BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Menurut pendapat Imam Syafi'i, Malik dan Ahmad, wakaf dianggap telah terlaksana dengan adanya lafadz atau sighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Milik semula dari wakaf telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafadz, walaupun barang itu masih berada di tangan wakif.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak persyaratan menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim memberikan putusan yaitu mengumumkan barang wakaf tersebut.
Salah satu permasalahan yang paling mendasar dan pertama untuk dibicarakan dalam rangka pemberdayaan harta benda wakaf adalah proses dan adminitrasi perwakafan tanah. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk pengamanan harta benda wakaf sebagai salah satu aset umat Islam.
Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW, karena wakaf disyari'atkan setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriah. Walau ada dua pendapat yang berkembang dikalangan ahli yurisprudensi Islam ( Fuqoha ) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Ada yang berpendapat Rasulullah
( Ansor ) ada juga yang berpendapat Umar ( Muhajirin ).
Seiring dengan perjalanan waktu, perwakafan tetap berkembang sampai dengan masa pemerintahan sahabat-sahabat dan dinasti Umayyahlah yang saat itu dipimpin oleh khalifah Hisyam bin Abd.Malik terbentuk lembaga wakaf. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali melakukan pengadministrasian wakaf di Mesir, bahkan ditiru oleh seluruh Negara Islam.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia, wakaf telah berkembang di masyarakat sejak zaman dahulu. Akan tetapi pengurusan dan pengelolaannya masih bersifat konvensional atau tradisional atas dasar saling percaya antara nadzir dan wakif. Sikap atau perilaku seperti ini syah-syah saja, akan tetapi kurang bisa optimal pengelolaannya bahkan cenderung kurang memperhatikan pengamanan benda wakaf.
Oleh karena itu perlu diadakan penertiban dan pendataan harta benda wakaf melalui pengadministrasian yang tertib dan benar sehingga benda wakaf tersebut bisa aman bahkan bisa dikembangkan. Pengadministrasian perwakafan tanah akan lebih tertib dan baik bilamana wakaf tersebut dimulai dengan proses yang sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, baik itu secara syar'I maupun hukum dan peraturan pemerintahan.
Landasan Hukum
1. Al qur'an surat Al-Baqoroh ayat 282,
Yang artinya : "Hai orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara Kamu menuliskannya dengan benar".
2. Al qur'an surat Al-Imron ayat 92.
Yang artinya : " Kamu sekali - kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah mengetahuinya"
3. UU No. 5 tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria
4. UU No. 41 tahun 2004 Bab I pasal I :
Wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
5. PP No. 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
6. PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Wakaf
7. PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf
8. Peraturan Menteri Agama No 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 28 tahun 1997 tentang Perwakahan Tanah milik
9. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
10. Keputusan Kepala BPN No 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Perngaturan dan Pelayanan Dilingkungan Pertanahan Nasional
11. Peraturan Kepala BPN RI No. 6 tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Pertanahan tertentu
B. Tujuan
Dengan penertiban prosedur dan pengadministrasian perwakafan tanah, maka diharapkan :
1. Tersusun administrasi perwakafan tanah dengan tertib dan benar.
2. Proses perwakafan tanah sesuai dengan peraturan dan Undang- Undang
3. Tanah wakaf akan tercatat sehingga lebih terjaga keamanan, kelestarian dan pengembangannya karena terdata dengan kongkrit.
4. Pemberdayaan tanah wakaf akan lebih optimal.
5. Aset wakaf akan mudah diakses sewaktu - waktu bilamana diperlukan.
C. Rumusan Kegiatan
Untuk memperlancar dan mendukung kegiatan pengadministrasian perwakafan tanah, maka harus dimulai dengan proses dan prosedur terjadinya peristiwa wakaf yang sesuai dengan syariah dan Undang-Undang Pemerintahan yang berlaku, sebagaimana berikut :
1. Mengadakan pendataan harta benda wakaf secara lengkap dan akurat.
2. Mengadakan sosialisasi tentang Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan peraturan lainnya.
3. Gerakan pendataan tanah wakaf bagi yang bersertifikat ataupun belum bersertifikat
4. Mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan tanah wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat melalui pengembangan pengelolaan dan pemberdayaan.
5. Mengadakan data base tanah wakaf baik ditingkat Kecamatan ( KUA ) maupun tingkat Kabupaten.
BAB II
PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA
A. Permasalahan
1. Kurangnya sosialisasi tentang tata cara perwakafan tanah.
2. Kurangnya pendataan inventarisasi harta benda wakaf.
3. Minimnya informasi kepada masyarakat tentang tanah wakaf yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
B. Pemecahan Masalah
I. Diadakan sosialisasi tentang Tata Cara Perwakafan kepada masyarakat yang antara lain meliputi :
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan , diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri Nazhir, Mauquf Alaih dan sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
3. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Dalam melaksanakan ikrar wakaf pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, surat-surat sebagai berikut :
1. Tanda bukti kepemilikan harta benda/ tanah.
2. Tanah yang akan diwakafkan , maka harus disertai dengan surat keterangan dari kepala desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan kepemilikan benda tidak bergerak dimaksud.
3. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan pernyataan status tanah tersebut.
Agar perwakafan tanah milik dapat dilaksanakan dengan tertib, maka tata cara perwakafannya harus ditentukan pula. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tradisional dan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat adat , tata cara perwakafan tanah milik menurut PP ini adalah sebagai berikut :
1. Seseorang atau badan hukum yang hendak mewakafkan tanahnya (sebagai calon wakif) datang sendiri kepada pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan kehendaknya. Apabila calon wakif itu tidak dapat datang sendiri karena sakit , sudah tua atau karena alasan lain yang dapat diterima, ia dapat membuat surat kuasa secara tertulis dengan persetujuan dengan ditandatangani 2 orang saksi . Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nadzir dihadapan PPAIW. Pada waktu menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf itu, wakif harus membawa surat-surat berikut : sertifikat hak milik atau benda bukti pemilikan tanah lainnya,
2. Surat keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah itu dan penjelasan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa,
3. Surat keterangan pendaftaran tanah,
4. Surat-surat yang dibawa calon wakif itu diperiksa lebih dahulu oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf , apakah telah memenuhi aturan yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan. Kemudian PPAIW meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir ;
5. Di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan dua orang saksi, wakif mengucapkan ikrar wakafnya kepada nadzir yang telah disahkan dengan ucapan yang jelas dan terang. Bila wakif tidak dapat mengucapkan ikrarnya karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Setelah selesai pengucapkan ikrar wakaf, wakif nadzir, saksi-saksi dan PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama (yang telah melimpahkan wewenang itu kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama) untuk membuat Akta Ikrar Wakaf. Pejabat tersebut adalah Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan setempat. Bila di suatu kecamatan belum ada Kantor Urusan Agama, maka yang menjadi PPAIW untuk kecamatan bersangkutan adalah Kepala Urusan Agama Kecamatan terdekat. Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf itu adalah otentik. dibuat setelah wakif mengikrarkan penyerahan tanah wakafnya.
II. Dalam rangka penertiban administrasi perwakafan tanah, maka perlu diadakan Pendaftaran Tanah Wakaf.
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan - ketentuan tersebut diatas, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan pendaftaran tanah wakaf kepada instansi yang berwenang guna menjaga keutuhan dan kelestariannya.
Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan mengajukan permohonan kepada instansi berwenang setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik tersebut menurut ketentuan PP No. 42 Tahun 2006. Instansi berwenang tersebut mencatatnya pada buku register wakaf dan menerbitkan bukti pendaftaran tanah wakaf. Setelah itu nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama, dalam hal ini adalah Kepala KUA Kecamatan.
Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata cara Pendaftaran Tanah Milik menyebutkan bahwa "untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah , tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai"
Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2006, tata cara pendaftaran harta benda wakaf yaitu :
- Wakaf tanah sebagai Harta Benda Tidak Bergerak
- Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW .
- Tanah yang diwakafkan sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir.
- Apabila tanah yang diwakafkan hanya sebagian dari keseluruhan, harus dilakukan pemecahan sertifikat milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir.
- Pejabat yang berwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
III. Penyampaian informasi kepada masyarakat tentang keberadaan Tanah Wakaf di daerahnya.
1. PPAIW menyampaikan AIW kepada Kantor Kementerian Agama dan BWI untuk dicatat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan BWI.
2. Nadzir hendaknya memberitahukan kepada masyarakat tentang keberadaan tanah wakaf kepada masyarakat sekitar lokasi.
3. Masyarakat dapat mengetahui atau mengakses informasi tentang tanah wakaf sebagai benda tak bergerak yang termuat dalam register umum yang tersedia pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf, dan pelaksanaan Ikrar Wakaf tersebut dilaksanakan dalam Majlis Ikrar Wakaf.
2. Majelis Ikrar Wakaf tersebut dihadiri oleh Wakif/Kuasa Wakif, Nadhir, Mauquf Alaih dan sekurang - kurangnya 2 orang saksi.
3. Form,isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka PPAIW atas nama nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada instansi berwenang untuk mendaftar perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya.
5. PPAIW menyampaikan AIW kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota dan BWI untuk dicatat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota dan BWI.
B. Saran.
1. Agar Kementerian Agama memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat agar ditumbuhkan gerakan wakaf tanah yang diperuntukkan tidak sebatas untuk tempat ibadah, sehingga diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada nadzir untuk pengelolaan dan pengembangan, dalam rangka memberikan manfaat kepada masyarakat .
2. Diharapkan kepada nadzir agar selalu mencatatkan tanah wakah serta hasil pengembangannya
3. Diharapkan kepada nadzir untuk bisa amanah, kreatif dan inovatif dalam pengelolaan dan pengembangan, sehingga hasilnya lebih optimal untuk mensejahterakan umat.
Daftar Pustaka
- DEPAG RI, UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Jakarta, 2008.
- DEPAG RI Al Qur'an dan terjemahannya.
- Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Fiqih Wakaf, tahun 2005
PROSEDUR PERWAKAFAN TANAH
DAN PERMASALAHANNYA
Oleh:
Humaira
Ari Ferdinansyah
Ana Khoirunnisa
JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010
TRANSLATE THIS BLOG
Kamis, 09 Desember 2010
TENTANG HAKI
1. Definisi HAKI: hak eksklusif yaitu hak yang diberikan o/ neg hanya kpd pemiliknya dimana pemilik hak mempuxai hak u/ melarang orang lain yang tanpa persetujuannya atau tanpa hak memperdagangkan atau memakai hak tsb.
HaKI adalah instrumen hukum yang memberikan perlindungan hak pada seorang atas segala hasil kreativitas dan perwujudan karya intelektual dan memberikan hak kepada pemilik hak untuk menikmati keuntungan ekonomi dari kepemilikan hak tersebut. Hasil karya intelektual tersebut dalam praktek dapat berwujud ciptaan di bidang seni dan sastra, merek, penemuan di bidang teknologi tertentu dan sebagainya. Melalui perlindungan HaKI pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan, memperbanyak, mengumumkan, memberikan izin kepada pihak lain untuk memanfaatkan haknya tersebut melalui lisensi atau pengalihan dan termasuk untuk melarang pihak lain untuk menggunakan, memperbanyak dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya tersebut.
2. yg melatar belakangi pengaturan HAKI di Indonesia; yaitu agar:
1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain.
2. Pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun pidana dengan masyarakat umum.
3. Adanya kepastian hukum yaitu pemegang dapat melakukan usahanya dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain.
4. pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
3. yang melatar belakangi diperbaharuinya UU HAKI?
Inilah kira-kira perubahan undang-undang perjalanan perundangn-undang HAKI di Indonesia sebagai berikut : UU No 6 Tahun 1982 -------> diperbaharui menjadi UU No 7 Tahun 1987------ > UU No 12 Tahun 1992------> Terakhir, UU tersebut diperbarui menjadi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayan Intelektual yang disahkan pada 29 Juli 2002 ternyata diberlakukan untuk 12 bulan kemudian, yaitu 19 Juli 2003, inilah kemudian menjadi landasan diberlakukannya UU HAKI di Indonesia.
HaKI bagi masyarakat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan hanya untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang akan tetapi dipakai sebagai alat strategi usaha dimana karena suatu penemuan dikomersialkan atau kekayaan intelektual, memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
HAKI mempunyai tuj, apa peran HAKI untuk mencapai tuj tsb?
Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.
HaKI adalah instrumen hukum yang memberikan perlindungan hak pada seorang atas segala hasil kreativitas dan perwujudan karya intelektual dan memberikan hak kepada pemilik hak untuk menikmati keuntungan ekonomi dari kepemilikan hak tersebut. Hasil karya intelektual tersebut dalam praktek dapat berwujud ciptaan di bidang seni dan sastra, merek, penemuan di bidang teknologi tertentu dan sebagainya. Melalui perlindungan HaKI pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan, memperbanyak, mengumumkan, memberikan izin kepada pihak lain untuk memanfaatkan haknya tersebut melalui lisensi atau pengalihan dan termasuk untuk melarang pihak lain untuk menggunakan, memperbanyak dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya tersebut.
2. yg melatar belakangi pengaturan HAKI di Indonesia; yaitu agar:
1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain.
2. Pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun pidana dengan masyarakat umum.
3. Adanya kepastian hukum yaitu pemegang dapat melakukan usahanya dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain.
4. pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
3. yang melatar belakangi diperbaharuinya UU HAKI?
Inilah kira-kira perubahan undang-undang perjalanan perundangn-undang HAKI di Indonesia sebagai berikut : UU No 6 Tahun 1982 -------> diperbaharui menjadi UU No 7 Tahun 1987------ > UU No 12 Tahun 1992------> Terakhir, UU tersebut diperbarui menjadi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayan Intelektual yang disahkan pada 29 Juli 2002 ternyata diberlakukan untuk 12 bulan kemudian, yaitu 19 Juli 2003, inilah kemudian menjadi landasan diberlakukannya UU HAKI di Indonesia.
HaKI bagi masyarakat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan hanya untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang akan tetapi dipakai sebagai alat strategi usaha dimana karena suatu penemuan dikomersialkan atau kekayaan intelektual, memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
HAKI mempunyai tuj, apa peran HAKI untuk mencapai tuj tsb?
Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.
SEJARAH CARA PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
Nama : Humaerak
Nim : 07120010
SEJARAH CARA PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
A. Sejarah Pembentukan UUPA
Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan melalui lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo.
Secara garis besar dpat dijelaskan sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogyakarta
Usaha-usaha nyata untuk menyusun hukum agraria nasional yang akan menggantikan hukum agraria kolonial telah dimulai tiga tahun setelah Indonesia merdeka, yaitu tahun 1948 dengan membentuk Panitia Agraria Yogyakarta berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948.
Usul-usul yang diajukan oleh Panitia ini mengenai asas-asas yang akan dijadikan dasar hukum agraria baru adalah sebagai berikut:
(1) Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat.
(2) Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah.
(3) Mengadakan study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
(4) Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup layak, untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar.
(5) Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya, untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar.
(6) Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini.
(7) Mengadakan pendaftaran tanah milik.
2. Panitia Agraria Jakarta
Hingga tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat menyelesaika tugasnya karena terjadi perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke Negara Kesatuan RI. Setelah pjusat pemerintahan Yogyakarta pindah ke jakarfta, disebut Panitia Agraria Jakarta, maka Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia baru yang bebrkedudukan di Jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Sarimini Reksodihardjo.
Tetapi karena pada tahun 1953 beliau dianggkat menjadi Gubrnur Nusa Tenggara Barat (NTB), maka kedudukan beliau di gannti oleh Singgih Praptdihardjo. Dalam laporannya kepada pemerintah mengenai tanah pertanian, Panitia ini mengusulkan:
(1). Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar
(2). Menentuukan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu kelarga
(3) Yang dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan hukum tidak diperkenankan.
3. Panitia Soewahjo
Karena panitia Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikann penysunan rancangan UUPA Nasional dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk apanitaia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahajo Sumudilogo. Panitia ini berkedudukan di Jakarta. Dalam waktu satu tahun, tepatnya tanggal 1 januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan rancangan UUPA. Karena tugasnya telah selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia ini dibubarkan.
4. Rancangan Soenarjo
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa Pasal, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ke Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR mintah kepada Universitas Gajhah Mada Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya mengenai rancangan UUPA. Setelah menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada, dibentuklah Panitia Kerja ((Ad Hoc) yang terdiri dari :
Ketua merangkap anggota : A. M. Tambunan
Wakil Ketua Merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota : Notosoekardjo,
Dr. Sahar glr Sutan Besar,
K.H. Muslich, Soepeno Hadisiwojo,
I. J. Kasimo.
Selain dari Universitas Gajhah Mada, bahan-bahan diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI ayang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
5. Rancangan Sadjarwo
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan terbut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuiakan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gajhah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo berserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada ayang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo.
Setelah selesai penyesuaian dengan UUD 1945 dan penyempurnaannaya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 september 1960 rancangan UUPA disetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria dan disingkat UUPA.
6. Peraturan Lama yang Dicabut UUPA
Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi pencabutan beberapa peraturan hukum agraria lama, baik secara tegas maupun secara diam-diam.
a. Pencabutan Secara Tegas
Pencabutan secara tegas meliputi peraturan hukum agraria berikut ini :
1. Agrarisch Wet, Staatsblad No. 55 Tahun 1870.
2. Domeinverklaring, Staatsblad No. 118 Tahun 1870.
3. Agrarisch Eigendom, Staatsblad No. 117 Tahun 1872.
4. Buku II BW sebanyak 330 Pasal, kecuali pasal mengenai hypotheek dan staatsblad mengenai credietverband. Dengan diundangkannya UU. No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi.
b. Pencabutan Secara Diam-diam
Pencabutan secara diam-diam meliputi ketentuan-ketentuan Buku III BW tentang perjanjian dan ketentuan-ketentuan Buku IV tentang pembuktian dan lampau waktu, kedua-dua sepanjang mengenai pengaturan hal-hal yang berkenan dengan agraria, dinyatakan tidak berlaku lagi walaupun UUPA tidak mencabutnya secara tegas. Namun , pihak-pihak yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa tanah pada dasarnya masih dapat menggukan ketetuan pasal-pasal sewa-menyewa dalam BW, misalnya Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat sah perjanjian, Pasal 1338 BW tentang akibat hukum perjanjian sah (asa kebebasan berkontrak).
7. Sifat Nasional UUPA
Sebagai undang-undang nasional, UUPA mempunyai sifat nasional material dan sifat nasional formal. Sifat nasional material berkenan dengan substansi UUPA. Sedangkan sifat nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.
a. Sifat Nasional Material UUPA
Sifat nasional material menunjukan kepada substansi UUPA yang harus mengadung asas-asas berikut ini :
1. Berdasarkan hukum adat tanah
2. Sederhana
3. Menjamin kepastian hukum
4. tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria
5. Memungkinkan bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat berfungsi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
6. sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
7. Memenuhi keperluan rakyat Indonesia mengenai soal agraria
8. Merupakan penjelmaan niali-nilai Pancasila
9. Meruapakan pelaksanaan GBHN (dahulu) Dekrit Presiden.
10. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
b. Sifat Nasional Formal UUPA
Sifat nasional formal menunjukan kepada pembentukan UUPA yang memenuhi sifat-sifat berikut ini:
1. Dibuat oleh pembentukan Undang-undang Nasional Indonesia, yaitu DPRGR
2. Disusun dalam bahsa nasional Indonesia.
3. Dibentuk di Indonesia.
4. Bersumber pada UUD 1945.
5. Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Referensi:
Harsono, Boedi, (1999) Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan.
Boedi Harsono, (1997) Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1 Djambatan, Jakarta.
Nim : 07120010
SEJARAH CARA PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
A. Sejarah Pembentukan UUPA
Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan melalui lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo.
Secara garis besar dpat dijelaskan sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogyakarta
Usaha-usaha nyata untuk menyusun hukum agraria nasional yang akan menggantikan hukum agraria kolonial telah dimulai tiga tahun setelah Indonesia merdeka, yaitu tahun 1948 dengan membentuk Panitia Agraria Yogyakarta berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948.
Usul-usul yang diajukan oleh Panitia ini mengenai asas-asas yang akan dijadikan dasar hukum agraria baru adalah sebagai berikut:
(1) Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat.
(2) Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah.
(3) Mengadakan study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
(4) Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup layak, untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar.
(5) Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya, untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar.
(6) Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini.
(7) Mengadakan pendaftaran tanah milik.
2. Panitia Agraria Jakarta
Hingga tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat menyelesaika tugasnya karena terjadi perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke Negara Kesatuan RI. Setelah pjusat pemerintahan Yogyakarta pindah ke jakarfta, disebut Panitia Agraria Jakarta, maka Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia baru yang bebrkedudukan di Jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Sarimini Reksodihardjo.
Tetapi karena pada tahun 1953 beliau dianggkat menjadi Gubrnur Nusa Tenggara Barat (NTB), maka kedudukan beliau di gannti oleh Singgih Praptdihardjo. Dalam laporannya kepada pemerintah mengenai tanah pertanian, Panitia ini mengusulkan:
(1). Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar
(2). Menentuukan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu kelarga
(3) Yang dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan hukum tidak diperkenankan.
3. Panitia Soewahjo
Karena panitia Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikann penysunan rancangan UUPA Nasional dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk apanitaia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahajo Sumudilogo. Panitia ini berkedudukan di Jakarta. Dalam waktu satu tahun, tepatnya tanggal 1 januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan rancangan UUPA. Karena tugasnya telah selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia ini dibubarkan.
4. Rancangan Soenarjo
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa Pasal, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ke Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR mintah kepada Universitas Gajhah Mada Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya mengenai rancangan UUPA. Setelah menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada, dibentuklah Panitia Kerja ((Ad Hoc) yang terdiri dari :
Ketua merangkap anggota : A. M. Tambunan
Wakil Ketua Merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota : Notosoekardjo,
Dr. Sahar glr Sutan Besar,
K.H. Muslich, Soepeno Hadisiwojo,
I. J. Kasimo.
Selain dari Universitas Gajhah Mada, bahan-bahan diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI ayang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
5. Rancangan Sadjarwo
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan terbut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuiakan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gajhah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo berserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada ayang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo.
Setelah selesai penyesuaian dengan UUD 1945 dan penyempurnaannaya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 september 1960 rancangan UUPA disetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria dan disingkat UUPA.
6. Peraturan Lama yang Dicabut UUPA
Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi pencabutan beberapa peraturan hukum agraria lama, baik secara tegas maupun secara diam-diam.
a. Pencabutan Secara Tegas
Pencabutan secara tegas meliputi peraturan hukum agraria berikut ini :
1. Agrarisch Wet, Staatsblad No. 55 Tahun 1870.
2. Domeinverklaring, Staatsblad No. 118 Tahun 1870.
3. Agrarisch Eigendom, Staatsblad No. 117 Tahun 1872.
4. Buku II BW sebanyak 330 Pasal, kecuali pasal mengenai hypotheek dan staatsblad mengenai credietverband. Dengan diundangkannya UU. No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi.
b. Pencabutan Secara Diam-diam
Pencabutan secara diam-diam meliputi ketentuan-ketentuan Buku III BW tentang perjanjian dan ketentuan-ketentuan Buku IV tentang pembuktian dan lampau waktu, kedua-dua sepanjang mengenai pengaturan hal-hal yang berkenan dengan agraria, dinyatakan tidak berlaku lagi walaupun UUPA tidak mencabutnya secara tegas. Namun , pihak-pihak yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa tanah pada dasarnya masih dapat menggukan ketetuan pasal-pasal sewa-menyewa dalam BW, misalnya Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat sah perjanjian, Pasal 1338 BW tentang akibat hukum perjanjian sah (asa kebebasan berkontrak).
7. Sifat Nasional UUPA
Sebagai undang-undang nasional, UUPA mempunyai sifat nasional material dan sifat nasional formal. Sifat nasional material berkenan dengan substansi UUPA. Sedangkan sifat nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.
a. Sifat Nasional Material UUPA
Sifat nasional material menunjukan kepada substansi UUPA yang harus mengadung asas-asas berikut ini :
1. Berdasarkan hukum adat tanah
2. Sederhana
3. Menjamin kepastian hukum
4. tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria
5. Memungkinkan bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat berfungsi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
6. sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
7. Memenuhi keperluan rakyat Indonesia mengenai soal agraria
8. Merupakan penjelmaan niali-nilai Pancasila
9. Meruapakan pelaksanaan GBHN (dahulu) Dekrit Presiden.
10. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
b. Sifat Nasional Formal UUPA
Sifat nasional formal menunjukan kepada pembentukan UUPA yang memenuhi sifat-sifat berikut ini:
1. Dibuat oleh pembentukan Undang-undang Nasional Indonesia, yaitu DPRGR
2. Disusun dalam bahsa nasional Indonesia.
3. Dibentuk di Indonesia.
4. Bersumber pada UUD 1945.
5. Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Referensi:
Harsono, Boedi, (1999) Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan.
Boedi Harsono, (1997) Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1 Djambatan, Jakarta.
SISTEM PEMBERANTASAN DAN PENEGAKAN HUKUM TIPIKOR DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.
Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.
Kesadaran bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dimulai bersamaan pada kurun waktu lahirnya era reformasi. Kesadaran ini lahir karena korupsi terjadi secara meluas yang tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social ekonomi masyarakat secara luas. Sebagai extra ordinary crime, korupsi telah berkembang begitu canggih baik dari sisi pelakunya maupun modus operandinya, maka pemberantasan korupsi akan kurang memadai jika hanya dilakukan dengan cara-cara biasa, sehingga karenanya pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Meski upaya telah banyak dilakukan baik yang bersifat sistemik dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun yang pragmatis (Timtas Tipikor), korupsi di Indonesia belum juga mereda. Survey Transparansi International tentang Indeks Persepsi Korupsi masih menempatkan Indonesia sebagai Negara nomor dua terkorup di Asia, demikian juga paradigma koruptif dalam kehidupan sehari-hari juga belum mengalami banyak perubahan yang berarti.
Efek domino dari fenomena dan kenyataan faktual tersebut, khususnya dalam lingkup pencegahan tindak pidana korupsi adalah terwujudnya sikap stagnan dan ketidakjeraan baik pada pelaku delik (korupsi) maupun para pelaku baru lainnya dalam delik (korupsi). Kondisi ini membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan sangat lamban dan bahkan statis atau jalan di tempat.
Dengan kondisi tersebut, maka menjadi rasional dan wajar apabila setelah satu dekade berlalu dari sejak proses reformasi 1998, ternyata upaya pemberantasan atau setidaknya upaya meminimalisir tindak pidana korupsi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Upaya pemberantasan korupsi cenderung lebih ditonjolkan sebagai bentuk pencitraan politik penguasa, sehingga pola pengimplementasiannya tidak bersifat komprehensif dan radikal, serta cenderung tebang pilih dan parsial sekadar membentuk citra politik tersebut. Selebihnya dalam iklim di mana seolah-olah semua orang berkata dan bertindak atas naman demokrasi, maka jargon pemberantasan korupsi seolah ditempatkan hanya sebagai barang dagangan dalam konstruksi etalase janji manis pemberi kekuasaan, yang sontak raib seiring terpilihnya si pencari kekuasaan tersebut sebagai organ kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
3. Apa kebijakan strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Korupsi di Indonesia
Dua belas tahun setelah gerakan reformasi 1998 berlalu, tampaknya tuntutan dan harapan masyarakat terhadap terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak juga dapat terwujud, alih-alih mencegah dan memberantas korupsi justeru tindak pidana korupsi dilakukan oleh penyelenggara negara, anggota legislatif dan pihak swasta dengan modus dan cara-cara yang lebih sistemik dan melibatkan aparatur yang semestinya dipercaya melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi (mafia peradilan) –saat ini juga dikenali sebagai apa yang disebut dengan mafia kasus (Markus).
Masih banyaknya tindak pidana korupsi di Indonesia dapat kita lihat dari data Corruption Perception Index 2009 yang diluncurkan secara serentak di seluruh dunia oleh Transparency International yang menempatkan Indonesia dengan perolehan skor Corruption Perception Index 2009 adalah 2,8. Skor ini dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis negara. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih baik harus dipertanyakan. Ini sangat memprihatinkan apalagi bila skor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (9,2), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3).
Pada CPI 2008, Indonesia mendapat skor 2,6. Kenaikan sebesar 0,2 tersebut tidak perlu dilihat sebagai suatu prestasi yang harus dibangga-banggakan karena: (1) Skor 2,8 masih menempatkan Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan korup, (2) Perubahan skor 0,2 tidak terlalu signifikan.
Usaha KPK dalam pemberantasan korupsi relatif baik dibanding dengan institusi penegak hukum lain di Indonesia. KPK cukup konsisten dalam kerjanya, dan karenanya kepercayaan masyarakat kepada KPK semakin tinggi. Indikator yang bisa dilihat secara langsung terlihat dari besarnya dukungan masyarakat terhadap KPK dalam perkembangan terakhir konflik KPK dan Polri. Sementara itu, reformasi di Departemen Keuangan juga dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan pelaku bisnis, terutama di bidang pajak dan bea cukai.
Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy (PERC) menyatakan bahwa Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia, dan Singapura. Skor Indonesia 9,27 dalam skala 0-10, di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32.
Kondisi korupsi di Indonesia ini sangat memprihatinkan, terutama bila mengingat bahwa Indonesia dalam survei PERC dari tahun ke tahun tidak pernah beranjak dari posisi-posisi bawah. Artinya menurut PERC, Indonesia adalah negara terkorup di banding negara-negara lain yang disurvei.
Kesungguhan untuk Memberantas
Sudah begitu parahkah prilaku aparatur di negeri ini yang berkaitan dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), meminjam istilah Kwik Kian Gie, KKN adalah the roots of evil. KKN berawal dari keserakahan materi yang berkembang menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan kebendaan. Pikiran menjadi jungkir balik. Itulah sebabnya ada istilah corrupted mind. Dalam merumuskan kebijakan, terkadang perumusannya memang tidak menikmati uang korupsi, tetapi kebijakannya selalu bersifat koruptif dan menjadi legitimasi korupsi karena dibuat dari jiwa, cita-rasa, dan pikiran yang keseluruhannya sakit terlepas dari tingkat pendidikannya apa. Dalam membela kebijakanya, ilmu pengetahuan dipakai untuk berargumentasi seperti pokrol tanpa alur pikir yang jernih dan tanpa rasionalitas, tetapi mengemukakan dalil-dalil yang dipaksakan dengan kekuasaan.
Para pengamat, pejabat, birokrat, konglomerat dan rakyat bangsa Indonesia musti memberi tempat atas kebencian kita terhadap korupsi, lantaran kenyataan bahwa betapa kita hidup dalam tahapan sejarah, bekerja dan bergerak serta berpikir dalam kerangka sistem, penegakan hukum dan aparatur penegakan hukum yang masih diporak-porandakan oleh bahaya korupsi. Betapa korupsi sudah begitu mendarah daging dan membudaya dan skema pencegahan dan pemberantasannya pun belum menyebabkan terjadinya terapi kejut dan efek jera.
Lebih menyedihkan, ditengah kepungan bahaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang makin merajalela kita berjalan merayap dan melata tak berdaya. Lantas, kita dipaksa untuk tunduk dan pasrah menerima takdir seolah kita sebagai negara-bangsa (nation state) yang tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Padahal sesungguhnya kita sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) belum dengan sungguh-sungguh menganggap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai suatu bahaya maha dahsyat yang akan meruntuhkan eksistensi negara bangsa (nation state) Indonesia.
Bagaimana masa depan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi serta komitmen pemerintahan Yudhoyono dalam melanjutkan penegakan hukum dan mencapai target capaian pemberantasan korupsi di Indonesia pada tahun 2014 mencapai skor 5,0 berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International, tampaknya akan menemukan tantangan dan persoalan baru.
Masyarakat Indonesia menaruh harapan kepada KPK sebagai benteng terakhir pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga proses institusionalisasi kelembagaan KPK musti benar-benar menjadikan KPK sebagai institusi yang tidak dipergunakan sebagai alat “balas dendam politik” oleh kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi terhadap lawan-lawan politik. Indikasi tebang pilih, hanya menangani korupsi kelas teri sementara korupsi kelas kakap tak tersentuh dan menangani korupsi mantan-mantan pejabat atau orang-orang yang tidak lagi memiliki akses kekuasaan serta mengabaikan indikasi korupsi yang terjadi pada kekuasaan. Kasus indikasi korupsi di Bank Century misalnya adalah contoh paling aktual terhadap fenomena masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Bila situasi ini terus berlangsung, sungguh membahayakan bagai masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia bahkan membahayakan eksistensi Negara kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa kendala penegakan hukum
Dari perspektif penegakan hukum kendala pemberantasan korupsi dapat dilihat dari tiga factor dominant yang mempengaruhi tegak tidaknya hukum terhadap sang koruptor. Faktor pertama adalah factor penegak hukum, factor manusianya, di tengah maraknya tindakan represif melalui pengadilan (litigation) terhadap para koruptor masih ada saja penegak hukum yang justru memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi. Kasus penyidik KPK Sup, kasus Hakim perkara korupsi di Pengadilan Negari Jakarta selatan. Meski tak banyak jumlahnya, kasus ini merupakan indicator masih maraknya korupsi di lembaga-lembaga penegakan hukum.
Berkembangnya modus operandi korupsi utamanya di bidang “rekayasa keuangan” merupakan faktor kedua yang mempengaruhi penegakan hukum. Privatisasi tindakan criminal terjadi di bidang pasar modal, asuransi, serta melalui istrumen-instrumen keuangan lainnya yang bersifat keperdataan. Tidak sedikit perjanjian-perjanjian keperdataan membungkus tindakan koruptif.
Factor ketiga, Instrumen hukumnya. Meski baru beberapa bulan saja tepatnya sejak desember 2006 pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapuskan satu unsure tindak pidana korupsi, yaitu unsur melawan hukum materiil dianggap bertentangan dengan dengan konstitusi (UUD 45) karena adanya ketidak pastian hukum bagi Terdakwa dalam konteks “melanggar kepatutan, melanggar kesusialaan” yang disetiap ruang dan waktu akan berbeda penafsirannya. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi ini penuntutan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada perbuatan melawan hukum secara formal yaitu melanggar hukum positif peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian juga melalui putusannya No.012-016-019/PUU/IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 53 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang menjadi dasar keberadaan “Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi”. Ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (UUD 45) karena telah melanggar azas kesamaan didepan hukum dengan terjadinya dualisme pengadilan perkara korupsi dimana pengadilan khusus korupsi hanya menangani perkara yang diajukan oleh KPK, sedangkan perkara korupsi yang diajukan oleh Jaksa dilakukan pemeriksaannya melalui pengadilan negeri. Namun Mahkamah Konstitusi masih memberikan waktu tiga tahun (s/d tahun 2009) bagi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi untuk menyelesaikan tugasnya sampai terbentuk UU baru yang mewadahinya.
Korupsi, perspektif International
Tiga factor diatas masih akan mewarnai perjalanan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi. Sementara itu Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Conventions Against Corruption) telah ditandatangani oleh 133 negara termasuk Indonesia pada 9 Desember 2003 di Merida Mexico. Konvensi ini merupakan wujud kesadaran masyarakat international untuk berusaha mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-undang No. 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Conventions Against Corruption 2003.
Dalam konvensi tersebut disepakati empat Strategi Besar (Grand Strategy), yaitu: Pencegahan, Penindakan, Pengembalian Asset dan Kerjasama International. Konvensi PBB ini juga menetapkan peranan dan tanggung jawab yang seimbang antara Negara/Pemerintah dan pihak swasta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan menempatkan peranserta masyarakat sebagai partner kerja yang sama pentingnya dengan pemerintah dalam pencegahan korupsi. Beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan oleh Negara-negara anggota, sebagai berikut:
1. Menerapkan peraturan nasional tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan artisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakan hukum, pengelolaan urusan dan prasarana public yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sector public;
2. Membangun badan independent yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan anti korupsi yang diadopsi oleh Konvensi Anti Korupsi;
3. Melakukan perbaikan dalam system birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi;
4. Setiap anggota wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar prilaku yang mmengutamakan fungsi public yang lurus, terhormat dan berkinerja baik;
5. Membentuk sistim dan pengadaan barang dan jasa pemerintah, menejemen keuangan public dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, serta peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi;
6. Melakukan pencegahan korupsi disektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akunting dan pelaporan. Sekaligus melibatkan peranserta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi;
7. Negera peserta Konvensi Anti Korupsi harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan erlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerjasama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yuridiksi dalam penganan perkara korupsi, melakukan kerjasama international memberantas korupsitermasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, asset Recovery dsb.
Rekomendasi arah pemberantasan korupsi
Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi baik melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan maupun aktivitas penindakan melalui penegakkan hukum, dapatlah direkomendasikan beberapa langkah:
1. Memaksimalkan penegakaan hukum aturan tentang “Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara” (LHKPN) serta “aturan tentang gratifikasi” dalam rangka tindakan pengawasan dan prevensi terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat public utamanya para penegak hukum;
2. Meski sampai kini Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi masih berjalan, namun pada dasarnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terancam, karena batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi hanya sampai tiga tahun sejak diputuskan yaitu Desember 2009. Pengadilan TIPIKOR merupakan bagian dari penanganan tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa (extra ordinary), maka kehadiran Undang-undang yang menjadi dasar keberadaannya sangatlah signifikan untuk segera disahkan, karenanya direkomendassikan untuk sesegera mungkin pernyusunan, perumusan dan pengesahan Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar dari kehadiran Pengadilan TiPIKOR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia.
3. Dalam penyusunan undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi yang akan datang hendaknya ketentuan-ketentuan yang ada dapat mengakomodasi paradigma dan kecenderungan korupsi yang tidak hanya sebagai kejahatan yang bersifat nasional, regional, tetapi juga International, oleh karenanya semaksimal mungkin ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan dengan hasil Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), antara lain:
a. Pengaturan korupsi di bidang swasta; Hal ini didasarkan meruaknya beberapa kasus penyuapan pejabat public asing oleh pelaku sector swasta. Kolaborasi sector public dan sector swasta telah memperkuat eterlibatan swasta yang lebih dalam, sistematik dan meluas dalam tindak pidana korupsi;
b. Pengaturan system pengembalian asset; Dalam konteks pengembalian asset dapat dibedakan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Sistim pengembalian asset secara langsung dapat dilakukan dengan cara:
- Adanya pengurangan hukuman bagi Terdakwa yang mengakui kesalahannya sekaligus mengembalikan seluruh kerugian Negara;
- Penerapan ketentuan Pembuktian terbalik yang bersifat tidak terbatas (premium remedium);
B. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menurut Lawrence M.Friedman kalau kita ingin mengetahui soal penegakan hukum maka harus difahami benar soal sistem hukum yang dikemukakan terdapat tiga unsur, yaitu substansi, struktur dan kultur hukum. Saya akan membahas upaya pemberantasan korupsi melalui tiga pendekatan ini.
1. Substansi Hukum
Substansi hukum mencakup aturan-aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Memang luas makna hukum itu. Kalangan sarjana hukum sendiri masih belum tunggal kata soal apa makna hukum. Immanuel Kant: Jurists were still searching for a definition of law. Selain itu ada pula Herman Kantorowicz “a body of social rules prescribing external conduct and considered justicable…” Hukum dimaknai oleh The Macmilan Dictionary: The laws consist of body of rules that have been produced by legislation in Parliament (statute law), judicial decision (common law), and regulations made by the public service under the terms of Acts of Parliament. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti hukum sebagai: 1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; 2. undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu, 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim; vonis.
Bagaimana dengan aturan-aturan hukum di Indonesia menyangkut pemberantasan korupsi ini? Keberadaan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat penting. Bagaimana mungkin suatu tindak pidana dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengaturnya. Sejumlah peraturan per-undang-undang-an yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Apabila kita memperhatikan semata-mata pada aturan tertulis, maka sebenarnya telah cukup banyak peraturan tertulis yang dibuat dalam upaya penghapusan tindak pidana korupsi. Hanya saja mungkin pertanyaan lain diajukan, apakah aturan-aturan yang ada berlaku secara efektif?
2. Struktur Hukum
Struktur Hukum menurut Friedman dimaksudkan sebagai institusi-institusi penegakan hukum termasuk penegak hukumnya. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi baik institusi yang memang selama ini telah ada dalam sistem hukum Indonesia maupun terhadap lembaga yang dibentuk khusus bertujuan memberantas tindak pidana korupsi.
Sejak zaman kemerdekaan berbagai institusi hukum dibentuk khusus untuk memerangi korupsi. Diantaranya adalah tim pemberantasan korupsi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967. Memang diantara beberapa lembaga yang dibentuk yang paling dikenal dalam era sekarang adalah KPK (Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) yang dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
• koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
• melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
• melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
• mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
• menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
• melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
• meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap keberadaan KPK yang terbukti dengan banyaknya pengaduan yang diajukan kepada lembaga ini. Walaupun demikian tidak berarti masyarakat tidak beranggapan terdapat berbagai kekurangan terhadap lembaga ini. Beberapa kekurangan itu antara lain: sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Kritik lainnya, lembaga ini hanya ada di Jakarta yang diharapkan mampu menangani perkara-perkara korupsi yang terdapat diseluruh Indonesia. Selain itu, ada sebagian masyarakat yang beranggapan KPK bersikap diskriminatif dalam menangani perkara-perkara yang ada. Terakhir, masyarakat beranggapan KPK seringkali mengembalikan proses hukum tindak pidana korupsi kepada daerah. Kelemahan-kelemahan ini dapat sebagai penghambat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
3. Kultur Hukum
Kultur hukum dimaksudkan bagaimana cara berfikir dan cara bertindak baik dari aparat hukum ataupun dari masyarakat. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi adalah bagaimana kultur (hukum) aparat dalam menangani tindak pidana korupsi. Apakah aparat hukum sendiri telah menjadikan hukum sebagai kultur mereka atau hanya sebatas retorika yang tidak menemukan ending. Apabila aparat telah menjadikan hukum sebagai kultur, sebagai budaya, sebagai pedoman hidup mereka maka kita akan mendapatkan aparat hukum yang tidak bersifat kompromi terhadap para pelanggar hukum, termasuk didalamnya para koruptor. Sebaliknya, sulit sekali memberantas tindak pidana korupsi apabila aparat hukum merupakan bagian dari mata rantai yang telah sedemikian bermasalahnya.
Cara berfikir aparat juga sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya upaya kita memberantas tindak pidana korupsi. Aparat yang berfikir untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek hanya memperuncing permasalahan dan semakin menyuburkan korupsi. Hal ini dikarenakan patut diduga aparat itu akan bersedia melakukan kerjasama dengan para koruptor sepanjang mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Bagi aparat kelompok ini bahwa keuntungan materi pribadi merupakan target utama, tidak masalah apa konsekuensi bagi negara dalam jangka panjang.
Cara berfikir dan bertindak masyarakat juga memberikan kontribusi besar terhadap berhasil tidaknya upaya memberantas tindak pidana korupsi. Sepanjang masyarakat berfikir apapun yang mereka lakukan tidak memberikan pengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi maka selama itu pula peran masyarakat tidak dapat diharapkan. Artinya, cara fikir demikian melahirkan sikap apatis dalam penegakan hukum dan dipertahankannya praktek-praktek kolaborasi ditengah masyarakat yang melahirkan tindakan-tindakan yang korup. Tindakan-tindakan korup itu dimulai dari hal-hal sederhana sampai kepada persoalan-persoalan serius.
Cara berfikir dan cara bertindak dari aparat hukum dan masyarakat ini sangat menentukan corak pemberantasan tindak pidana korupsi suatu negara. Menjadi tugas tidak ringan adalah bagaimana merubah pola fikir aparat dan masyarakat agar terhindar dari pemikiran bahwa ketika mereka tidak berlaku korup, maka orang lain yang akan melakukannya. Artinya, ada suatu pola fikir bahwa korup itu merupakan hal biasa. Memang terjadi kesenjangan antara pola fikir dengan pola tindak dalam urusan korupsi ini. Hasil penelitian lembaga Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia bahwa masyarakat umumnya menentang adanya praktek korupsi. Mereka menganggap korupsi sebagai masalah sosial yang serius yang disamakan dengan ”penyakit yang harus diberantas.” Namun pada kenyataanya ketika ditanya apa yang akan mereka lakukan ketika menghadapi berbagai situasi korupsi yang kongkrit, mereka memandang ”korupsi sebagai sesuatu yang normal dan akan membayar.”
Pencegahan dan Penindakan Korupsi
Kita mungkin meyakini bahwa terhadap berbagai jenis penyakit, permasalahan adalah lebih baik melakukan pencegahan ketimbang harus melakukan pengobatan, apalagi kalau persoalan itu telah sedemikian parahnya. Demkian juga dengan persoalan tindak pidana korupsi ini.
Berbagai program dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan. Ada yang berpendapat bahwa paling utama adalah melakukan perbaikan terhadap moral para penyelenggara negara dan warga negara. Artinya, paling utama adalah para pelaku pemerintahan (orangnya). Apabila orangnya baik maka dipercaya kehidupan berbangsa dan bernegara ini dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, orang yang bermasalah akan menghasilkan sistem yang bermasalah pula. Jadi apapun orang yang tidak baik ini hanya akan menghasilkan masalah. Pada sisi lain ada yang berpendapat bahwa sistem yang baik sebagai syarat utama untuk melakukan upaya pencegahan. Artinya, harus ada lembaga yang tidak hanya berwibawa tetapi mampu melakukan tindakan tanpa diskriminasi dengan tujuan menimbulkan efek jera terhadap siapa saja yang berfikiran untuk melakukan hal yang sama.
Kalau demikian, mana yang lebih penting dimiliki sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi; orangnya dahulu yang harus baik ataukah sistem/lembaganya dulu yang harus baik? Pertanyaan ini akan baik kalau melahirkan perdebatan diantara kita.
C. Keadilan Dalam Pemberantasan Korupsi
Realitas penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia yang kerap menampilkan kesan tebang pilih dan juga parsial terbatas pada para pelaku delik dalam level kedudukan dan perbuatan yang sebenarnya hanya sebagai salah satu mata rantai kecil dalam lingkaran utuh kontruksi perbuatan sebagaimana limitasi delik yang sistemik, yang melibatkan aktor-aktor lainnya dalam level kedudukan dan perbuatan yang sesungguhnya memegang peranan yang lebih besar dalam keterwujudan delik tersebut, mau tidak mau berulang kali mengusik nurani keadilan kita sebagai sebuah bangsa.
Plato (427-347 SM) menggambarkan keadilan seperti pada jiwa manusia, dimana jiwa manusia terdiri dari 3 bagian, yaitu pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani (ephitumatikon), serta rasa baik dan jahat (thumoeindes). Jiwa itu teratur secara baik bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal itu terjadi bila perasaan dan nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Keadilan adalah terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa sesuai dengan wujudnya masing-masing.
Hans Kelsen menegaskan konsep keadilan secara jernih yang bebas dari nilai. Dengan pandangannya itu, Hans Kelsen mengambil jarak dari penafsiran keadilan yang menggunakan aneka macam legitimasi, baik politik maupun etika, yang tidak dapat melepaskan diri dari muatan teologis. Menurut Hans Kelsen, idealisme dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan adanya dualisme dalam norma keadilan, di mana yang satu adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen hanya mengakui satu macam keadilan yang lahir dari hukum positif yang ditetapkan oleh manusia berdasarkan norma dasar berlakunya hukum positif.
Dalam substansi yang secara garis besar linier dengan pemikiran Plato dan Hans Kelsen tersebut, dalam filsafat Islam ditegaskan bahwa Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan, dalam hal ini dapat kita cermati ketentuan dalam Al-Quran surah an-Nisaa’ ayat 58 sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan bila menetapkan putusan hukum antara manusia hendaklah kamu tetapkan dengan adil. Dengan itu Allah telah memberikan pengajaran dengan sebaik-baiknya kepadamu tentang pelaksanaan amanat dan keadilan hukum. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Selanjutnya dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat 135 juga dijumpai perintah kepada orang-orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan tanpa pandang bulu, memberikan kesaksian karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak dan kaum kerabatmu. JIka pihak tergugat itu dari kaum kerabat atau lainnya, kaya maupun miskin, maka Allah lebih mengutamakan keadilan dan kesaksian terhadap keduanya. Karena itu janganlah memperturutkan hawa nafsu hendak memperkosa keadilan. Dan jika kamu memutar lidah dalam memberikan kesaksian dan memutarbalikkan kenyataan atau menolak memberikan kesaksian, maka Allah tahu benar apa yang kamu lakukan.”
Masalah keadilan dan letak keadilan tersebutlah yang secara intens diperdebatkan dalam realitas penegakan hukum (pemberantasan) tindak pidana korupsi di Indonesia yang cenderung dipandang tebang pilih dan parsial tersebut. Klimaks dari perspektif penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang nir-keadilan tersebut seolah menjadi semakin nyata ketika perspektif umum dan awam dari masyarakat yang menilai penegakan hukum tersebut dalam arah dan esensi yang tebang pilih dan parsial an sich ternyata berbanding lurus dengan fakta-fakta (hukum) yang terungkap di persidangan yang kemudian secara integral terformulasikan dalam putusan pengadilan. Sebuah fakta sahih yang ternyata kemudian tidak kunjung mengarah juga pada terpenuhinya aspek keadilan secara komprehensif, yang sesungguhnya akan terealisasikan dengan utuh pada saat keseluruhan pelaku delik dalam sebuah konstruksi perbuatan yang notabene telah dikualifisir sebagai rumusan delik (korupsi) dalam putusan pengadilan terhadap “salah seorang pelaku” yang telah diajukan dan didakwa di muka persidangan tersebut juga ikut diseret dan diadili di muka persidangan.
D. Inovasi Normatif Hukum Acara
Tuntutan dari rasa keadilan untuk menyeret dan mengadili keseluruhan pelaku delik dalam sebuah konstruksi perbuatan yang notabene telah dikualifisir sebagai rumusan delik (korupsi) dalam putusan pengadilan terhadap “salah seorang pelaku” yang telah diajukan dan didakwa di muka persidangan pada hakekatnya merupakan bagian integral itu sendiri dan tuntutan atau ekspektasi sedemikian pada prinsipnya berangkat dari sebuah konsepsi yang sangat sederhana dan “wajar”, namun kemudian konsep pemikiran berbasis keadilan tersebut menjadi tidak sederhana, complicated (ruwet) dan seperti benang kusut dalam tataran praktiknya. Terlalu banyak faktor dan variabel yang kemudian mengaburkan konsepsi yang sebenarnya sangat sederhana tersebut. Hakikat “korupsi” sebagai delik yang umumnya menjadi domain perilaku kalangan penguasa (pejabat pelaksana kekuasaan), secara inheren turut menjadi salah satu faktor yang mengaburkan konsep penegakan hukum korupsi yang komprehensif tersebut, bagaimana tidak?, ketika sebuah delik korupsi diduga keras dilakukan secara sistematis oleh pejabat pemerintah daerah yang sangat patut diduga meliputi juga pejabat bupati atau walikota, sementara pejabat penyidiknya dalam hal ini adalah kapolres atau kajari yang notabene merupakan unsur muspida bersama-sama dengan pejabat bupati atau wali kota tersebut yang misalnya selama ini telah banyak menikmati fasilitas dari pejabat bupati atau wali kota tersebut, menjadi sangat rasional ketika pejabat penyidik tersebut beserta jajarannya menjadi “enggan” untuk menindaklanjuti keterlibatan pejabat bupati atau wali kota tersebut dalam konstruksi delik (korupsi), meskipun misalnya dugaan keterlibatan tersebut telah jelas tertuang dalam substansi pertimbangan putusan pengadilan atas “pelaku lainnya” yang dalam perspektif penulis telah cukup dapat ditempatkan sebagai sebuah bukti permulaan yang cukup untuk dimulainya penyidikan atas dugaan keterlibatan pejabat bupati atau wali kota tersebut.
Berbanding lurus dengan fakta adanya “keengganan” atau “rasa segan” para pejabat penyidik dalam tindak pidana korupsi untuk menyidik keterlibatan beberapa pihak lain (khususnya menyangkut “kolega-kolega”-nya, yaitu para pejabat eksekutif, semisal kepala daerah atau kepala dinas/kepala badan) selain dari satu atau beberapa orang pelaku delik yang sebelumnya telah dipersalahkan berdasarkan putusan pengadilan, yang notabene secara substansial menunjuk adanya keterlibatan pihak-pihak lainnya tersebut, maka dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia yang berbasis pada Undang-Undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), memang tidak dijumpai adanya ketentuan normatif yang bersifat imperatif, yang mampu mendorong (mewajibkan) pihak penyidik untuk menindaklanjuti fakta-fakta hukum keterlibatan pihak-pihak lain tersebut sebagaimana termaktub dalam substansi putusan pengadilan, untuk misalnya kemudian menjadi dasar dimulainya penyidikan atas pihak-pihak lain yang diduga keras terlibat dalam terwujudnya delik (korupsi) tersebut.
Pola kerja yang dimungkinkan dalam norma konvensional tersebut semata-mata digantungkan pada niat dan inisiatif pihak penyidik semata. Oleh karenanya acap kali dalam praktik hal tersebut kembali akan berbenturan dengan faktor-faktor dan variabel-variabel penghambat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, semisal “rasa enggan” dan “rasa segan” pejabat penyidik itu sendiri. Suatu kondisi yang kemudian diperparah dengan ketiadaan sanksi yang tegas bagi sikap “pasif” para pejabat penyidik tersebut.
Cermin penegakan hukum atas tindak pidana korupsi sebagaimana pola kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) tidak dapat digeneralisisr sebagai bentuk atau potret penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum, karena selain dikhususkan pada delik-delik (korupsi) dalam limitasi tertentu, kinerja KPK yang memang trengginas dan aktif menindaklanjuti temuan-temuan atau fakta-fakta yang terungkap di persidangan perkara korupsi yang sedang atau telah berlangsung di Pengadilan Tipikor ataupun atas dasar fakta-fakta keterlibatan pihak lain sebagaimana ditunjuk dalam substansi putusan pengadilan (Tipikor) tersebut juga baru mampu menjangkau kasus-kasus korupsi dalam lingkup nasional ataupun kasus-kasus di daerah yang menyedot perhatian pusat (perhatian di level nasional), sedangkan raja-raja kecil (baca: Koruptor-koruptor Kecil) di daerah yang semakin menjamur pasca keberlakuan otonomi daerah, sama sekali belum tersentuh dan dengan mudah mempermainkan perannya untuk semisal mengorbankan satu atau beberapa pihak dalam jajarannya sebagai tumbal penegakan hukum yang “memang” masih tebang pilih dan parsial di daerah-daerah tersebut.
Dalam kondisi yang demikian dan mengacu pada regulasi dalam UU PTPK, maka satu-satunya lembaga dan sarana untuk mendorong penegakan hukum yang komprehensif dalam korelasinya dengan keterwujudan keadilan komunal (keadilan komprehensif) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut adalah dibebankan pada peran aktif masyarakat dalam mekanisme pengawasan dan pelaporan adanya dugaan tindak pidana korupsi, yang kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 41 Ayat (2) UU PTPK dilengkapi dengan hak-hak seperti hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan hak-haknya sebagaimana diuraikan sebelumnya, dan dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun selanjutnya dengan secara partial menilai “kemampuan” masyarakat dalam mengajukan/menyertakan bukti-bukti yang relevan dan mempunyai kekuatan pembuktian atas pelaporan adanya dugaan terjadinya delik (tindak pidana) korupsi tersebut yang tentunya secara intrinsik tidak begitu signifikan, maka apabila situasi alamiah tersebut berbenturan dengan sikap pasif dan keengganan penyidik dalam menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut, lagi-lagi sarana untuk mencapai terwujudnya penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif tersebut menjadi nir-hasil.
Dalam kenyataan faktual sedemikian, maka dalam konteks penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia, mungkin kita harus kembali mempertanyakan kebenaran konsepsi dan pendekatan Aristoteles tentang keadilan yang menegaskan bahwa “pergi kepada hakim (pengadilan) berarti pergi kepada keadilan yang hidup”, karena ternyata pengadilan di Indonesia tidak cukup mampu untuk mewujudkan keadilan ideal dalam penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni sebuah “keadilan komprehensif”, dimana keadilan sejatinya berupa keadaan yang seimbang, serasi dan selaras dalam struktur kemasyarakatan secara utuh, ternyata tidak tercipta dalam lingkup penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia. Sinyalemen bahwa para pelaku delik (korupsi) yang dijerat oleh hukum hanya terbatas pada aktor-aktor pelaku kelas menengah ke bawah dalam skenario “pengorbanan” atau dikorbankan” dan sama sekali tidak menyentuh aktor-aktor pelaku delik lainnya dalam kualitas perbuatan atau keterlibatan yang lebih tinggi, ternyata masih terasa begitu menggejala, bahkan sekalipun keterlibatan pelaku-pelaku delik lainnya tersebut telah secara terang dan gambang ditunjuk dalam substansi putusan pengadilan yang mengadili seorang atau beberapa orang pelaku delik.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka titik dan fokus kajian dalam tulisan ini adalah menyangkut pola-pola analisis yuridis-normatif dalam rangka menyusun dan memformulasikan rumusan ideal ketentuan normatif yang mampu memberdayakan putusan pengadilan yang secara substansial menguraikan atau menunjuk dugaan keterlibatan sebagian atau seluruh pihak-pihak lain di luar terdakwa, dalam rangka penegakan hukum atas delik (tindak pidana korupsi) tersebut secara utuh (komprehensif) dengan pola penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan tidak semata parsial, serta tentunya secara filosofis berbasis pada keadilan komunal (keadilan komprehensif). Pola analisis dan limitasi kajian mana juga akan mengerucut pada inovasi normatif dalam hukum acara yang secara simultan mampu menutup celah-celah keengganan para pejabat penyidik untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat-pejabat tertentu yang sangat mungkin merupakan kolega-kolega di lingkungan tata pemerintahan semisal lingkungan kemuspidaan. Dalam optimalisasi ke arah esensi-esensi tersebut, maka tentu saja inovasi normatif dalam substansi penelitian ini harus (dan akan) mengandung karakter imperatif dengan disertai norma sanksi yang tegas.
Substansi dasar tulisan ini sengaja berangkat dari persepsi hukum dalam putusan pengadilan dan tidak semata-mata beranjak dari perspektif masyarakat an sich atas dugaan keterlibatan satu atau beberapa pihak lainnya dalam sebuah konstruksi delik (korupsi) yang telah terbukti dan dipersalahkan kepada salah seorang atau beberapa orang lainnya. Hal ini adalah dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari analisis dan pembahasan yang tidak bedasar secara hukum dan agar pembahasan dalam substansi tulisan ini benar-benar mengerucut dengan sendirinya pada pola-pola analisis normatif (analisis hukum) yang mengesampingkan analisis-analisis berbasis asumsi, dalam esensi merumuskan beberapa formulasi normatif (formulasi hukum) sebagai jawaban dan sekaligus sebagai instrumen (hukum) yang mampu mewujudkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif sebagai bagian integral dari ketercapaian keadilan komunal (keadilan komprehensif) dalam pemberantasan korupsi secara utuh.
Dari proses identifikasi yang mengindikasikan adanya celah kelemahan normatif dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, khususnya dalam lingkup dan esensi mewujudkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif, radikal (mengakar) dan berkeadilan tersebut, maka dalam konteks tulisan ini penulis mengajukan solusi normatif yang bersifat praktis untuk menutup celah kelemahan normatif tersebut. Dalam hal eksistensialitas putusan pengadilan yang secara substansial mengandung pertimbangan yang mengarah dan/atau menunjuk pada adanya (dugaan) keterlibatan pihak lain dalam kualitas “penyerta”, “pembantu” atau “penganjur” (orang yang menyuruh melakukan sebagai pelaku delik dalam konstruksi delik utuh yang dipersalahkan kepada terdakwa, maka penulis menilai diperlukan adanya ketentuan normatif yang secara tegas mengatur keharusan penindaklanjutan hal tersebut, yaitu dalam arti penyidikan terhadap pihak-pihak lain selain terdakwa yang diduga keras terlibat dalam konstruksi delik dalam dakwaan terkait.
Setidaknya ada dua formulasi alternatif yang memungkinkan keterwujudan konsepsi normative sebagai solusi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang komprehensif tersebut, yaitu melalui pemberian kewenangan secara normatif kepada hakim atau majelis hakim pemeriksa perkara atau ketua pengadilan negeri dimana perkara diperiksa untuk memerintahkan penyidik melalui penuntut umum agar menindaklanjuti dan memulai penyidikan atas dugaan keterlibatan pihak lain selain terdakwa dalam konstruksi delik yang didakwakan kepada terdakwa di persidangan dan/atau melalui pemberlakuan ketentuan normatif yang “mewajibkan” atau mengatur keharusan dan norma imperatif bagi penyidik untuk menindaklanjuti dan memulai penyidikan atas pihak-pihak lain yang diduga keras terlibat mewujudkan delik (korupsi) sebagaimana yang telah didakwakan dan/atau dipersalahkan kepada terdakwa di muka persidangan. Dan sekalipun kemudian penyidik menilai tidak terdapat cukup bukti untuk meneruskan penyidikan perkara dugaan keterlibatan pihak lain tersebut dalam delik (korupsi) sehingga “penyidikan” harus dihentikan, maka tentunya dalam konteks formil penghentian penyidikan tersebut, penyidik harus menyertakan alasan-alasan yuridis dalam penghentian penyidikan, alasan-alasan mana kemudian akan secara langsung terawasi oleh publik, karena sebagai “penyidikan” yang mengacu atau merupakan tindak lanjut dari putusan pengadilan, ”penyidikan” tersebut akan benar-benar berada dalam domain publik (pengawasan publik). Pun demikian selanjutnya dalam level penuntutan, dimana jajaran penegak hukum dalam level penuntutan tidak akan gegabah menghentikan penuntutan perkara terkait tanpa alasan-alasan yuridis yang jelas dan rasional. Dan pada akhirnya demikian pula pada level peradilan atas perkara dugaan keterlibatan “pihak lain” tersebut dalam konstruksi delik (korupsi), dengan dakwaan yang berbasis pada bukti-bukti yang diperoleh dalam tahapan penyidikan, termasuk putusan Pengadilan yang menjadi dasar acuan dimulainya penyidikan tersebut, maka dengan tentunya juga mempertimbangkan seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan, tingkat probabilitas keterbuktian keterlibatan pihak lain tersebut sebagai pelaku delik (korupsi) dalam substansi putusan Pengadilan sebagai produk akhir mekanisme peradilan akan lebih tinggi disbanding dengan probabilitas ketidakterbuktiannya (vrijspraak atau onslag van alle rechts vervolging). Sehingga oleh karenanya Penulis meyakini bahwasannya dengan formulasi normative sedemikian, akan timbul aspek “pendorong” dan bahkan “pemaksa” (dalam konteks positif) bagi seluruh aparatur penegak hukum dalam lingkup “penyidikan”, “penuntutan” maupun “peradilan” untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara optimal dan professional, khususnya dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Sinergi penegakan hukum sedemikian yang akan mampu mewujudkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif (menyeluruh dan terintegral), radikal (mengakar yaitu dari pelaku lapangan dalam level jabatan terendah hingga pelaku intelektual dalam jabatan-jabatan yang tinggi) dan berbasis pada keadilan komunal. Dengan formulasi normatif sedemikian, maka diyakini tidak akan ada lagi “keengganan” penyidik dan “standar ganda” dalam proses penyidikan atau penuntutan, serta tidak akan ada lagi putusan pengadilan yang membebaskan pelaku delik korupsi hanya karena proses penyidikan yang salah arah, tidak serius sehingga penyusunan bukti (alat bukti) tidak mencukupi atau hanya karena dakwaan yang keliru, terlepas dari “motivasi” apa yang ada pada pejabat dalam level penyidikan, penuntutan dan bahkan peradilan itu sendiri.
Berbanding lurus dan sebagai sebuah konsekuensi logis dari telah adanya aspek penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif (menyeluruh dan terintegral), radikal (mengakar, yaitu dari pelaku lapangan dalam level jabatan terendah hingga pelaku intelektual dalam jabatan-jabatan yang tinggi) dan berbasis pada keadilan komunal tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwasannya akan timbul efek takut dan jera yang signifikan kepada pelaku delik (korupsi) tersebut ataupun kepada orang/pihak lain yang memiliki jabatan, sarana dan kesempatan untuk dapat mewujudkan delik (korupsi) tersebut, sehingga pelaku delik (korupsi) tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, dan demikian juga orang/pihak lain yang memiliki jabatan, sarana dan kesempatan untuk dapat mewujudkan delik (korupsi) tersebut tidak akan “berani” untuk melakukan (mewujudkan) delik (korupsi) tersebut. Sehingga artinya, dalam titik pencapaian sedemikian, maka pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi telah berjalan secara holistik dan berkesinambungan dan tidak berlebihan kiranya apabila kita kembali memiliki ekspektasi yang tinggi atas ”terhapuskannya” atau setidaknya “terminimalisirnya” tindak pidana korupsi di bumi pertiwi.
E. Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Tindak Pidana Korupsi
Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik hukum pada umumnya. Menurut Sudarto, politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, (2) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Menurut Marc, politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Mulder, berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek) ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu: (1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam pengertian yang praktis, politik hukum pidana (politik kriminal) adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum pidana) juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang bersifat integral, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, yaitu: (1) perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal dan non penal, (2) perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi khususnya sanksi pidana.
Mencermati fakta aktual yang terjadi dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang terjadi dalam berbagai departemen dan instansi maupun lembaga negara baik kasus-kasus nasional maupun di daerah-daerah dengan berbagai modus operandi belum menunjukkan hasil yang optimal, bahkan terkesan masih terjadi diskriminatif perlakuan aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan, penahanan, penuntutan sampai dengan lahirnya putusan pengadilan yang sangat kontroversial, yang kesemuanya menambah daftar kelabu dan kekecewaan masyarakat dan semakin kaburnya cita-cita penegakan hukum yang berkeadilan serta bermartabat.
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih disempurnakan lagi bukan merupakan jaminan optimalnya penegakan hukum tindak pidana korupsi, sekalipun harus diakui bahwa secara normatif substansi undang-undang tersebut telah banyak mengalami kemajuan dengan berbagai karakteristik sebagai tindak pidana khusus yang tidak diatur dalam KUH Pidana.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dengan berbagai kewenangan yang sangat luas serta terbentuknya Tastipikor juga belum banyak bisa berbuat sekalipun harus diakui bahwa munculnya kasus Abdullah Puteh dan terbongkarnya kasus KPU serta kasus pengelolaan Dana Haji yang melibatkan orang-orang yang selama ini tidak diragukan integritasnya dan merupakan putra terbaik bangsa ini adalah merupakan gebrakan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, akan tetapi jumlah kasus korupsi yang terjadi dibandingkan dengan yang diselesaikan masih sangat jauh dari harapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, apalagi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut.
Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk perundang-undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi pidana dengan sanksi denda.
F. Kebijakan Strategis Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Masyarakat Tranparansi Internasional dalam indeknya telah menggolongkan negara Indonesia termasuk sepuluh besar negara terkorup di dunia, tanpa ingin mempermasalahkan bagaimana indek tersebut dibuat, Pemerintah Indonesia telah merespon indek tersebut dengan berbagai kebijakan. Namun setelah beberapa tahun Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, ternyata praktek korupsi di tengah-tengah masyarakat semakin banyak, hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya perkara korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Kebijakan pemerintah seolah-olah berpacu dengan praktek korupsi dengan modus-modus yang juga semakin canggih.
Korupsi yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat baik dalam instansi sosial, politik, ekonomi budaya, hankam maupun dalam institusi aparat penegak hukum, telah dilakukan upaya penanggulangannya oleh pemerintah melalui upaya penegakan hukum. Korupsi sudah ada sejak zaman dahulu kala yang merupakan fenomena universal dan merupakan tindak pidana tertua. Sehingga penanganannya perlu dilakukan secara extraordinary. Dalam penegakan hukumnya, pemerintah juga harus tetap mejaga dan menghormati hak-hak asasi manusia guna tetap menjaga nilai keadilan sebagai tujuan dari penegakan hukum itu sendiri.
Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Korupsi
Saat ini, korupsi menjadi permasalahan serius bangsa ini, karena korupsi di Indonesia sudah merambah keseluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Pemerintah memandang masalah korupsi ini sebagai suatu penyakit yang membahayakan perekonomian dan kerberlangsungan suatu negara, oleh karenanya pemerintah dalam sejarah telah mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan hukum (baca= politik hukum). Kebijakan hukum tersebut ialah :
- Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Pemberantasan Korupsi;
- Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, Pidana dan Pemilikan Harta Benda.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi Undang-Undang dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961,
- Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
- Intruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
- Undang-Undang RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC);
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Kerjasama di Bidang Hukum dan Pidana, sebagai payung hukum untuk melakukan MLA in criminality terhadap negara tetangga guna mengoptimalkan penanganan korupsi.
Apabila mencermati ketentuan-ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang dapat digaris bawahi :
a. Semakin banyak jenis perbuatan yang dikriminalisasi menjadi Tindak Pidana Korupsi;
b. Ancaman pidana yang diancamkan semakin berat;
c. Instansi yang berwenang untuk menangani tindak pidana korupsi bertambah.
Kebijakan hukum tersebut tentu saja dimaksudkan untuk menekan praktek-praktek korupsi.
Upaya mengektifkan penegakan hukum, pemerintah telah membuat badan pekerja/komisi yang bertujuan untuk memproses dan mengadili tindak pidana korupsi, antara lain:
- Tim Pemberantaan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 diketuai Jaksa Agung Sugiharto.
- Komisi 4 pada tahun 1970 diketuai Wilopo. Operasi Penertiban (Inpres No. 9 Tahun 1977) beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib dan Jaksa Agung dibantu pejabat di daerah dan Kapolri.
- Tim Pemberantasan Korupsi (tahun 1982) diketuai MA Mudjono.
- Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PP No. 19 Tahun 2000) diketuai Adi Handoyo.
- Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir.
- Pembentukan Timtas Tipikor berdasarkan Keppres No.11/2005 dengan JAMPIDSUS sebagai Ketua yang saat itu dijabat oleh Hendarman Supandji selama dua tahun, dengan anggota terdiri dari Kejaksaan, Kepolisian dan BPKP.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
- Komisi-komisi tersebut kesemuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan/penanganan korupsi.
Namun kebijakan dalam penanganan korupsi dengan hanya melalui pendekatan hukum pidana/penindakan (represif) tidak cukup dan hasilnya tidak maksimal, karena penindakan secara hukum pidana sebagai ultimum remidium hanya bersifat simptomatik, dimana pendekatan seperti ini tidak dapat menyentuh dasar penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi. Oleh karenanya selain dengan pendekatan represif diperlukan pendekatan preventif melalui berbagai kegiatan diantaranya penyuluhan hukum, pendidikan, penanaman moral/etika, kegiatan keagamaan dan peningkatan rasa kebangsaan, sehingga diharapkan akan tumbuh budaya anti korupsi yang membentuk perilaku anti korupsi. Dengan demikian upaya penanganan korupsi seharusnya bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, atau instansi tertentu saja tetapi menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa termasuk partai politik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang disandarkan pada pola dan kerangka normatif yang ada saat ini, efektivitas keberlakuannya masih sangat digantungkan pada iktikad baik dan “niat lurus” penegak hukum serta partisipasi penuh masyarakat an sich, dimana dengan secara umum mencermati kondisi penegak hukum di Indonesia saat ini dengan segenap faktor yang melatarbelakanginya yang notabene masih berada dalam titik terendah penegakan hukum, menjadi sangat logis ketika realitas yang mengemuka adalah sebuah fenomena penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang hanya memilih (tebang pilih) dan parsial, tidak mampu menjangkau keseluruhan pelaku delik dalam setiap delik (korupsi) yang terbentuk, sehingga “pemberantasan korupsi” hanya akan selalu menjadi pemanis dagangan politik di negeri ini dan tak akan pernah samapi pada substansi dasarnya, yakni terwujudnya keadilan dalam penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif dan mengakar.
Berpijak pada prinsip dasar bahwasanya tidak ada manusia yang sempurna. Dan begitu pula dengan adanya terhadap masing-masing organ/ pihak dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidanan korupsi, maka jika dapat dirumuskan ketentuan normatif yang secara imperatif mampu mewajibkan pihak penyidik untuk menindak lanjuti temuan fakta dalam persidangan sebuah perkara korupsi yang kemudian terformulasikan dalam substansi putusan perkara terkait, yang secara substansial mengindikasikan adanya keterlibatan pihak-pihak lainnya dalam konstruksi delik yang terwujud sebagai materi pokok dalam perkara tersebut, niscaya hal tersebut akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang komprehensif atas tindak pidana korupsi, karena dengan sifat imperatif dari ketentuan normatif tersebut, secara inheren hal tersebut akan mengikis “keengganan” ataupun “indikasi permainan” dalam level penyidikan atas proses penegakan hukum (penyidikan) yang (seharusnya) menjangkau seluruh pelaku delik yang terlibat. Selain itu ketentuan normatif yang sedemikian juga akan menjadi salah satu instrumen kontrol horizontal dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, karena dengan ketentuan tersebut secara otomatis akan mendorong terwujudnya fungsi koreksi dan fungsi saling melengkapi antara masing-masing penegak hukum dalam level penyidikan, penuntutan dan peradilan dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan menjangkau seluruh pelaku delik (korupsi) yang terlibat. Sebuah kontrol penegakan hukum yang sungguh dapat menjadi alternatif yang sangat prospektif di tengah ketidakberdayaan lembaga praperadilan sebagai satu-satunya mekanisme dan otoritas tunggal dalam penegakan kontrol horizontal di bidang penegakan hukum sebagaimana ketentuan normatif hukum positif di Indonesia saat ini.
Pada dasarnya kita melihat niat baik dari pemerintah untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Selain itu dibentuk beberapa lembaga yang diyakini dapat menindak para pelaku tindak pidana korupsi. Dalam beberapa hal, lembaga serupa KPK telah menunjukkan wibawa mereka walaupun dengan berbagai keterbatasan dan kritik dari masyarakat.
Namun demikian, ternyata niat baik dari pemerintah saja tidak cukup. Alasannya karena niat baik pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi itu berhadapan dengan faktor-faktor lain. Jika kita sepakat dengan Friedman, maka niat baik pemerintah itu berhadap dengan tiga faktor lain yaitu: aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, institusi dan aparat penegak hukum, serta kultur hukum baik yang ada pada masyarakat dan juga aparat.
Mungkin inilah jawabannya, mengapa korupsi begitu sulit diberangus dinegeri ini. Pemerintah telah menghasilkan begitu banyak peraturan ternyata tidak efektif dalam tataran implementasinya. Pemerintah membentuk berbagai lembaga untuk memberantas korupsi ternyata dihadapkan pada kenyataan dimana aparatnya merupakan bagian dari mata rantai korupsi yang keji. Rumitnya lagi, setelah kita memiliki tatanan hukum yang baik disertai kelembagaan yang banyak harus pula behadapan dengan kultur; cara berfikir dan cara bertindak masyarakat. Terbayang jadinya tugas berat dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana korupsi. Namun seberapapun beratnya tugas itu, ia harus dilakukan. Kalau kita ingin mendapatkan Indonesia yang lebih baik, tidak lagi krisis apalagi kritis.
Apa yang tertuang dalam makalah ini adalah sesuatu yang bersifat idealis yang didasarkan atas analisis pemikiran dan pengamatan empiris melalui perkembangan yang terjadi. Dengan keterbatasan waktu penulis menyadari pembahasannya tidak akan mungkin tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya bisa menjadi bahan diskusi yang menarik untuk lebih dikembangkan dalam forum yang lain.
B. Saran
Kepastian hukum dan keadilan harus dijalankan secara bersama-sama. Untuk menyeimbangkan keadilan dan kepastian hukum diperlukan aparat yang profesional. Aparat penegak hukum harus menjamin kepastian hukum atas suatu proses hukum, artinya aparat penegak hukum harus menentukan langkah hukum secara pasti.
Korupsi merupakan musuh bangsa, sehingga penanganannya harus dijadikan prioritas oleh seluruh komponen bangsa melalui penegakan hukum baik secara mikro melalui instrumen hukum pidana juga penegakan hukum secara makro melalui perbaikan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum masyarakat. Pemerintah dalam melakukan penanganan korupsi harus terus melakukan langkah-langkah yang efektif dan menyeluruh.
Upaya penanggulangan korupsi korupsi tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
MAKALAH
HUKUM PIDANA KHUSUS
{SISTEM PEMBERANTASAN DAN PENEGAKAN
HUKUM TIPIKOR DI INDONESIA}
Oleh :
Humaira ( 07400275)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
2010
DAFTAR PUSTAKA
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.
M. Hamdan, 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1999. Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI, Suatu Reorientasi Atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sudarto, 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.
______, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dikeluarkan oleh Badan Pe-nyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976.
Hendarman Supandji, Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya, Semarang ; B adan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009.
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta Bandung.
Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana. Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
______, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
______, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
______, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.
Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.
Kesadaran bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dimulai bersamaan pada kurun waktu lahirnya era reformasi. Kesadaran ini lahir karena korupsi terjadi secara meluas yang tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social ekonomi masyarakat secara luas. Sebagai extra ordinary crime, korupsi telah berkembang begitu canggih baik dari sisi pelakunya maupun modus operandinya, maka pemberantasan korupsi akan kurang memadai jika hanya dilakukan dengan cara-cara biasa, sehingga karenanya pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Meski upaya telah banyak dilakukan baik yang bersifat sistemik dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, maupun yang pragmatis (Timtas Tipikor), korupsi di Indonesia belum juga mereda. Survey Transparansi International tentang Indeks Persepsi Korupsi masih menempatkan Indonesia sebagai Negara nomor dua terkorup di Asia, demikian juga paradigma koruptif dalam kehidupan sehari-hari juga belum mengalami banyak perubahan yang berarti.
Efek domino dari fenomena dan kenyataan faktual tersebut, khususnya dalam lingkup pencegahan tindak pidana korupsi adalah terwujudnya sikap stagnan dan ketidakjeraan baik pada pelaku delik (korupsi) maupun para pelaku baru lainnya dalam delik (korupsi). Kondisi ini membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan sangat lamban dan bahkan statis atau jalan di tempat.
Dengan kondisi tersebut, maka menjadi rasional dan wajar apabila setelah satu dekade berlalu dari sejak proses reformasi 1998, ternyata upaya pemberantasan atau setidaknya upaya meminimalisir tindak pidana korupsi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Upaya pemberantasan korupsi cenderung lebih ditonjolkan sebagai bentuk pencitraan politik penguasa, sehingga pola pengimplementasiannya tidak bersifat komprehensif dan radikal, serta cenderung tebang pilih dan parsial sekadar membentuk citra politik tersebut. Selebihnya dalam iklim di mana seolah-olah semua orang berkata dan bertindak atas naman demokrasi, maka jargon pemberantasan korupsi seolah ditempatkan hanya sebagai barang dagangan dalam konstruksi etalase janji manis pemberi kekuasaan, yang sontak raib seiring terpilihnya si pencari kekuasaan tersebut sebagai organ kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
3. Apa kebijakan strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Korupsi di Indonesia
Dua belas tahun setelah gerakan reformasi 1998 berlalu, tampaknya tuntutan dan harapan masyarakat terhadap terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak juga dapat terwujud, alih-alih mencegah dan memberantas korupsi justeru tindak pidana korupsi dilakukan oleh penyelenggara negara, anggota legislatif dan pihak swasta dengan modus dan cara-cara yang lebih sistemik dan melibatkan aparatur yang semestinya dipercaya melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi (mafia peradilan) –saat ini juga dikenali sebagai apa yang disebut dengan mafia kasus (Markus).
Masih banyaknya tindak pidana korupsi di Indonesia dapat kita lihat dari data Corruption Perception Index 2009 yang diluncurkan secara serentak di seluruh dunia oleh Transparency International yang menempatkan Indonesia dengan perolehan skor Corruption Perception Index 2009 adalah 2,8. Skor ini dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis negara. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih baik harus dipertanyakan. Ini sangat memprihatinkan apalagi bila skor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (9,2), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3).
Pada CPI 2008, Indonesia mendapat skor 2,6. Kenaikan sebesar 0,2 tersebut tidak perlu dilihat sebagai suatu prestasi yang harus dibangga-banggakan karena: (1) Skor 2,8 masih menempatkan Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan korup, (2) Perubahan skor 0,2 tidak terlalu signifikan.
Usaha KPK dalam pemberantasan korupsi relatif baik dibanding dengan institusi penegak hukum lain di Indonesia. KPK cukup konsisten dalam kerjanya, dan karenanya kepercayaan masyarakat kepada KPK semakin tinggi. Indikator yang bisa dilihat secara langsung terlihat dari besarnya dukungan masyarakat terhadap KPK dalam perkembangan terakhir konflik KPK dan Polri. Sementara itu, reformasi di Departemen Keuangan juga dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan pelaku bisnis, terutama di bidang pajak dan bea cukai.
Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy (PERC) menyatakan bahwa Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia, dan Singapura. Skor Indonesia 9,27 dalam skala 0-10, di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32.
Kondisi korupsi di Indonesia ini sangat memprihatinkan, terutama bila mengingat bahwa Indonesia dalam survei PERC dari tahun ke tahun tidak pernah beranjak dari posisi-posisi bawah. Artinya menurut PERC, Indonesia adalah negara terkorup di banding negara-negara lain yang disurvei.
Kesungguhan untuk Memberantas
Sudah begitu parahkah prilaku aparatur di negeri ini yang berkaitan dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), meminjam istilah Kwik Kian Gie, KKN adalah the roots of evil. KKN berawal dari keserakahan materi yang berkembang menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan kebendaan. Pikiran menjadi jungkir balik. Itulah sebabnya ada istilah corrupted mind. Dalam merumuskan kebijakan, terkadang perumusannya memang tidak menikmati uang korupsi, tetapi kebijakannya selalu bersifat koruptif dan menjadi legitimasi korupsi karena dibuat dari jiwa, cita-rasa, dan pikiran yang keseluruhannya sakit terlepas dari tingkat pendidikannya apa. Dalam membela kebijakanya, ilmu pengetahuan dipakai untuk berargumentasi seperti pokrol tanpa alur pikir yang jernih dan tanpa rasionalitas, tetapi mengemukakan dalil-dalil yang dipaksakan dengan kekuasaan.
Para pengamat, pejabat, birokrat, konglomerat dan rakyat bangsa Indonesia musti memberi tempat atas kebencian kita terhadap korupsi, lantaran kenyataan bahwa betapa kita hidup dalam tahapan sejarah, bekerja dan bergerak serta berpikir dalam kerangka sistem, penegakan hukum dan aparatur penegakan hukum yang masih diporak-porandakan oleh bahaya korupsi. Betapa korupsi sudah begitu mendarah daging dan membudaya dan skema pencegahan dan pemberantasannya pun belum menyebabkan terjadinya terapi kejut dan efek jera.
Lebih menyedihkan, ditengah kepungan bahaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang makin merajalela kita berjalan merayap dan melata tak berdaya. Lantas, kita dipaksa untuk tunduk dan pasrah menerima takdir seolah kita sebagai negara-bangsa (nation state) yang tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Padahal sesungguhnya kita sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) belum dengan sungguh-sungguh menganggap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai suatu bahaya maha dahsyat yang akan meruntuhkan eksistensi negara bangsa (nation state) Indonesia.
Bagaimana masa depan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi serta komitmen pemerintahan Yudhoyono dalam melanjutkan penegakan hukum dan mencapai target capaian pemberantasan korupsi di Indonesia pada tahun 2014 mencapai skor 5,0 berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International, tampaknya akan menemukan tantangan dan persoalan baru.
Masyarakat Indonesia menaruh harapan kepada KPK sebagai benteng terakhir pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga proses institusionalisasi kelembagaan KPK musti benar-benar menjadikan KPK sebagai institusi yang tidak dipergunakan sebagai alat “balas dendam politik” oleh kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi terhadap lawan-lawan politik. Indikasi tebang pilih, hanya menangani korupsi kelas teri sementara korupsi kelas kakap tak tersentuh dan menangani korupsi mantan-mantan pejabat atau orang-orang yang tidak lagi memiliki akses kekuasaan serta mengabaikan indikasi korupsi yang terjadi pada kekuasaan. Kasus indikasi korupsi di Bank Century misalnya adalah contoh paling aktual terhadap fenomena masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Bila situasi ini terus berlangsung, sungguh membahayakan bagai masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia bahkan membahayakan eksistensi Negara kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa kendala penegakan hukum
Dari perspektif penegakan hukum kendala pemberantasan korupsi dapat dilihat dari tiga factor dominant yang mempengaruhi tegak tidaknya hukum terhadap sang koruptor. Faktor pertama adalah factor penegak hukum, factor manusianya, di tengah maraknya tindakan represif melalui pengadilan (litigation) terhadap para koruptor masih ada saja penegak hukum yang justru memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi. Kasus penyidik KPK Sup, kasus Hakim perkara korupsi di Pengadilan Negari Jakarta selatan. Meski tak banyak jumlahnya, kasus ini merupakan indicator masih maraknya korupsi di lembaga-lembaga penegakan hukum.
Berkembangnya modus operandi korupsi utamanya di bidang “rekayasa keuangan” merupakan faktor kedua yang mempengaruhi penegakan hukum. Privatisasi tindakan criminal terjadi di bidang pasar modal, asuransi, serta melalui istrumen-instrumen keuangan lainnya yang bersifat keperdataan. Tidak sedikit perjanjian-perjanjian keperdataan membungkus tindakan koruptif.
Factor ketiga, Instrumen hukumnya. Meski baru beberapa bulan saja tepatnya sejak desember 2006 pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapuskan satu unsure tindak pidana korupsi, yaitu unsur melawan hukum materiil dianggap bertentangan dengan dengan konstitusi (UUD 45) karena adanya ketidak pastian hukum bagi Terdakwa dalam konteks “melanggar kepatutan, melanggar kesusialaan” yang disetiap ruang dan waktu akan berbeda penafsirannya. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi ini penuntutan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada perbuatan melawan hukum secara formal yaitu melanggar hukum positif peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian juga melalui putusannya No.012-016-019/PUU/IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 53 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang menjadi dasar keberadaan “Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi”. Ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (UUD 45) karena telah melanggar azas kesamaan didepan hukum dengan terjadinya dualisme pengadilan perkara korupsi dimana pengadilan khusus korupsi hanya menangani perkara yang diajukan oleh KPK, sedangkan perkara korupsi yang diajukan oleh Jaksa dilakukan pemeriksaannya melalui pengadilan negeri. Namun Mahkamah Konstitusi masih memberikan waktu tiga tahun (s/d tahun 2009) bagi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi untuk menyelesaikan tugasnya sampai terbentuk UU baru yang mewadahinya.
Korupsi, perspektif International
Tiga factor diatas masih akan mewarnai perjalanan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi. Sementara itu Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Conventions Against Corruption) telah ditandatangani oleh 133 negara termasuk Indonesia pada 9 Desember 2003 di Merida Mexico. Konvensi ini merupakan wujud kesadaran masyarakat international untuk berusaha mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-undang No. 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Conventions Against Corruption 2003.
Dalam konvensi tersebut disepakati empat Strategi Besar (Grand Strategy), yaitu: Pencegahan, Penindakan, Pengembalian Asset dan Kerjasama International. Konvensi PBB ini juga menetapkan peranan dan tanggung jawab yang seimbang antara Negara/Pemerintah dan pihak swasta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan menempatkan peranserta masyarakat sebagai partner kerja yang sama pentingnya dengan pemerintah dalam pencegahan korupsi. Beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan oleh Negara-negara anggota, sebagai berikut:
1. Menerapkan peraturan nasional tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan artisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakan hukum, pengelolaan urusan dan prasarana public yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sector public;
2. Membangun badan independent yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan anti korupsi yang diadopsi oleh Konvensi Anti Korupsi;
3. Melakukan perbaikan dalam system birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi;
4. Setiap anggota wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar prilaku yang mmengutamakan fungsi public yang lurus, terhormat dan berkinerja baik;
5. Membentuk sistim dan pengadaan barang dan jasa pemerintah, menejemen keuangan public dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, serta peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi;
6. Melakukan pencegahan korupsi disektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akunting dan pelaporan. Sekaligus melibatkan peranserta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi;
7. Negera peserta Konvensi Anti Korupsi harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan erlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerjasama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yuridiksi dalam penganan perkara korupsi, melakukan kerjasama international memberantas korupsitermasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, asset Recovery dsb.
Rekomendasi arah pemberantasan korupsi
Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi baik melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan maupun aktivitas penindakan melalui penegakkan hukum, dapatlah direkomendasikan beberapa langkah:
1. Memaksimalkan penegakaan hukum aturan tentang “Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara” (LHKPN) serta “aturan tentang gratifikasi” dalam rangka tindakan pengawasan dan prevensi terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat public utamanya para penegak hukum;
2. Meski sampai kini Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi masih berjalan, namun pada dasarnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terancam, karena batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi hanya sampai tiga tahun sejak diputuskan yaitu Desember 2009. Pengadilan TIPIKOR merupakan bagian dari penanganan tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa (extra ordinary), maka kehadiran Undang-undang yang menjadi dasar keberadaannya sangatlah signifikan untuk segera disahkan, karenanya direkomendassikan untuk sesegera mungkin pernyusunan, perumusan dan pengesahan Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar dari kehadiran Pengadilan TiPIKOR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia.
3. Dalam penyusunan undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi yang akan datang hendaknya ketentuan-ketentuan yang ada dapat mengakomodasi paradigma dan kecenderungan korupsi yang tidak hanya sebagai kejahatan yang bersifat nasional, regional, tetapi juga International, oleh karenanya semaksimal mungkin ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan dengan hasil Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), antara lain:
a. Pengaturan korupsi di bidang swasta; Hal ini didasarkan meruaknya beberapa kasus penyuapan pejabat public asing oleh pelaku sector swasta. Kolaborasi sector public dan sector swasta telah memperkuat eterlibatan swasta yang lebih dalam, sistematik dan meluas dalam tindak pidana korupsi;
b. Pengaturan system pengembalian asset; Dalam konteks pengembalian asset dapat dibedakan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Sistim pengembalian asset secara langsung dapat dilakukan dengan cara:
- Adanya pengurangan hukuman bagi Terdakwa yang mengakui kesalahannya sekaligus mengembalikan seluruh kerugian Negara;
- Penerapan ketentuan Pembuktian terbalik yang bersifat tidak terbatas (premium remedium);
B. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menurut Lawrence M.Friedman kalau kita ingin mengetahui soal penegakan hukum maka harus difahami benar soal sistem hukum yang dikemukakan terdapat tiga unsur, yaitu substansi, struktur dan kultur hukum. Saya akan membahas upaya pemberantasan korupsi melalui tiga pendekatan ini.
1. Substansi Hukum
Substansi hukum mencakup aturan-aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Memang luas makna hukum itu. Kalangan sarjana hukum sendiri masih belum tunggal kata soal apa makna hukum. Immanuel Kant: Jurists were still searching for a definition of law. Selain itu ada pula Herman Kantorowicz “a body of social rules prescribing external conduct and considered justicable…” Hukum dimaknai oleh The Macmilan Dictionary: The laws consist of body of rules that have been produced by legislation in Parliament (statute law), judicial decision (common law), and regulations made by the public service under the terms of Acts of Parliament. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti hukum sebagai: 1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; 2. undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu, 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim; vonis.
Bagaimana dengan aturan-aturan hukum di Indonesia menyangkut pemberantasan korupsi ini? Keberadaan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat penting. Bagaimana mungkin suatu tindak pidana dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengaturnya. Sejumlah peraturan per-undang-undang-an yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Apabila kita memperhatikan semata-mata pada aturan tertulis, maka sebenarnya telah cukup banyak peraturan tertulis yang dibuat dalam upaya penghapusan tindak pidana korupsi. Hanya saja mungkin pertanyaan lain diajukan, apakah aturan-aturan yang ada berlaku secara efektif?
2. Struktur Hukum
Struktur Hukum menurut Friedman dimaksudkan sebagai institusi-institusi penegakan hukum termasuk penegak hukumnya. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi baik institusi yang memang selama ini telah ada dalam sistem hukum Indonesia maupun terhadap lembaga yang dibentuk khusus bertujuan memberantas tindak pidana korupsi.
Sejak zaman kemerdekaan berbagai institusi hukum dibentuk khusus untuk memerangi korupsi. Diantaranya adalah tim pemberantasan korupsi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967. Memang diantara beberapa lembaga yang dibentuk yang paling dikenal dalam era sekarang adalah KPK (Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) yang dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
• koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
• melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
• melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
• mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
• menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
• meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
• melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
• meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap keberadaan KPK yang terbukti dengan banyaknya pengaduan yang diajukan kepada lembaga ini. Walaupun demikian tidak berarti masyarakat tidak beranggapan terdapat berbagai kekurangan terhadap lembaga ini. Beberapa kekurangan itu antara lain: sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Kritik lainnya, lembaga ini hanya ada di Jakarta yang diharapkan mampu menangani perkara-perkara korupsi yang terdapat diseluruh Indonesia. Selain itu, ada sebagian masyarakat yang beranggapan KPK bersikap diskriminatif dalam menangani perkara-perkara yang ada. Terakhir, masyarakat beranggapan KPK seringkali mengembalikan proses hukum tindak pidana korupsi kepada daerah. Kelemahan-kelemahan ini dapat sebagai penghambat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
3. Kultur Hukum
Kultur hukum dimaksudkan bagaimana cara berfikir dan cara bertindak baik dari aparat hukum ataupun dari masyarakat. Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi adalah bagaimana kultur (hukum) aparat dalam menangani tindak pidana korupsi. Apakah aparat hukum sendiri telah menjadikan hukum sebagai kultur mereka atau hanya sebatas retorika yang tidak menemukan ending. Apabila aparat telah menjadikan hukum sebagai kultur, sebagai budaya, sebagai pedoman hidup mereka maka kita akan mendapatkan aparat hukum yang tidak bersifat kompromi terhadap para pelanggar hukum, termasuk didalamnya para koruptor. Sebaliknya, sulit sekali memberantas tindak pidana korupsi apabila aparat hukum merupakan bagian dari mata rantai yang telah sedemikian bermasalahnya.
Cara berfikir aparat juga sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya upaya kita memberantas tindak pidana korupsi. Aparat yang berfikir untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek hanya memperuncing permasalahan dan semakin menyuburkan korupsi. Hal ini dikarenakan patut diduga aparat itu akan bersedia melakukan kerjasama dengan para koruptor sepanjang mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Bagi aparat kelompok ini bahwa keuntungan materi pribadi merupakan target utama, tidak masalah apa konsekuensi bagi negara dalam jangka panjang.
Cara berfikir dan bertindak masyarakat juga memberikan kontribusi besar terhadap berhasil tidaknya upaya memberantas tindak pidana korupsi. Sepanjang masyarakat berfikir apapun yang mereka lakukan tidak memberikan pengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi maka selama itu pula peran masyarakat tidak dapat diharapkan. Artinya, cara fikir demikian melahirkan sikap apatis dalam penegakan hukum dan dipertahankannya praktek-praktek kolaborasi ditengah masyarakat yang melahirkan tindakan-tindakan yang korup. Tindakan-tindakan korup itu dimulai dari hal-hal sederhana sampai kepada persoalan-persoalan serius.
Cara berfikir dan cara bertindak dari aparat hukum dan masyarakat ini sangat menentukan corak pemberantasan tindak pidana korupsi suatu negara. Menjadi tugas tidak ringan adalah bagaimana merubah pola fikir aparat dan masyarakat agar terhindar dari pemikiran bahwa ketika mereka tidak berlaku korup, maka orang lain yang akan melakukannya. Artinya, ada suatu pola fikir bahwa korup itu merupakan hal biasa. Memang terjadi kesenjangan antara pola fikir dengan pola tindak dalam urusan korupsi ini. Hasil penelitian lembaga Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia bahwa masyarakat umumnya menentang adanya praktek korupsi. Mereka menganggap korupsi sebagai masalah sosial yang serius yang disamakan dengan ”penyakit yang harus diberantas.” Namun pada kenyataanya ketika ditanya apa yang akan mereka lakukan ketika menghadapi berbagai situasi korupsi yang kongkrit, mereka memandang ”korupsi sebagai sesuatu yang normal dan akan membayar.”
Pencegahan dan Penindakan Korupsi
Kita mungkin meyakini bahwa terhadap berbagai jenis penyakit, permasalahan adalah lebih baik melakukan pencegahan ketimbang harus melakukan pengobatan, apalagi kalau persoalan itu telah sedemikian parahnya. Demkian juga dengan persoalan tindak pidana korupsi ini.
Berbagai program dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan. Ada yang berpendapat bahwa paling utama adalah melakukan perbaikan terhadap moral para penyelenggara negara dan warga negara. Artinya, paling utama adalah para pelaku pemerintahan (orangnya). Apabila orangnya baik maka dipercaya kehidupan berbangsa dan bernegara ini dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, orang yang bermasalah akan menghasilkan sistem yang bermasalah pula. Jadi apapun orang yang tidak baik ini hanya akan menghasilkan masalah. Pada sisi lain ada yang berpendapat bahwa sistem yang baik sebagai syarat utama untuk melakukan upaya pencegahan. Artinya, harus ada lembaga yang tidak hanya berwibawa tetapi mampu melakukan tindakan tanpa diskriminasi dengan tujuan menimbulkan efek jera terhadap siapa saja yang berfikiran untuk melakukan hal yang sama.
Kalau demikian, mana yang lebih penting dimiliki sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi; orangnya dahulu yang harus baik ataukah sistem/lembaganya dulu yang harus baik? Pertanyaan ini akan baik kalau melahirkan perdebatan diantara kita.
C. Keadilan Dalam Pemberantasan Korupsi
Realitas penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia yang kerap menampilkan kesan tebang pilih dan juga parsial terbatas pada para pelaku delik dalam level kedudukan dan perbuatan yang sebenarnya hanya sebagai salah satu mata rantai kecil dalam lingkaran utuh kontruksi perbuatan sebagaimana limitasi delik yang sistemik, yang melibatkan aktor-aktor lainnya dalam level kedudukan dan perbuatan yang sesungguhnya memegang peranan yang lebih besar dalam keterwujudan delik tersebut, mau tidak mau berulang kali mengusik nurani keadilan kita sebagai sebuah bangsa.
Plato (427-347 SM) menggambarkan keadilan seperti pada jiwa manusia, dimana jiwa manusia terdiri dari 3 bagian, yaitu pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani (ephitumatikon), serta rasa baik dan jahat (thumoeindes). Jiwa itu teratur secara baik bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal itu terjadi bila perasaan dan nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Keadilan adalah terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa sesuai dengan wujudnya masing-masing.
Hans Kelsen menegaskan konsep keadilan secara jernih yang bebas dari nilai. Dengan pandangannya itu, Hans Kelsen mengambil jarak dari penafsiran keadilan yang menggunakan aneka macam legitimasi, baik politik maupun etika, yang tidak dapat melepaskan diri dari muatan teologis. Menurut Hans Kelsen, idealisme dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan adanya dualisme dalam norma keadilan, di mana yang satu adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen hanya mengakui satu macam keadilan yang lahir dari hukum positif yang ditetapkan oleh manusia berdasarkan norma dasar berlakunya hukum positif.
Dalam substansi yang secara garis besar linier dengan pemikiran Plato dan Hans Kelsen tersebut, dalam filsafat Islam ditegaskan bahwa Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan, dalam hal ini dapat kita cermati ketentuan dalam Al-Quran surah an-Nisaa’ ayat 58 sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan bila menetapkan putusan hukum antara manusia hendaklah kamu tetapkan dengan adil. Dengan itu Allah telah memberikan pengajaran dengan sebaik-baiknya kepadamu tentang pelaksanaan amanat dan keadilan hukum. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Selanjutnya dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat 135 juga dijumpai perintah kepada orang-orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan tanpa pandang bulu, memberikan kesaksian karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak dan kaum kerabatmu. JIka pihak tergugat itu dari kaum kerabat atau lainnya, kaya maupun miskin, maka Allah lebih mengutamakan keadilan dan kesaksian terhadap keduanya. Karena itu janganlah memperturutkan hawa nafsu hendak memperkosa keadilan. Dan jika kamu memutar lidah dalam memberikan kesaksian dan memutarbalikkan kenyataan atau menolak memberikan kesaksian, maka Allah tahu benar apa yang kamu lakukan.”
Masalah keadilan dan letak keadilan tersebutlah yang secara intens diperdebatkan dalam realitas penegakan hukum (pemberantasan) tindak pidana korupsi di Indonesia yang cenderung dipandang tebang pilih dan parsial tersebut. Klimaks dari perspektif penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang nir-keadilan tersebut seolah menjadi semakin nyata ketika perspektif umum dan awam dari masyarakat yang menilai penegakan hukum tersebut dalam arah dan esensi yang tebang pilih dan parsial an sich ternyata berbanding lurus dengan fakta-fakta (hukum) yang terungkap di persidangan yang kemudian secara integral terformulasikan dalam putusan pengadilan. Sebuah fakta sahih yang ternyata kemudian tidak kunjung mengarah juga pada terpenuhinya aspek keadilan secara komprehensif, yang sesungguhnya akan terealisasikan dengan utuh pada saat keseluruhan pelaku delik dalam sebuah konstruksi perbuatan yang notabene telah dikualifisir sebagai rumusan delik (korupsi) dalam putusan pengadilan terhadap “salah seorang pelaku” yang telah diajukan dan didakwa di muka persidangan tersebut juga ikut diseret dan diadili di muka persidangan.
D. Inovasi Normatif Hukum Acara
Tuntutan dari rasa keadilan untuk menyeret dan mengadili keseluruhan pelaku delik dalam sebuah konstruksi perbuatan yang notabene telah dikualifisir sebagai rumusan delik (korupsi) dalam putusan pengadilan terhadap “salah seorang pelaku” yang telah diajukan dan didakwa di muka persidangan pada hakekatnya merupakan bagian integral itu sendiri dan tuntutan atau ekspektasi sedemikian pada prinsipnya berangkat dari sebuah konsepsi yang sangat sederhana dan “wajar”, namun kemudian konsep pemikiran berbasis keadilan tersebut menjadi tidak sederhana, complicated (ruwet) dan seperti benang kusut dalam tataran praktiknya. Terlalu banyak faktor dan variabel yang kemudian mengaburkan konsepsi yang sebenarnya sangat sederhana tersebut. Hakikat “korupsi” sebagai delik yang umumnya menjadi domain perilaku kalangan penguasa (pejabat pelaksana kekuasaan), secara inheren turut menjadi salah satu faktor yang mengaburkan konsep penegakan hukum korupsi yang komprehensif tersebut, bagaimana tidak?, ketika sebuah delik korupsi diduga keras dilakukan secara sistematis oleh pejabat pemerintah daerah yang sangat patut diduga meliputi juga pejabat bupati atau walikota, sementara pejabat penyidiknya dalam hal ini adalah kapolres atau kajari yang notabene merupakan unsur muspida bersama-sama dengan pejabat bupati atau wali kota tersebut yang misalnya selama ini telah banyak menikmati fasilitas dari pejabat bupati atau wali kota tersebut, menjadi sangat rasional ketika pejabat penyidik tersebut beserta jajarannya menjadi “enggan” untuk menindaklanjuti keterlibatan pejabat bupati atau wali kota tersebut dalam konstruksi delik (korupsi), meskipun misalnya dugaan keterlibatan tersebut telah jelas tertuang dalam substansi pertimbangan putusan pengadilan atas “pelaku lainnya” yang dalam perspektif penulis telah cukup dapat ditempatkan sebagai sebuah bukti permulaan yang cukup untuk dimulainya penyidikan atas dugaan keterlibatan pejabat bupati atau wali kota tersebut.
Berbanding lurus dengan fakta adanya “keengganan” atau “rasa segan” para pejabat penyidik dalam tindak pidana korupsi untuk menyidik keterlibatan beberapa pihak lain (khususnya menyangkut “kolega-kolega”-nya, yaitu para pejabat eksekutif, semisal kepala daerah atau kepala dinas/kepala badan) selain dari satu atau beberapa orang pelaku delik yang sebelumnya telah dipersalahkan berdasarkan putusan pengadilan, yang notabene secara substansial menunjuk adanya keterlibatan pihak-pihak lainnya tersebut, maka dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia yang berbasis pada Undang-Undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), memang tidak dijumpai adanya ketentuan normatif yang bersifat imperatif, yang mampu mendorong (mewajibkan) pihak penyidik untuk menindaklanjuti fakta-fakta hukum keterlibatan pihak-pihak lain tersebut sebagaimana termaktub dalam substansi putusan pengadilan, untuk misalnya kemudian menjadi dasar dimulainya penyidikan atas pihak-pihak lain yang diduga keras terlibat dalam terwujudnya delik (korupsi) tersebut.
Pola kerja yang dimungkinkan dalam norma konvensional tersebut semata-mata digantungkan pada niat dan inisiatif pihak penyidik semata. Oleh karenanya acap kali dalam praktik hal tersebut kembali akan berbenturan dengan faktor-faktor dan variabel-variabel penghambat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, semisal “rasa enggan” dan “rasa segan” pejabat penyidik itu sendiri. Suatu kondisi yang kemudian diperparah dengan ketiadaan sanksi yang tegas bagi sikap “pasif” para pejabat penyidik tersebut.
Cermin penegakan hukum atas tindak pidana korupsi sebagaimana pola kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) tidak dapat digeneralisisr sebagai bentuk atau potret penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum, karena selain dikhususkan pada delik-delik (korupsi) dalam limitasi tertentu, kinerja KPK yang memang trengginas dan aktif menindaklanjuti temuan-temuan atau fakta-fakta yang terungkap di persidangan perkara korupsi yang sedang atau telah berlangsung di Pengadilan Tipikor ataupun atas dasar fakta-fakta keterlibatan pihak lain sebagaimana ditunjuk dalam substansi putusan pengadilan (Tipikor) tersebut juga baru mampu menjangkau kasus-kasus korupsi dalam lingkup nasional ataupun kasus-kasus di daerah yang menyedot perhatian pusat (perhatian di level nasional), sedangkan raja-raja kecil (baca: Koruptor-koruptor Kecil) di daerah yang semakin menjamur pasca keberlakuan otonomi daerah, sama sekali belum tersentuh dan dengan mudah mempermainkan perannya untuk semisal mengorbankan satu atau beberapa pihak dalam jajarannya sebagai tumbal penegakan hukum yang “memang” masih tebang pilih dan parsial di daerah-daerah tersebut.
Dalam kondisi yang demikian dan mengacu pada regulasi dalam UU PTPK, maka satu-satunya lembaga dan sarana untuk mendorong penegakan hukum yang komprehensif dalam korelasinya dengan keterwujudan keadilan komunal (keadilan komprehensif) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut adalah dibebankan pada peran aktif masyarakat dalam mekanisme pengawasan dan pelaporan adanya dugaan tindak pidana korupsi, yang kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 41 Ayat (2) UU PTPK dilengkapi dengan hak-hak seperti hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan hak-haknya sebagaimana diuraikan sebelumnya, dan dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun selanjutnya dengan secara partial menilai “kemampuan” masyarakat dalam mengajukan/menyertakan bukti-bukti yang relevan dan mempunyai kekuatan pembuktian atas pelaporan adanya dugaan terjadinya delik (tindak pidana) korupsi tersebut yang tentunya secara intrinsik tidak begitu signifikan, maka apabila situasi alamiah tersebut berbenturan dengan sikap pasif dan keengganan penyidik dalam menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut, lagi-lagi sarana untuk mencapai terwujudnya penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif tersebut menjadi nir-hasil.
Dalam kenyataan faktual sedemikian, maka dalam konteks penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia, mungkin kita harus kembali mempertanyakan kebenaran konsepsi dan pendekatan Aristoteles tentang keadilan yang menegaskan bahwa “pergi kepada hakim (pengadilan) berarti pergi kepada keadilan yang hidup”, karena ternyata pengadilan di Indonesia tidak cukup mampu untuk mewujudkan keadilan ideal dalam penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni sebuah “keadilan komprehensif”, dimana keadilan sejatinya berupa keadaan yang seimbang, serasi dan selaras dalam struktur kemasyarakatan secara utuh, ternyata tidak tercipta dalam lingkup penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia. Sinyalemen bahwa para pelaku delik (korupsi) yang dijerat oleh hukum hanya terbatas pada aktor-aktor pelaku kelas menengah ke bawah dalam skenario “pengorbanan” atau dikorbankan” dan sama sekali tidak menyentuh aktor-aktor pelaku delik lainnya dalam kualitas perbuatan atau keterlibatan yang lebih tinggi, ternyata masih terasa begitu menggejala, bahkan sekalipun keterlibatan pelaku-pelaku delik lainnya tersebut telah secara terang dan gambang ditunjuk dalam substansi putusan pengadilan yang mengadili seorang atau beberapa orang pelaku delik.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka titik dan fokus kajian dalam tulisan ini adalah menyangkut pola-pola analisis yuridis-normatif dalam rangka menyusun dan memformulasikan rumusan ideal ketentuan normatif yang mampu memberdayakan putusan pengadilan yang secara substansial menguraikan atau menunjuk dugaan keterlibatan sebagian atau seluruh pihak-pihak lain di luar terdakwa, dalam rangka penegakan hukum atas delik (tindak pidana korupsi) tersebut secara utuh (komprehensif) dengan pola penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan tidak semata parsial, serta tentunya secara filosofis berbasis pada keadilan komunal (keadilan komprehensif). Pola analisis dan limitasi kajian mana juga akan mengerucut pada inovasi normatif dalam hukum acara yang secara simultan mampu menutup celah-celah keengganan para pejabat penyidik untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat-pejabat tertentu yang sangat mungkin merupakan kolega-kolega di lingkungan tata pemerintahan semisal lingkungan kemuspidaan. Dalam optimalisasi ke arah esensi-esensi tersebut, maka tentu saja inovasi normatif dalam substansi penelitian ini harus (dan akan) mengandung karakter imperatif dengan disertai norma sanksi yang tegas.
Substansi dasar tulisan ini sengaja berangkat dari persepsi hukum dalam putusan pengadilan dan tidak semata-mata beranjak dari perspektif masyarakat an sich atas dugaan keterlibatan satu atau beberapa pihak lainnya dalam sebuah konstruksi delik (korupsi) yang telah terbukti dan dipersalahkan kepada salah seorang atau beberapa orang lainnya. Hal ini adalah dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari analisis dan pembahasan yang tidak bedasar secara hukum dan agar pembahasan dalam substansi tulisan ini benar-benar mengerucut dengan sendirinya pada pola-pola analisis normatif (analisis hukum) yang mengesampingkan analisis-analisis berbasis asumsi, dalam esensi merumuskan beberapa formulasi normatif (formulasi hukum) sebagai jawaban dan sekaligus sebagai instrumen (hukum) yang mampu mewujudkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif sebagai bagian integral dari ketercapaian keadilan komunal (keadilan komprehensif) dalam pemberantasan korupsi secara utuh.
Dari proses identifikasi yang mengindikasikan adanya celah kelemahan normatif dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, khususnya dalam lingkup dan esensi mewujudkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif, radikal (mengakar) dan berkeadilan tersebut, maka dalam konteks tulisan ini penulis mengajukan solusi normatif yang bersifat praktis untuk menutup celah kelemahan normatif tersebut. Dalam hal eksistensialitas putusan pengadilan yang secara substansial mengandung pertimbangan yang mengarah dan/atau menunjuk pada adanya (dugaan) keterlibatan pihak lain dalam kualitas “penyerta”, “pembantu” atau “penganjur” (orang yang menyuruh melakukan sebagai pelaku delik dalam konstruksi delik utuh yang dipersalahkan kepada terdakwa, maka penulis menilai diperlukan adanya ketentuan normatif yang secara tegas mengatur keharusan penindaklanjutan hal tersebut, yaitu dalam arti penyidikan terhadap pihak-pihak lain selain terdakwa yang diduga keras terlibat dalam konstruksi delik dalam dakwaan terkait.
Setidaknya ada dua formulasi alternatif yang memungkinkan keterwujudan konsepsi normative sebagai solusi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang komprehensif tersebut, yaitu melalui pemberian kewenangan secara normatif kepada hakim atau majelis hakim pemeriksa perkara atau ketua pengadilan negeri dimana perkara diperiksa untuk memerintahkan penyidik melalui penuntut umum agar menindaklanjuti dan memulai penyidikan atas dugaan keterlibatan pihak lain selain terdakwa dalam konstruksi delik yang didakwakan kepada terdakwa di persidangan dan/atau melalui pemberlakuan ketentuan normatif yang “mewajibkan” atau mengatur keharusan dan norma imperatif bagi penyidik untuk menindaklanjuti dan memulai penyidikan atas pihak-pihak lain yang diduga keras terlibat mewujudkan delik (korupsi) sebagaimana yang telah didakwakan dan/atau dipersalahkan kepada terdakwa di muka persidangan. Dan sekalipun kemudian penyidik menilai tidak terdapat cukup bukti untuk meneruskan penyidikan perkara dugaan keterlibatan pihak lain tersebut dalam delik (korupsi) sehingga “penyidikan” harus dihentikan, maka tentunya dalam konteks formil penghentian penyidikan tersebut, penyidik harus menyertakan alasan-alasan yuridis dalam penghentian penyidikan, alasan-alasan mana kemudian akan secara langsung terawasi oleh publik, karena sebagai “penyidikan” yang mengacu atau merupakan tindak lanjut dari putusan pengadilan, ”penyidikan” tersebut akan benar-benar berada dalam domain publik (pengawasan publik). Pun demikian selanjutnya dalam level penuntutan, dimana jajaran penegak hukum dalam level penuntutan tidak akan gegabah menghentikan penuntutan perkara terkait tanpa alasan-alasan yuridis yang jelas dan rasional. Dan pada akhirnya demikian pula pada level peradilan atas perkara dugaan keterlibatan “pihak lain” tersebut dalam konstruksi delik (korupsi), dengan dakwaan yang berbasis pada bukti-bukti yang diperoleh dalam tahapan penyidikan, termasuk putusan Pengadilan yang menjadi dasar acuan dimulainya penyidikan tersebut, maka dengan tentunya juga mempertimbangkan seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan, tingkat probabilitas keterbuktian keterlibatan pihak lain tersebut sebagai pelaku delik (korupsi) dalam substansi putusan Pengadilan sebagai produk akhir mekanisme peradilan akan lebih tinggi disbanding dengan probabilitas ketidakterbuktiannya (vrijspraak atau onslag van alle rechts vervolging). Sehingga oleh karenanya Penulis meyakini bahwasannya dengan formulasi normative sedemikian, akan timbul aspek “pendorong” dan bahkan “pemaksa” (dalam konteks positif) bagi seluruh aparatur penegak hukum dalam lingkup “penyidikan”, “penuntutan” maupun “peradilan” untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara optimal dan professional, khususnya dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Sinergi penegakan hukum sedemikian yang akan mampu mewujudkan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif (menyeluruh dan terintegral), radikal (mengakar yaitu dari pelaku lapangan dalam level jabatan terendah hingga pelaku intelektual dalam jabatan-jabatan yang tinggi) dan berbasis pada keadilan komunal. Dengan formulasi normatif sedemikian, maka diyakini tidak akan ada lagi “keengganan” penyidik dan “standar ganda” dalam proses penyidikan atau penuntutan, serta tidak akan ada lagi putusan pengadilan yang membebaskan pelaku delik korupsi hanya karena proses penyidikan yang salah arah, tidak serius sehingga penyusunan bukti (alat bukti) tidak mencukupi atau hanya karena dakwaan yang keliru, terlepas dari “motivasi” apa yang ada pada pejabat dalam level penyidikan, penuntutan dan bahkan peradilan itu sendiri.
Berbanding lurus dan sebagai sebuah konsekuensi logis dari telah adanya aspek penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif (menyeluruh dan terintegral), radikal (mengakar, yaitu dari pelaku lapangan dalam level jabatan terendah hingga pelaku intelektual dalam jabatan-jabatan yang tinggi) dan berbasis pada keadilan komunal tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwasannya akan timbul efek takut dan jera yang signifikan kepada pelaku delik (korupsi) tersebut ataupun kepada orang/pihak lain yang memiliki jabatan, sarana dan kesempatan untuk dapat mewujudkan delik (korupsi) tersebut, sehingga pelaku delik (korupsi) tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, dan demikian juga orang/pihak lain yang memiliki jabatan, sarana dan kesempatan untuk dapat mewujudkan delik (korupsi) tersebut tidak akan “berani” untuk melakukan (mewujudkan) delik (korupsi) tersebut. Sehingga artinya, dalam titik pencapaian sedemikian, maka pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi telah berjalan secara holistik dan berkesinambungan dan tidak berlebihan kiranya apabila kita kembali memiliki ekspektasi yang tinggi atas ”terhapuskannya” atau setidaknya “terminimalisirnya” tindak pidana korupsi di bumi pertiwi.
E. Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Tindak Pidana Korupsi
Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik hukum pada umumnya. Menurut Sudarto, politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, (2) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Menurut Marc, politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Mulder, berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek) ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu: (1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam pengertian yang praktis, politik hukum pidana (politik kriminal) adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum pidana) juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang bersifat integral, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, yaitu: (1) perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal dan non penal, (2) perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi khususnya sanksi pidana.
Mencermati fakta aktual yang terjadi dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang terjadi dalam berbagai departemen dan instansi maupun lembaga negara baik kasus-kasus nasional maupun di daerah-daerah dengan berbagai modus operandi belum menunjukkan hasil yang optimal, bahkan terkesan masih terjadi diskriminatif perlakuan aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan, penahanan, penuntutan sampai dengan lahirnya putusan pengadilan yang sangat kontroversial, yang kesemuanya menambah daftar kelabu dan kekecewaan masyarakat dan semakin kaburnya cita-cita penegakan hukum yang berkeadilan serta bermartabat.
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih disempurnakan lagi bukan merupakan jaminan optimalnya penegakan hukum tindak pidana korupsi, sekalipun harus diakui bahwa secara normatif substansi undang-undang tersebut telah banyak mengalami kemajuan dengan berbagai karakteristik sebagai tindak pidana khusus yang tidak diatur dalam KUH Pidana.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dengan berbagai kewenangan yang sangat luas serta terbentuknya Tastipikor juga belum banyak bisa berbuat sekalipun harus diakui bahwa munculnya kasus Abdullah Puteh dan terbongkarnya kasus KPU serta kasus pengelolaan Dana Haji yang melibatkan orang-orang yang selama ini tidak diragukan integritasnya dan merupakan putra terbaik bangsa ini adalah merupakan gebrakan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, akan tetapi jumlah kasus korupsi yang terjadi dibandingkan dengan yang diselesaikan masih sangat jauh dari harapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, apalagi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut.
Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk perundang-undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi pidana dengan sanksi denda.
F. Kebijakan Strategis Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Masyarakat Tranparansi Internasional dalam indeknya telah menggolongkan negara Indonesia termasuk sepuluh besar negara terkorup di dunia, tanpa ingin mempermasalahkan bagaimana indek tersebut dibuat, Pemerintah Indonesia telah merespon indek tersebut dengan berbagai kebijakan. Namun setelah beberapa tahun Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, ternyata praktek korupsi di tengah-tengah masyarakat semakin banyak, hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya perkara korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Kebijakan pemerintah seolah-olah berpacu dengan praktek korupsi dengan modus-modus yang juga semakin canggih.
Korupsi yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat baik dalam instansi sosial, politik, ekonomi budaya, hankam maupun dalam institusi aparat penegak hukum, telah dilakukan upaya penanggulangannya oleh pemerintah melalui upaya penegakan hukum. Korupsi sudah ada sejak zaman dahulu kala yang merupakan fenomena universal dan merupakan tindak pidana tertua. Sehingga penanganannya perlu dilakukan secara extraordinary. Dalam penegakan hukumnya, pemerintah juga harus tetap mejaga dan menghormati hak-hak asasi manusia guna tetap menjaga nilai keadilan sebagai tujuan dari penegakan hukum itu sendiri.
Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Korupsi
Saat ini, korupsi menjadi permasalahan serius bangsa ini, karena korupsi di Indonesia sudah merambah keseluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Pemerintah memandang masalah korupsi ini sebagai suatu penyakit yang membahayakan perekonomian dan kerberlangsungan suatu negara, oleh karenanya pemerintah dalam sejarah telah mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan hukum (baca= politik hukum). Kebijakan hukum tersebut ialah :
- Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Pemberantasan Korupsi;
- Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, Pidana dan Pemilikan Harta Benda.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi Undang-Undang dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961,
- Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
- Intruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
- Undang-Undang RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC);
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Kerjasama di Bidang Hukum dan Pidana, sebagai payung hukum untuk melakukan MLA in criminality terhadap negara tetangga guna mengoptimalkan penanganan korupsi.
Apabila mencermati ketentuan-ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang dapat digaris bawahi :
a. Semakin banyak jenis perbuatan yang dikriminalisasi menjadi Tindak Pidana Korupsi;
b. Ancaman pidana yang diancamkan semakin berat;
c. Instansi yang berwenang untuk menangani tindak pidana korupsi bertambah.
Kebijakan hukum tersebut tentu saja dimaksudkan untuk menekan praktek-praktek korupsi.
Upaya mengektifkan penegakan hukum, pemerintah telah membuat badan pekerja/komisi yang bertujuan untuk memproses dan mengadili tindak pidana korupsi, antara lain:
- Tim Pemberantaan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 diketuai Jaksa Agung Sugiharto.
- Komisi 4 pada tahun 1970 diketuai Wilopo. Operasi Penertiban (Inpres No. 9 Tahun 1977) beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib dan Jaksa Agung dibantu pejabat di daerah dan Kapolri.
- Tim Pemberantasan Korupsi (tahun 1982) diketuai MA Mudjono.
- Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PP No. 19 Tahun 2000) diketuai Adi Handoyo.
- Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir.
- Pembentukan Timtas Tipikor berdasarkan Keppres No.11/2005 dengan JAMPIDSUS sebagai Ketua yang saat itu dijabat oleh Hendarman Supandji selama dua tahun, dengan anggota terdiri dari Kejaksaan, Kepolisian dan BPKP.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
- Komisi-komisi tersebut kesemuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan/penanganan korupsi.
Namun kebijakan dalam penanganan korupsi dengan hanya melalui pendekatan hukum pidana/penindakan (represif) tidak cukup dan hasilnya tidak maksimal, karena penindakan secara hukum pidana sebagai ultimum remidium hanya bersifat simptomatik, dimana pendekatan seperti ini tidak dapat menyentuh dasar penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi. Oleh karenanya selain dengan pendekatan represif diperlukan pendekatan preventif melalui berbagai kegiatan diantaranya penyuluhan hukum, pendidikan, penanaman moral/etika, kegiatan keagamaan dan peningkatan rasa kebangsaan, sehingga diharapkan akan tumbuh budaya anti korupsi yang membentuk perilaku anti korupsi. Dengan demikian upaya penanganan korupsi seharusnya bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, atau instansi tertentu saja tetapi menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa termasuk partai politik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang disandarkan pada pola dan kerangka normatif yang ada saat ini, efektivitas keberlakuannya masih sangat digantungkan pada iktikad baik dan “niat lurus” penegak hukum serta partisipasi penuh masyarakat an sich, dimana dengan secara umum mencermati kondisi penegak hukum di Indonesia saat ini dengan segenap faktor yang melatarbelakanginya yang notabene masih berada dalam titik terendah penegakan hukum, menjadi sangat logis ketika realitas yang mengemuka adalah sebuah fenomena penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang hanya memilih (tebang pilih) dan parsial, tidak mampu menjangkau keseluruhan pelaku delik dalam setiap delik (korupsi) yang terbentuk, sehingga “pemberantasan korupsi” hanya akan selalu menjadi pemanis dagangan politik di negeri ini dan tak akan pernah samapi pada substansi dasarnya, yakni terwujudnya keadilan dalam penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang komprehensif dan mengakar.
Berpijak pada prinsip dasar bahwasanya tidak ada manusia yang sempurna. Dan begitu pula dengan adanya terhadap masing-masing organ/ pihak dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidanan korupsi, maka jika dapat dirumuskan ketentuan normatif yang secara imperatif mampu mewajibkan pihak penyidik untuk menindak lanjuti temuan fakta dalam persidangan sebuah perkara korupsi yang kemudian terformulasikan dalam substansi putusan perkara terkait, yang secara substansial mengindikasikan adanya keterlibatan pihak-pihak lainnya dalam konstruksi delik yang terwujud sebagai materi pokok dalam perkara tersebut, niscaya hal tersebut akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang komprehensif atas tindak pidana korupsi, karena dengan sifat imperatif dari ketentuan normatif tersebut, secara inheren hal tersebut akan mengikis “keengganan” ataupun “indikasi permainan” dalam level penyidikan atas proses penegakan hukum (penyidikan) yang (seharusnya) menjangkau seluruh pelaku delik yang terlibat. Selain itu ketentuan normatif yang sedemikian juga akan menjadi salah satu instrumen kontrol horizontal dalam sistem penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, karena dengan ketentuan tersebut secara otomatis akan mendorong terwujudnya fungsi koreksi dan fungsi saling melengkapi antara masing-masing penegak hukum dalam level penyidikan, penuntutan dan peradilan dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan menjangkau seluruh pelaku delik (korupsi) yang terlibat. Sebuah kontrol penegakan hukum yang sungguh dapat menjadi alternatif yang sangat prospektif di tengah ketidakberdayaan lembaga praperadilan sebagai satu-satunya mekanisme dan otoritas tunggal dalam penegakan kontrol horizontal di bidang penegakan hukum sebagaimana ketentuan normatif hukum positif di Indonesia saat ini.
Pada dasarnya kita melihat niat baik dari pemerintah untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Selain itu dibentuk beberapa lembaga yang diyakini dapat menindak para pelaku tindak pidana korupsi. Dalam beberapa hal, lembaga serupa KPK telah menunjukkan wibawa mereka walaupun dengan berbagai keterbatasan dan kritik dari masyarakat.
Namun demikian, ternyata niat baik dari pemerintah saja tidak cukup. Alasannya karena niat baik pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi itu berhadapan dengan faktor-faktor lain. Jika kita sepakat dengan Friedman, maka niat baik pemerintah itu berhadap dengan tiga faktor lain yaitu: aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, institusi dan aparat penegak hukum, serta kultur hukum baik yang ada pada masyarakat dan juga aparat.
Mungkin inilah jawabannya, mengapa korupsi begitu sulit diberangus dinegeri ini. Pemerintah telah menghasilkan begitu banyak peraturan ternyata tidak efektif dalam tataran implementasinya. Pemerintah membentuk berbagai lembaga untuk memberantas korupsi ternyata dihadapkan pada kenyataan dimana aparatnya merupakan bagian dari mata rantai korupsi yang keji. Rumitnya lagi, setelah kita memiliki tatanan hukum yang baik disertai kelembagaan yang banyak harus pula behadapan dengan kultur; cara berfikir dan cara bertindak masyarakat. Terbayang jadinya tugas berat dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana korupsi. Namun seberapapun beratnya tugas itu, ia harus dilakukan. Kalau kita ingin mendapatkan Indonesia yang lebih baik, tidak lagi krisis apalagi kritis.
Apa yang tertuang dalam makalah ini adalah sesuatu yang bersifat idealis yang didasarkan atas analisis pemikiran dan pengamatan empiris melalui perkembangan yang terjadi. Dengan keterbatasan waktu penulis menyadari pembahasannya tidak akan mungkin tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya bisa menjadi bahan diskusi yang menarik untuk lebih dikembangkan dalam forum yang lain.
B. Saran
Kepastian hukum dan keadilan harus dijalankan secara bersama-sama. Untuk menyeimbangkan keadilan dan kepastian hukum diperlukan aparat yang profesional. Aparat penegak hukum harus menjamin kepastian hukum atas suatu proses hukum, artinya aparat penegak hukum harus menentukan langkah hukum secara pasti.
Korupsi merupakan musuh bangsa, sehingga penanganannya harus dijadikan prioritas oleh seluruh komponen bangsa melalui penegakan hukum baik secara mikro melalui instrumen hukum pidana juga penegakan hukum secara makro melalui perbaikan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum masyarakat. Pemerintah dalam melakukan penanganan korupsi harus terus melakukan langkah-langkah yang efektif dan menyeluruh.
Upaya penanggulangan korupsi korupsi tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
MAKALAH
HUKUM PIDANA KHUSUS
{SISTEM PEMBERANTASAN DAN PENEGAKAN
HUKUM TIPIKOR DI INDONESIA}
Oleh :
Humaira ( 07400275)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
2010
DAFTAR PUSTAKA
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.
M. Hamdan, 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1999. Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI, Suatu Reorientasi Atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sudarto, 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.
______, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dikeluarkan oleh Badan Pe-nyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976.
Hendarman Supandji, Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya, Semarang ; B adan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009.
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta Bandung.
Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana. Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
______, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
______, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
______, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
MASJID WAKAF
MASJID JAMI’ QUBA, Bareng Malang
Alamat : Jl. Terusan Ijen Malang
Luas : ± 682 m²
Wakif : H Soepari
Nadzir : Amir Kamarukio
Nomor : 10.2/00.89/I/1991
Tanggal :08-07-1991
MASJID AL-AKHLAS, Bareng Malang
Alamat : Jl. Raya Langsep Malang
Luas : ± 97 m²
Wakif : Kyai Ngiso
Nadzir : S Susanto
Nomor : Km. 35/I/62.63/86/wk/1988
Tanggal : 06-01-1988
No Sertifikat :m 783
Alamat : Jl. Terusan Ijen Malang
Luas : ± 682 m²
Wakif : H Soepari
Nadzir : Amir Kamarukio
Nomor : 10.2/00.89/I/1991
Tanggal :08-07-1991
MASJID AL-AKHLAS, Bareng Malang
Alamat : Jl. Raya Langsep Malang
Luas : ± 97 m²
Wakif : Kyai Ngiso
Nadzir : S Susanto
Nomor : Km. 35/I/62.63/86/wk/1988
Tanggal : 06-01-1988
No Sertifikat :m 783
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Sumber Hukum
Materiil: bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
Formal: menentukan prosedur pembuatan hukum (siapa, bagaimana), dan bagaimana hukum materiil ditegakkan.
Mochtar Kusumaatmadja
Sumber hukum utama/primer :
1. perjanjian internasional;
2. hukum kebiasaan internasional;
3. prinsip-prinsip hukum umum;
Sumber hukum tambahan/subsidier :
1. keputusan pengadilan;
2. ajaran para sarjana terkemuka;
Pendahuluan:
Kumpulan sumber hukum internasional merupakan aturan dan prinsip yang menjadi rujukan bagi ahli hukum internasional ketika akan menentukan hukum mana dan aturan seprti apa yang akan diberlakukan. Keutuhan dan kekuatan argumentasi hukum akan dinilai dari seberapa kuat sumber-sumber hukum yang digunakannya.
Sumber Hukum Materiil merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.
Dengan kata lain, sumber hukum materiil memberikan isi dari hukum sementara hukum formil memberikan kewenangan dan validitas pemberlakuannya.
Pasal 38 (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara yang diajukan, mereka akan merujuk kepada sumber-sumber hukum sebagai berikut:
1. Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, yang menjadi hukum dan diakui oleh negara-negara yang berperkara;
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti praktek negara yang diterima sebagai sebuah hukum;
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum yangn diakui oleh bangsa yang beradab; dan
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum tambahan dalam menentukan adanya sebuah hukum.
Mahkamah Internasional juga mengakui adanya prinsip ex aequo et bono sesuai dengan Pasal 38 (2) yang memungkinkan Mahkamah memutuskan suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa.
b. Hirarki Prioritas
Urut-urutan yang disebutkan dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional bukanlah merupakan hirarki ketentuan yang didasarkan kepada bobot materiil ketentuan tersebut melainkan hanya urutan prioritas kemudahan penggunaan ketika Mahkamah Internasional akan menggunakannya dalam memutus sebuah perkara.
c. Penjelasan Masing-masing Sumber Hukum
Traktat/ Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Secara umum dikelompok menjadi dua:
1. Perjanjian Multilateral yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”. Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.
2. Perjanjian Bilateral adalah Kontrak Internasional antara dua negara. Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut.
Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
1. Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama.
2. Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi.
3. Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut.
KebiasaanInternasional(Customary Law) Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai sumber hukum internasional:
1. Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbegai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality).
2. Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.
Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB.
Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya.
Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup.
Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional.
Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah Good Faith, Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan Effectivites.
Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli dan Keputusan Badan Internasional
Keputusan Pengadilan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”. Konsekuensinya:
Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda.
Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu.
Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.
Ajaran Para Ahli Hukum Internasional
Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.
Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari prakte negara-negara.
Resolusi Majelis Umum PBB
Resolusi PBB memiliki kekuatan mengikat terhadap hal-hal yang ditetapkan dalam statuta. Hal-hal tersebut adalah yang terkait dengan urusan administrasi dan keuangan.
PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip hukum internasional sehingga satu-satunya cara agar apa yang disepakati di dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional adalah dengan melalui prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap merefleksikan opinio juris dari negara-negara yang menyetujui resolusi itu.
Meski demikian tetap harus diperhatikan dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang menghendaki pernyataan persetujuannya itu dianggap sebagai opinio juris dan bukan sekedar pernyataan persetujuan belaka.
Materiil: bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
Formal: menentukan prosedur pembuatan hukum (siapa, bagaimana), dan bagaimana hukum materiil ditegakkan.
Mochtar Kusumaatmadja
Sumber hukum utama/primer :
1. perjanjian internasional;
2. hukum kebiasaan internasional;
3. prinsip-prinsip hukum umum;
Sumber hukum tambahan/subsidier :
1. keputusan pengadilan;
2. ajaran para sarjana terkemuka;
Pendahuluan:
Kumpulan sumber hukum internasional merupakan aturan dan prinsip yang menjadi rujukan bagi ahli hukum internasional ketika akan menentukan hukum mana dan aturan seprti apa yang akan diberlakukan. Keutuhan dan kekuatan argumentasi hukum akan dinilai dari seberapa kuat sumber-sumber hukum yang digunakannya.
Sumber Hukum Materiil merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.
Dengan kata lain, sumber hukum materiil memberikan isi dari hukum sementara hukum formil memberikan kewenangan dan validitas pemberlakuannya.
Pasal 38 (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara yang diajukan, mereka akan merujuk kepada sumber-sumber hukum sebagai berikut:
1. Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, yang menjadi hukum dan diakui oleh negara-negara yang berperkara;
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti praktek negara yang diterima sebagai sebuah hukum;
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum yangn diakui oleh bangsa yang beradab; dan
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum tambahan dalam menentukan adanya sebuah hukum.
Mahkamah Internasional juga mengakui adanya prinsip ex aequo et bono sesuai dengan Pasal 38 (2) yang memungkinkan Mahkamah memutuskan suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa.
b. Hirarki Prioritas
Urut-urutan yang disebutkan dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional bukanlah merupakan hirarki ketentuan yang didasarkan kepada bobot materiil ketentuan tersebut melainkan hanya urutan prioritas kemudahan penggunaan ketika Mahkamah Internasional akan menggunakannya dalam memutus sebuah perkara.
c. Penjelasan Masing-masing Sumber Hukum
Traktat/ Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Secara umum dikelompok menjadi dua:
1. Perjanjian Multilateral yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”. Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.
2. Perjanjian Bilateral adalah Kontrak Internasional antara dua negara. Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut.
Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
1. Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama.
2. Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi.
3. Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut.
KebiasaanInternasional(Customary Law) Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai sumber hukum internasional:
1. Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbegai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality).
2. Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.
Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB.
Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya.
Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup.
Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional.
Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah Good Faith, Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan Effectivites.
Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli dan Keputusan Badan Internasional
Keputusan Pengadilan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”. Konsekuensinya:
Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda.
Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu.
Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.
Ajaran Para Ahli Hukum Internasional
Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.
Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari prakte negara-negara.
Resolusi Majelis Umum PBB
Resolusi PBB memiliki kekuatan mengikat terhadap hal-hal yang ditetapkan dalam statuta. Hal-hal tersebut adalah yang terkait dengan urusan administrasi dan keuangan.
PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip hukum internasional sehingga satu-satunya cara agar apa yang disepakati di dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional adalah dengan melalui prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap merefleksikan opinio juris dari negara-negara yang menyetujui resolusi itu.
Meski demikian tetap harus diperhatikan dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang menghendaki pernyataan persetujuannya itu dianggap sebagai opinio juris dan bukan sekedar pernyataan persetujuan belaka.
Langganan:
Postingan (Atom)