TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sabtu, 10 Juli 2010

HIPOTIK ATAS PESAWAT

A. Latar Belakang
Indonesia, sebagai Negara kepulauan, sangat memerlukan sarana transportasi yang cepat, murah, dan aman. Transportasi udara dengan menggunakan pesawat udara adalah merupakan alat transportasi yang tercepat dibandingkan dengan sarana angkutan laut dan angkutan darat. Perkembangan transportasi udara mengalami perkembangan pesat, setelah pemerintah memberikan cukup kebebasan bagi maskapai penerbangan untuk menentukan tarif.
Namun, berkembangnya pertumbuhan bisnis transportasi udara, tidak diiringi dengan sistem hukum yang menopang pertumbuhan bisnis sektor tersebut. Salah satu diantaranya adalah hukum mengenai agunan atas pesawat udara (yaitu: pesawat terbang dan helikopter) yang terkait dengan pembiayaan pengadaan/pembelian pesawat udara. Sebab, jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah terjadi maskapai penerbangan membeli pesawat udara secara tunai seketika dengan menggunakan semata-mata uang/modalnya sendiri. Dengan sistem non tunai atau pinjaman diperlukan agunan yang memberikan kepastian hukum atas pembayaran kembali pinjaman secara tepat waktu dan untuk jumlah seluruhnya. Dengan adanya agunan yang bersifat kebendaan yang memberikan hak utama/prioritas kepada kreditur, maka apabila debitur wanprestasi atau gagal melakukan pembayaran kembali atas pinjamannya kreditur dapat mengeksekusi agunan kebendaan yang telah diberikan debitor tersebut guna pelunasan hutangnya. Oleh karenanya kreditor dapat merasa lebih aman dalam memberikan pembiayaan/kredit terhadap debitor.
B. Pembahasan
Terkait dengan pengaturan pesawat udara sebagai agunan (jaminan) utang, pertama kali aturan yang diperkenalkan adalah melalui Keputusan Menteri Perhubungan No.13/S/1971 (“Kep Menhub No.13/S/1971”).
Selanjutnya, untuk menjelaskan jaminan pesawat udara, diterbitkan Surat Edaran Menhub No.01/ED/1971 (“SE”) yang memberikan penjelasan pasal 11 Kep Menhub No.13/S/1971. SE tersebut diantaranya menjelaskan bahwa mortgage atas pesawat udara tidak mutlak diberikan dan diadakan di Indonesia, melainkan dapat pula dilakukan di luar negeri, asalkan prosedurnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara tersebut dan terdapat suatu ketentuan yang menentukan hukum Negara mana yang akan berlaku. Sebelum mortgage atas pesawat udara dapat dicatatkan pada Departemen Perhubungan. Ditjen Perhubungan Udara, mortgage yang diadakan di luar negeri tersebut harus ditetapkan kembali (di-verifikasi) oleh notaris di Indonesia.
Kep Menhub No.13/S/1971 tak berlaku lagi sejak terbitnya Kep Menhub No.KM 65/2000 yang kemudian dicabut dengan Kep Menhub No.KM 82/2004 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter.
Pasal 7 Kep Menhub No.KM 82/2004 mengatur bahwa dalam hal pesawat terbang dan helikopter dibebani hak kebendaan (hipotik atau mortgage), pihak yang akan mengalihkannya wajib mencatatkan pada Ditjen Perhubungan Udara dengan menyampaikan bukti pengikatan hak kebendaan tersebut.
Sesungguhnya amanat diaturnya hukum tentang agunan atas pesawat udara sudah ada sejak diundangkannya UU No.15 tahun 1992 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) tanggal 25 Mei 1992. Pasal 12 UU Penerbangan mengatur:
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek;
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud ayat (1) harus didaftarkan;
(3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun penjelasan dari Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Terhadap hipotek pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini berlaku ketentuan-ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Ketentuan dalam pasal ini tidak menutup pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) & Ayat (3).
Hingga saat ini Peraturan Pemerintah sebagai ketentuan pengatur lebih lanjut dari Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas belum pernah dikeluarkan sehingga ketentuan mengenai agunan pesawat udara tersebut diatas tidak dapat dilaksanakan.
Selain dari itu perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kendala sehingga pembebanan atas pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas sulit untuk bisa dilaksanakan, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia ketentuan-ketentuan hipotek berlaku untuk tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya (dahulu – sedangkan sekarang atas tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya dibebankan dengan Hak Tanggungan). Selanjutnya berdasarkan pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia hipotek berlaku untuk kapal laut berukuran paling sedikit dua puluh meter kubik (20 m3). Baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia tidak menyebutkan mengenai pesawat terbang dan helikopter.
2. Pendaftaran atau Registrasi khusus untuk pembebanan pesawat terbang dan helikopter baik dalam bentuk hipotek atau hak agunan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku belum tersedia.
Contohnya:
(a) pendaftaran atau registrasi pembebanan hipotek dan atau Hak Tanggungan atas tanah dilakukan di Badan Pertanahan Nasional kabupaten atau kota setempat dimana tanah tersebut berlokasi; dan
(b) pendaftaran atau registrasi pembebanan hipotek atas kapal laut berukuran 20 m3 atau lebih dilakukan oleh pejabat khusus (Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal) yang diangkat oleh Menteri Perhubungan di kantor yang khusus disediakan untuk hal tersebut dilingkungan Departemen Perhubungan Laut. Dengan dilakukannya pendaftaran atau registrasi sesuai prosedur yang ditentukan, Hak Tanggungan dan Hipotek kapal tersebut merupakan suatu hak agunan yang mengikat pihak ketiga dan memberikan kedudukan yang diutamakan (preferen) kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain dari debitor yang mengagunkan tanah atau kapalnya tersebut.
3. Meskipun penjelasan dari Ayat 1 Pasal 12 UU Penerbangan tersebut menyebutkan bahwa tidak tertutup kemungkinan dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya dengan jaminan fidusia), didalam prakteknya terjadi perbedaan interpretasi mengenai hal tersebut yang menghambat pelaksanaan pembebanan pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang terutama untuk pembiayaan dalam negeri dengan kreditur bank-bank di Indonesia.
Dengan kondisi-kondisi diatas, sangat jelas bahwa untuk kepastian hukum dapat dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang di Indonesia, diperlukan perangkat hukum yang mengatur suatu lembaga pembebanan khusus untuk pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang.
Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju, lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
• Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
• Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
• Dimiliki oleh instansi pemerintah;
• Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain tanda pendaftaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik.
Peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.
Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat terbang dapat diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia ? mengingat pengikatan fidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-benda jaminan yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik ?
Walapun dalam ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia, pada Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah benda yang terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek, namun pasal/klausul tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat terbang, mengingat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotek atas pesawat terbang.
C. Kesimpulan
Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.
Kebutuhan akan penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia, sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan. Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.
Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera mendapatkan kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.
UU Penerbangan baru UU Penerbangan yang baru (UU No. 1 Tahun 2009) tidak menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang.
Dalam UU Penerbangan 2009 ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82 tetapi memang tidak menyebutkan hipotik. Dikarenakan belum ada PP berdasarkan UU lama maka pembebanan jaminan atas pesawat terbang dapat dilakukan dengan Fidusia. Supaya tidak tunduk pada hukum hipotik maka yang menjadi obyek fidusia adalah bukan pesawat secara utuh tetapi bagian-bagian dari pesawat, misalnya mesin, turbin, badan pesawat/kabin, dlsb (walaupun dapat saja meliputi hampir seluruh bagian pesawat).






MAKALAH
HUKUM JAMINAN
(HIPOTIK ATAS PESAWAT)






Oleh :
Humaira ( 07400275)





UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS HUKUM
2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar