A. Pendahuluan.
Putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di Pengadilan. Adapun jenis-jenis putusan dilihat dari sifatnya sebagai berikut :
Putusan declaratoir.
Yaitu putusan Pengadilan yang amarnya menyatakan suatu keadaan dimana keadaan tersebut dinyatakan syah menurut hukum, misalnya pengangkatan anak.
Putusan constitutif
Yaitu putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru, misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan.
Putusan condemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.
Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang bersifat condemnatoir saja, kemudian pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk melaksanakan.
eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankanya. Hakikat eksekusi adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tecantum dalam putusan Pengadilan. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (eksecution forcee).
Azas dari pada eksekusi adalah :
- Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum yang tetap
- Putusan tidak dijalankan secar sukarela.
- Putusan mengandung amar condemnatoir.
- Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan. (Abdul Manan : 2005 : 315)
Dunia Peradilan mengenal putusan perdamaian, sebagaimana termaktub dalam Pasal 154 R. Bg., bahkan lebih dari pada itu, dengan terbitnya PERMA RI Nomor 1 Tahun 2008 semua sengketa perdata dalam melaksanakan perdamaian harus menempuh prosedur mediasi, dan Pasal 2 ayat (3) PERMA tersebut menyatakan : Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Syarat formal dan akibat dari suatu perdamaian sebagai berikut :
- Adanya persetujuan kedua belah pihak.
- Mengakhiri sengketa.
- Perdamaian atas sengketa yang telah ada.
- Bentuk perdamaian harus tertulis. (Abdul Manan : 2005 : 157)
Atas uraian tesebut di atas timbul permasalahan sebagai berikut :
- Apakah dalam proses eksekusi masih terbuka bagi para pihak untuk mengadakan perdamaian ?
- Bagaimana sikap Pengadilan menghadapi perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan alasan adanya perdamaian kedua belah pihak?
B. Pembahasan.
1. Perdamaian kedua belah pihak saat proses eksekusi
Pemeriksaan perkara diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan saja belum tentu selesai persoalan, melainkan harus dapat dilaksanakan. Suatu putusan Pengadilan tidak ada artinya bila tidak bisa dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan hakim yang dapat dilaksanakan secara paksa oleh Pengadilan hanya putusan condemnatoir saja, sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan secara paksa.
Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang dikalahkan. Dengan demikian maka selesailah perkaranya tanpa mendapat bantuan dari Pengadilan dalam melaksanakan putusan tesebut . Akan tetapi pihak yang dikalahkan sering kali tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga pihak yang menang mohon bantuan dari Pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa yaitu eksekusi. Hakikat dari eksekusi adalah realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.
Adapun azas yang berhubungan dengan putusan yang bisa dieksekusi, sebagai berikut :
• Bersifat Partai
Gugatan yang diajukan di Pengadilan yang mengadung sengketa dinamakan contentiosa, sudah barang tentu persengketaanya tidak mungkin dapat diselesaikan secara sepihak, melainkan melibatkan dua atau beberapa pihak. Dari sinilah lahir azas yang menentukan tiap gugat yang bersifat gugatan atau contentiosa mesti bersifat partai.
• Bersifat contradictoir
Azas lain yang melekat pada perkara contentiosa adalah pemeriksaannya bersifat contradictoir, artinya dalam sidang pemeriksaan kepada para pihak diberi leluasa untuk membela hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat , maka dalam persidangan terjadi dialog langsung dari dalil gugat, jawab, replik, duplik. Disamping itu kepada Penggugat dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil gugat, dan kepada Tergugat diberi pula hak mengajukan bukti lawan untuk melumpuhkan pembuktian Penggugat, dan kemudian para pihak diberi hak untuk menyampaikan kesimpulan (konklusi).
• Bersifat condemnatoir
Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada gugat contentiosa bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan, maka pihak penggugat dapat menuntut agar hakim menghukum pihak tergugat. Berdasarkan tuntutan petitum yang diminta penggugat, maka hakim dalam amar putusannya harus menjawab dengan amar putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir).
• Mengikat kepada para pihak.
Semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka mengikat para pihak, apalagi putusan yang bersifat condemnatoir atau eksekutorial.
