Nama : Humaira
Nim : 07120010
1. a. Menurut H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, sanksi diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka memenuhi (ketentuan) hukum publik, pemberian beban (sanksi) dilakukan pemerintah sebagai reaksi terhadap ketidak patuhan (pelanggaran) kewajiban yang muncul dari norma hukum administrasi.
Contoh: sanksinya jika seorang pejabat terbukti melakukan kesalahan administrasi. RUU itu mengamanatkan sanksi administratif, mulai teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, pembayaran ganti rugi, hingga publikasi di media massa (pasal 43 ayat 2).
1b. kewenangan pemerintah untuk menggunakan bestuursdwang merupakan kewenangan yang bersifat bebas (vrijebevoegheid), dalam arti pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi lainnya. Kebebasan pemerintah untuk menggunakan wewenang paksaan pemerintahan ini dibatasi oleh asas-asas umum pemerintahan yang layak, seperti asas kecermatan, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, dan sebagainya. Disamping itu, ketika pemerintah menghadapi suatu kasus pelanggaran kaidah hukum administrasi Negara, misalnya pelanggaran ketentuan perizinan, pemerintah harus menggunakan asas kecermatan, asas kepastian hukum, atau asas kebijaksanaan dengan mengkaji secara cermat apakah pelanggaran izin tersebut bersifat substansial atau tidak. Baik pelanggaran yang bersifat substansial maupun yang tidak bersifat substansial, penerapansanksi apalagi berupa paksaan pemerintahan harus memerhatikan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang layak (algemeen beginselen van behoorlijk bestuur).
c. pengaturan sanksi dalam rangka penegakan hukum dalam RUU administrasi Negara terdapat pada pasal 43 ayat (1-9). Dimana Sanksi administratif dikenakan pada semua pejabat dan pegawai Pemerintahan yang melakukan tindakan pelanggaran/ Badan atau Pejabat Pemerintahan yang melakukan pelanggaran ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25. adapun sanksi administratif yaitu berupa:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian dengan hormat; atau
e. Pemberhentian tidak dengan hormat
f. Dikurangi dan/atau dicabut hak-hak jabatan dan pension
g. Pembayaran kompensasi dan ganti rugi
h. Publikasi melalui media massa
2. a. Beschikking:
1. Perbuatan hukum publik bersegi satu (perbuatan sepihak dari pemerintah), dan bukan merupakan hasil persetujuan dua belah pihak.
2. Sifat hukum publik diperoleh dari/ berdasarkan wewenang/ kekuasaan istimewa.
3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
KTUN:
1.Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/ pejabat tata usaha Negara
2.Berisi tindakan hukum dalam bidang tata usaha Negara (decision of administration law)
3.Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
4.Bersifat konkret, individual, final
5.Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/ badan hukum perdata
b. “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang”.
Konsep keputusan Tata Usaha Negara dalam RUU administrasi negara adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu;
b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
3. a. ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitife. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrument hukum yang digunakan pemerintah ketika melakukan tindakan hukum. Telah disebutkan bahwa instrument hukum yang lazim digunakan adalah keputusan dan ketetapan. Keputusan pemerintah yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan itu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam penjelasan pasal 1 angka 2 no. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar warga negara dan untuk menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasalpasal tersebut, warga negara tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan. Untuk memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara, maka Undang-Undang ini memungkinkan warga negara mengajukan keberatan, kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan atau melalui Komisi Ombudsman Nasional atau melalui lembaga lainnya. Warga negara juga dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan dan tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap Negara yang mengedepankan diri sebagai Negara hukum. Namun, seperti disebutkan Paulus E. lotulung, masing-masing Negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan.
Adapun model perlindungan hukum yang mengedepankan pelayanan publik, yaitu apabila:
Berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat bukan kepada kekuasaan atau kewenangan semata
Dibangun berdasar paradigma hukum yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan bukan masyarakat yang harus mengabdi kepada hukum
Dibangun berdasarkan kepercayaan (based on trust) dan bukan kecurigaan (based on suspect), serta
Pemahaman hukum sebagai satu kesatuan nilai kemanfatan (utility) dan bukan sekadar norma positif (legality)
Berorientasi kepada hasil (outcome) dan bukan hanya kepada pemenuhan prosedur
Bersifat tidak hanya responsif tapi harus progresif
Membuka lebih besar pintu dan ruang partisipasi masyarakat
Hukum yang mampu mendukung dinamika administrasi negara dan kalau perlu justru menjadi motivator penggerak pengembangan, dan bukan hukum yang menghalangi
Mampu memberikan rasa aman baik kepada masyarakat maupun administratur
Pertanggungjawaban administratur yang jelas
Peradilan yang berwibawa
4. a. ombudsman merupakan keniscayaan dalam sebuah Negara demokratis yang didalamnya menempatkan transparansi publik sebagai faktor penting. pembentukan komisi ombudsman nasional (ombudsman) di Indonesia dilatar belakangi suasana transisi menuju demokrasi. Keputusan Gus Dur membentuk ombudsman sebagai lembaga yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan dan pelayanan umum lembaga peradilan.
Usul pengaturan ombudsman dalam amandemen UUD 1945 oleh komisi konstitusi dimasukkan dalam pasal 24 G ayat (1), berbunyi: ombudsman republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum pada masyarakat. Dan ayat (2) berbunyi: susunan, kedudukan dan kewenanngan ombudsman Republik Indonesia diatur dengan undang-undang.
b. lembaga ombudsman (komisi ombudsman nasional):
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”.
Ombudsman Indonesia telah memperoleh pengakuan internasional dengan menjadi anggota International Ombudsman Institute (IOI) dan anggota Asia Ombudsman Association (AOA). Bahkan pada konperensi internasional Ombudsman (4 tahun sekali) di Quebec pada tanggal 6 - 10 September 2004 yang dihadiri oleh lebih dari 100 negara, Indonesia ditunjuk sebagai Ketua workshop dalam konperensi tersebut.
Sebagai lembaga pengawas eksternal ombudsman memberikan ruang yang memadai bagi keterlibatanpartisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan syarat penting bagi jalannya proses demokratisasi disebuah Negara. Mengenai pentingnya partisipasi masyarakat, secara jelas disebutkan dalam tujuan pembentukan ombudsman sebagaimana diuraikan dalam pasal 3 kepres 44 tahun 2000 bahwa kerja-kerja pegawasan ombudsman dilakukan melalui peran serta masyarakat untuk mengembangkan kondisi yang kondusif. Keberadaan ombudsman di Indonesi sesungguhnya sangat penting untuk mendorong jalannya proses demokratisasi dan transparansi publik.
Pengawasan ombudsman merupakan representasi dari pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok-kelompok civil society. Cara kerja ombudsman juga mirip dengan cara-cara kerja civil society, tidak birokratis, user friendly, tidak dipungut biaya atau gratis, dan berbagai kemudahan lainnya. Selain sangat ditentukan oleh political will penyelenggara Negara dan dukungan politik di parlemen, efektifitas kerja ombudsman juga sangat ditentukan dengan seberapa jauh masyarakat memiliki pemahaman tentang ombudsman, kesadaran perlunya menyuarakan praktek-praktek penyimpangan, dan keberanian masyarakat melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara Negara. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan oleh ombudsman pada dasarnya berbasis pada pengawasan masyarakat.
peradilan tata usaha Negara:
Dasar Hukum PTUN
a. UU No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara
b. PP No. 7 Tahun 1991, tentang penerapan UU No. 5 Tahun 1986, tentang PTUN LN No. 8/1991.
Dasar Konstitusionil Pembentukan PTUN.
a. Pasal 24 UUD 1945
(1). Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan-badan Kehakiman menurut Undang-Undang
(2). Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.
b. Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Muliter
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Susunan PTUN
a. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan Tingkat Pertama.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan peradilan Tingkat Banding
c. Mahkamah agung, merupakan Peradilan Tata Usaha Negara Tertinggi, yang berfungsi sebagai peradilan kasasi.
Kekuasaan dan wewenang PTUN
PTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah :
a. Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara.
b. Sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara baik di pusat maupun di daerah.
c. Sengketa akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara
a. Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara.
b. Yang berisikan tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Yang bersifat konkrit, individual dan final.
d.. Yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang.
Sumber Bacaan:
Hukum administrasi Negara, Ridwan HR
RUU Administrasi Pemerintahan
Buku catatan
TRANSLATE THIS BLOG
Minggu, 04 April 2010
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK & PEREMPUAN (Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus )
Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
A. Pendahuluan
John Gray dalam “Children are from Heaven” menuturkan betapa anak-anak dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar. Karenanya, anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada dukungan kita untuk tumbuh. Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu berbeda dengan orang dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan praktis tidak lagi dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan orang dewasa, dalam dunia kenyataan anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan dengan dampak yang panjang dan permanen.
Lebih dari itu, anak-anak pula kerap menderita berbagai eksploitasi ekonomi ataupun seksual, penyalahgunaan (child abused), dan pelanggaran hak lainnya. Lingkupnya melebar bukan hanya di sektor publik, seperti di jalanan, di penjara, malahan kekerasan ada di sekolah, malahan di dalam rumah atau ruang keluarga mereka kerap menjalani domestic violence. Lebih parah lagi, pada beberapa negara yang berkonflik senjata, anak-anak menjadi korban keganasan mesin perang.
B. Pembahasan
Dalam UU Nomor 23/2002 diatur secara spesifik anak dalam situasi khusus, yang berhak atas perlindungan khusus yakni:
1. Anak dalam situasi darurat, terdiri atas:
a) pengungsi anak;
b) anak korban kerusuhan;
c) anak korban bencana alam;
d) anak dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 60);
2. Anak berhadapan dengan hukum (Pasal 64);
3. Anak kelompok minoritas dan terisolasi (pasal 65);
4. Anak yang dieksploitasi ekonomi dan atau seksual (pasal 66);
5. Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, dan psikotropika, dan zat adiktif lainnya (pasal 67);
6. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan (pasal 68);
7. Anak korban kekerasan (pasal 69);
8. Anak penyandang cacat (pasal 70);
9. Anak korban perlakuan salah (pasal 71).
Namun, dalam UU No. 23/2002 yang mengatur perlindungan khusus bagi anak yang kurang beruntung itu, tidak memberikan bentuk-bentuk dan cara memperoleh perlindungan khusus bagi semua bentuk anak tersebut. Secara umum dikemukakan bahwa anak yang membutuhkan perlindungan khusus (versi pasal 59) berhak atas perlindungan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, dan pengawasan. Dengan kata lain, tidak secara eksplisit dikemukakan bentuk-bentuk perlindungan khusus yang bagaimanakah mesti dityerapkan terhadap anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Dalam Pasal 60 ditentukan, anak dalam situasi darurat yang terdiri atas anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
Perlindungan anak yang menjadi pengungsi sesuai hukum humaniter (vide pasal 61). Sedangkan menurut pasal 62, anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 60 huruf b, c, d) dilaksanakan melalui:
a) pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan);
b) pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
Dalam Pasal 63 ditegaskan larangan bagi setiap orang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.
Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang menjadi pelaku dan anak korban tindak pidana (vide pasal 64). Kepada anak pelaku tindak pidana dilakukan perlindungan khusus melalui:
a. perlakuan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Anak korban tindak pidana, perlindungan khusus dilaksanakan melalui:
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Dalam Pasal 65 diatur perlindungan khusus anak dari kelompok minoritas dan terisolasi melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. Ditentukan pula, setiap orang dilarang menghalang-halangi anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya.
Pasal 66 mengatur perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, yang dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi hukum yang terkait;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi;
c. pelibatan pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, LSM, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak.
Pasal 66 berisi larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Menurut pasal 67, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) dan anak-anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan; pencegahan; perawatan; dan rehabilitasi. Juga, dilarang sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza.
Menurut pasal 68, perlindungan anak korban penculikan, penjualan, dan dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. Juga, dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan anak.
Dalam Pasal 69 diatur perlindungan khusus anak korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Perlindungannya melalui upaya:
a. penyebarluasan dan sosialisasi hukum yang terkait;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
Diatur pula, larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Terhadap anak menyandang cacat, perlindungannya dilakukan melalui upaya:
a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
b. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu (pasal 70).
C. Penutup
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakansecara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
TUGAS HUKUM PERLINDUNGAN
ANAK & PEREMPUAN
(Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus )
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2009
PERBEDAAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN
Nama : Humaera
Nim : 07120010
PERBEDAAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN
PENYELIDIKAN
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan atau ditingkatkan ke tahap penyidikan.
penyelidikan adalah tindakan kepolisian dalam menentukan ada tidaknya unsur pidana dari suatu kejadian. Mengapa dibutuhkan penyelidikan? Karena tidak semua kejadian yang dilaporkan mengandung unsur pidana, sebagai contoh 'kebakaran', beda dengan 'pembakaran'. Apabila diselidiki tidak ditemukan tanda-tanda kesengajaan, didukung saksi mengatakan bahwa kelalaian korban sendiri, maka proses tidak akan berlanjut ke tahap Penyidikan.
Pasal 1 angka 5 KUHAP, memberikan pengertian terhadap penyelidikan sebagai berikut:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Dimana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran.(Andi Hamzah: 2004, 118)
Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan.
Menurut M. Yahya Harahap, tindakan penyelidikan lebih dapat disamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
PENYIDIKAN
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.
Penyidikan, kata dasarnya "sidik", artinya proses mencari tahu, menelusuri, atau menemukan kebenaran tentang hal yang disidik.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 KUHAP)
Penyidikan adalah kegiatan Polisi dalam membuat terang suatu kasus yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang sah, baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, dsb.
Nim : 07120010
PERBEDAAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN
PENYELIDIKAN
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan atau ditingkatkan ke tahap penyidikan.
penyelidikan adalah tindakan kepolisian dalam menentukan ada tidaknya unsur pidana dari suatu kejadian. Mengapa dibutuhkan penyelidikan? Karena tidak semua kejadian yang dilaporkan mengandung unsur pidana, sebagai contoh 'kebakaran', beda dengan 'pembakaran'. Apabila diselidiki tidak ditemukan tanda-tanda kesengajaan, didukung saksi mengatakan bahwa kelalaian korban sendiri, maka proses tidak akan berlanjut ke tahap Penyidikan.
Pasal 1 angka 5 KUHAP, memberikan pengertian terhadap penyelidikan sebagai berikut:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Dimana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran.(Andi Hamzah: 2004, 118)
Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan.
Menurut M. Yahya Harahap, tindakan penyelidikan lebih dapat disamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
PENYIDIKAN
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.
Penyidikan, kata dasarnya "sidik", artinya proses mencari tahu, menelusuri, atau menemukan kebenaran tentang hal yang disidik.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 KUHAP)
Penyidikan adalah kegiatan Polisi dalam membuat terang suatu kasus yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang sah, baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, dsb.
PERBEDAAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN
Nama : Humaera
Nim : 07120010
PERBEDAAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN
PENYELIDIKAN
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan atau ditingkatkan ke tahap penyidikan.
penyelidikan adalah tindakan kepolisian dalam menentukan ada tidaknya unsur pidana dari suatu kejadian. Mengapa dibutuhkan penyelidikan? Karena tidak semua kejadian yang dilaporkan mengandung unsur pidana, sebagai contoh 'kebakaran', beda dengan 'pembakaran'. Apabila diselidiki tidak ditemukan tanda-tanda kesengajaan, didukung saksi mengatakan bahwa kelalaian korban sendiri, maka proses tidak akan berlanjut ke tahap Penyidikan.
Pasal 1 angka 5 KUHAP, memberikan pengertian terhadap penyelidikan sebagai berikut:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Dimana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran.(Andi Hamzah: 2004, 118)
Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan.
Menurut M. Yahya Harahap, tindakan penyelidikan lebih dapat disamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
PENYIDIKAN
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.
Penyidikan, kata dasarnya "sidik", artinya proses mencari tahu, menelusuri, atau menemukan kebenaran tentang hal yang disidik.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 KUHAP)
Penyidikan adalah kegiatan Polisi dalam membuat terang suatu kasus yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang sah, baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, dsb.
Nim : 07120010
PERBEDAAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN
PENYELIDIKAN
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan atau ditingkatkan ke tahap penyidikan.
penyelidikan adalah tindakan kepolisian dalam menentukan ada tidaknya unsur pidana dari suatu kejadian. Mengapa dibutuhkan penyelidikan? Karena tidak semua kejadian yang dilaporkan mengandung unsur pidana, sebagai contoh 'kebakaran', beda dengan 'pembakaran'. Apabila diselidiki tidak ditemukan tanda-tanda kesengajaan, didukung saksi mengatakan bahwa kelalaian korban sendiri, maka proses tidak akan berlanjut ke tahap Penyidikan.
Pasal 1 angka 5 KUHAP, memberikan pengertian terhadap penyelidikan sebagai berikut:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Dimana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran.(Andi Hamzah: 2004, 118)
Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan.
Menurut M. Yahya Harahap, tindakan penyelidikan lebih dapat disamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
PENYIDIKAN
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.
Penyidikan, kata dasarnya "sidik", artinya proses mencari tahu, menelusuri, atau menemukan kebenaran tentang hal yang disidik.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 KUHAP)
Penyidikan adalah kegiatan Polisi dalam membuat terang suatu kasus yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang sah, baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, dsb.
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN (NORMA HUKUM SECARA UNIVERSAL)
NORMA HUKUM SECARA UNIVERSAL
A. Pendahuluan
Peranan peraturan perundang-undangan semakin meningkat. Akan tetapi, patut disayangkan tidak jarang muncul masalah seputar peraturan perundang-undangan, baik sebelum, sesudah, maupun setelah ada. Salah satu kemungkinan penyebab masalah itu adalah akibat tidak atau kurang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan.
Memahami Ilmu Perundang-undangan sangatlah penting, seperti salah satunya memahami tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, karena di dalamnya terdapat acuan bagaimana cara melahirkan sebuah produk hukum dalam hal ini undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan publik pada saat itu. Jika kita tidak berpedoman kepada asas-asas tersebut maka kemungkinan besar kita akan mendapatkan banyak kekeliruan dalam penetapan dalam sebuah hukum, seperti halnya salah satu asasnya adalah peraturan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan yang bersifat umum. Dan sesungguhnya orang-orang yang telah melahirkan asas-asas tersebut sangat membantu sekali dalam penetapan peraturan hukum dikemudian hari. Banyak pakar melahirkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang pada hakikatnya tujuannya sama.
Intinya banyak pakar yang memikirkan tetang asas-asas pembentukkan ini adalah sama. Menginginkan melahirkan produk hukum yang efisien dan efektif. Mengenai materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukkan produk hukum adalah Pancasila, UUD 1945, Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum Internasional.
B. Pembahasan
Pengertian Norma
Norma merupakan perintah hidup yang mempengaruhi tingkah laku yang ada di dalam masyarakat, norma berisi 2 hal yaitu perintah dan larangan dan apabila melanggar akan mendapatkan sanksi, dan kegunaan norma adalah untuk memberikan petunjuk pada manusia tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, tujuan norma untuk memelihara dan menjamin kepentingan warga masyakarat dan ketentraman dalam masyarakat, dapat dipertahankan dengan sanksi.
Macam-macam Norma
1.Noma Kesusilaan merupakan norma yang paling tua dan paling asli yang bersumber pada moral atau hati nurani, yang bertujuan untuk kebaikan individu. Sanksinya berupa perasaan bersalah.
2.Norma Agama peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan atau aturan yang berasal dari Tuhan. Sanksinya berupa hukuman dari Tuhan.
3.Norma Kesopanan merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergolongan segolongan manusia yang bersifat khusus dan regional. Sanksinya berupa celan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat.
4.Norma Hukum merupakan peraturan hidup yang dibuat oleh penguasa Negara, bersifat heteronom yang artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan Negara.
Tujuan Norma:
Adalah memelihara dan menjamin kepentingan warga masyarakat dan ketentraman dalambermasyarakat serta memberikan petunjuk bagi manusia tentang apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus dihindari.
Perbedaan Norma hukum dengan Norma lainnya:
No
Norma hukum
Norma lain
1
Tujuan
melindungi kepentingan sendiri
menghendaki kesempurnaan hidup
2
Isi
bersifat lahiriah
bersifat rohaniah
3
Sifat
dipaksakan
tidak dipaksakan
4
Perlindungan
melindungi secara langsung
melindungi secara tidak langsung
5
Asal Usul
diletakkan oleh masyarakat untuk melindungi kepentingan masyarakat
dilakukan sendiri karena merupakan kewajiban pribadi
Macam-macam Hukum:
1. Ius Contitutum: Hukum positif yaitu hokum yang berlaku pada saat tertentu
2. Ius Constituendum: Hukum yang diinginkan atau hokum yang akan dating
3. Hukum Alam: Hukum yang berlaku secara universal dan abadi
Pengertian Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan adalah merupakan hukum yang in abstracto atau generate norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (generale). Secara teoritik, istilah “perundang-undangan” (legislation, wetgeving atau gesetgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu : pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berkenaan dengan perundang-undangan, A. Hamid S. Attamini mengatakan sebagai berikut:
“Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan maka. yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusa. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang dibentuk dengan undang-undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubemur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II dan Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II.
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dan sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumklan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum. Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbindend voorschrift) disebut juga dengan istilah undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin), yaitu ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen sfrekking (semua hukum tertulis dan pemerintah yang mengikat umum). Berdasarkan kualifikasi norma hukum di atas, peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak. Perkataan bersifat umum-abstrak dicirikan oleh unsur-unsur sebagai berikut : 1. Waktu (tidak hanya berlaku pada saat tertentu).2. Orang (tidak hanya berlaku pada orang tertentu); dan 3. Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, dengan kata lain untuk perbuatan yang berulang-ulang).
