TRANSLATE THIS BLOG
Rabu, 28 April 2010
DISKRIMINASI
RUU ADRE : BENTUK DISKRIMINASI BARU
Inisiasi pembahasan RUU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) telah diprakarsai oleh anggota DPR-RI periode 1999-2004. Kemudian pada pertengahan September 2005, DPR-RI periode 2004-2009 mengambil inisiatif melalui sidang paripurna untuk membahas RUU ADRE. Usulan inisiatif kedua bagi RUU ADRE dikemukakan di dalam sidang paripurna. Kemudian DPR-RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari perwakilan seluruh fraksi.
Di dalam perjalanannya, Pansus RUU ADRE telah tiga kali berganti kepemimpinan dan saat ini para anggota Pansus RUU ADRE baru selesai melakukan studi banding ke dua negara, yaitu Cina dan AS. Memang pembahasan RUU ADRE ini dilatarbelakangi oleh maraknya konflik horisontal antar ras dan etnis yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Selain itu, RUU ini merupakan turunan dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999.
Pada kenyataannya, persoalan diskriminasi tidak hanya dialami oleh kelompok ras dan etnis saja. Masih banyak kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang selama ini masih mengalami perlakuan-perlakuan ataupun tindakan-tindakan diskriminatif, baik dari Negara, dalam hal ini Pemerintah, maupun dari masyarakat sendiri. Contohnya adalah kelompok agama minoritas, kelompok penganut kepercayaan, kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/Transsexual (LGBT), kelompok difable, dan kelompok masyarakat miskin. Bahkan sangat sering kita melihat segala bentuk diskriminasi tersebut menyebabkan terjadinya konflik horisontal, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat massal.
Sehingga ketika DPR-RI hendak membahas ataupun memberlakukan sebuah RUU, ada beberapa asas hukum yang harus diperhatikan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas yang pertama yang harus diperhatikan adalah asas pengayoman. Asas tersebut mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Dalam praktiknya apabila RUU ADRE tidak diperluas cakupannya maka RUU ADRE akan melanggar asas pengayoman. Hal itu disebabkan karena RUU ADRE akan menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di kalangan kelompok marginal lainnya yang selama ini belum diakomodir oleh Negara hak-hak dasarnya. Dan pada akhirnya kecemburuan sosial yang memuncak, dan apabila ditambah dengan provokasi-provokasi yang efektif, maka akan ada kemungkinan terjadi konflik horisontal.
Asas kedua adalah asas kemanusiaan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Padahal di dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dinyatakan definisi diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sehingga apabila RUU ADRE dipaksakan untuk diberlakukan, maka RUU itu akan menjadi sebuah alat yang mendiskriminasikan kelompok lain diluar kelompokras dan etnis.
Kemudian di dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah ditegaskan bahwa setiap kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok masyarakat rentan, harus dilebihkan pemenuhan haknya oleh Negara. Sehingga apabila kita berbicara kelompok masyarakat rentan, tidak hanya kelompok rasial dan etnis saja yang harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi, tetapi semua kelompok masyarakat rentan, bahkan setiap warga negara, harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi. Sehingga dengan demikian RUU ADRE juga melanggar asas kemanusiaan karena hanya mengatur larangan diskriminasi secara partial, yaitu hanya terhadap kelompok rasial dan etnis saja.
Asas ketiga yang harus diperhatikan adalah asas bhineka tunggal ika yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan asas di atas, RUU ADRE jelas melanggar asas Bhineka Tunggal Ika karena hanya mengakui keberagaman ras dan etnis saja. Sedangkan keberagaman-keberagaman lainnya, seperti keberagaman agama, kepercayaan, orientasi seksual, gender, status sosial, keyakinan politik, dan keberagaman lainnya tidak diakui di dalam RUU ADRE.
Asas keempat adalah asas keadilan yang mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengakomodir hak-hak kelompok rasial dan etnis saja, dengan sendirinya RUU ADRE tidak dapat mengakomodir hak-hak setiap warga negara. Dengan demikian maka RUU ADRE tidak akan membangun rasa keadilan terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak semua kelompok masyarakat rentan pada khusunya, dan setiap warga negara pada umumnya.
Sebenarnya masih ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh setiap pembuat legislasi. Namun dalam hal ini asas terakhir yang harus diperhatikan adalah asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Asas ini mengharuskan setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Oleh karena RUU ADRE hanya akan mengatur larangan segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok rasial dan etnis saja, maka dengan sendirinya RUU ADRE juga melanggar asas hukum ini.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Pansus RUU ADRE harus mengganti judul dan memperluas pembahasannya. Selain itu juga harus ada perumusan sanksi yang tegas bagi setiap pelaku tindakan diskriminasi, baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana. Sehingga RUU ADRE nantinya dapat dijadikan sebagai payung hukum yang dapat menjawab segala persoalan diskriminasi selama ini, baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk perlakuan. Dan akhirnya segala bentuk diskriminasi dapat dihapuskan dari bumi Indonesia ini.
Perda Kabupaten Indramayu Nomor 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi. Pasal 1 (f)
Diskriminasi itu ada di masyarakat, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara sama di depan hukum. Kenyataannya, diskriminasi itu dikukuhkan melalui peraturan daerah. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menemukan setidaknya 16 peraturan daerah (perda), dua keputusan bupati, tiga surat edaran bupati, dua rancangan peraturan daerah (raperda), dan satu peraturan desa (perdes) yang isinya mendiskriminasi perempuan. Analisis dilakukan terhadap dokumen dan menggunakan pisau analisis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Diskriminasi akibat asumsi sosial budaya negatif yang melekat pada keberadaan seseorang sebagai perempuan dapat berupa diskriminasi sebagai tindakan, diskriminasi sebagai maksud, dan diskriminasi sebagai akibat. Diskriminasi sebagai maksud mewujud dalam cara pembedaan, pembatasan, dan pengucilan. Pembedaan di sini akibat pandangan yang melihat laki-laki dan perempuan tidak setara, selain terjadi penghapusan hak dan kebebasan perempuan. Pembatasan adalah tindakan untuk mengurangi dan membatasi penggunaan atau penikmatan hak yang diakui, misalnya pembatasan jam kerja atau gerak. Pengucilan adalah pengingkaran atas hak dan kebebasan perempuan berdasarkan asumsi gender.
Diskriminasi sebagai maksud adalah tindakan yang memang diniatkan pelakunya sehingga menjadi diskriminasi langsung, tetapi dapat juga dalam situasi netral yang dampaknya mendiskriminasi meskipun dampak itu tidak diniatkan (diskriminasi tidak langsung). Beberapa contoh Diskriminasi sebagai akibat terjadi karena perlakuan berbeda, pembatasan, atau pengucilan akibat asumsi jender yang dampaknya terjadi pengurangan atau penghapusan hak perempuan. Contoh perda yang membuat pembedaan, pembatasan, dan pengucilan antara lain Perda Kabupaten Indramayu Nomor 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi. Pasal 1 (f) menyebutkan, "pelacuran adalah suatu perbuatan di mana seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan menerima pembayaran dalam bentuk uang maupun bentuk lain".
Perda ini merupakan bentuk pengucilan berdasarkan asumsi gender sebab menyebutkan pelacur berjenis kelamin perempuan. Meskipun analisis ini tidak menemukan niat dari pembuat aturan untuk mendiskriminasi, rumusan maupun tataran pelaksanaannya menimbulkan diskriminasi.
Pasal 8 Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, misalnya, menyebutkan, "termasuk dalam pelacuran adalah homoseks, lesbian, sodomi, pelecehan seksual, dan perbuatan porno lainnya". Peraturan ini menempatkan secara jelas kelompok orang dengan preferensi seksual sejenis sebagai kriminal.
Padahal, preferensi seksual adalah pilihan sikap seksual yang tidak identik dengan kriminal, sementara pelacuran juga dapat melibatkan hubungan seksual tidak sejenis. Pemerintah vs warga Dalam diskusi, Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy menyatakan, adalah hal yang khas Indonesia, yaitu tidak adanya hubungan antara undang-undang dasar dan praktik hukum di lapangan sehingga perda dapat bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dalam menyikapi perda-perda tersebut, dapat dilihat apakah negara bersifat integralistik yang berarti negara mengontrol rakyat, misalnya melarang perempuan keluar rumah, atau negara bersifat demokratis sehingga menjadi kewajiban negara melindungi perempuan. Begitu juga bila pemerintah menuntut warganya dapat membaca Al Quran, seharusnya tugas negara menyediakan pendidikan baca Al Quran. Bila ada warga yang tidak mampu membaca Al Quran, itu bukan kesalahan warga, melainkan kesalahan pemerintah.
Pemprov DKI Evaluasi Perda Diskriminatif Perempuan
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai sedikitnya terdapat 154 perda yang diskriminatif terhadap perempuan, di mana 64 perda di antaranya terbukti telah membawa dampak sosial, ekonomi, politik, dan psikologis yang negatif bagi perempuan di daerah. Perda yang dinilai berpotensi diskriminatif terhadap perempuan adalah Perda No 8Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menertibkan para perempuan yang terlibat prostitusi. Wakil Ketua DPRD DKI Inggard Joshua mengatakan bahwa Pemprov DKI harus segera mengesahkan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, turunan dari UU tersebut, mengingat dampak kekerasan yang tidak baik terhadap generasi masa depan.
Perda yang dinilai berpotensi diskriminatif terhadap perempuan adalah Perda No 8Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menertibkan para perempuan yang terlibat prostitusi.Namun, seringkali penerapannya menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan oleh aparat yang menertibkan, dan seringkali juga terjadi kasus salah tangkap karena masih kaburnya penjelasan pasal tersebut sehingga banyak menjerat perempuan yang tidak terlibat prostitusi.
TUGAS
HUKUM DAN HAM
Oleh :
Humaira ( 07120010 )
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar