun 2007. Pilkada secara langsung yang dimulai sejak tahun 2005 (enam puluh tahun sesudah Indonesia merdeka) sudah pasti banyak implikasinya.
Semula para pengamat mengasumsikan penyelenggaraan Pilkada langsung yang diatur dalam berbagai instrumen regulasi tersebut akan menjadi panggung politik lokal milik rakyat. Namun bila melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, asumsi tersebut sedikit meleset karena sejumlah alasan, seperti pernah dipaparkan oleh peneliti politik dari Medan Sumatera Utara, Benget Silitonga.
Pertama, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit mengatur bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Ini bisa ditafsirkan bahwa pilkada adalah panggung politik miliknya parpol. Posisi parpol atau gabungan parpol masih tetap diakui sebagai satu-satunya pemilik hak politik istimewa untuk mengajukan pasangan calon. Tanpa parpol, seseorang yang memiliki kualitas kepemimpinan politik mumpuni bisa gugur tanpa bertarung.
Ironisnya, parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan calonpun dibatasi (minimal memperoleh 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD di daerah yang bersangkutan (Pasal 59 Ayat (2) UU No 32 Tahun 2004).
Dengan formulasi regulasi seperti itu maka konsekuensinya, sejak awal pemilih sudah diarahkan untuk memilih calon yang diplot oleh parpol atau gabungan parpol. Selain itu, pembatasan ini akan dijadikan sebagai peluang praktek korupsi baru bernama money politics (uang mahar ke partai, political cost dst).
Pilkada yang telah berlangsung di sebagian besar daerah saat ini sudah cukup bagus dalam konteks demokrasi prosedural, namun belum menyentuh demokrasi substansial, yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan dekat dengan rakyat. Memang ada ruang bagi parpol bisa mencalonkan calon perseorangan. Namun bila dikaitkan dengan watak oligarkis sentralis dan belenggu money politics yang menyelubunginya, sulit rasanya parpol mengajukan calon perseorangan yang betul-betulindependen.
Kedua, desentralisasi politik tidak diikuti dengan perubahan Kebijakan Kepartaian. UU No 31/2002 tentang parpol dan berbagai AD/ART parpol masih berwatak oligarkis sentralis. Ini tentu saja sebuah paradoks. Ketika pilkada sudah bergeser lebih demokratis ke wilayah lokal, parpolnya malah belum demokratis dan dikendalikan secara sentral. Prakarsa dan terobosan dari para simpatisan parpol di tingkat lokal sulit diharapkan. Respons parpol terhadap pilkada juga masih dalam mainstream lama. Munas, kongres, muktamar, atau sejenisnya melulu diwarnai isu suksesi pimpinan parpol. Gagasan melakukan konvensi terbuka pilkada atau membuat delegatif kebijakan pilkada kepada pengurus partai sesuai dengan tingkatannya nyaris tak terdengar. Kondisi ini akan memupuk konflik internal parpol karena dua hal. Pertama, timpangnya keinginan konstituen dan keinginan pimpinan parpol. Kedua, timpangnya keinginan elite parpol lokal dengan elite parpol di pusat. Dikawatirkan sentralisme parpol dalam jangka panjang akan makin mengamputasi representasi rakyat dan memunculkan sikap apatisme publik terhadap partai.
Ketiga, ini sering kali diabaikan walaupun pilkada dilakukan secara lokal namun aktor elite lokal yang bermain adalah operator yang memiliki koridor patronase dengan aktor elite di tingkat pusat. Itu artinya aktor di tingkat pusat, khususnya birokrat dan saudagar politik, tetap akan mengendalikan gerak aktor lokal. Situasi demikian akan bertemu dengan pemilih lokal yang masih mudah dipengaruhi sentimen SARA dan akan menjadi lahan empuk bagi pembajakan demokrasi dan konflik sosial.
Keempat, kenyataan bahwa elemen prodem di tingkat lokal yang dipelopori lembaga dan aktor masyarakat sipil (ornop, pers, ormas, intelektual, dan organisasi agama) tidak lagi cukup memadai untuk mendesakkan perubahan. Organ masyarakat beradab tersebut terlampau asyik bermain di domain wilayah yang mereka anggap "sakral", yakni wilayah sipil yang harus "bebas" politik. Strategi mereka masih tetap apolitik. Akibatnya, gerakannya menjadi elitis. Mereka "gagal" memperkuat sumber daya politik rakyat untuk berhadapan dengan sumber daya aktor politik lokal.
Apapun format Pemilu Kepala Daerah yang akan datang, yang pasti bahwa perubahan yang demokratik hanya bisa dilakukan lewat sinergi diantara mereka yang bergerak di wilayah sipil dan mereka yang bekerja di wilayah politik.
Oleh karena itu beberapa tawaran alternatif yang bisa dilakukan elemen prodem adalah:
Pertama, memprakarsai jaringan lokal untuk mengadvokasi isu pemilu kepala daerah yang bisa dijadikan agenda komprehensif, misalnya isu primordialisme. Selain berfungsi sebagai jangkar informasi publik, jaringan ini juga akan memonitor dan mengawasi secara independen proses tahapan Pemilu kepala daerah, dan menyiapkan langkah antisipasi terhadap konflik sosial pasca Pemilu kepala daerah.
Kedua, memfasilitasi forum konsultasi politik lokal antar masyarakat dengan parpol. Selain merumuskan agenda politik bersama, memformulasi kriteria kepemimpinan yang dibutuhkan, juga mendorong dan melakukan tekanan terhadap parpol (khususnya parpol yang minus 15 persen kursi) untuk memilih calon independen yang berkualitas.
Ketiga, melakukan pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik. Jangan sampai kita berdemokrasi tetapi yang sering muncul hanya mobilisasi politik tanpa kesadaran berpolitik dari rakyat.
(Pemilu kepala daerah: akan seperti apa formatnya?, Dodi Riyadmadji, di akses: 9 Juni 2011)

4. Bentuk dan jenis serta pelaksanaan pengawasan pemerintah pusat terhadap pelaksanaan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004:
1. a. (Pasal 217 UU No. 32 Tahun 2004) Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi :
1. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
2. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
3. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
4. pendidikan dan pelatihan; dan
5. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
b. Koordinasi dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi.
c. Pemberian pedoman dan standar mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan.
d. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
2. a. pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah . agar pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan di daerah dapat berjalan sesuai dengan standar dan kebijakan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b. pengawasan dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4. sanksi diberikan dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
5. hasil pembinaan dan pengawasan digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
6. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri. Untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh gubenur. Pemerintahan desa dikoordinasikan oleh bupati/ walikota. Bupati dan walikota dapat melimpahkan kepada camat.
7. pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi diatur dalam peraturan pemerintah.
(Penyelenggaraan otonomi di Indonesia, Prof. Drs. HAW. Widjaja, hal 283-285)

5. Pengaturan pengujian peraturan daerah di era otonomi daerah:
Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah pusat.
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
(Pemerintahan daerah di Indonesia, Wikipedia.com, diakses: 9 Juni 2011)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN

MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN








Disusun Oleh :
Humaira : 07120010
Jaibun Nisa : 06400064
Abi Manyu Prakasa : 06400077
Vella Anhar D : 08400153
Abdullah : 08400045


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
2011

BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kesehatan yang ada di Indonesia dewasa ini tidak dapat lepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara dan atau masyarakat, maka ada 2 (dua) sistem hukum di dunia yang dimaksud adalah sistem hukum sipil kodifikasi dan sistem hukum kebiasaan common law system. Kemudian di mungkinkan ada sistem hukum campuran, khususnya bagi suatu masyarakat majemuk (Pluralistik) seperti Indonesia memungkinkan menganut sistem hukum campuran. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu : a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan. b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln, 1991: 75-76).
Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan pasal 1320 KUHPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus di laksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan di atas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit.
Perjanjian yang terjadi antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah berlaku secara sah sebagai undang-undang mengikat bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatannya, perjanjian itu harus dilaksanakan berdasarkan dengan itikad baik dari pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit. Maka para pihak paham akan posisinya, sehingga kepastian dan rasa perlindungan hukum bagi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dapat terwujud secara baik dan optimal.
Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggungjawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki tanggungjawab terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan wewenang dokter.
Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya ( Harian Kompas, 15 April 2004).Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk pemberi jasa pelayanan kesehatan agar bertanggungjawab terhadap profesi yang diberikan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan.
Dalam kaitan dengan tanggungjawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).
Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari : 1). Unsur mutu yang dijamin kualitasnya; 2). Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan 3). Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).
Penulis berpendapat bahwa unsur-unsur itu akan bermanfaat bagi pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit, di sebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi unsur tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan maksimal, dengan manfaat yang dapat di rasakan oleh penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit).
Dinamika kehidupan masyarakat juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana, dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana.
Sebagai kesalahan tadi, culpa misalnya, ia mengandung 2 unsur ataupun persyaratan, yaitu : (1). kurang hati-hati, kurang waspada dan kurang “voorzichtig.” (2). Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (kurang dapat “voorzien”) (Oemar Seno Adji,1991: 125). Suatu hubungan kausal yang lebih merupakan kesalahan profesi dokter, dan dapat dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi kewajiban dan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Jika pasal 322 KUHP dapat memidanakan seorang dokter karena melanggar kewajibannya untuk merahasiakan apa yang menjadi pengetahuannya, maka Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut disebut pula Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1966 di mana Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan administratif terhadap seorang dokter,yamg tidak dapat dipidanakan berdasarkan pasal 322 KUHP (Oemar Seno Adji, 1999: 45).
Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien atau penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Masih terdapat peraturan-peraturan pidana lainnya bersangkutan dengan kesalahan/kelalaian dari seorang dokter/tenaga kesehatan seperti pasal 351,356 KUHP mengenai penganiayaan, di mana penganiayaan tersebut dianalogikan dengan sengaja merusak kesehatan dan pasal 359,360 dan 378 KUHP mengenai tindak penipuan, serta pasal 512 KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.
Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi (Wila Chandrawila Supriadi, 2001: 31).
Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum, perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dan rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen.
 













BAB II
PEMBAHASAN
 
Saat ini, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya., bahkan tidak jarang mereka mencari pendapat kedua (second opinion), Hal tersebut merupakan hak yang selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Memang harus diakui bahwa hak-hak konsumen kesehatan masih cenderung sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, yang memprihatinkan, kekalahan tersebut bisa berupa kerugian moral dan material yang cukup besar.
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Hal ini antara lain disebabkan selama ini hubungan antara si penderita dengan si pengobat, yang dalam terminology dunia kedokteran dikenal dengan istilah transaksi terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistic.
Seiring dengan perubahan masyarakat, hubungan dokter - pasien juga semakin kompleks, yang ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistic menuju partnership, yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter merupakan partner dan mitra bagi pasien).
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu :
1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (publik atau privat) barang dan atau jasa;
2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab Lalu pertanyaannya, apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen, dan pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha ?
Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi kesehatan
Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter) merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 / 1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang kesehatan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. (UU No.23/1992 tentang Kesehatan). Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business (kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment, occupation, PROFESSION, or commercial activity engaged in / or gain or livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata pencaharian).
Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan
Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut :
Hak Konsumen Kesehatan
Berdasarkan UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen
· Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
· Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur
· Didengar pendapat dan keluhannya
· Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
· Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
· Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
Berdasarkan UU No. 23/1992 Tentang Kesehatan
· Informasi
· Memberikan persetujuan
· Rahasia kedokteran
· Pendapat kedua (second opinion)
Kewajiban Konsumen
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
· Beritikad baik
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
· Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan Berdasarkan UU NO. 23/ 1992 Tentang Kesehatan
Kewajiban
Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
Hak
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya Setelah kita mengetahui pengertian pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pelaku usaha, kini kita menuju pada pertanyaan selanjutnya, bagaimana hubungan hukum antara pasien dan RS, tenaga kesehatan, sesama tenaga kesehatan beserta sengketa diantara para pihak tersebut yang dikenal dengan malpraktek ?

Hubungan Hukum Antara Pasien Dan Rumah Sakit
1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan melakukan tindakan perawatan
2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).
Hubungan Hukum Antara Pasien Dan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit
Hubungan Hukum Pasien - Dokter
Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), jarang merupakan resultaatsverbintenis.



Hubungan Hukum Pasien - Tenaga Kesehatan Lain (Antara lain Perawat)
Merupakan perikatan / kontrak, yaitu tenaga kesehatan lain itu harus berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat berupa inspanningsverbintenis maupun resultaatsverbintenis.
Hubungan Hukum Dokter - Perawat
Merupakan hubungan rujukan atau delegasi
PENGERTIAN MAL PRAKTIK MEDIK
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian mal praktik medik sebagai akibat belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun demikian, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malapraktik / tidak maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu : berbuat secara teliti / seksama dikaitkan dengan culpa / kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi Dan kondisi yang sama, sarana upaya yang sebanding / proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan / perbuatan medik tersebut.
Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
Tanggung Jawab RS Pemerintah
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
Tanggung Jawab RS Swasta
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
Tanggung Jawab Mal Praktik Dokter Secara Pidana
Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal 359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (HR.3 Febr. 1913)


Malpraktek dan Pelanggaran Hak Konsumen
Berawal dari rasa nyeri di punggung, ABS pergi ke RS Siloam dan ditangani oleh dokter ahli syaraf EJW. Atas saran dokter, ABS diminta melakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengetahui penyebab rasa nyeri tersebut. Anehnya dalam 3 bulan (periode Desember 2005 - Februari 2006), ABS di-MRI sebanyak 3 kali. Konsumen merasa benar-benar diperas.
Patut diduga malpraktek dimulai ketika ABS didiagnosa spondilitis dan bronchitis akut oleh dokter yang merawatnya dan disarankan untuk menjalani tindakan injeksi cement pada ruas tulang belakang th 7 dan th 8. Menurut dokter yang merawat, tindakan ini untuk mencegah terjadinya fraktur yang dapat mengakibatkan kelumpuhan. Meski keberatan tetapi pada akhirnya ABS menyerah. Setelah dipertimbangkan sampai hampir selama 3 tahun, ABS akhirnya menyerah dan injeksi cement dilakukan pada tanggal 8 Maret 2008. Harapannya supaya gangguan punggungnya cepat hilang.
Harapan tinggal harapan. Malang bagi ABS, setelah tindakan selesai dan siuman dari anestesi total, bukannya sakit punggungnya hilang tetapi tungkai kiri lumpuh total dan komplikasi lainnya. Padahal sebelum dilakukan tindakan, ABS masih dapat berjalan normal bahkan berolah raga. Malangnya pasca tindakan, dokter yang menangani tak kunjung muncul. Yang jelas konsumen meskipun tidak sembuh bahkan lumpuh, masih harus membayar puluhan juta untuk tindakan yang membunuh masa depan konsumen.
Menurut ABS, pasca tindakan baru diketahui bahwa dokter yang melakukan tindakan patut diduga bukan dokter yang selama ini melakukan pemeriksaan dan menyarankan untuk tindakan injeksi cement. Jadi tambah lengkaplah penderitaan konsumen. Jangankan dokter bersangkutan memberikan ganti rugi, diminta untuk bertemu saja menghilang dan tidak mengaku kalau bukan dia yang melakukan tindakan.
Untuk menyelesaikan kasus ini tampaknya beberapa langkah sudah dilakukan oleh ABS, termasuk ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Ombudsman RI dan mensomasi RS Siloam. Namun seperti biasa arogansi Korps Kesehatan tidak berubah dan penyelesaian tak kunjung tuntas. Setelah tidak ada penyelesaian yang baik dari pihak RS Siloam, maka ABS melalui pengacaranya telah mendaftarkan gugatan perdata kepada RS Siloam di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 15 Juli 2009 lalu.
Jadi patut diduga malpraktek kedokteran tidak pandang tingkat sosial dan ekonomi konsumen. Jika ada kesempatan, konsumen harus dapat diperas habis dengan dalih kesembuhan. Banyak cara akan dilakukan Korps Kesehatan untuk memeras konsumen, seperti meminta konsumen melakukan CT Scan atau MRI meskipun seharusnya cukup dengan tindakan rontgen. Pemberian obat paten (bukan generik) yang mahal dengan dalih agar cepat sembuhpun wajib ditelan konsumen. Rawat inap diperlama meskipun sudah bisa pulang juga harus diterima konsumen, dsb.
Yang terpenting bagi Korps Kesehatan adalah modal membangun RS dan membeli perlengkapan kesehatan modern cepat balik dan untung besar. Patut diduga dalam kasus ABS ini selain malpraktik juga terjadi pelanggaran hak-hak konsumen sesuai dengan UU No. 8/1999.
Penyelesaian Sengketa Mal praktek
Perbuatan melawan hukum (malpraktek medik) yang dilakukan oleh dokter dan sebuah rumah sakit. Hal ini terjadi karena kurangnya upaya yang optimal yang dilakukan oleh dokter dalam menangani pasiennya sehingga akibat dari kelalaian tersebut menyebabkan tindakan penyelamatan yang harus segera dilakukan jadi tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini pasien berhak untuk menuntut ganti rugi. Maka dari itu rumah sakit dan dokter secara tanggung renteng bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi.
Hubungan dokter dan pasien selain diatur dalam UU tentang kesehatan dan buku III KUH Perdata juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, karena pasien juga dapat dikategorikan sebagai konsumen. Penyelesaian sengketa dalam kasus malpraktek medik ini sering menemui kesulitan dalam beracara di Pengadilan. Hal ini dikarenakan karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman dari penegak hukum. Juga dokter yang menjadi saksi ahli biasanya segan dalam memberikan keterangan sehubungan dengan tuduhan kepada rekan sejawatnya.









BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
Kasus accident/ risk in treatment/ error in judgement merupakan mal praktik, secara yuridis semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan pembuktian berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Bila dokter terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah memenuhi informed consent maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas membayar kerugian.
B. Saran
Saran bagi penaggulangan Malpraktik medik:
· Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundang-undangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.
· Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun swasta (central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak puas atas sikap RS maka dapat menuntut dan menggugat RS.
Pimpinan RS yang akan menetapkan siapa yang bersalah dan melakukan “hak Regres” (hak menuntut orang yang bersalah dalam kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan diri dengan batas kerugian sebagai akibat gugatan pasien.
· Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan, terutama bagi pasien
· informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi mis interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.
Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian ada / tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar / salahnya suatu kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian.
Dalam hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodir kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review.
































DAFTAR PUSTAKA

Agus Pambagio, Detiknews.com, Malpraktek dan Pelanggaran Hak Konsumen, 2010
Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan dengan Malpraktik Medik

PEMBENTUKAN DAERAH

Nama: Humaira
Nim: 07400275

PEMBENTUKAN DAERAH

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakt di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru baik daerah propinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.
Desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan politik dan sosial budaya di Indonesia dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dinamika perkembangan wilayah menjadi otonom seperti itu disikapi pemerintah pusat dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak Januari 2001. Dalam hubungannya dengan pembentukan daerah otonom, Pasal 18 UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah kabupaten dan daerah kota
Untuk mendukung implementasi kebijakan otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mempersiapkan berbagai kebijakan, antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa:
“dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakt. Pada pasal 4 ayat (2) dinyatakan pula bahwa daerah-daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama lain. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keinginan masyarakat daerah untuk membentuk daerah otonom baru memang dimungkinkan oleh paraturan perundangan yang berlaku.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu menemukan aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah. Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945, sejak itu pengaturan tentang pemerintahan daerah dalam perundang-undangan sebagai penjabaran pasal 18 mulai ramai diperdebatkan. Hal ini tampak dari kehadiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang otonomi daerah.
Kajian terhadap isi undang-undang yang pernah dipergunakan untuk mengatur pemerintahan daerah tetap saja menarik perhatian berbagai kalangan serta membuka peluang terjadinya perdebatan. Sampai saat ini sudah enam kali diadakan perubahan dan penyempurnaan, terakhir dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang sekarang sedang diimplementasikan. Materi perdebatan dalam Undang-undang Otonomi Daerah berada pada segi yang esensial, yaitu mengenai seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangannya kepada daerah otonom (Yudoyono, 2001).
Dengan demikian maka pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia menurut Suwandi (2002) memiliki ciri-ciri:
(1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal, (2) desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan, (3) penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sejalan dengan banyaknya keinginan untuk pembentukan daerah otonom baru, baik yang berupa pemekaran maupun peningkatan status, khususnya di daerah kabupaten dan daerah kota sesuai dengan mekanisme pembentukan daerah otonom maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang isinya antara lain menyebutkan persyaratan, kriteria, prosedur, pembiayaan pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini total daerah kabupaten dan kota di Indonesia berjumlah 410, terdiri dari 324 daerah kabupaten dan 86 daerah kota (Kompas, 28 Januari 2003).

Pembentukan Daerah
Pasal 4
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undangundang.
(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Pasal 5
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
(2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Sebab otonomi daerah, bermakna sebagai kewenangan daerah otonom untuk menganut prinsip-prinsip demokrasi, mengembangkan peran serta masyarakat, melakukan pemerataan dan keadilan dalam memahami potensi dan keanekaragaman daerah. Pengakuan eksistensi keanekaragaman daerah ini sangat penting artinya dalam mendukung kebijakan desentralisasi, sebagai wujud dari proses demokratisasi atas dasar kewilayahan (teritorial). Pengakuan tersebut berdampak dengan munculnya berbagai wacana baru sebagai reaksi akan kesadaran baru untuk melaksanakan pemerintahan secara transparan dan bertanggungjawab. Salah satu wacana yang urgen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah tentang pemekaran daerah atau pembentukan teritorial daerah otonom baru.
Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan Otonomi Daerah sehingga sudah ganti berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Kini telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pembentukan Daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahtraan masyarakat. Dengan demikian tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
d. Percepatan pengelolaan potensi daerah;
e. Peningkatan keamanan dan ketertiban;
f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Rasyid,1998). Oleh karena itu, Osborne dan Gaebler (ibid) menyatakan bahwa pemerintahan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat. Dikaitkan dengan pembentukan daerah otonom baru diharapkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih terjamin, dalam arti bahwa masyarakat setempat lebih memiliki akses kepada pelayanan publik yang lebih baik.

KEUANGAN DAERAH

Nama: Humaira
Nim: 07400275

KEUANGAN DAERAH

A. latar belakang
Dengan adanya reformasi dibidang keuangan negara seperti terbitnya UU RI No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, dan uu lainnya seperti tsb.di atas dan termasuk juga pengaturan sistem pengelolaan keuangan daerah yang telah tergabung di dalam sistem keuangan negara.
setelah peraturan perundang-undangan dibidang keuangan negara dilaksanakan, kurang lebih lima tahunan, maka sudah pasti ditemukan kendala dan permasalahan. sebagai contoh, dimana keberadaan keuangan daerah dalam sistem keuangan negara, seperti tidak termuatnya pengertian, lingkup dan hubungannya dengan keuangan negara. akibat kekurang jelasan pengertian ini, dapat berdampak juga pada sistem dan kewenangan pemeriksan keuangan negara yang dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan (BPK).
oleh karena itu, sudah waktunya setiap permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan, dapat dijadikan bahan pertimbangan guna dicari pemecahan dan solusinya, yakni dengan melakukan penelitian, pengkajian, pengevaluasian secara komprehensif. hasil penelitian dijadikan saran dan usulan dalam rangka penyempurnaan kembali peraturan perundang-undangan dibidang keuangan negara yang telah berjalan selama ini.

B. Pembahasan
Dasar hukum
1. UU RI No. 17 thn. 2003 Tentang Keuangan Negara;
2. UU RI No. 1 thn. 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
3. UU RI No. 15 thn. 2004 ttg. pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
4. UU RI No. 32 thn. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
5. UU RI No. 33 thn.2004 Tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan a.l.;
6. PP RI No. 56 thn. 2005 ttg. sistem informasi keuangan daerah;
7. PP RI No. 58 thn. 2005 ttg. pengelolaan keuangan daerah.
salah satu maksud dari diterbitkannya pengaturan keuangan negara ini a.l. adalah menyatukan sistem keuangan negara yang dikelola pemerintah pusat dengan sistem keuangan daerah yang dikelola pemerintah daerah. karena itu, dalam uu ri no. 17 thn. 2003 sebenarnya sudah dimuat materi-materi keuangan daerah, seperti tentang apbd, penerimaan, pengeluaran, pendapatan, dan belanja daerah, termasuk adanya istilah keuangan daerah.
namun mengenai pengertian dan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah yang termuat dalam uu ri no. 17 thn. 2003 dan uu ri no. 1 thn. 2004, ternyata menimbulkan beberapa hal yang menjadi ketidakjelasan atau bahkan menjadi kabur.
Pengertian Keuangan daerah
1. Dalam penjelasan atas uu ri no. 17 thn. 2003 tidak dimuat uraian mengenai dasar pemikiran, ruang lingkup maupun kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah dalam kaitannya dengan upaya penyatuan peraturannya. tetapi yang dimuat hanya menyangkut sebagian dari keuangan daerah yakni tentang penyusunan dan penetapan apbd;
2. Penggunaan istilah keuangan daerah tidak konsisten, contoh, uu ri no. 17 thn. 2003 dalam bab satu, ketentuan umum, sama sekali tidak dimuat pengertian dan istilah keuangan daerah. tetapi dalam bab-bab dan pasal-pasal berikutnya, istilah keuangan daerah digunakan juga, a.l. lihat pasal 6 ayat (2) huruf c; dalam pasal 10 bahkan ada istilah pejabat pengelola keuangan daerah;
3. Anehnya istilah dan pengertian keuangan daerah baru diatur dalam pp ri no. 58 thn. 2005, bukan diatur dalam uu.
kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah
1. akibatnya, istilah dan pengertian keuangan daerah tidak dimuat dalam uu ini, maka terkait dengan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah, juga tidak dimuat dalam bab sendiri, tapi yang ada hanya bab tentang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara saja;
2. bagaimana makna, status dan hubungan keuangan negara yang kewenangan pengelolaan diserahkan pada gubernur, bupati dan walikota lalu statusnya berubah menjadi lingkup pengelolaan keuangan daerah;
3. dalam uu ri no. 1 thn. 2004 pejabat pengelola keuangan daerah hanya berfungsi sebagai pelaksana pengelolaan apbd, sementara gubernur, bupati dan walikota tidak dinyatakan sebagai pejabat penanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah (pasal 1 angka 19 dan 21 uu ri no. 1 thn. 2004). jadi dalam pelaksanaannya wajar jika ada anggapan bahwa pengelolaan keuangan daerah bukan wewenang kepala daerah (lihat kompas, 14 april 2009, korupsi apbd manado).
4. tentang kepala daerah ditetapkan selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, sayang baru diatur dalam uu ri no. 32 thn. 2004 (dengan bab tersendiri), seyogianya dan lebih tepat kalau dimuat di dalam uu ri no. 17 thn. 2003.

Hubungan keuangan negara dengan keuangan daerah
karena tidak ada pengertian keuangan daerah, maka status dan substansi dari keuangan daerah dalam hubungannya dengan keuangan negara, menjadi tidak jelas. misalnya, apakah keuangan daerah merupakan bagian atau tidak dari pada keuangan negara.
kalau statusnya bukan bagian atau subsistem keuangan negara, (lihat uu ri no. 17 thn. 2003 pasal 6 ayat (2) huruf c) maka hubungannya dengan kewenangan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah oleh bpk menjadi kabur. misalnya apakah bpk atau badan pemeriksaan lainnya berwenang melakukan pemeriksaan atas keuangan daerahnya.
selanjutnya, angka 2 di atas bila dikaitkan dengan bunyi uu ri no. 17 thn. 2003 pasal 16 ayat (1) sebenarnya sudah tegas dan sejalan. dimana apbd selain sebagai salah satu komponen dari keuangan daerah, juga sebagai wujud pengelolaan dari keuangan daerah.
pengaturan hubungan antara keuangan daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah provinsi dengan yang dikelola oleh kabupaten/kota juga tidak dimuat, baik dalam uu ri no. 17 thn. 2003; uu ri no. 1 thn. 2004 maupun uu ri no. 32 dan 33 thn. 2004, tidak ada pengaturannya. Apakah perlu ada pengaturannya di dalam satu uu?.

Tahun Anggaran
1. salah satu kendala keterlambatan dalam pelaksanaan APBD maupun penyusunan perencanaan anggaran oleh pemerintah daerah adalah tidak sinkronnya waktu dari tahun anggaran. jika penyusunan anggaran pemerintah pusat adalah pada triwulan ke-empat tahun anggaran berjalan tapi penyusunan anggaran pemerintah daerah barulah bisa dilakukan pada triwulan ke-satunya, masuk diawal tahun anggaran barunya.
2. otomatis pemerintah daerah dihadapkan pada dua tugas besar, yakni penyusunan perencanaan anggaran tahun yang akan datang, di sisi lain pentuntasan pelaksanaan anggaran akhir tahun dari apbd. ditambah lagi pencairan dana apbn untuk apbd, umumnya baru direalisasikan sekitar akhir bulan pada triwulan ke-empat. bagaimana pemerintah daerah mengoptimalkan realisasi atau daya serap anggarannya?. jadi wajar jika pada pemerintah daerah terjadi pengendapan dana yang relatif besar karena tidak bisa dicairkan.
3. dalam hal penyusunan perencanaan anggaran daerah, pemerintah daerah ‘sangat’ terkait dengan perolehan ‘kepastian’ besaran alokasi dana apbn. kepastian dana alokasi ini umumnya baru dapat diketahuinya pada bulan terakhir dari tahun anggaran berjalan, yakni sekitar bulan desember. setelah itu, pemerintah daerah baru dapat memulai penyusunannya, selesainya kira-kira satu triwulan atau sekitar bulan maret-april.
4. lalu rancangan anggaran daerah yang telah mendapat persetujuan dprd, masih harus melalui proses evaluasi oleh menteri dalam negeri untuk rapbd pemerintahan provinsi atau gubernur untuk rapbd pemerintahan kabupaten/kota (pp ri no. 58 thn. 2005 pasal 47 ayat (1) dan pasal 48 ayat (1). hal ini, membuat semakin lambatnya pemerintah daerah melaksanakan anggarannya.
5. atas dasar angka 1-4 di atas, maka salah satu solusi pemecahan masalah ini, yakni tahun anggaran daerah masa lakunya dimundurkan menjadi sejak tanggal 1 april tahun berikutnya, sehingga tahun anggarannya tidak sama dengan tahun anggaran negara.
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah uu ri no. 15 thn. 2004 merupakan dasar hukum bagi bpk dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, lalu bagaimana dengan kewenangan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah (uu ri no. 15 thn. 2004 pasal 2 ayat (1) dan pasal 17 ayat (2) karena dalam uu ini tidak ada sama sekali menyebut istilah keuangan daerah, hanya menggunakan istilah keuangan pemerintah daerah).
1. karena lingkup pemeriksaan keuangan negara maupun keuangan daerah sangat besar, maka bpk jelas tidaklah sanggup dan mampu melaksanakannya. sebaiknya uu ini direvisi dengan memuat juga peran dari aparat-aparat pengawasan intern pemerintah pusat dan pemerintah daerah (tersirat pada uu ri no. 15 thn. 2004 pasal 9 ayat (1)). sehingga bpk dapat menjalin sistem koordinasi dan pendistribusian kewenangan tugas pemeriksaan dengan aparat-aparat pengawas dan pemeriksa ini.
2. wujud laporan keuangan negara/keuangan daerah yang dibuat dan disampaikan oleh presiden, gubernur, bupati dan walikota kepada dpr/dprd, apakah laporannya ini perlu terlebih dahulu diperiksa oleh bpk?. dalam uud thn. 1945 pasal 23 dan pasal 23e, masalah ini tidak diatur.
3. bahkan uud 1945 menegaskan bahwa hasil pemeriksaan bpk (perlu) ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan sesuai dengan uu. tapi dalam uu sekarang tidak diatur penegasan semacam ini. terkesan bpk tugasnya adalah membantu tugas dari lembaga perwakilan tersebut.
4. dalam uu ri no. 17 thn. 2003 materi pasal 27 pasal 28 tidak jelas dan tidak sesuai dengan judul bab. apakah bentuk laporan realisasi masuk laporan pertanggungjawaban?.
5. dalam uu ri no. 17 thn. 2003 pasal 35 ayat (2), bahwa para pejabat bendahara diwajibkan menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada bpk, adalah kurang tepat. karena bendahara sekarang ini sudah bersifat ‘kasir’, sementara laporannya termasuk pertanggungjawaban yang dibuat oleh pengguna/kuasa pengguna anggaran (uu ri no. 17 thn. 2003 pasal 9 huruf g).

C. Penutup
Dalam upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan dibidang keuangan negara, maka peran bpk sangat diharapkan dapat menjadi sponsor dan mediator berbagai pihak baik pemerintah pusat, departemen keuangan, departemen dalam negeri atau instansi lainnya, maupun pemerintah-pemerintah daerahnya.karena bpk sudah dan lebih mengetahui dinamika lapangan saat pelaksanaan pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah dengan berbagai permasalahan yang ditemukannya























































PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah:
1. Pasal 14 ayat (1), “Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
2. Pasal 14 ayat (2), “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengatur tentang :
a. kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD;
b. kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD;
c. prinsip-prinsip pengelolaan kas;
d. prinsip-prinsip pengelolaan Pengeluaran Daerah yang telah dianggarkan;
e. tata cara pengadaan barang dan jasa;
f. prosedur melakukan Pinjaman Daerah;
g. prosedur pertanggungjawaban keuangan;
h. dan hal-hal lain yang menyangkut pengelolaan Keuangan Daerah.”
3. Pasal 14 ayat (3), “Sistem dan Prosedur pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”
4. Pasal 14 ayat (4), “Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.”
Dari berbagai pasal dan ayat dalam peraturan perundang-undangan tentang Otonomi Daerah di atas, dapat dilihat bahwa dalam berbagai aspek berkaitan dengan pengelolaan Keuangan Daerah, dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Namun, bagaimana pun juga Perda dan Keputusan Kepala Daerah harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan hierarki peraturan yang berlaku di Indonesia. (Lihat pasal 70 UU No 22/1999 di atas).
Dalam tata kelola Pemerintahan Daerah terutama dalam hal pengelolaan Keuangan Daerah sebagai wujud implementasi Otonomi Daerah, apa yang digambarkan di atas benar-benar terjadi. Departemen Dalam Negeri yang secara historis merupakan ‘bapaknya’ pemerintah daerah, tidak rela kehilangan kekuasaannya yang begitu besar dengan adanya otonomi daerah. Dengan dalih pembinaan keuangan daerah, intervensi penyelenggaraan pemerintah daerah, dan berlindung di balik PP 105/2000 maka Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan produk hukum yang sangat membingungkan daerah, yaitu Surat Keputusan Nomor : 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002. (Lihat pasal 14 ayat (4) PP 105/2000 di atas)
Selain itu, Departemen Dalam Negeri melalui suratnya kepada Presiden RI Nomor 901/360/SJ tanggal 20 Pebruari 2003 perihal Kerancuan sekitar Pengelolaan Keuangan Daerah, telah menuduh Departemen Keuangan telah menyerobot wilayah kekuasaannya dalam hal pembinaan dan pengaturan pengelolaan keuangan daerah. Depdagri telah menganggap bahwa distorsi peran Depkeu dalam pembinaan keuangan daerah, khususnya akuntansi keuangan daerah ini telah menyebabkan mencuatnya berbagai permasalahan dalam manajemen keuangan daerah.
Hal ini justru terbalik, semenjak Otonomi Daerah Depdagri tidak bisa lagi intervensi terlalu jauh terhadap Daerah, karena Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan Daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Diperlukan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel. Bidang pengelolaan keuangan publik, baik pemerintah pusat maupun daerah adalah wewenang dari Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas public finance policy. Oleh karena itu, untuk mengatur masalah pengelolaan keuangan daerah harus diberikan kepada departemen yang mempunyai bidang kompetensinya yaitu Departemen Keuangan.
Departemen Keuangan juga akan menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagai fasilitas untuk melakukan validasi, mengolah, menganalisis data dan menyediakan informasi keuangan daerah. (Lihat pasal 27 ayat (1) dan (3) UU No 25/1999 di atas). Sistem ini bertujuan untuk membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah, evaluasi kinerja keuangan daerah, dan membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan RAPBD, pemerintahan dan pembangunan Daerah. Jadi yang akan melakukan kompilasi informasi keuangan daerah adalah Departemen Keuangan bukan Departemen Dalam Negeri. Oleh karena itu, aturan, pedoman dan standar dalam penyelenggaraan administrasi dan akuntansi keuangan daerah yang mengatur adalah Departemen Keuangan.
TINJAUAN ATAS PASAL 14 PP 105/2000
Kepmendagri 29/2002 lahir sebagai tindak lanjut dan aturan pelaksana dari PP 105/2000 sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (4). Padahal kalau kita tinjau dan teliti lebih dalam pasal 14 dalam PP 105, terdapat kejanggalan dalam aturan tersebut. Sudah jelas diatur ketentuan mengenai pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah, dan Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Perda. Isi dari pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah juga sudah dirinci dalam ayat (2) pasal 14. Tiba-tiba muncul ayat (4) yang terasa tidak nyambung dengan 3 ayat sebelumnya. Kalau memang Kepmendagri akan menjadi pedoman dalam pengelolaan keuangan daerah, harusnya dicantumkan dalam ayat (1). Akan terdengar lucu ketika pedoman yang menjadi rujukan ayat (1), (2), dan (3) ada di ayat (4). Ayat rujukan dan referensi ada di paling belakang (baca: lahir belakangan).
Ayat (1) telah berbicara mengenai rujukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kembali pada telaah di atas, seharusnya rujukan yang tepat adalah PP atau Kepmen yang sesuai dengan bidang kewenangan dan kompetensinya. Dalam hal pengelolaan keuangan Daerah yang berwenang dan kompeten adalah Departemen Keuangan sehingga aturan yang tepat setelah PP adalah Keputusan Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah mengisi ayat (4) dalam pasal 14 PP 105/2000 tersebut, sebagai rujukan dalam pengelolaan keuangan Daerah. Dan akhirnya lahirlah Kepmendagri No 29/2002 sebagai aturan yang mengikat Daerah-Daerah dalam manajemen dan pengelolaan keuangan Daerah. Berdasarkan telaah dan tinjauan di atas, dan kalau kita berpikir jernih mengacu kepada semangat reformasi tata kelola Pemerintah Daerah untuk mencapai good governance, maka kita dapat mengatakan bahwa ayat (4) pasal 14 PP 105/2000 tersebut merupakan ayat sisipan (baca: curian) yang dipaksakan.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lahirnya Kepmendagri 29/2002 sebagai amanah otonomi daerah telah melenceng dari tujuan reformasi tata kelola keuangan daerah yang menginginkan transparansi dan akuntabilitas publik. Keputusan ini diambil hanya untuk memanfaatkan kekosongan standar akuntansi keuangan pemerintah dan akan banyak menghasilkan proyek berikutnya. Maka disisipkanlah ayat (4) pasal 14 dalam PP 105/2000 yang memberikan legitimasi Depdagri untuk mengeluarkan Keputusannya Nomor 29 Tahun 2002 tersebut sebagai landasan Daerah dalam praktik pengelolaan keuangan Daerah. Kepmendagri 29/2002 yang telah terlanjur dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia ini telah menghasilkan kebingungan yang sangat besar. Daerah-daerah mengalami kebimbangan untuk menerapkan peraturan mana yang akan dilaksanakan, serta kebingungan bagaimana melaksanakan peraturan yang ada sekarang karena banyaknya ketidakjelasan yang terkandung dalam peraturan itu.
Dalam kondisi daerah mengalami kebingungan yang belum selesai, munculah peraturan baru, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur juga masalah Keuangan Daerah di dalamnya. Dalam waktu dekat akan ditetapkan pula Peraturan Pemerintah mengenai Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang mengacu pada UU Keuangan Negara. Daerah harus memformat kembali pemahamannya tentang administrasi pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan daerah berdasarkan peraturan yang baru. Tidak sedikit dana anggaran yang telah dialokasikan untuk mengimplementasikan Kepmendagri 29/2002 ini.
Kita tentu saja tidak menginginkan semangat otonomi daerah ini menjadi ajang memanfaatkan ketidaktahuan sumber daya manusia di daerah, menjadikan daerah sebagai ‘sapi perahan’ saja. Kita menginginkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan kejelasan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tata kelola dan manajemen keuangan daerah. Kita semua berharap agar pelaksanaan Otonomi Daerah yang baru beberapa tahun ini tetap berjalan dalam koridor yang benar (on the right track) dan benar-benar mengedepankan good governance untuk mencapai tujuan reformasi.