Ciri-ciri yang disebutkan di atas ini hampir senada dengan hasil penelitian dan de Commissie Wetgevingsvraagstukken bahwa, peraturan yang mengikat umum haruslah suatu peraturan yang memiliki sifat umum. Peraturan yang hanya berlaku untuk peristiwa konkret atau yang ditujukan pada orang-orang yang disebutkan satu persatu, tidak memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan, atau peraturan umum, yang lahir atas dasar sudut pandang penilaian (peraturan kebijaksanaan). Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut:
“Keumuman (peraturan perundang-undangan) berkenaan dengan wilayah di mana peraturan itu berlaku. Tipe ideal suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat umum tidak hanya berlaku pada tempat tertentu, tetapi berlaku pada lingkungan yang lebih luas atau di mana-mana. Keumuman peraturan berkaitan pula dengan waktu di mana peraturan itu berlaku. Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku untuk waktu tertentu, tetapi berlaku untuk masa yang lebih panjang atau berlaku untuk waktu yang tidak tertentu. Selanjutnya peraturan adalah umum untuk setiap orang. Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku pada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan pada kelompok yang lebih besar orang atau pada setiap orang. Sifat umum (peraturan perundang-undangan) tampak pula pada berulang-ulangnya penerapan peraturan. Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya diterapkan pada satu situasi khusus, tetapi pada sejumlah keadaan yang tidak tertentu”.
Sumber-sumber peraturan perundang-undangan
Sumber secara literal berarti tempat keluar, atau tempat di mana sesuatu itu diambil atau berasal. Jika demikian, sumber pembentuk peraturan perundang-undangan adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, keyakinan, dan lain sebagainya yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan norma-norma hukum yang kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
Secara teoritik, sumber peraturan perundang-undangan jika mengacu pada asas hirarkhi adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang di atasnya. Namun demikian, dalam praktiknya, perdebatan dan kerja pembentukan peraturan perundang-undangan bisa mengacu pada segala macam diskursus, keyakinan, agama, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, sebagai konsekuensi sosiologis dan keberagaman yang dimiliki oleh suatu bangsa, berbagai kehendak dan aturan yang bersumber pada keyakinan idiologisnya sah-sah saja menjadi sumber hukum. Akan tetapi semua itu harus mengacu pada konsensus yang telah disepakati dan dijadikan state ground norm, norma dasar negara. Indonesia di awal kemerdekaannya hingga kini telah menyepakati bahwa Pancasila adalah hasil dan produk konsensus nasional yang telah disepakati oleh semua elemen bangsa melintasi batas wilayah, idiologi, agama, suku, dan lain sebagainya.
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut dengan landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief menyebut tiga kategori landasan:
a.Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran secara filosofis.
b.Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum mencerminkan kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat
c.Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya lebih tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tujuan dibentuknya hukum secara universal
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Ketertiban merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Ketertiban merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur, di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Hukum dan pelaksanaannya
Hukum adalah sekumpulan norma-norma dalam mengatur tindak-tanduk masyarakat secara universal. Hukum adalah asas-asas atau norma-norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mencakup pula lembaga-lembaga atau institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Kita sebagai manusia pada dasarnya adalah makhluk yang suka bermasyarakat (Aristoteles), oleh karenanya manusia tersebut berinteraksi satu dengan yang lainnya. Manusia adalah makhluk individu yang memiliki kepentingan. Lalu bagaimana jika antara manusia yang satu dengan yang lainnya bertemu dan berkumpul menjadi suatu masyarakat? tentunya akan terjadi suatu kepentingan individu yang berbeda, dan jika terjadi benturan kepentingan maka dibutuhkan suatu aturan yang dapat mengatur kepentingan tiap individu tersebut, maka dibuatlah hukum.
Asas-asas Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut:
Asas–asas formal
Asas–asas materiil
1. Asas tujuan yang jelas
2. Asas perlunya pengaturan
3. Asas organ / lembaga yang tepat.
4. Asas materi muatan yang tepat
5. Asas dapat dilaksanakan
6. Asas dapat dikenali
1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara
2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara
3. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum
4. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Asas Material/ Prinsip-prinsip Substabtif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1) nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi; (2)jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
a.Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
b.Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c.Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
d.Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e.Keadilan; memuat misi keadilan
f.Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g.Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan hukum.
h.Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
i.Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j.Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.
k.Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l.Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m.Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
n.Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o.Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna dan hasil guna.
p.Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
q.Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan tidak parsial.
r.Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s.Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang fair.
t.Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan
Asas formal/ Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.Aksessibilitas dan keterbukaan; proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan, pembentukan, dan pembahasan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
b.Akuntabilitas; proses peraturan perundang-undangan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi perencanaan kerja, kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan
c.Partisipasi publik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran publik; kecermatan memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan titik-titik konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu atau permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan aspirasi.
d.Ketersediaan kajian akademik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam atas masalah yang dihadapi atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya dituangkan dalam bentuk draft akademik.
e.Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan diupayakan dengan jalan musyawarah.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut di atas, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini sebagai berikut:
“Dalam perspektif negara kesejahteraan dan negara hukum, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan kewajiban tersebut pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan kewenangan untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberi kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-undangan atau legislasi. Hal tersebut dapat dipahami karena sebagai negara kesejahteraan diperlukan berbagai instrumen hukum yang tidak mungkin hanya diserahkan kepada legislatif. Administrasi negara memerlukan wewenang untuk mengatur hal-hal yang bersifat konkrit tanpa mengabaikan asas-asas negara berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang layak”.
MAKALAH
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
(NORMA HUKUM SECARA UNIVERSAL)
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
Rizqiatusshaliha
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2009
A. Pendahuluan
Peranan peraturan perundang-undangan semakin meningkat. Akan tetapi, patut disayangkan tidak jarang muncul masalah seputar peraturan perundang-undangan, baik sebelum, sesudah, maupun setelah ada. Salah satu kemungkinan penyebab masalah itu adalah akibat tidak atau kurang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan.
Memahami Ilmu Perundang-undangan sangatlah penting, seperti salah satunya memahami tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, karena di dalamnya terdapat acuan bagaimana cara melahirkan sebuah produk hukum dalam hal ini undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan publik pada saat itu. Jika kita tidak berpedoman kepada asas-asas tersebut maka kemungkinan besar kita akan mendapatkan banyak kekeliruan dalam penetapan dalam sebuah hukum, seperti halnya salah satu asasnya adalah peraturan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan yang bersifat umum. Dan sesungguhnya orang-orang yang telah melahirkan asas-asas tersebut sangat membantu sekali dalam penetapan peraturan hukum dikemudian hari. Banyak pakar melahirkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang pada hakikatnya tujuannya sama.
Intinya banyak pakar yang memikirkan tetang asas-asas pembentukkan ini adalah sama. Menginginkan melahirkan produk hukum yang efisien dan efektif. Mengenai materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukkan produk hukum adalah Pancasila, UUD 1945, Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum Internasional.
B. Pembahasan
Pengertian Norma
Norma merupakan perintah hidup yang mempengaruhi tingkah laku yang ada di dalam masyarakat, norma berisi 2 hal yaitu perintah dan larangan dan apabila melanggar akan mendapatkan sanksi, dan kegunaan norma adalah untuk memberikan petunjuk pada manusia tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, tujuan norma untuk memelihara dan menjamin kepentingan warga masyakarat dan ketentraman dalam masyarakat, dapat dipertahankan dengan sanksi.
Macam-macam Norma
1.Noma Kesusilaan merupakan norma yang paling tua dan paling asli yang bersumber pada moral atau hati nurani, yang bertujuan untuk kebaikan individu. Sanksinya berupa perasaan bersalah.
2.Norma Agama peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan atau aturan yang berasal dari Tuhan. Sanksinya berupa hukuman dari Tuhan.
3.Norma Kesopanan merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergolongan segolongan manusia yang bersifat khusus dan regional. Sanksinya berupa celan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat.
4.Norma Hukum merupakan peraturan hidup yang dibuat oleh penguasa Negara, bersifat heteronom yang artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan Negara.
Tujuan Norma:
Adalah memelihara dan menjamin kepentingan warga masyarakat dan ketentraman dalambermasyarakat serta memberikan petunjuk bagi manusia tentang apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus dihindari.
Perbedaan Norma hukum dengan Norma lainnya:
No
Norma hukum
Norma lain
1
Tujuan
melindungi kepentingan sendiri
menghendaki kesempurnaan hidup
2
Isi
bersifat lahiriah
bersifat rohaniah
3
Sifat
dipaksakan
tidak dipaksakan
4
Perlindungan
melindungi secara langsung
melindungi secara tidak langsung
5
Asal Usul
diletakkan oleh masyarakat untuk melindungi kepentingan masyarakat
dilakukan sendiri karena merupakan kewajiban pribadi
Macam-macam Hukum:
1. Ius Contitutum: Hukum positif yaitu hokum yang berlaku pada saat tertentu
2. Ius Constituendum: Hukum yang diinginkan atau hokum yang akan dating
3. Hukum Alam: Hukum yang berlaku secara universal dan abadi
Pengertian Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan adalah merupakan hukum yang in abstracto atau generate norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (generale). Secara teoritik, istilah “perundang-undangan” (legislation, wetgeving atau gesetgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu : pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berkenaan dengan perundang-undangan, A. Hamid S. Attamini mengatakan sebagai berikut:
“Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan maka. yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusa. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang dibentuk dengan undang-undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubemur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II dan Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II.
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dan sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumklan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum. Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbindend voorschrift) disebut juga dengan istilah undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin), yaitu ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen sfrekking (semua hukum tertulis dan pemerintah yang mengikat umum). Berdasarkan kualifikasi norma hukum di atas, peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak. Perkataan bersifat umum-abstrak dicirikan oleh unsur-unsur sebagai berikut : 1. Waktu (tidak hanya berlaku pada saat tertentu).2. Orang (tidak hanya berlaku pada orang tertentu); dan 3. Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, dengan kata lain untuk perbuatan yang berulang-ulang).
Ciri-ciri yang disebutkan di atas ini hampir senada dengan hasil penelitian dan de Commissie Wetgevingsvraagstukken bahwa, peraturan yang mengikat umum haruslah suatu peraturan yang memiliki sifat umum. Peraturan yang hanya berlaku untuk peristiwa konkret atau yang ditujukan pada orang-orang yang disebutkan satu persatu, tidak memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan, atau peraturan umum, yang lahir atas dasar sudut pandang penilaian (peraturan kebijaksanaan). Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut:
“Keumuman (peraturan perundang-undangan) berkenaan dengan wilayah di mana peraturan itu berlaku. Tipe ideal suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat umum tidak hanya berlaku pada tempat tertentu, tetapi berlaku pada lingkungan yang lebih luas atau di mana-mana. Keumuman peraturan berkaitan pula dengan waktu di mana peraturan itu berlaku. Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku untuk waktu tertentu, tetapi berlaku untuk masa yang lebih panjang atau berlaku untuk waktu yang tidak tertentu. Selanjutnya peraturan adalah umum untuk setiap orang. Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku pada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan pada kelompok yang lebih besar orang atau pada setiap orang. Sifat umum (peraturan perundang-undangan) tampak pula pada berulang-ulangnya penerapan peraturan. Tipe ideal peraturan perundang-undangan tidak hanya diterapkan pada satu situasi khusus, tetapi pada sejumlah keadaan yang tidak tertentu”.
Sumber-sumber peraturan perundang-undangan
Sumber secara literal berarti tempat keluar, atau tempat di mana sesuatu itu diambil atau berasal. Jika demikian, sumber pembentuk peraturan perundang-undangan adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, keyakinan, dan lain sebagainya yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan norma-norma hukum yang kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
Secara teoritik, sumber peraturan perundang-undangan jika mengacu pada asas hirarkhi adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang di atasnya. Namun demikian, dalam praktiknya, perdebatan dan kerja pembentukan peraturan perundang-undangan bisa mengacu pada segala macam diskursus, keyakinan, agama, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, sebagai konsekuensi sosiologis dan keberagaman yang dimiliki oleh suatu bangsa, berbagai kehendak dan aturan yang bersumber pada keyakinan idiologisnya sah-sah saja menjadi sumber hukum. Akan tetapi semua itu harus mengacu pada konsensus yang telah disepakati dan dijadikan state ground norm, norma dasar negara. Indonesia di awal kemerdekaannya hingga kini telah menyepakati bahwa Pancasila adalah hasil dan produk konsensus nasional yang telah disepakati oleh semua elemen bangsa melintasi batas wilayah, idiologi, agama, suku, dan lain sebagainya.
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut dengan landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief menyebut tiga kategori landasan:
a.Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran secara filosofis.
b.Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum mencerminkan kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat
c.Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya lebih tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tujuan dibentuknya hukum secara universal
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Ketertiban merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Ketertiban merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur, di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Hukum dan pelaksanaannya
Hukum adalah sekumpulan norma-norma dalam mengatur tindak-tanduk masyarakat secara universal. Hukum adalah asas-asas atau norma-norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mencakup pula lembaga-lembaga atau institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Kita sebagai manusia pada dasarnya adalah makhluk yang suka bermasyarakat (Aristoteles), oleh karenanya manusia tersebut berinteraksi satu dengan yang lainnya. Manusia adalah makhluk individu yang memiliki kepentingan. Lalu bagaimana jika antara manusia yang satu dengan yang lainnya bertemu dan berkumpul menjadi suatu masyarakat? tentunya akan terjadi suatu kepentingan individu yang berbeda, dan jika terjadi benturan kepentingan maka dibutuhkan suatu aturan yang dapat mengatur kepentingan tiap individu tersebut, maka dibuatlah hukum.
Asas-asas Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut:
Asas–asas formal
Asas–asas materiil
1. Asas tujuan yang jelas
2. Asas perlunya pengaturan
3. Asas organ / lembaga yang tepat.
4. Asas materi muatan yang tepat
5. Asas dapat dilaksanakan
6. Asas dapat dikenali
1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara
2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara
3. Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum
4. Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Asas Material/ Prinsip-prinsip Substabtif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1) nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi; (2)jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
a.Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
b.Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c.Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
d.Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e.Keadilan; memuat misi keadilan
f.Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g.Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan hukum.
h.Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
i.Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j.Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya.
k.Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l.Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m.Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang.
n.Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o.Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna dan hasil guna.
p.Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
q.Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan tidak parsial.
r.Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s.Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang fair.
t.Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan
Asas formal/ Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.Aksessibilitas dan keterbukaan; proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan, pembentukan, dan pembahasan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang.
b.Akuntabilitas; proses peraturan perundang-undangan harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi perencanaan kerja, kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan
c.Partisipasi publik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran publik; kecermatan memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan titik-titik konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu atau permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan aspirasi.
d.Ketersediaan kajian akademik; proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam atas masalah yang dihadapi atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya dituangkan dalam bentuk draft akademik.
e.Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan diupayakan dengan jalan musyawarah.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut di atas, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini sebagai berikut:
“Dalam perspektif negara kesejahteraan dan negara hukum, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan kewajiban tersebut pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan kewenangan untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberi kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-undangan atau legislasi. Hal tersebut dapat dipahami karena sebagai negara kesejahteraan diperlukan berbagai instrumen hukum yang tidak mungkin hanya diserahkan kepada legislatif. Administrasi negara memerlukan wewenang untuk mengatur hal-hal yang bersifat konkrit tanpa mengabaikan asas-asas negara berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang layak”.
MAKALAH
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
(NORMA HUKUM SECARA UNIVERSAL)
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
Rizqiatusshaliha
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2009
HUKUM PAJAK (PERMASALAHAN HUKUM PAJAK DALAM MASYARAKAT)
Permasalahan Hukum Pajak Dalam Masyarakat
A. Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya.
Dalam prakteknya sering kali dijumpai adanya pihak-pihak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membayar pajaknya. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa penagihan pajak dapat dipaksakan penagihannya, sehingga kepada pihak-pihak yang tidak mau membayar pajaknya tersebut dapat dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa.
Penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan oleh pegawai kantor pajak di mana wajib pajak yang bersangkutan tinggal. Dengan adanya penagihan pajak dengan surat paksa, wajib pajak yang tidak mau membayar pajaknya dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. Jika setelah dilakukan penagihan menggunakan surat paksa, wajib pajak tersebut masih tetap tidak mau membayar pajaknya, maka kepadanya dapat dikenakan sanksi kurungan atau penyitaan atas hartanya.
Sanksi kurungan dan penyitaan merupakan upaya paksa terakhir yang dapat dilakukan dalam rangka menagih pajak. Adanya sanksi kurungan ini mengakibatkan hilangnya kebebasan seseorang, dan adanya penyitaan barang mengakibatkan harta orang tersebut tidak dapat dipergunakan lagi seperti semula. Dilihat dari akibat-akibat penagihan pajak dengan surat paksa yang sangat tidak menyenangkan itu, maka penagihan pajak dengan surat paksa tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Dibutuhkan landasan yuridis khusus yang dapat menjadi landasan hukum bagi penagihan pajak dengan surat paksa.
B. Pembahasan
Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan dan seluruh potensi masyarakat. Agar proses pembangunan selanjutnya berjalan lancar perlu adanya hubungan yang selaras serasi dan seimbang antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara dinamis dan proposional dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab.
Sebagai negara yang berkembang Negara Republik Indonesia tengah menggalakkan pembangunan di segala bidang, yaitu pembangunan bidang ekonomi, sosial budaya dan hukum. Bidang-bidang tersebut mempunyai tujuan yang sama dengan yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur.
Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (Wajib Pajak) dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak sebagai bentuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Mengoptimalkan dan mengefektifkan penerimaan dari sektor pajak ini tergantung pada kedua belah pihak, yaitu pemerintah sebagai aparat perpajakan (fiskus) dan masyarakat sebagai wajib pajak atau yang dikenai pajak.
Pajak sebagai salah satu pungutan negara mengandung ciri sebagai berikut :
a.Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang–undang serta aturan pelaksanaannya.
b.Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
c.Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
d.Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran–pengeluaran pemerintah yang apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus dipergunakan uantuk pembiayaan public investment.
e.Pajak dapat pula mempunyai tujuan lain yang non budgeter, yaitu sebagai alat kebijakan perekonomian nasional.
Melihat dari ciri-ciri pajak di atas, tampaklah bahwa pajak sangat penting bagi pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam pembangunan jangka panjang ini, biaya pembangunan terus meningkat yang menuntut kemandirian pembiayaan pembangunan yang berasal dari dalam negeri.
Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam rangka peningkatan penerimaan pajak, pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan harus melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan. Dalam pelaksanaan memungut pajak, Pasal 23A Amandemen Ke-4 Undang-Undang 1945 sebagai dasar hukum pemungutan pajak mengatur bahwa pajak dipungut oleh pemerintah berdasarkan undang–undang. Pasal 23A Amandemen Ke-4 Undang-Undang 1945 ini bertujuan menjamin kepastian hukum pelaksanaan pajak bagi pemerintah dan masyarakat.
Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.
Undang–undang yang dimaksud pada Pasal 23A Amandemen ke-4 Undang-Undang 1945 tersebut sudah terealisasi sejak diadakannya Tax Reform yaitu pembaharuan di bidang perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984. Sejak diberlakukannya Tax Reform ini, pemerintah beranggapan bahwa peraturan perpajakan hingga tanggal 1 Januari 1984 yang masih berlaku di Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintahan dan tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi yang berlaku dan berkembang di Indonesia. Untuk itu perlu diadakan pembaharuan peratuaran perpajakan dengan jalan merevisi peraturan–peraturan yang telah ada dengan membentuk peraturan–peraturan perpajakan yang baru.
Menurut Adam Smith, dalam Undang–Undang Pajak harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a.Equality dan Equity
b.Certainly
c.Convenience of Payment
d.Economic of Collection
Equality mengandung pengertian bahwa pada keadaan yang sama seseorang harus dibebani pajak yang sama pula. Persamaan ini bukan pada tingkat pendapatnya tetapi pada tingkat kemampuan membayarnya atau daya pikul.
Untuk menetapkan daya pikul wajib pajak harus dilihat dari berapa jumlah tanggungannya dan bagaimana susunan keluarganya. Dalam menghitung berapa besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak, Indonesia menganut Self Assesment System, terutama untuk pajak langsung seperti pajak penghasilan.
Dalam Self Assesment System, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menetapkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri. Hal ini tentu saja memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam mengurus masalah pajak. Landasan hukumnya diatur di dalam Pasal 12 Undang–undang Nomor 6 Tahun 1983 Jo. Undang–undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan.
Namun demikian, kemudahan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak dalam mengurus pajak sering menemui kendala dan hambatan. Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan masih sering terdapat utang pajak yang tidak dilunasi oleh wajib pajak sebagaimana mestinya sehingga diperlukan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat dan memaksa.
Maka dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah mengeluarkan Undang–undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pada intinya undang-undang tersebut bertujuan untuk :
1.Membentuk keseimbangan antara kepentingan masyarakat wajib pajak dan kepentingan negara.
2.Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga termotivasi untuk membayar pajak.
3.Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Selama ini penagihan pajak dilakukan berdasarkan Undang–undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara. Undang–undang Nomor 19 Tahun 1959 ini dinilai sudah tidak dapat menunjang sepenuhnya pelaksanaan penagihan pajak serta mengingat perlu adanya peraturan perundangan yang dapat mengatasi permasalahan mengenai tunggakan pajak.
Masih seringnya dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya hutang pajak, memerlukan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa, yang merupakan pertimbangan khusus ditetapkannya Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dengan kata lain, Undang–Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa diharapkan dapat mengatasi semua permasalahan yang ada dalam hal penagihan pajak, khususnya masalah penunggakan hutan pajak oleh wajib pajak.
Pelunasan utang pajak oleh wajib pajak merupakan salah satu tujuan penting pemberlakuan Undang–undang Nomor 17 Tahun 1997 ini. Untuk menambah ketajaman upaya penagihan pajak, dalam keadaan tertentu terhadap wajib pajak dapat dikenakan penagihan pajak dengan surat paksa yang nantinya akan diikuti penyitaan, pelelangan dan bahkan penyanderaan.
Penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan apabila wajib pajak atau penanggung pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana telah ditentukan dalam pemberitahuan sebelumnya (Surat Teguran), maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh jurusita pajak dengan menggunakan surat paksa yang diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan kepada penanggung pajak. Penagihan pajak dengan surat paksa ini dilakukan oleh jurusita pajak pusat maupun daerah.
Jadi, Surat Paksa dalam proses penagihan tunggakan pajak mempunyai peranan yang sangat penting yang bisa menentukan berhasil atau tidaknya proses penagihan tunggakan pajak tersebut.
Dari survei, diperoleh gambaran bahwa pajak merupakan sumber pendapatan utama sehingaa permasalahan penagihan pajak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Dalam pelaksanaan penagihan pajak di wilayah hukum Kantor Pelayanan Pajak Yogyakarta Satu yang meliputi Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Bantul banyak sekali ditemui masalah, antara lain banyaknya wajib pajak yang dikenai penagihan pajak dengan surat paksa karena adanya utang pajak yang belum atau tidak dilunasi sampai batas waktu pembayaran berakhir. Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa itu sendiri, juga menemui kendala–kendala yang menghambat pelaksanaan penagihan tersebut.
C. Kesimpulan
Salah satu wujud lain bela negara adalah membayar pajak, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 23, bahwa "Pajak merupakan kontribusi wajib rakyat kepada negara baik orang pribadi maupun badan hukum atau warga negara terhadap negara, dengan tidak mendapat imbalan atau kontraprestasi langsung dan digunakan untuk kepentingan negara serta untuk kemakmuran rakyat."
Penerimaan negara dari sektor pajak, selama ini telah dimanfaatkan oleh negara antara lain untuk pembangunan dan penyediaan aneka fasilitas dan jasa pelayanan publik, perlindungan keamanan dan ketertiban masyarakat, hingga demokratisasi. Pesta demokrasi berupa pemilu legislatif dan pilpres, sepenuhnya dibiayai APBN yang notabene adalah uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), berdasar Pancasila sebagaimana tersebut dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Hal ini sangat tegas dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum bertujuan mewujudkan visinya mencapai masyarakat adil dan makmur yang tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Pengertian adil mencakup terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab dan makmurtermasuk terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu di antara kewajiban kenegaraan warga masyarakat yang sangat melekat dengan kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air adalah kewajiban perpajakan. Sebagai negara hukum, kewajiban perpajakan harus berdasar hukum yaitu UU Perpajakan. Sebagai negara hukum, kewajiban perpajakan dilaksanakan berdasarkan hukum pajak.
Merujuk pada pengertian hukum pajak keadilan, yaitu dalam arti perlakuan yang adil; bahwa setiap warga negara memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif yang mempunyai kewajiban membayar pajak, tanpa membeda-bedakan tingkatan, kelompok masyarakat (imparsial). Kewajiban melaksanakan UU perpajakan memperhatikan hak asasi dan keseimbangan antara hak dan kewajiban kenegaraan seseorang. Adapun keadilan sosial termasuk dalam pengertian pengenaan beban pajak besarnya sesuai dengan objek pajak yang dimiliki dengan tetap memperhatikan kemampuan seseorang (ability to pay).
Hukum pajak adalah salah satu dari sekian banyak hukum yang sangat membumi, karena menjangkau semua lapisan masyarakat yang menjadi penduduk suatu negara. Sebagai warga negara, salah satu kewajiban yang melekat selama ada kehidupan seseorang adalah melakukan kewajiban perpajakan. Kewajiban perpajakan dilakukan sejak ibu mengandung bayi, memeriksakan diri ke rumah sakit (dokter), membeli obat, membeli baju, dan kebutuhan pangan yang dipakai secara sadar atau tidak, langsung membayar pajak. Baik yang membayar langsung maupun memakai pihak ketiga.
Kepatuhan menjalankan kewajiban perpajakan, juga merupakan kewajiban melaksanakan mukadimah UUD yang diamanatkan negara maupun UUD sebagai falsafah hidup berbangsa dan bertanah air. Di samping, patuh dan taat menjalankan kewajiban perpajakan. Tanpa itu, yang terjadi adalah sebuah ironi. Sebab, penerimaan pajak saat ini mengon-tribusi tak kurang dari 80% penerimaan negara dalam APBN.
MAKALAH
HUKUM PAJAK
(PERMASALAHAN HUKUM PAJAK
DALAM MASYARAKAT)
Oleh :
Humaira ( 07400275 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
2010
SOSIOLOGI KELUARGA (HUBUNGAN KELUARGA DENGAN MASYARAKAT)
HUBUNGAN KELUARGA DENGAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Dalam sebuah masyarakat, keluarga dipandang sebagai struktur terkecil dari masyarakat tersebut yang terdiri dari individu-individu yang merupakan bagian dari jaringan social yang lebih besar. Keluarga inilah sebagai satu-satunya lembaga social yang diberi tanggung jawab untuk mengubah suatu organisme biologis menjadi manusia, yaitu manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan stratifikasi yang ada.
Ilmu sosiologi juga menaruh perhatian besar terhadap keluarga, bukan dilihat dari sisi biologis atau psikologis semata, tetapi lebih menekankan tidak hanya pada hubungan antar anggota, juga pada hubungan antar keluarga dengan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Makalah ini berupaya menjelaskan, hubungan keluarga dengan masyarakat itu terjadi. Dan untuk lebih memahami keluarga dari sudut pandang sosiologi.
B. PEMBAHASAN
Keluarga
Keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat.
Keluarga mempunyai 4 karakteristik yang memberi kejelasan tentang konsep keluarga .
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Yang mengiakat suami dan istri adalah perkawinan, yang mempersatukan orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah (umumnya) dan kadang-karang adopsi.
2. para anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk sautu rumah tangga (household), kadang-kadang satu rumah tangga itu hanya terdiri dari suami istri tanpa anak-anak, atau dengan satu atau dua anak saja.
3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.
4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.
Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang belum menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut keluarga inti. satu keluarga ini dapat juga terwujud menjadi keluarga luas dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang kerabat maupun yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti.
Emile Durkheim mengemukakan tentang sosiologi keluarga dalam karyanya : Introduction a la sosiologi de la famile (mayor Polak, 1979: 331). Bersumber dari karya ini muncul istilah : keluarga conjugal : yaitu keluarga dalam perkawinan monogamy, terdiri dari ayah, bibi, dan anak-anaknya. Keluarga conjugal sering juga disebut keluarga batih atau keluarga inti.
Koentjaraningrat membedakan 3 macam keluarga luas berdasarkan bentuknya :
1. keluarga luas utrolokal, berdasarkan adapt utrolokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih/inti anak laki-laki maupun anak perempuan
2. keluarga luas viriolokal, berdasakan adapt viriolokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak lelaki
3. Keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adapt uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih/inti anak-anak perempuan
Dalam keluarga sering kita jumpai adanya pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan itu biasanya disebut fungsi. Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan didalam atau oleh keluarga itu.
Macam-macam fungsi keluarga adalah:
1. Fungsi biologis
2. Fungsi Pemeliharaan
3. Fungsi Ekonomi
4. Fungsi Keagamaan
5. Fungsi Sosial
Masyarakat
Masyarakat adalah suatu istilah yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari untuk masyarakat kota, masyarakat desa, masyarakat ilmiah, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan” istilah masyarakat itu sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu Syaraka yang berarti “ ikut serta, berpartisipasi”.
Menurut berbagai pandangan msyarakat dapat diartikan :
Peter L Berger, seorang ahli sosiologi memberikan definisi masyarakat sebagai berikut : “ masyarakat merupakan suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya.”.
Koentjaraningrat dalam tulisannya menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Dalam psikologi sosial masyarakat dinyatakan sebagai sekelompok manusia dalam suatu kebersamaan hidup dan dengan wawasan hidup yang bersifat kolektif, yang menunjukkan keteraturan tingkah laku warganya guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing.
Menilik kenyataan dilapangan, suatu masyarakat bisa berupa suatu suku bangsa, bisa juga berlatar belakang dari berbagai suku.
Dalam perkembangan dan pertumbuhannya masyarakat dapata digolongkan menjadi :
1. Masyarakat sederhana
Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitive) pola pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, nampaknya berpangkal tolak dari latar belakang adanya kelemahan dan kemampuan fisik antara seorang wanita dan pria dalam menghadapi tantangan-tantangan.
2. Masyarakat Maju
Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelompok sosial, atau lebih dikenal dengan sebuatan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai.
Dalam lingkungan masyarakat maju, dapat dibedakan:
a. Masyarakat non industri. Secara garis besar, kelompok ini dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu
Kelompok primer
Dalam kelompok primer, interaksi antar anggotanya terjdi lebih intensif, lebih erat, lebi akrab. Kelompok ini disebut juga kelompok face to face group.Sifat interaksi bercorak kekeluargaan dan lebih berdasarkan simpati. Pembagian kerja atau pembagian tugas pada kelompok ini dititik berakan pada kesadaran, tanggung jawab para anggota dan berlangsung atas dasar rasa simpati dan secara sukarela.
Kelompok sekunder
Dalam kelompok sekunder terpaut saling hubungan tidak langsung, formal, juga kurang bersifat kekeluargaan. Oleh krn itu sifat interaksi, pembagian kerja, diatur atas dasar pertimbangan-pertimbagnan rasional obyektif. Para anggota menerima pembagian kerja atas dasar kemampuan / keahlian tertentu, disamping dituntut target dan tujuan tertentu yang telah ditentukan.
b. Masyarakat Industri.
Keluarga, Sebuah Sistem Sosial
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.
Dalam pandangan manapun, keluarga dianggap sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Adapun lembaga perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga yang paling bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia. Perbedaan pandangan hidup dan adat istiadat setempatlah yang biasanya membedakan definisi dan fungsi sebuah keluarga dalam sebuah masyarakat Peradaban suatu bangsa bahkan dipercaya sangat tergantung oleh struktur dan interaksi antar keluarga di dalam masyarakat tersebut.
Dalam bukunya " Sosiologi Suatu Pengantar " , Prof.Dr.P. J. Bouman menjelaskan tentang pengertian tatanan keluarga sebagai berikut ; Pada zaman dahulu famili itu adalah satu golongan yang lebih besar dari keluarga. Kebanyakan famili terdiri dari beberapa keluarga atau anak-anak dan cucu-cucu yang belum kawin yang hidup bersama-sama pada suatu tempat, dikepalai oleh seorang kepala famili yang dinamakan patriach (garis ayah ). Ikatan famili itu akan mempunyai pelbagai fungsi sosial, kesatuan hukum, upacara-upacara ritual dan juga pendidikan anak.
Perspektif di atas tentu saja searah dengan pandangan rata-rata ilmuan Barat yang beranggapan bahwa sosiologi atau ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan tentang hidup manusia dalam hubungannya di suatu masyarakat. Sosiologi dianggap membantu untuk memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. Dari pandangan ini sistem sosial dianggap sebagai sistem yang paling mampu untuk menyelami hakekat kerjasama dan kehidupan bersama dalam segala macam bentuk-bentuk yang ditimbulkan akibat hubungan antar manusia ( baik laki-laki maupun wanita ) termasuk pernikahan atau keluarga.
Keluarga Dalam Masyarakat Islam
Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki dan wanita ( yang secara fitrahnya saling tertarik ) dengan aturan yang khusus. Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan.
Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah kemudian muncul hubungan yang berkait dengan kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan juga hubungannya dengan negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat Islam ) atas manusia selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi dari masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan ( sistem ) yang satu ( sama )’. Hal ini berarti dalam sebuah masyarakat mesti ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi secara terus menerus dan diatur dalam sebuah aturan yang fixed. Rosulullah SAW telah menjelaskan status dan hubungan individu dengan masyarakat dengan sabdanya :
" Perumpamaan orang-orang Muslim , bagaimana kasih sayang yang tolong menolong terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak tidur ) dan bereaksi meningkatkan panas badan ( demam ) "
( HR Muslim )
Oleh karena itu , Islam memandang individu-individu, keluarga, masyarakat dan negara sebagai umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di mana dengan peraturan dan sistem nilai tersebut, manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang, bahagia dan sejahtera.
Fungsi Keluarga
Salah satu fungsi keluarga yang penting selain untuk meneruskan keturunan adalah " persaudaraan ". Dalam Islam hubungan persaudaraan begitu erat hingga berkonsekuensikan hukum dan kewajiban. Islam telah menjadikan hubungan keluarga berkonsekuensi terhadap " hukum waris " ( bagi yang berhak mendapat-kan warisan ) termasuk kewajiban memenuhi kebutuhan nafaqah-nya. Juga berkonsekuensi terhadap kewajiban " silaturahmi " . Konsekuensi hukum dan ikatan kekeluargaan inilah yang tidak akan di dapatkan oleh jenis sistem keluarga manapun. Bahkan hukum adat yang tumbuh di daerah tertentu pun tidak akan mampu berlaku adil dalam rangkan memenuhi aturan-aturan kekeluargaan ini. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat terbatasnya kemampuan manusia.
C. KESIMPULAN
Dari kesemua itu dapat kita ketahui hubungan antara keluarga dan masyarakat:
Keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahrikan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Jadi Keluarga adalah kelompok pertama yang membentuk sifat dari seorang individu di dalam masyarakat.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia atau sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain, seperti yang kita telah ketahui bahwa manusia ialah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain disekitarnya.
MAKALAH
SOSIOLOGI KELUARGA
(HUBUNGAN KELUARGA DENGAN MASYARAKAT)
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2010
A. PENDAHULUAN
Dalam sebuah masyarakat, keluarga dipandang sebagai struktur terkecil dari masyarakat tersebut yang terdiri dari individu-individu yang merupakan bagian dari jaringan social yang lebih besar. Keluarga inilah sebagai satu-satunya lembaga social yang diberi tanggung jawab untuk mengubah suatu organisme biologis menjadi manusia, yaitu manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan stratifikasi yang ada.
Ilmu sosiologi juga menaruh perhatian besar terhadap keluarga, bukan dilihat dari sisi biologis atau psikologis semata, tetapi lebih menekankan tidak hanya pada hubungan antar anggota, juga pada hubungan antar keluarga dengan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Makalah ini berupaya menjelaskan, hubungan keluarga dengan masyarakat itu terjadi. Dan untuk lebih memahami keluarga dari sudut pandang sosiologi.
B. PEMBAHASAN
Keluarga
Keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat.
Keluarga mempunyai 4 karakteristik yang memberi kejelasan tentang konsep keluarga .
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Yang mengiakat suami dan istri adalah perkawinan, yang mempersatukan orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah (umumnya) dan kadang-karang adopsi.
2. para anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk sautu rumah tangga (household), kadang-kadang satu rumah tangga itu hanya terdiri dari suami istri tanpa anak-anak, atau dengan satu atau dua anak saja.
3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.
4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.
Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang belum menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut keluarga inti. satu keluarga ini dapat juga terwujud menjadi keluarga luas dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang kerabat maupun yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti.
Emile Durkheim mengemukakan tentang sosiologi keluarga dalam karyanya : Introduction a la sosiologi de la famile (mayor Polak, 1979: 331). Bersumber dari karya ini muncul istilah : keluarga conjugal : yaitu keluarga dalam perkawinan monogamy, terdiri dari ayah, bibi, dan anak-anaknya. Keluarga conjugal sering juga disebut keluarga batih atau keluarga inti.
Koentjaraningrat membedakan 3 macam keluarga luas berdasarkan bentuknya :
1. keluarga luas utrolokal, berdasarkan adapt utrolokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih/inti anak laki-laki maupun anak perempuan
2. keluarga luas viriolokal, berdasakan adapt viriolokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak lelaki
3. Keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adapt uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih/inti anak-anak perempuan
Dalam keluarga sering kita jumpai adanya pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan itu biasanya disebut fungsi. Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan didalam atau oleh keluarga itu.
Macam-macam fungsi keluarga adalah:
1. Fungsi biologis
2. Fungsi Pemeliharaan
3. Fungsi Ekonomi
4. Fungsi Keagamaan
5. Fungsi Sosial
Masyarakat
Masyarakat adalah suatu istilah yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari untuk masyarakat kota, masyarakat desa, masyarakat ilmiah, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan” istilah masyarakat itu sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu Syaraka yang berarti “ ikut serta, berpartisipasi”.
Menurut berbagai pandangan msyarakat dapat diartikan :
Peter L Berger, seorang ahli sosiologi memberikan definisi masyarakat sebagai berikut : “ masyarakat merupakan suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya.”.
Koentjaraningrat dalam tulisannya menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Dalam psikologi sosial masyarakat dinyatakan sebagai sekelompok manusia dalam suatu kebersamaan hidup dan dengan wawasan hidup yang bersifat kolektif, yang menunjukkan keteraturan tingkah laku warganya guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing.
Menilik kenyataan dilapangan, suatu masyarakat bisa berupa suatu suku bangsa, bisa juga berlatar belakang dari berbagai suku.
Dalam perkembangan dan pertumbuhannya masyarakat dapata digolongkan menjadi :
1. Masyarakat sederhana
Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitive) pola pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, nampaknya berpangkal tolak dari latar belakang adanya kelemahan dan kemampuan fisik antara seorang wanita dan pria dalam menghadapi tantangan-tantangan.
2. Masyarakat Maju
Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelompok sosial, atau lebih dikenal dengan sebuatan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai.
Dalam lingkungan masyarakat maju, dapat dibedakan:
a. Masyarakat non industri. Secara garis besar, kelompok ini dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu
Kelompok primer
Dalam kelompok primer, interaksi antar anggotanya terjdi lebih intensif, lebih erat, lebi akrab. Kelompok ini disebut juga kelompok face to face group.Sifat interaksi bercorak kekeluargaan dan lebih berdasarkan simpati. Pembagian kerja atau pembagian tugas pada kelompok ini dititik berakan pada kesadaran, tanggung jawab para anggota dan berlangsung atas dasar rasa simpati dan secara sukarela.
Kelompok sekunder
Dalam kelompok sekunder terpaut saling hubungan tidak langsung, formal, juga kurang bersifat kekeluargaan. Oleh krn itu sifat interaksi, pembagian kerja, diatur atas dasar pertimbangan-pertimbagnan rasional obyektif. Para anggota menerima pembagian kerja atas dasar kemampuan / keahlian tertentu, disamping dituntut target dan tujuan tertentu yang telah ditentukan.
b. Masyarakat Industri.
Keluarga, Sebuah Sistem Sosial
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.
Dalam pandangan manapun, keluarga dianggap sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Adapun lembaga perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga yang paling bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia. Perbedaan pandangan hidup dan adat istiadat setempatlah yang biasanya membedakan definisi dan fungsi sebuah keluarga dalam sebuah masyarakat Peradaban suatu bangsa bahkan dipercaya sangat tergantung oleh struktur dan interaksi antar keluarga di dalam masyarakat tersebut.
Dalam bukunya " Sosiologi Suatu Pengantar " , Prof.Dr.P. J. Bouman menjelaskan tentang pengertian tatanan keluarga sebagai berikut ; Pada zaman dahulu famili itu adalah satu golongan yang lebih besar dari keluarga. Kebanyakan famili terdiri dari beberapa keluarga atau anak-anak dan cucu-cucu yang belum kawin yang hidup bersama-sama pada suatu tempat, dikepalai oleh seorang kepala famili yang dinamakan patriach (garis ayah ). Ikatan famili itu akan mempunyai pelbagai fungsi sosial, kesatuan hukum, upacara-upacara ritual dan juga pendidikan anak.
Perspektif di atas tentu saja searah dengan pandangan rata-rata ilmuan Barat yang beranggapan bahwa sosiologi atau ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan tentang hidup manusia dalam hubungannya di suatu masyarakat. Sosiologi dianggap membantu untuk memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. Dari pandangan ini sistem sosial dianggap sebagai sistem yang paling mampu untuk menyelami hakekat kerjasama dan kehidupan bersama dalam segala macam bentuk-bentuk yang ditimbulkan akibat hubungan antar manusia ( baik laki-laki maupun wanita ) termasuk pernikahan atau keluarga.
Keluarga Dalam Masyarakat Islam
Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki dan wanita ( yang secara fitrahnya saling tertarik ) dengan aturan yang khusus. Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan.
Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah kemudian muncul hubungan yang berkait dengan kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan juga hubungannya dengan negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat Islam ) atas manusia selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi dari masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan ( sistem ) yang satu ( sama )’. Hal ini berarti dalam sebuah masyarakat mesti ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi secara terus menerus dan diatur dalam sebuah aturan yang fixed. Rosulullah SAW telah menjelaskan status dan hubungan individu dengan masyarakat dengan sabdanya :
" Perumpamaan orang-orang Muslim , bagaimana kasih sayang yang tolong menolong terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak tidur ) dan bereaksi meningkatkan panas badan ( demam ) "
( HR Muslim )
Oleh karena itu , Islam memandang individu-individu, keluarga, masyarakat dan negara sebagai umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di mana dengan peraturan dan sistem nilai tersebut, manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang, bahagia dan sejahtera.
Fungsi Keluarga
Salah satu fungsi keluarga yang penting selain untuk meneruskan keturunan adalah " persaudaraan ". Dalam Islam hubungan persaudaraan begitu erat hingga berkonsekuensikan hukum dan kewajiban. Islam telah menjadikan hubungan keluarga berkonsekuensi terhadap " hukum waris " ( bagi yang berhak mendapat-kan warisan ) termasuk kewajiban memenuhi kebutuhan nafaqah-nya. Juga berkonsekuensi terhadap kewajiban " silaturahmi " . Konsekuensi hukum dan ikatan kekeluargaan inilah yang tidak akan di dapatkan oleh jenis sistem keluarga manapun. Bahkan hukum adat yang tumbuh di daerah tertentu pun tidak akan mampu berlaku adil dalam rangkan memenuhi aturan-aturan kekeluargaan ini. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat terbatasnya kemampuan manusia.
C. KESIMPULAN
Dari kesemua itu dapat kita ketahui hubungan antara keluarga dan masyarakat:
Keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahrikan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Jadi Keluarga adalah kelompok pertama yang membentuk sifat dari seorang individu di dalam masyarakat.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia atau sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain, seperti yang kita telah ketahui bahwa manusia ialah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain disekitarnya.
MAKALAH
SOSIOLOGI KELUARGA
(HUBUNGAN KELUARGA DENGAN MASYARAKAT)
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2010
SEJARAH TENTANG TIMBULNYA ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI
SEJARAH TENTANG TIMBULNYA ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI
Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi,Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, ahli Negara (Negarawan), sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu. Selanjutnya muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara.
Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu untuk menjadi Khalifah pertama (pengganti Rasul). Kemudian Abu Bakar digantikan ol.eh Umar Ibn al-Khattab dan Umar tergantikan oleh Usman Ibn Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya, kaum keluarganya dari golongan masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekkah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang dagang, admistrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah- daerah diluar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup mementang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Tindakan –tindakan politik yang dilakukan Usman kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekeuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang muncul di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ini. Di Mesir sebagai reaksi dijatuhkannya Umar Ibn al-Khattab yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah satu anggota kerabat keluarga Usman sebagai Gubernur mesir. 500 pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawwiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali Ibn Thallib sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan itu¹ .
Dalam pertempuran ini (Perang Siffin) tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah Amr Ibn ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/ utusan diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’arydari pihak Ali.
Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi,Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, ahli Negara (Negarawan), sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu. Selanjutnya muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara.
Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu untuk menjadi Khalifah pertama (pengganti Rasul). Kemudian Abu Bakar digantikan ol.eh Umar Ibn al-Khattab dan Umar tergantikan oleh Usman Ibn Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya, kaum keluarganya dari golongan masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekkah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang dagang, admistrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah- daerah diluar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup mementang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Tindakan –tindakan politik yang dilakukan Usman kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekeuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang muncul di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ini. Di Mesir sebagai reaksi dijatuhkannya Umar Ibn al-Khattab yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah satu anggota kerabat keluarga Usman sebagai Gubernur mesir. 500 pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawwiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali Ibn Thallib sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan itu¹ .
Dalam pertempuran ini (Perang Siffin) tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah Amr Ibn ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/ utusan diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’arydari pihak Ali.
RUU ADRE : BENTUK DISKRIMINASI BARU
RUU ADRE : BENTUK DISKRIMINASI BARU
Inisiasi pembahasan RUU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) telah diprakarsai oleh anggota DPR-RI periode 1999-2004. Kemudian pada pertengahan September 2005, DPR-RI periode 2004-2009 mengambil inisiatif melalui sidang paripurna untuk membahas RUU ADRE. Usulan inisiatif kedua bagi RUU ADRE dikemukakan di dalam sidang paripurna. Kemudian DPR-RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari perwakilan seluruh fraksi.
Di dalam perjalanannya, Pansus RUU ADRE telah tiga kali berganti kepemimpinan dan saat ini para anggota Pansus RUU ADRE baru selesai melakukan studi banding ke dua negara, yaitu Cina dan AS. Memang pembahasan RUU ADRE ini dilatarbelakangi oleh maraknya konflik horisontal antar ras dan etnis yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Selain itu, RUU ini merupakan turunan dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999.
Pada kenyataannya, persoalan diskriminasi tidak hanya dialami oleh kelompok ras dan etnis saja. Masih banyak kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang selama ini masih mengalami perlakuan-perlakuan ataupun tindakan-tindakan diskriminatif, baik dari Negara, dalam hal ini Pemerintah, maupun dari masyarakat sendiri. Contohnya adalah kelompok agama minoritas, kelompok penganut kepercayaan, kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/Transsexual (LGBT), kelompok difable, dan kelompok masyarakat miskin. Bahkan sangat sering kita melihat segala bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan terjadinya konflik horisontal, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat massal.
Sehingga ketika DPR-RI hendak membahas ataupun memberlakukan sebuah RUU, ada beberapa asas hukum yang harus diperhatikan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas yang pertama yang harus diperhatikan adalah asas pengayoman. Asas tersebut mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Dalam praktiknya apabila RUU ADRE tidak diperluas cakupannya maka RUU ADRE akan melanggar asas pengayoman. Hal itu disebabkan karena RUU ADRE akan menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di kalangan kelompok marginal lainnya yang selama ini belum diakomodir oleh Negara hak-hak dasarnya. Dan pada akhirnya kecemburuan sosial yang memuncak, dan apabila ditambah dengan provokasi-provokasi yang efektif, maka akan ada kemungkinan terjadi konflik horisontal.
Asas kedua adalah asas kemanusiaan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Padahal di dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dinyatakan definisi diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sehingga apabila RUU ADRE dipaksakan untuk diberlakukan, maka RUU itu akan menjadi sebuah alat yang mendiskriminasikan kelompok lain diluar kelompokras dan etnis.
Kemudian di dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah ditegaskan bahwa setiap kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat rentan, harus dilebihkan pemenuhan haknya oleh Negara. Sehingga apabila kita berbicara kelompok masyarakat rentan, tidak hanya kelompok rasial dan etnis saja yang harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi, tetapi semua kelompok masyarakat rentan, bahkan setiap warga negara, harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi. Sehingga dengan demikian RUU ADRE juga melanggar asas kemanusiaan karena hanya mengatur larangan diskriminasi secara partial, yaitu hanya terhadap kelompok rasial dan etnis saja.
Asas ketiga yang harus diperhatikan adalah asas bhineka tunggal ika yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan asas di atas, RUU ADRE jelas melanggar asas Bhineka Tunggal Ika karena hanya mengakui keberagaman ras dan etnis saja. Sedangkan keberagaman-keberagaman lainnya, seperti keberagaman agama, kepercayaan, orientasi seksual, gender, status sosial, keyakinan politik, dan keberagaman lainnya tidak diakui di dalam RUU ADRE.
Asas keempat adalah asas keadilan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengakomodir hak-hak kelompok rasial dan etnis saja, dengan sendirinya RUU ADRE tidak dapat mengakomodir hak-hak setiap warga negara. Dengan demikian maka RUU ADRE tidak akan membangun rasa keadilan terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak semua kelompok masyarakat rentan pada khusunya, dan setiap warga negara pada umumnya.
Sebenarnya masih ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh setiap pembuat legislasi. Namun dalam hal ini asas terakhir yang harus diperhatikan adalah asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Asas ini mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengatur larangan segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok rasial dan etnis saja, maka dengan sendirinya RUU ADRE juga melanggar asas hukum ini.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Pansus RUU ADRE harus mengganti judul dan memperluas pembahasannya. Selain itu juga harus ada perumusan sanksi yang tegas bagi setiap pelaku tindakan diskriminasi, baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana. Sehingga RUU ADRE nantinya dapat dijadikan sebagai payung hukum yang dapat menjawab segala persoalan diskriminasi selama ini, baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk perlakuan. Dan akhirnya segala bentuk diskriminasi dapat dihapuskan dari bumi Indonesia ini.
Perlakuan berbeda, pembatasan, atau pengucilan akibat asumsi gender
yang dampaknya terjadi pengurangan atau penghapusan hak perempuan
Diskriminasi itu ada di masyarakat, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara sama di depan hukum. Kenyataannya, diskriminasi itu dikukuhkan melalui peraturan daerah. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menemukan setidaknya 16 peraturan daerah (perda), dua keputusan bupati, tiga surat edaran bupati, dua rancangan peraturan daerah (raperda), dan satu peraturan desa (perdes) yang isinya mendiskriminasi perempuan. Analisis dilakukan terhadap dokumen dan menggunakan pisau analisis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Diskriminasi akibat asumsi sosial budaya negatif yang melekat pada keberadaan seseorang sebagai perempuan dapat berupa diskriminasi sebagai tindakan, diskriminasi sebagai maksud, dan diskriminasi sebagai akibat. Diskriminasi sebagai maksud mewujud dalam cara pembedaan, pembatasan, dan pengucilan. Pembedaan di sini akibat pandangan yang melihat laki-laki dan perempuan tidak setara, selain terjadi penghapusan hak dan kebebasan perempuan. Pembatasan adalah tindakan untuk mengurangi dan membatasi penggunaan atau penikmatan hak yang diakui, misalnya pembatasan jam kerja atau gerak. Pengucilan adalah pengingkaran atas hak dan kebebasan perempuan berdasarkan asumsi gender.
Diskriminasi sebagai maksud adalah tindakan yang memang diniatkan pelakunya sehingga menjadi diskriminasi langsung, tetapi dapat juga dalam situasi netral yang dampaknya mendiskriminasi meskipun dampak itu tidak diniatkan (diskriminasi tidak langsung). Beberapa contoh Diskriminasi sebagai akibat terjadi karena perlakuan berbeda, pembatasan, atau pengucilan akibat asumsi jender yang dampaknya terjadi pengurangan atau penghapusan hak perempuan. Contoh perda yang membuat pembedaan, pembatasan, dan pengucilan antara lain Perda Kabupaten Indramayu Nomor 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi. Pasal 1 (f) menyebutkan, "pelacuran adalah suatu perbuatan di mana seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan menerima pembayaran dalam bentuk uang maupun bentuk lain".
Perda ini merupakan bentuk pengucilan berdasarkan asumsi gender sebab menyebutkan pelacur berjenis kelamin perempuan. Meskipun analisis ini tidak menemukan niat dari pembuat aturan untuk mendiskriminasi, rumusan maupun tataran pelaksanaannya menimbulkan diskriminasi. Pasal 8 Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, misalnya, menyebutkan, "termasuk dalam pelacuran adalah homoseks, lesbian, sodomi, pelecehan seksual, dan perbuatan porno lainnya". Peraturan ini menempatkan secara jelas kelompok orang dengan preferensi seksual sejenis sebagai kriminal.
Padahal, preferensi seksual adalah pilihan sikap seksual yang tidak identik dengan kriminal, sementara pelacuran juga dapat melibatkan hubungan seksual tidak sejenis. Pemerintah vs warga Dalam diskusi, Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy menyatakan, adalah hal yang khas Indonesia, yaitu tidak adanya hubungan antara undang-undang dasar dan praktik hukum di lapangan sehingga perda dapat bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dalam menyikapi perda-perda tersebut, dapat dilihat apakah negara bersifat integralistik yang berarti negara mengontrol rakyat, misalnya melarang perempuan keluar rumah, atau negara bersifat demokratis sehingga menjadi kewajiban negara melindungi perempuan. Begitu juga bila pemerintah menuntut warganya dapat membaca Al Quran, seharusnya tugas negara menyediakan pendidikan baca Al Quran. Bila ada warga yang tidak mampu membaca Al Quran, itu bukan kesalahan warga, melainkan kesalahan pemerintah.
Pemprov DKI Evaluasi Perda Diskriminatif Perempuan
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai sedikitnya terdapat 154 perda yang diskriminatif terhadap perempuan, di mana 64 perda di antaranya terbukti telah membawa dampak sosial, ekonomi, politik, dan psikologis yang negatif bagi perempuan di daerah. Perda yang dinilai berpotensi diskriminatif terhadap perempuan adalah Perda No 8Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menertibkan para perempuan yang terlibat prostitusi. Wakil Ketua DPRD DKI Inggard Joshua mengatakan bahwa Pemprov DKI harus segera mengesahkan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, turunan dari UU tersebut, mengingat dampak kekerasan yang tidak baik terhadap generasi masa depan.
Perda yang dinilai berpotensi diskriminatif terhadap perempuan adalah Perda No 8Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menertibkan para perempuan yang terlibat prostitusi.Namun, seringkali penerapannya menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan oleh aparat yang menertibkan, dan seringkali juga terjadi kasus salah tangkap karena masih kaburnya penjelasan pasal tersebut sehingga banyak menjerat perempuan yang tidak terlibat prostitusi.
TUGAS
HUKUM DAN HAM
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2010
Inisiasi pembahasan RUU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) telah diprakarsai oleh anggota DPR-RI periode 1999-2004. Kemudian pada pertengahan September 2005, DPR-RI periode 2004-2009 mengambil inisiatif melalui sidang paripurna untuk membahas RUU ADRE. Usulan inisiatif kedua bagi RUU ADRE dikemukakan di dalam sidang paripurna. Kemudian DPR-RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari perwakilan seluruh fraksi.
Di dalam perjalanannya, Pansus RUU ADRE telah tiga kali berganti kepemimpinan dan saat ini para anggota Pansus RUU ADRE baru selesai melakukan studi banding ke dua negara, yaitu Cina dan AS. Memang pembahasan RUU ADRE ini dilatarbelakangi oleh maraknya konflik horisontal antar ras dan etnis yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Selain itu, RUU ini merupakan turunan dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999.
Pada kenyataannya, persoalan diskriminasi tidak hanya dialami oleh kelompok ras dan etnis saja. Masih banyak kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang selama ini masih mengalami perlakuan-perlakuan ataupun tindakan-tindakan diskriminatif, baik dari Negara, dalam hal ini Pemerintah, maupun dari masyarakat sendiri. Contohnya adalah kelompok agama minoritas, kelompok penganut kepercayaan, kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/Transsexual (LGBT), kelompok difable, dan kelompok masyarakat miskin. Bahkan sangat sering kita melihat segala bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan terjadinya konflik horisontal, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat massal.
Sehingga ketika DPR-RI hendak membahas ataupun memberlakukan sebuah RUU, ada beberapa asas hukum yang harus diperhatikan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas yang pertama yang harus diperhatikan adalah asas pengayoman. Asas tersebut mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Dalam praktiknya apabila RUU ADRE tidak diperluas cakupannya maka RUU ADRE akan melanggar asas pengayoman. Hal itu disebabkan karena RUU ADRE akan menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di kalangan kelompok marginal lainnya yang selama ini belum diakomodir oleh Negara hak-hak dasarnya. Dan pada akhirnya kecemburuan sosial yang memuncak, dan apabila ditambah dengan provokasi-provokasi yang efektif, maka akan ada kemungkinan terjadi konflik horisontal.
Asas kedua adalah asas kemanusiaan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Padahal di dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dinyatakan definisi diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sehingga apabila RUU ADRE dipaksakan untuk diberlakukan, maka RUU itu akan menjadi sebuah alat yang mendiskriminasikan kelompok lain diluar kelompokras dan etnis.
Kemudian di dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah ditegaskan bahwa setiap kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat rentan, harus dilebihkan pemenuhan haknya oleh Negara. Sehingga apabila kita berbicara kelompok masyarakat rentan, tidak hanya kelompok rasial dan etnis saja yang harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi, tetapi semua kelompok masyarakat rentan, bahkan setiap warga negara, harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi. Sehingga dengan demikian RUU ADRE juga melanggar asas kemanusiaan karena hanya mengatur larangan diskriminasi secara partial, yaitu hanya terhadap kelompok rasial dan etnis saja.
Asas ketiga yang harus diperhatikan adalah asas bhineka tunggal ika yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan asas di atas, RUU ADRE jelas melanggar asas Bhineka Tunggal Ika karena hanya mengakui keberagaman ras dan etnis saja. Sedangkan keberagaman-keberagaman lainnya, seperti keberagaman agama, kepercayaan, orientasi seksual, gender, status sosial, keyakinan politik, dan keberagaman lainnya tidak diakui di dalam RUU ADRE.
Asas keempat adalah asas keadilan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengakomodir hak-hak kelompok rasial dan etnis saja, dengan sendirinya RUU ADRE tidak dapat mengakomodir hak-hak setiap warga negara. Dengan demikian maka RUU ADRE tidak akan membangun rasa keadilan terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak semua kelompok masyarakat rentan pada khusunya, dan setiap warga negara pada umumnya.
Sebenarnya masih ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh setiap pembuat legislasi. Namun dalam hal ini asas terakhir yang harus diperhatikan adalah asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Asas ini mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengatur larangan segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok rasial dan etnis saja, maka dengan sendirinya RUU ADRE juga melanggar asas hukum ini.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Pansus RUU ADRE harus mengganti judul dan memperluas pembahasannya. Selain itu juga harus ada perumusan sanksi yang tegas bagi setiap pelaku tindakan diskriminasi, baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana. Sehingga RUU ADRE nantinya dapat dijadikan sebagai payung hukum yang dapat menjawab segala persoalan diskriminasi selama ini, baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk perlakuan. Dan akhirnya segala bentuk diskriminasi dapat dihapuskan dari bumi Indonesia ini.
Perlakuan berbeda, pembatasan, atau pengucilan akibat asumsi gender
yang dampaknya terjadi pengurangan atau penghapusan hak perempuan
Diskriminasi itu ada di masyarakat, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara sama di depan hukum. Kenyataannya, diskriminasi itu dikukuhkan melalui peraturan daerah. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menemukan setidaknya 16 peraturan daerah (perda), dua keputusan bupati, tiga surat edaran bupati, dua rancangan peraturan daerah (raperda), dan satu peraturan desa (perdes) yang isinya mendiskriminasi perempuan. Analisis dilakukan terhadap dokumen dan menggunakan pisau analisis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Diskriminasi akibat asumsi sosial budaya negatif yang melekat pada keberadaan seseorang sebagai perempuan dapat berupa diskriminasi sebagai tindakan, diskriminasi sebagai maksud, dan diskriminasi sebagai akibat. Diskriminasi sebagai maksud mewujud dalam cara pembedaan, pembatasan, dan pengucilan. Pembedaan di sini akibat pandangan yang melihat laki-laki dan perempuan tidak setara, selain terjadi penghapusan hak dan kebebasan perempuan. Pembatasan adalah tindakan untuk mengurangi dan membatasi penggunaan atau penikmatan hak yang diakui, misalnya pembatasan jam kerja atau gerak. Pengucilan adalah pengingkaran atas hak dan kebebasan perempuan berdasarkan asumsi gender.
Diskriminasi sebagai maksud adalah tindakan yang memang diniatkan pelakunya sehingga menjadi diskriminasi langsung, tetapi dapat juga dalam situasi netral yang dampaknya mendiskriminasi meskipun dampak itu tidak diniatkan (diskriminasi tidak langsung). Beberapa contoh Diskriminasi sebagai akibat terjadi karena perlakuan berbeda, pembatasan, atau pengucilan akibat asumsi jender yang dampaknya terjadi pengurangan atau penghapusan hak perempuan. Contoh perda yang membuat pembedaan, pembatasan, dan pengucilan antara lain Perda Kabupaten Indramayu Nomor 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi. Pasal 1 (f) menyebutkan, "pelacuran adalah suatu perbuatan di mana seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan menerima pembayaran dalam bentuk uang maupun bentuk lain".
Perda ini merupakan bentuk pengucilan berdasarkan asumsi gender sebab menyebutkan pelacur berjenis kelamin perempuan. Meskipun analisis ini tidak menemukan niat dari pembuat aturan untuk mendiskriminasi, rumusan maupun tataran pelaksanaannya menimbulkan diskriminasi. Pasal 8 Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, misalnya, menyebutkan, "termasuk dalam pelacuran adalah homoseks, lesbian, sodomi, pelecehan seksual, dan perbuatan porno lainnya". Peraturan ini menempatkan secara jelas kelompok orang dengan preferensi seksual sejenis sebagai kriminal.
Padahal, preferensi seksual adalah pilihan sikap seksual yang tidak identik dengan kriminal, sementara pelacuran juga dapat melibatkan hubungan seksual tidak sejenis. Pemerintah vs warga Dalam diskusi, Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy menyatakan, adalah hal yang khas Indonesia, yaitu tidak adanya hubungan antara undang-undang dasar dan praktik hukum di lapangan sehingga perda dapat bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dalam menyikapi perda-perda tersebut, dapat dilihat apakah negara bersifat integralistik yang berarti negara mengontrol rakyat, misalnya melarang perempuan keluar rumah, atau negara bersifat demokratis sehingga menjadi kewajiban negara melindungi perempuan. Begitu juga bila pemerintah menuntut warganya dapat membaca Al Quran, seharusnya tugas negara menyediakan pendidikan baca Al Quran. Bila ada warga yang tidak mampu membaca Al Quran, itu bukan kesalahan warga, melainkan kesalahan pemerintah.
Pemprov DKI Evaluasi Perda Diskriminatif Perempuan
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai sedikitnya terdapat 154 perda yang diskriminatif terhadap perempuan, di mana 64 perda di antaranya terbukti telah membawa dampak sosial, ekonomi, politik, dan psikologis yang negatif bagi perempuan di daerah. Perda yang dinilai berpotensi diskriminatif terhadap perempuan adalah Perda No 8Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menertibkan para perempuan yang terlibat prostitusi. Wakil Ketua DPRD DKI Inggard Joshua mengatakan bahwa Pemprov DKI harus segera mengesahkan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, turunan dari UU tersebut, mengingat dampak kekerasan yang tidak baik terhadap generasi masa depan.
Perda yang dinilai berpotensi diskriminatif terhadap perempuan adalah Perda No 8Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menertibkan para perempuan yang terlibat prostitusi.Namun, seringkali penerapannya menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan oleh aparat yang menertibkan, dan seringkali juga terjadi kasus salah tangkap karena masih kaburnya penjelasan pasal tersebut sehingga banyak menjerat perempuan yang tidak terlibat prostitusi.
TUGAS
HUKUM DAN HAM
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2010
Langganan:
Postingan (Atom)