• Putusan mempunyai nilai kekuatan pembuktian
Hal lain yang tidak kurang pentingnya, ialah azas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat kekuatan mengikat yang melekat pada setiap putusan Pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai kekuatan pembuktian yang menjangkau :
- Para pihak yang berpekara
- Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
- Ahli waris mereka.
1. Putusan mempunyai kekuatan eksekutorial
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara suka rela, dan kemudian pihak yang menang mengajukan permohonan eksekusi dan pihak yang kalah sudah di “aanmaning” kemudian telah melewati delapan hari, maka terwujudlah dalam putusan kekuatan eksekutorial (excecutorial kracht). Dalam hal ini Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan perintah eksekusi kepada jurusita untuk melaksanakan eksekusi. (Yahya Harahap : 1989 : 347).
Adapun tatacara eksekusi (misalnya eksekusi riil) sebagai berikut :
1. Ada surat permohonan eksekusi dari pihak pemenang, jika pihak yang kalah tidak melaksanakan secar suka rela (Pasal 207 ayat(1) R. Bg./196 HIR).
2. Petugas meja I melakukan penaksiran biaya eksekusi untuk biaya pendaftaran eksekusi, saksi-sasksi, biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu.
3. Setelah didaftarkan dalam register eksekusi kemudian melaksanakan peringatan (aanmaning), dengan terlebih dahulu jurusita melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan oleh Ketua Pengadilan. Adapun caranya aanmaning sebagai berikut :
- Melakukan sidang insidentil yang dihadiri oleh Ketua, Panitera dan pihak yang kalah.
- Memberikan peringatan/ teguran supaya melaksanakan putusan hakim dalam jangka waktu delapan hari.
- Membuat berita acara aanmaning sebagai landasan perintah eksekusi.
1. Mengeluarkan surat perintah eksekusi, sebagai berikut :
2. Perintah eksekusi berupa penetapan.
3. Perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita yang namanya harus disebutkan dengan jelas.
4. Menyebutkan nomor perkara dan objek perkara yang akan dieksekusi.
5. Memerintahkan bahwa pelaksanaan eksekusi harus di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang meja saja.
6. Isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan.
1. Pelaksanaan eksekusi riil, sebagai berikut :
2. Jenis barang-barang yang dieksekusi.
3. Letak, ukuran, dan luas barang tetap yang dieksekusi.
4. Hadir tidaknya pihak tereksekusi.
5. Penegasan dan keterangan pengawasan barang.
6. Penjelasan non bavinding bagi yang tidak sesuai dengan amar putusan.
7. Penjelasan dapat atau tidaknya eksekusi dijalankan.
8. Hari, tanggal, jam dan tahun pelaksanaan eksekusi.
9. Berita acar eksekusi ditandantangani oleh pejabat pelaksana eksekusi, dua orang saksi, kepala desa/lurah setempat dan tereksekusi(Samparaja : 2009 : 9)
Pada dasarnya batas usaha perdamaian hanya terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan (Sudikno Mertokusumo : 1988 : 830, namun dalam praktek dengan kesadarannya sendiri para pihak berdamai saat proses eksekusi.
Para Pakar Hukum mengemukakan, bahwa pelaksanaan eksekusi harus sesuai bunyi putusan. Bila tidak dapat dieksekusi secar riil dilakukan lelang. Bila para pihak dalam melaksanakan eksekusi berdamai mengenai pembagian objek sengketa eksekusi dapat menyimpangi bunyi putusan dan dilakukan pembagian sesuai kesepakatan para pihak (Mahkamah Agung RI : 2008 : 8).
Berdasar pada uraian tersebut dan berpijak pada azas perdamaian dalam pemeriksaan perkara perdata, dan pula dengan terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, maka betapa urgensi dan betapa mahal, serta menghabiskan waktu yang diberikan hukum untuk mencapai prestasi perdamaian. Oleh karena waktu itu walaupun dalam proses eksekusi dan kemudian para pihak tanpa disuruh oleh mediator mereka sadar menemukan mufakat dan damai, maka hal tersebut suatu prestasi yang luar biasa dan menggembirakan dimata hukum.
Dengan demikian perdamaian pada proses eksekusi masih dibenarkan oleh hukum, dengan syarat perdamaian dimaksud secara tertulis. Dan terwujudlah penyelesaian sengketa tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang (win win solution).
2. Sikap Pengadilan menghadapi perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan alasan adanya perdamaian kedua belah pihak.
Naluri semua manusia dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, dan kemudian terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah, maka bagi pihak yang kalah akan merasa kecewa, atau bahkan lebih daripada itu yaitu marah, demo bahkan mencaci maki kepada Hakim atau Pengadilan.
Jangankan putusan Pengadilan, dalam kasus kecil, misalnya kompetisi, turnamen olah raga, maka pihak yang kalah akan mengalami suatu kekecewaan.
Sebenarnya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau dalam proses eksekusi, masih terbuka upaya hukum luar biasa (request civil) yaitu peninjauan kembali yang merupakan upaya untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu masih juga terbuka perlawanan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap atau dalam proses eksekusi, misalnya perlawanan dari pihak ketiga (derden verzet) yaitu pihak ketiga diberi hak mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang dijalankan oleh Pengadilan, dengan dasar kepada “hak milik” bahwa yang hendak dieksekusi ditunda sampai ada ada kejelasan pemeriksaan. Bila pihak pelawan dimaksud mempunyai hak milik dalam harta yang hendak dieksekusi, maka eksekusi ditunda sampai ada putusan yang berkekuatan hukum. Upaya hukum luar biasa dan perlawanan pihak ketiga tersebut dalam kategori koridor hukum. Lain halnya dalam kasus “perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan dengan alasan adanya perdamaian kedua belah pihak”. Mungkinkah hal tersebut terjadi? Dan bagaimana sikap Pengadilan?
Menghadapi hal tersebut, Pengadilan harus menyelidiki kebenaran perdamaian tersebut, dengan memperhatikan, hal-hal sebagai berikut :
1. Pernyataan dari Tereksekusi tentang adanya perdamaian.
2. Pemohon eksekusi membenarkan dan menyetujui adanya perdamaian.
3. Perdamaian dimaksud secara tertulis.
Pakar hukum mengatakan : Bila termohon eksekusi mengajukan permohonan untuk penangguhan pelaksana lelang dengan janji akan melaksanakan isi putusan secara suka rela disertai dengan surat pernyataan, maka diperbolehkan dengan syarat termohon eksekusi menyerahkan uang jaminan guna biaya pelaksanaan eksekusi berikutnya serta diberi batas waktu (Mahkamah Agung RI. : 2001 : 78). Selain pendapat tersebut, Abdul Manan dalam bukunya Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, mengatakan permasalahan tersebut bersifat kasuistik dapat terjadi dengan alasan kemanusiaan dan alas an adanya perlawanan pihak ketiga (derden verzet).
Dalam hal benar adanya perdamaian, Pengadilan harus mempertimbangkan dan bijak menghadapi para pihak atau masyarakat pendukung para pihak yaitu menangguhkan pelaksanaan eksekusi dengan batas waktu tertentu, apalagi bila pengamanan tidak sebanding dengan masa para pihak, demi keselamatan aparat negara khususnya dan masyarakat umumnya. Pemberian batas penangguhan eksekusi disesuaikan kesepakatan para pihak, atau misalnya selama enam bulan sejak keluar surat perintah eksekusi. Hal ini dianalogikan dengan hak pemohon ikrar talak ketika diberi hak untuk menjatuhkan talak atau mengeksekusi perkara ikrar talak.
Oleh karena perdamaian pada proses eksekusi dalam pembahasan ini diluar campur tangan Pengadilan, maka perdamaian dimaksud tidak menghapus atau menggantikan amar putusan perkaranya, melainkan salah satu bentuk dari pelaksanaan amar putusan perkaranya
C. Penutup
Berpijak pada uraian di atas bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Perdamaian pada proses eksekusi dibenarkan dalam hukum.
2. Bila ada perdamaian antara pihak tereksekusi dan pemohon eksekusi, apalagi ada perlawanan tereksekusi dengan alasan perdamaian, maka Pengadilan menangguhkan pelaksanaan eksekusi selama sesuai kesepakatan para pihak. Namun bila dalam tengang waktu tersebut isi perdamaian tidak dilaksanakan, maka Pengadilan melanjutkan eksekusi sesuai prosedur.
TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
{PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI & PERMASALAHANNYA}
Oleh
Nama : Humaerak
Nim : 07120010
JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar