Pandangan Islam terhadap Tindak Pidana Korupsi.
Fiqh Anti Korupsi, hukum Islam yang disyariatkan Allah Swt pada hakekatnya diproyeksikan untuk kemaslahatan manusia. Salah satu kemaslahatan yang hendak direalisasikan adalah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang menyimpang dari prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah Swt . Oleh karena itu, adanya larangan mencuri (sariqoh), merampas (ikhtithaf), mencopet dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan harta sebagai taruhan judi (misalnya) dan memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan menggunakannya untuk berbuat maksiat, karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan kehendak Allah swt, menjadikan kemaslahatan yang akan dituju dengan harta itu tidak tercapai.
Para Ulama telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi dengan beragam bentuknya didalamnya, dalam literature fiqh misalnya, adanya unsur sariqoh (pencurian) , ikhtilas (penggelapan), al-Ibtizaz (pemerasan), al-Istighlal atau ghulul (korupsi), dan sebagainya adalah haram (dilarang) karena bertentangan dengan Maqashid Syari’ah (tujuan hukum Islam)5 . Putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas VI juga mengeluarkan fatwa tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah kepada pejabat, yang intinya satu, memberikan risywah dan menerimanya, hukumnya adalah haram. Kedua, melakukan korupsi hukumnya haram. Fatwa yang dikeluarkan 27 Rabiul Akhir 1421 H/28 Juli 2000 M6.
Keharaman korupsi menurut hemat penulis dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
a). Tindak Pidana Korupsi (ghulul) merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat) . Allah Swt memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti firman Allah :
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkan itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Surat Ali Imran:161)
Rasulullah sendiri telah menggariskan sebuah ketetapan bahwa setiap kembali dari ghazwah/sariyah (peperangan) . Semua harta ghanimah (rampasan) baik yang kecil maupun yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan dihadapan pimpinan perang, kemudian Rasulullah membagikannya sesuai ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan itu untuk Allah Swt, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, sedangkan sisanya atau 4/5 lagi diberikan kepada mereka yang berperang7. Nabi Muhammad Saw tidak pernah memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin dan panglima perang untuk mengambil harta ghanimah diluar dari ketentuan ayat tersebut.
Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa ayat diatas turun berkenaan dengan hilangnya sehelai kain wol berwarna merah yang diperoleh dari rampasan, ada yang berkata : “ Mungkin Rasulullah Saw sendiri yang mengambil kain itu untuk beliau ”. Agar tuduhan itu tidak menimbulkan keresahan umat Islam, Allah Swt menurunkan ayat tersebut yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak mungkin berlaku curang (korupsi) dalam hal harta rampasan (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan ibnu jarir)8.
Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap perbuatan curang, seperti korupsi akan diberi hukuman setimpal kelak diakhirat . Hal itu memberi peringatan agar setiap pejabat tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi. Dalam sejarah Islam tercatat peristiwa dalam arti bahwa Islam melarang keras perbuatan korupsi . Misalnya, Pengawas perbendaharaan negara (Baitul Mal) di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63H/682M – 102H/720M) memberikan sebuah kalung emas kepada putri khalifah, karena ia menanggap hal itu patut untuk menghargai pengorbanan khalifah. Setelah mengetahui hal itu, Umar bin Abdul Aziz marah dan memerintahkan agar saat itu juga kalung tersebut adalah milik negara dan hanya untuk negaralah harta itu boleh digunakan.
b). Tindak Pidana Korupsi (ikhtilas) disebutkan juga sebagai penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain adalah perbuatan mengkhianati amanah yang diberikan masyarakat kepadanya9. Berkhianat terhadap amanah adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah Swt dalam al-Qur’an :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS: Surat al-Anfal : 27 ).
Dan pada ayat lain Allah Swt memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS: Surat an-Nisa’ : 58 )
Kedua ayat ini yang mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanah seperti perbuatan korupsi bagi para pejabat publik adalah terlarang (haram) .
c). Tindak Pidana Korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan zhalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyarakat miskin yang mereka peroleh dengan susah payah. Bahkan perbuatan tersebut berdampak sangat luas serta berdampak menambah kuantitas masyarakat miskin baru . Oleh karena itu, amat lalimlah seorang pejabat yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehingga pantas mereka dimasukan dalam kelompok orang – orang yang memerangi Allah Swt dan Rasulullah Saw dan membuat kerusakan dimuka bumi . Sebagaimana firman Allah Swt :
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang – orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka bertimbal balik, atau dibuang dari negeri(tempat kediamannya) . Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar ( QS: al – Maidah :33)
d). Termasuk kedalam kategori Tindak Pidana Korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada seseorang karena ia menerima suap dari yang menginginkan fasilitas tersebut . Perbuatan ini oleh Nabi Muhammad Saw disebut laknat seperti dalam sabdanya :
عن ابن عمرو صلي الله عليه وسلام مرفوعا قال : قال رسول الله صلي عليه وسلم : ” لعن الله الراشي والمرتشي” (صححه الترمذي )
“Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap” (HR. Tirmidzi )10.
Pada kesempatan lain Rasulullah bersabda : “ Barangsiapa yang telah aku perkerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu ku beri gajinya, maka sesuatu yang diambilnya diluar gajinya itu adalah penipuan ( Haram )” ( HR. Abu Dawud ) .
4. Hukum memanfaatkan Hasil Korupsi .
Istilah memanfaatkan mempunyai pengertian yang luas, termasuk diantaranya adalah memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial dan sebagainya . memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara – cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya . Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama .
Dalam hal ini ulama fiqh sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara – cara ilegal adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara tidak sah. Dasar yang menguatkan pendapat ulama fiqh ini antara lain ialah firman Allah Swt :
Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS: al-Baqarah : 188).
Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara – cara batil, termasuk didalamnya mencuri, menipu dan termasuk korupsi . Harta kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi menurut penulis dapat juga di qiyaskan (dianalogikan) dengan harta kekayaan yang diperoleh cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama – sama ilegal . Jika memakan harta yang diperoleh secara riba diharamkan11. Sehingga memakan hasil korupsipun menjadi haram . Disamping itu dalam kaidah fiqh yang menunjukan keharaman memanfaatkan harta hasil korupsi yaitu :
“Apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya atau memanfaatkannya”12.
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, sepanjang suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya . Namun jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram maka hasilnya boleh dimanfaatkan . Dan selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemilik yang sah .
Jika ulama fiqh sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan hasil korupsi, namun mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut . Misalnya, hukum sholat atau haji yang dilaksanakan dengan menggunakan hasil korupsi .
Mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, mazhab hanafi mengatakan bahwa sholat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara batil (menipu/ korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan . Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah . Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut . Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhi rukun dan syarat amalan yang dimaksud.
Sedangkan menurut imam Ahmad bin Hanbal, sholat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah sholat . Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan sholat memakai pakaian bernajis, Lagi pula sholat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt . Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh Allah Swt .
Menurut Imam ahmad bin Hanbal, Haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah . Ia memperkuat pendapatnya dengan hadits yang menerangkan bahwa Allah swt adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. at-Tabrani).
Pada kesempatan lain Nabi Muhammad Saw bersabda : “ Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai membaca talbiyah datang seruan dari langit : Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia . Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka haji diterima dan tidak dicampuri dosa ”. Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiyah maka datang seruan dari langit : tidak diterima kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia . Berbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka hajimu berdosa, jauh dari pahala ( tidak diterima ) (HR.at-Tabrani) .
Atas dasar logika dan hadist tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi .
5. Sangsi (Hukuman) bagi Koruptor.
Kecendrungan untuk menerapkan Hukum seberat – beratnya terhadap pelanggar Hukum (Korupsi), bukan lagi suara perorangan, kelompok, atau organisasi tertentu. Suara itu sudah menjadi suara mayoritas. Bahkan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, semangat ketegasan Hukum Islam yang selama ini jadi momok yang menakutkan bagi sebagian kalangan, secara sadar ataupun tidak. Sebenarnya sudah diadopsi masyarakat.
Namun dalam Islam terdapat 3 jenis Hukuman. Penggolongan tersebut sesuai dengan jenis pelanggaran (Jarimah) yang dilakukan. Tiga jenis Hukuman adalah pertama, tindak pidana hudud, yaitu jarimah yang diancam hukuman had (Hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya). Misalnya, zina dengan dijilid seratus kali (QS: an-Nur : 2), qadzaf (menuduh orang berbuat zina) dengan dijilid 80 kali kalau tidak bisa menghadirkan 4 orang saksi, minum minuman keras, mencuri dengan potong tangan (QS: al-Maidah : 38), Hirabah ( Pembegalan, perampokan, perusakan dan jenis gangguan keamanan lainnya) dengan dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara berseling, atau diasingkan (QS: al-Maidah : 33) dan lain - lain.
Kedua, tindak pidana qotlu / jarh (pembunuhan/ mencelakai), dan ketiga, tidak pidana takzir (jarimah).
Abdul Qodir Audah mengatakan bahwa ada tiga kriteria jenis – jenis jarimah Takzir tersebut, yaitu: a). Terhadap perbuatan itu disyariatkan hukuman hudud, tetapi karena tidak memenuhi syarat, maka hukuman hudud tersebut tidak bisa dilakukan. Misalnya, seseorang melakukan pencurian tetapi tidak mencapai satu nisab harta yang dicuri. b). Terhadap perbuatan itu disyariatkan Hukum Hudud, tetapi ada penghalang untuk melakukan hukum hudud itu. Misalnya, anak mencuri harta ayahnya satu nisab atau lebih. Hukuman hudud potong tangan tidak bisa dilakukan, karena antara keduanya ada hubungan keturunan yang mengakibatkan adanya syibhu al-Milk (keraguan kepemilikan). c). Terhadap perbuatan itu tidak ditentukan sama sekali hukumannya, baik hudud, kisas, diat, dan kafarat. Bentuk terakhir inilah maksiat yang paling banyak , seperti mengingkari atau mengkhianati amanah, pengurangan timbangan atau takaran, memberi kesaksian palsu, melakukan muamalah riba, dan sogok menyogok13.
Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir14. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis, bentuk dan jumlahnya diserahkan Syarak kepada pemerintah, (dalam hal ini) Hakim (qadhi) . Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syarak (maqashid asy-Syari’ah) dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa menjadi tindakan preventif bagi orang lain .
Jenis – jenis hukuman dalam jarimah takzir, menurut Abdul Qodir Audah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi, ketiga pakar Hukum Pidana Islam, mengatakan bahwa hukuman Takzir bisa berbentuk hukuman paling ringan, seperti menegur pelaku pidana, mencela, atau mempermalukan pelaku, dan bisa juga hukuman yang terberat, seperti hukuman mati.
Melihat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang telah membudaya di Indonesia . Boleh dibilang sudah menjadi penyakit kronis yang membutuhkan obat dosis keras . Oleh karena itu, perlu kiranya penulis merekomendasikan ke Hakim (qadhi) hukuman yang seberat – beratnya seperti hukuman mati dan sebagainya. Mungkin itu kiranya menurut hemat penulis sebagai salah satu cara menjamin keamanan harta Negara dari tindak pidana korupsi.
6. Operasional Penberantasan .
Bertitik tolak pada pandangan Hukum Islam, bahwa tidak ada Fiqh (pemahaman) atau tafsiran sumber rujukan Hukum Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang memberi celah / peluang pada kemungkinan hukum Korupsi itu dapat diterima, maka step selanjutnya adalah bagaimana dan dari mana pemberantasan korupsi harus dimulai? orang tua dulu pernah berpesan ,“Jangan menyapu lantai, ketika masih membersihkan atap“. Mungkin bisa jadi Pesan inilah yang perlu diamalkan oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas (cocok) dengan Watak masyarakat Indonesia yang masih cenderung paternalistik menuntut pemberantasan korupsi dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian dan kesungguhan untuk itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi, bahkan dihilangkan.
Ini juga sejalan dengan pepatah bijak yang artinya “manusia itu mengikuti agama pemimpin mereka”. Jika pemimpinnya bersih, yang dipimpin juga akan bersih atau setidaknya dapat diharapkan untuk menjadi bersih.
Dalam konteks ini pula, keteladanan (uswah) Rasuullah SAW kepada umatnya dapat dibuktikan karena beliau memulainya dari diri sendiri. Jika pemimpinnya sudah memulai, diharapkan umatnya juga mengikuti serta memberikan dukungan penuh secara konsisten.
Selain itu, membangun instrumen Hukum yang konprehensif. Hal itu, dimulai dengan membenahi system, tata cara, dan prodedur untuk menutup celah akan terjadi penyelewengan dan penyimpangan dan sebagainya. Terutama aparat penegak Hukum. Setelah itu masyarakat umum sebagai subjek hukum juga harus memiliki kesiapan. Misalnya ketika mempunyai urusan, tempuhlah cara-cara prosedural sesuai aturan yang berlaku (UU) dan jangan suka memberikan sesuatu dengan harapan urusan cepat sekali.
Pelesetan “kasih uang selesai urusan” untuk menyebut norma hukum adalah sindiran telak terhadap kecenderungan sebagian masyarakat untuk menyelesaikan persoalan gaya toke cina. Ini pula yang akan melahirkan budaya korupsi yang makin merajalela dengan berbagai motifnya.
Alternatif lain adalah menaikan tingkat penghasilan para pekerja, termasuk pegawai negeri. Yang terakhir inilah yang harus diperbaiki. Sebab, dengan standar demikian, mencari orang yang bersih dan cerdas akan dapat diakukan lantaran mereka mendapatkan imbalan yang proporsional dengan porsi tugas masing-masing.
Apakah subur dan tingginya angka korupsi itu berkaitan secara signifikan dengan kecilnya penghasilan? Boleh jadi faktor itu bukan satu-satu penyebab. Sebab, ketika “pemanfaatan” hasil korupsi itu tidak lagi untuk kepentingan pribadi dan keluarga, persoalannya akan melebar.
Walaupun seluruh langkah – langkah diatas telah ditempuh dengan baik, yang namanya korupsi tetap saja langgeng. Kalau saja, tidak ada usaha tindakan Hukum yang bersifat represif . Sebagaimana menghukum para koruptor ini dengan hukum Takzir yang terberat.
.
C. Penutup .
Dari paparan diatas kita sepakati bahwa dampak negative yang ditimbulkan tindak pidana korupsi sangat besar serta mengganggu kelanjutan perjalanan sebuah bangsa yang bernama Indonesia . Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia bekerjasama dengan ormas Islam lainnya sudah seharusnya menjadi pelopor dalam upaya pemberantasan “penyakit” korupsi, dengan mempertegas pemahaman keagamaan di lingkungan masing – masing ormas dalam bingkai gerakan budaya antikorupsi . Dalam ajaran manapun tidak ada yang melegalkan tindak pidana korupsi, apalagi Islam sebagai agama yang mempunyai citra rahmatan lil’alamin sudah pasti menolak (mengharamkan) karena bertentangan dengan maqashid asy-Syari’ah .
Dalam praktek upaya pemberantasannya adalah dengan selalu bercermin pada keteladanan (uswah) yang dicontohkan Rasuullah SAW kepada umatnya, hal itu dibuktikan beliau dengan memulai gerakan pembersihan dari diri sendiri.
Jadi dapat disimpulkan, ada 4 langkah yang bisa dilakukan untuk langkah pemberantasan tersebut . yaitu :
1. Membangun kesadaran masyarakat bahwa korupsi harus diberantas dengan merujuk pada Fiqh Anti Korupsi yang telah disepakati. Yang kemudian, memicu kesiapan sikap diri senantiasa bersih dari segala penyimpangan dari seorang pemimpin atau pejabat dilingkungan pemerintahan. Sehingga mendorong yang lain melakukan hal yang sama (Tindakan Preemtif).
2. Pembenahan sistem, tata cara, dan prosedur untuk menutup peluang terjadinya korupsi (Tindakan Preventif Primer).
3. Meningkatkan standar penghasilan para pegawai negeri atau swasta sesuai dengan kebutuhannya yang rasional. (Tindakan Preventif Sekunder).
4. Melakukan penindakan tegas terhadap para koruptor tanpa pandang bulu dengan hukuman Takzir yang paling berat .)Tindakan Represif).
Waallahu a’lam bishawab . Metra Wirman, SHI Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah Perbandingan Mazhab dan Hukum Program Khusus (PMHK) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2002 dimuat dalam mitrawirman.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar