Dalam paham hak asasi termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Dengan demikian, hak-hak asasi tidak dapat dituntut di depan hakim. Tetapi, dan itulah yang menentukan, hak-hak itu tetap dimiliki. Dan karena itu, hak-hak asasi seharusnya diakui. Tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia itu menunjukan bahwa dalam negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya. Itulah paham tentang hak-hak asasi manusia.
Melalui hak-hak asasi itu, tuntutan moral yang prapositif dapat direalisasikan dalam hukum positif. Di satu pihak, hak-hak asasi manusia mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia, jadi apa yang diperjuangkan oleh teori Hukum Kodrat. Tetapi di lain pihak, karena tuntutan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau kewajiban yang kongkrit dan operasional, tuntutan-tuntutan itu dapat dimasukan ke dalam hukum positif sebagai norma-norma dasar dalam arti bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan mereka. Dengan demikian, tuntutan Positivisme Hukum terpenuhi, bahwa hanya norma-norma hukum positif boleh dipergunakan oleh hakim untuk mengambil keputusan. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak dari tuntutan-tuntutan dasar keadilan dan martabat manusia dimasukan sebagai hak asasi ke dalam hukum positif, semakin terjamin juga bahwa hukum itu memang adil dan sesuai dengan matabat manusia.
Paham hak asasi manusia ini menimbulkan banyak pertanyaan: tentang kedudukan hak asasi sebagai hak, tentang apakah dapat dipaksakan, tentang dasar perumusan hak-hak asasi tertentu, tentang universalitas dan relativitasnya, terutama apakah paham ini “berlaku” secara transkultural, tentang perubahan dan perkembangannya. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah dikemukakan hampir sejak paham hak asasi lahir. Yang barangkali paling mengesankan ialah bahwa paham ini tidak dapat dimatikan; semakin banyak sistem kekuasaan, dengan rela atau karena ditekan oleh masyarakat, mengakui, maka semakin banyak hak asasi; bahwa tidak ada sistem kekuasaan yang masih dapat bersikap masa bodoh terhadap hak-hak asasi manusia.
hak-hak positif justeru menuntut prestasi-prestasi tertentu dari negara. Ada pelayanan-pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat. Hak utama adalah hak atas perlindungan hukum. Di sini termasuk hak atas perlakuan sama di depan hukum, hak agar suatu pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki tidak dibiarkan, dan hak-hak yang mau menjamin keadilan perkara pengadilan, misalnya larangan terhadap hukum yang berlaku surut. Di sini juga dapat dikelompokkan hak warga masyarakat atas kewarganegaraan. Hak-hak positif ini tidak diperjuangkan oleh salah satu aliran historis tertentu, melainkan untuk sebagian sudah merupakan keyakinan yang lama tentang tugas dan kewajiban negara. Dalam arti ini hak atas perlindungan hukum termasuk hak asasi yang paling tua.
Paham hak asasi positif berdasarkan anggapan bahwa negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan merupakan lembaga yang diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu. Maka masyarakat dengan sendirinya berhak atas pelayanan itu dan negara wajib memberikanya. Karena justeru dan hanya demi pelayanan-pelayanan itu mereka yang menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan diangkat dan dibayar oleh masyarakat. Menurut paham itu, pelayanan negara terhadap masyarakat bukanlah suatu anugerah yang harus dimohonkan oleh masyarakat, melainkan masyarakat berhak untuk menuntutnya. Negara yang melayani tuntutan itu hanya memenuhi kewajibannya saja. Oleh karena itu, pelayanan keperluan masyarakat oleh negara pada prinsipnya tidak boleh ditarik pembayaran. Salah satu implikasi hak atas perlindungan hukum dan pelayanan oleh negara pada umumnya adalah bahwa tidak boleh ada anggota masyarakat yang tidak mendapat pelayanan itu hanya karena ia terlalu miskin untuk membayar biayanya.
Problem kebebasan beragama/berkeyakinan dalam Undang-undang, diluar persoalan konstitusi, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat dilihat dalam sejumlah udang-undang. Undang-undang yang ada di Indonesia mempunyai dua wajah. Ada undang-undang yang dengan jelas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menentang segala bentuk diskriminasi, namun pada saat yang sama Indonesia Indonesia juga masih menyimpan sejumlah undang-undang (dan juga regulasi dibawahnya) yang mengancam kebebasan beragma/berkeyakinan disatu sisi, dan melanggengkan praktik diskriminasi di sisi yang lain.
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif Negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya hak-hak yang teerhimpun di dalamnya juga sering disebut sebgai hak negative (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran Negara dibatasi. UU No. 1/PNPS/1965/ tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan Agama, ada regulasi setingkat UU yang masih problematic jika dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia, terutama menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan.Uu dimaksud adalah UU No.1/PnPS/1965 tentang tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama. Pada 1969 penetapan presiden itu ditingkatkan statusnya menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. Beberapa pasal dari UU ini perlu dielaborasi untuk melihat problematika yang ada di dalamnya terutama terkait dengan toleransi dan kebebasan beragama. Pasal 1 : “ Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut Indonesia atau melakukan kegiatan-kegitan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dan pokok-pokok ajaran dari agama itu.
Pasal ini mempunyai implikasi luas terhadap kehidupan berbangsa, terutama yang terkait dengan agama, Negara mempunyai otoritas menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah departemen agama, benarkah departemen agama mempunyai hak untuk menentukan pokok-pkok ajaran agama?yang pokok-pokok ajaran agama itu dilarang untuk ditafsirkan secara menyimpang. Penafsiran terhadap pokok-pokok ajaran agama yang tidak mengikuti pendapat mainstream bisa dikategorikan ‘menyimpang’, menentukan benar salah penafsiran suatu agama dan Negara melalui Depag, memiliki kewenangan untuk menyelidiki aliran-aliran yang dianggap bertentangan. Bertentangan dengan apa? Dalam praktiknya, penyesatan dan pelarangan terhadap aliran-aliran keyakinan, baik yang dilakukan kepolisian, kejaksaan, dan/atau (Bakor) Pakem, lebih sebagai upaya represi daripada akomodasi.
Agama tidak bisa didefinisikan kecuali oleh pemeluknya, karenanya ketika Negara merumuskan definisi agama, pada saat yang sama Negara telah menodai arti agama itu sendiri karena mengkalim dirinya sebagai penentu kebenaran. Staatsblad warisan pemerintah colonial Belanda hanya member fasilitas khusus kepada enam agama tersebut seperti bantuan pendirian tempat ibadah, bantuan pendidikan. UU Aminduk belum bergeser dari UU No.1/PNPS/1965 yang mendiskriminasi agama dan keyakinan diluar agama yang diakui pemerintah. Non agama resmi atau para penghhayat aliran kepercayaan kepada Tuhan YME sudah kenyang didskriminasi justru oleh Negara mengakomodasi kepentingan mereka bahkan sebaliknya menempatkan mereka sebagai pengganggu ketertiban umum, kelompok yang menodai agama resmi, keompok yang belum beradab.
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang “diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan tertentu, bias dituduh melakukan penodaan agama.
Keyakinan keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, bisa dituduh melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini merupakan contoh telanjang betapa diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan, meski diingkari oleh perundang-undangan kita, namun dalam realitasnya berbeda.
Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.
Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk men-stressing-kan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.
Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".
Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.
Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain: pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.
Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Prof. Oemar Seno Adji dapat ditunjuk sebagai ahli hukum yang paling bertanggung jawab masuknya delik agama dalam KUHP. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhana Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan meilihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.
Jika dalam KUHP yang selama ini berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), dalam RUU KUHP yang merevisi KUHP lama, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya ada 8 (delapan) pasal. Dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian: Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341-344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348).
Dari gambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan lebih luas aspek penodaan agama ini.
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum.
Rancangan KUHP terutama soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama (pasal 341-348). Di Bab itulah agama menjadi kata kunci untuk menentukan tindak pidana seseorang. Apakah yang dimaksud dengan agama? Apakah agama masih dipahami secara konvensional; memiliki Tuhan, kitab suci, nabi, dan jumlah penganut.
Jika dilhat latarbelakang sejarahnya, Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan yang terpenting, Undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
berkaitan dengan tindak pidana agama (Bab VII: Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama; pasal 341-348).
Berikut ini akan dikemukakan pasal-pasal tindak pidana agama dan kehidupan beragama sebagaimana terdapat dalam RUU KUHP:
Arus globalisasi dan modernisasi tidak hanya menghilangkan jarak antara negara, namun juga negara-negara saling mewarnai sehingga mengakibatkan pergeseran nilai-nilai agama, nilai-nilai tradisional, serta ekonomi sosial budaya. Perubahan sosial politik terjadi begitu cepat dan memunculkan respon yang begitu beragam baik dalam bentuk gerakan-gerakan keagamaan,maupun gerakan dibidang ekonomi, politik bahkan dalam bidang kenegaraan. Gerakan keagamaan ada yang bersifat radikal, lebiral, bahkan sekuler. Gerakan keagamaan yang radikal cenderung menolak perubahan, liberal menerima secara terbuka alkurturasi hampir tanpa filter. Sementara sekulerisme sejak awal perpegang teguh bahwa agama dalah urusan setiap individu dan negara tidak boleh mencampuri urusan keagamaan warga negaranya, dalam sifat yang terakhir, tidak ada istilah radikal atau liberal. Sekulerisme radikal sangat anti terhadap keikutsertaan negara dalam urusan keagamaan warga negaranya, sekulerisme liberal berpandangan sah-sah saja negara ikut mengurusi dan mengatur masalah keagamaan warganegaranya dengan maksud melindungi kebebasan agama orang lain. Begitu pula sebaliknya, atas nama demokrasi, gerakan liberal menilai bahwa kelompok agama radikal tidak bisa berjalan beriringan dengan demokrasi.
keberadaan PNPS Nomor 1/PNPS/1965 jo UU Nomor 5 Tahun 1969 yang dalam Pasal 1 disebutkan bahwa:”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatau agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu,penafsiran dan kegaitan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Kemudian bagi pemeluk agama dan kepercayaan apapun seharusnya dapat memahami hukum di Indonesia dan mematuhinya. Perlu diingat bahwa selain hukum Indoensia mengatur tentang jaminan perlindunagan HAM juga harus diketahui bahwa ”ada kewajiban asasi ” yang harus dilakukan oleh setiap orang yaitu Pasal 28 J Ayat (1) dan (2) UUDRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa: ”Dalam menjalankan kebebasannya setiap orang harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud untuk menjaga ketertiban umum/ masyarakat”. Jadi baik bagi yang main hakim sendiri atau bagi yang tidak menghormati hak orang lain dengan cara melanggar UU atau bagi pembuatan aturan yang mengeluarkan pembatasan secara extra legal seperti bentuk2 SKB, menurut Penulis kontra produktif dengan apa yang dikehendaki Pasal 28J tersebut.
Agama-agama itu diperkenankan untuk dipeluk dan diyakini secara bebas oleh setiap individu yang memilihnya menjadi pegangan hidup. Sehingga Hak Kebebasan Beragama diatur di dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) serta UU No 39 tahun 1999 pasal 22 ayat (1) dan (2). dalam Islam diatur di dalam Q.S al-Baqarah ayat 256-257: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Oleh karena itu meskipun Indonesia sebagai Islam mayoritas, tidak boleh lagi ada anggapan tidak bisa menjalankan demokrasi dan melindungi kebebasan beragama karena selian hal ini merupakan hal yang diamanatkan oleh Konstitusi dan Hukum tertinggi Indonesia, juga merupakan ajaran al-Qur’an. Sebaliknya bagi semua umat beragama harus saling mengerti, memahami dan menghormati setiap agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing dengan cara senantiasa bekerjasama dan berkomunikasi.
Pernyataan Daming ini didasarkan pada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP: Di mana ada tertera 'Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia'.
Menurut Daming, setiap orang berhak untuk memeluk suatu agama, mengembangkan dan memelihara hakekat ajaran agama yang dianut, tetapi tidak bebas membuat penyimpangan, merusak atau mengacak-acak ajaran agama dan kepercayaan orang lain.
Secara pribadi Daming tak setuju dengan segala bentuk tindakan kekerasan dan aksi main hakim sendiri. Namun imenurutnya, pembubaran Al-Qiyadah atau Ahmadiyah bukanlan pelanggaran HAM.
Dan Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia telah membuktikan ini. Tidak ada negara di dunia ini yang memberikan posisi terpenting kepada warga “non majority” kecuali Indonesia . Bahkan ada masa-masa di mana kaum minoritas jauh lebih “teranak maniskan” ketimbang kaum mayoritas. Berapa jumlah menteri non Muslim di Indonesia ? Berapa sekjen/dirjen (eselon I) di berbagai departemen pemerintahan dan swasta di negara kita? Silahkan jumlah dubes/diplomat tingkat tinggi non Muslim di kementrian luar negeri Indonesia .
Semua ini menunjukkan bahwa secara negara (state) dan pemerintahan (governance) Indonesia tidak membeda-bedakan warganya. Semua memiliki hak dan kesempatan yang sama serta memiliki hak pembelaan berdasarkan konstitusi negara Indonesia yang disetujui bersama. Maka, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Islam dan Kong Hu chu, dan bahkan agama-agama lainnya yang secara formal tidak terakui, bebas menjalankan keyakinan dan ibadahnya masing-masing dan dijamin secara konstitusi.
ketika Majelis Ulama Indonesia menfatwakan bahwa Ahmadiyah sesat dan melaporkan ke Kejaksaan Agung sebagai bukan ajaran Islam, mereka telah melakukan fungsinya sebagai pembenteng akidah umat.
Indonesia sebagai bagian dari persyarikatan Bangsa-Bangsa, berkewajiban untuk tunduk terhadap DUHAM yang telah diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal, 10 Desember 1948. Namun demikian, bangsa Indonesia, sebagai bangsa beragama dengan mayoritas umat Islam, tetap menegaskan jati dirinya. Artinya DUHAM, tidak dapat diterima ‘mentah-mentah’ sebagai sesuatu yang taken for granted. Hal ini dapat kita cermati pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada “Pembukaan” piagam HAM tersebut terbaca sebagai berikut :
“Bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggungjawab serta kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaan, serta menjaga keharmonisan kehidupan.”
“Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa meliputi hak….Bahwa didorong oleh jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai pandangan mengenai hak asasi dan kewajiban manusia, yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945…Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia menyatakan Piagam Hak Asasi Manusia.”
Secara prinsip DUHAM yang memberi kebebasan tak terbatas dalam beragama dan berkeyakinan tampak tidak kompatibel dengan sistem hukum dan religiusitas bangsa Indonesia. Terbukti dengan langkah Pemerintah RI menerbitkan beberapa produk hukum yang mengatur tentang kebebasan beragama; pasal 156 KUHPid, UU No I PNPS 1965, SKB Mendagri dan Menag. No 1 tahun 1969 dan SK Menag No 70 tahun 1978 yang isinya sebagai berikut :
a) Setiap orang berhak untuk memeluk suatu agama, yang berarti:
• Setiap orang atas kesadaran dan keyakinannya sendiri, leluasa memeluk suatu agama tanpa tekanan, intimidasi atau paksaan.
• Setiap orang hanya boleh menganut satu agama, tetapi tidak bebas menganut dua agama atau lebih sekaligus.
• Setiap penganut suatu agama bebas mengembangkan dan menyebarkan ajaran agamanya, tetapi tidak bebas mengembangkan atau menyebarkan ajaran agamanya kepada orang yang telah menganut agama lain dengan paksaan atau cara lain yang tidak bersandarkan kepada keikhlasan/kesadaran murni.
b) Setiap penganut agama bebas menjalankan ajaran agamanya, yang berarti
• Bebas tanpa gangguan, halangan, pembatasan dari pihak manapun untuk beribadah menurut ajaran agamanya, tetapi tidak bebas menjalankan ibadah yang menimbulkan gangguan, ketidaknyamanan, apalagi yang bersifat penghinaan, penistaan atau penodaan terhadap penganut ajaran agama lain.
• Bebas mengembangkan dan memelihara hakekat ajaran agama yang dianut, tetapi tidak bebas membuat penyimpangan, merusak/mengacak-acak ajaran agama/kepercayaan orang lain.
c) Setiap penganut agama bebas mendirikan rumah ibadah masing-masing yang berarti :
• Bebas membuat rancangan bangunan, model, eksterior dan interior, tapi tidak bebas membuat rancangan bangunan yang persis menyerupai bentuk rumah ibadah agama lain.
• Bebas membangun di atas tanah/tempat yang sah dan patut , tetapi tidak bebas membangun rumah ibadah disembarang tempat termasuk tempat ibadah yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Oleh karena, sikap menerima DUHAM secara taken for granted, keberatan, menolak, ataupun dengan memberikan catatan-catatan tertentu, secara akademik, telah menjadi kajian serius para ahli dan ilmuan dalam bidang hukum HAM (Law of Human Right). Penulis dapatkan setidaknya ada empat teori atau pandangan yang disebutkan oleh para ahli sebagai berikut:
1) Pandangan Universal Absolut. HAM dilihat sebgai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM internasional. Dalam hal ini profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan samasekali. Pandangan ini dianut oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, dan berdasarkan pandangan ini AS memposisikan diri sebagai “polisi” HAM dengan menerbitkan country report Kedubes AS. Juga digunakan sebgai dalih untuk menekan negara tertentu.
2) Pandangan Universal Relatif. Persoalan HAM dilihat sebagai masalah uniersal. Namun demikian, perkecualian dan pembatasan didasarkan atas asas-asas hukum nasional tetap diakui keberadaannya.
3) Pandangan Partikularistis Absolut. Pandangan ini melihat HAM sebgai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional.
4) Pandangan Partikularistis Relatif. HAM dilihat di samping sebagai masalah universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Dalam hal ini seluruh dokumen HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan, diseimbangkan serta memperolah dukungan budaya bangsa.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar di dunia mengambil sikap serupa. Sikap dan pandangan ini secara konstitusional tertulis dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Sebagai anggota Persyarikatan Bangsa-Bangsa Indonesia menyatakan tanggungjawabnya untuk menghormati DUHAM tersebut, namun sebagai landasan pertama dan utama Ketetapan tersebut menegaskan, “Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem)
Selanjutnya Departemen Agama (Depag) melaporkan adanya 360 (tiga ratus enam puluh) agama baru dan kebatinan/kepercayaan pada 1953. Atas dasar laporan Depag inilah maka dibentuk Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat). Di mana pada awalnya fungsi Pakem pada saat itu adalah mengawasi agama-agama baru, kelompok kebatinan/kepercayaan dan kegiatan-kegiatan mereka. Sebenarnya pengawasan terhadap aliran kebatinan/kepercayaan sudah ada sejak masa kolonial,
Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia No.15/1961, di mana ada pasal (pasal 2 ayat (3)) yang memberikan tugas kepada Kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara, semakin memperjelas keberadaan Pakem di institusi penegak hukum ini. UU No.15/1961 merupakan produk hukum yang menegaskan tugas kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan, dan ini sekaligus menarik institusi Pakem berada di bawak Kejaksaan yang sebelumnya 1961 berada di bawah Depag. UU No.15/1961 menambah tugas kejaksaan disamping untuk melakukan penuntutan atas suatu perkara pidana di pengadilan, juga melakukan pengawasan aliran kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara. Suatu hal yang tidak lazim ketika kejaksaan dibebani tugas non-penuntutan seperti mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan tersebut sebelum terbitnya UU Kejaksaan No.15/1961.
Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 ditingkatkan statusnya menjadi undang-Undang (UU) oleh UU No.5/1969. Penpres No.1/PNPS/1965 sendiri merupakan produk dari demokrasi terpimpin. Istilah demokrasi terpimpin bisa dilihat dari konsideran UU No.1/PNPS/1965 yang menjelaskan di butir a dan b bahwa dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju kemasyarakatan adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Di sini sangat jelas bahwa pengaman revolusi merupakan justifikasi untuk dikeluarkannya Penpres No.1/PNPS/1965.
CONTOH:
Tanggal 7 November 2007, Tim Pakem merekomendasikan pelarangan Al Islamiyah Al Qiyadah secara nasional. Dan melalui SK Kejagung No.KEP-116/A/J.A/11/2007 Kejaksaan Agung melarang kegiatan aliran dan ajaran Al Qiyadah Al Islami¬yah di seluruh Indonesia.
Lia Eden Divonis hukuman pen¬jara selama 2 tahun. Pada sidang pembacaan putusan di PN Pusat tanggal 29 Juni 2006
Melarang kegiatan ahmadiyah dalam bentuk dan cara apapun dengan Kep-07/0.2/Dsb.1/02/1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar