A.Pengertian Etika, Moral dan Profesi Advokat
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. (E.Y. Kanter 2001:2)
Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan.
Tetapi sebenarnya moral dan etika adalah tidak sama. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral (E.Y. Kanter 2002:2).
Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional. Sementara itu orang yang menyandang suatu profesi tertentu disebut seorang profesional.
Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik (Oemar Seno Adji 1991:8).
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian, profesi menjadikan suatu kelompok mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.
Sementara definisi Advokat tertera dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu : orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Kata “mobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:
(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.
(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ ... harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namun ...?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “ ... sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA ini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Ini dinamakan “the right to decline employment” (canon 31 ABA). Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah terutama “ ... tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama. Dalam kasus dimana klien oleh publik telah “dianggap” bersalah, maka berlaku asas “the right of the lawyer to undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his personal opinion as to the guilt of the accused” (canon 5 ABA). Dalam hal kemudian advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan “good cause” (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: “the lawyer should non throw up the unfinished task to the detriment of his client, except for reasons of honor or self-resfect”. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauhmana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya. Hal ini dikatakan lebih jelas dalam canon 15 ABA, a.l.: “ ... the lawyer owes entire devotion to the interest of the client ... and the exertion of his utmost learning and ability. But it is ... to be borne in mind that the great trust o fthe lawyer is to be performed within and not without the bounds of law. The office of the attorney does not permit ... for any client, violation of law or any manner of fraud ... he must obey his own conscience and not that of his client”.
Asas terakhir yang saya kutip di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan dan menjalankan profesi advokat seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3 alinea 7: “Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium mobile)”.
Etika Profesi Advokad
PENDAHULUAN
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak,” (Soelaiman Soemardi: 2001). Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih dapat dinilai melalui parameter etika yang berlaku umum dalam masyarakat.
Salah satu profesi yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan kita semua adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan aspirasi keadilan sosial, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah advokat sudah dikenal ratusan tahun yang lalu dan identik dengan advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, abogado dan lain sebagainya di Eropa yang kemudian diambil alih oleh negara-negara jajahannya.
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan menyesesaikan perkara, seorang hakim selain wajib mengikuti peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Profesi advokat sejak 2000 tahun yang lalu dikenal sebagai profesi mulia (Officium Nobile) dan sekarang seakan sedang booming di Indonesia. Hampir setiap orang yang menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung untuk menggunakan jasa profesi advokat, mulai dari perkara-perkara besar yang melibatkan orang-orang kaya dan terkenal, seperti kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kasus perbankan, kasusnya para artis sampai kasus yang melibatkan rakyat kecil atau orang miskin, seperti pencurian ayam, penggusuran rumah dan lain sebagainya.
Tiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Hal senada diungkapkan oleh Bertens yang menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat. Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah prilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembankan suatu profesi.
Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum atau pun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mejawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis didalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk memperjuangkan hak-hak sosial di tengah masyarakat yang kian kompleks.
Pandangan ini juga mungkin yang menjadi landasan dari sebagian peserta dalam menyikapi etika profesi hukum pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Ikadin di Surabaya pada bulan Nopember 2000 dimana sebagian peserta tersebut bersikap bahwa pembersihan terhadap kotornya profesi hukum sekarang ini harus diperjuangkan melalui komitmen pembenahan dari dalam diri advokat sendiri. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya sistem yang mantap berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan etika dan profesionalisme advokat.
Penegakan kode etik advokat adalah isu yang menjadi sorotan dari banyak advokat dan seluruh elemen penegakan hukum di Indonesia. Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik.
Dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, LN Tahun 2003 Nomor 49, TLN Nomor 4255, maka profesi advokat di Indonesia memasuki era baru. Suatu era yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemacu bagi seorang calon advokat/advokat untuk lebih baik dalam memberi pelayanan hukum kepada masyarakat. Pentingnya mengetahui peran dan tugas advokad erat kaitannya dengan keberhasilan pelaksanaan dalam mengontrol kesesuaian teori dengan praktik yang dilakukan. Peran dan fungsi advokad akan dibahas pada bab selanjutnya, dengan pembahasan secara terperinci dan menyeluruh.
PEMBAHASAN
Pelanggaran Kode Etik
Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :
1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat seperti merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, intimidasi terhadap teman sejawat ;
2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi dengan advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan terhadap klien, menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien berdasarkan bayaran, dan lain sebagainya;
3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan pegawai pengadilan dan lain-lain.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang advokat mengenai substansi kode etik profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu, apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada pengaturan mengenai sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini juga yang merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik.
Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat anggotanya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dan sifat pengulangan pelanggarannya.
Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah “budaya” advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang diberlakukan terhadapnya. “Budaya” solidaritas korps disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan “Spirit of the Corps” yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih menonjol ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya skeptis. Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang sudah sangat korup dan rasa segan untuk bertindak “heroik’ secara individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung untuk berpraktek di luar pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.
Kendala Yang Dihadapi Advokat Suatu negara hukum (rechtstaat) baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam negara hukum, negara dan individu berada dalam kedudukan yang sejajar, kekuasaan negara dibatasi oleh hak asasi manusia agar tidak melanggar hak-hak individu. Jaminan terhadap pelaksanaan HAM diperlukan dalam rangka melindungi serta mencegah penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara (abuse of power) terhadap warga negaranya.
Persamaan dihadapan hukum dan hak untuk dibela advokat atau penasehat hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial, juga sebagai salah satu cara mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip “fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses persidangan, amat penting guna menjamin terlaksananya proses hukum yang sesuai dengan aturan yang ada, terlebih lagi ketika ia mewakili kliennya dalam beracara dipersidangan untuk memberikan argumentasi hukum guna membela kliennya.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut.Ada beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus yang menghambat mereka antara lain bahwa kendala yang sering dihadapi ketika memberikan bantuan hukum cuma-cuma adalah kendala dana, dimana hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit.
Tidak hanya itu saja terjadi para advokat, kendala yang dihadapi ketika memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh advokat dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika disidik, kalaupun klien tersebut mau didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat
dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi
kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang
pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya
berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau
bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran
kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan
profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan
terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan
untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada
Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.
KESIMPULAN
Advokad mempunyai peranan yang beragam dan kompleks dalam sistim hukum yang berlaku di negara kita. Peranan itu hendaknya di singkronkan dengan etika dan tanggung jawab profesi dari para advokad yang mengacu pada nilai luhur yang dilaksanakan demi kemaslahatan umat. Negara kita adalah negara yang besar dan masih ingin lagi melakukan sejumlah besar perubahan termasuk dalam penyelenggaraan hukum yang melindungi segenap bangsa sesuai amanat konstitusi, advokad adalah salah satu elemen yang termasuk didalamnya, perubahan yang di buat para advokad kita menentukan keberlangsungan perbaikan sistim hukum dalam teori dan praktiknya/pelaksaannya.
Harapan besar tentunya tidak boleh hanya disandarkan pada advokad dan pemerintah saja, namun sinergitas para aparat penegak hukum dan akademisi perlu juga memberikan masukan-masukan yang membangun selama proses pembenahan hukum di negara kita.
Masyarakat tidak kalah mempunyai peranan yang amat besar pula, perilaku taat hukum memulai keseriusan pelaksanaan hukum menuju tertib hukum. Harapan kita ketakutan akan hukum yang disandarkan selama ini berubah menjadi kesadaran (patuh karena kesadaran bukan keterpaksaan). Semoga dalam masa-masa mendatang hukum di negara ini mampu dilaksanakan sebaik penerimaan masyarakat dan semulia tugas aparat dan pemerintahannya.
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan.
Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar